A. Pendahuluan
alam perspektif psikologis, intelegensi dianggap sebagai kemampuan mental seseorang dalam merespon dan menyelesaikan problem-problem dari yang bersifat kuantitatif dan fenomenal, seperti matematika, fisika, data-data sejarah dan berbagai disiplin ilmu lainnya. Menurut beberapa ahli di antaranya Suharsono berpendapat bajwa, intelegensi atau kecerdasan adalah kemampuan seseorang untuk mengenal dan merespon alam semesta atau objek yang berada di luarnya (outworld looking) (Majalah Wanita, 1986:9). Dan selama ini juga kecerdasan IQ (Intelligence Quotient) telah menjadi mitos di dalam masyarakat, sebagai satu-satunya alat ukur atau parameter menentukan kecerdasan manusia. Sampai akhirnya Daniel Golemen Memperkenalkan apa yang disebut dengan kecerdasan EQ (Emotional Qoutient). Hal ini didukung dengan ditunjukkannya bukti yang empiris dari penelitinya, bahwa orang-orang yang memiliki kecerdasan IQ tinggi, tidak menjadi jaminan sukses. Akan tetapi orang yang mempunyai kecerdasan IQ yang sedang-sedang justru menjadi sukses, dan banyak yang menempati posisi kunci di dunia (Sukidi, 2002:39-40). Woodworth dan Marquis (1955) yang dikutip Wasti Soemanto dalam bukunya ‘Psikologi Pendidikan’ mengatakan bahwa:
Tingkatan intelegensi manusia antara lain: jenius pada interval 140 ke atas, sangat cerdas pada interval 120-139, cerdas pada interval 110-119, normal pada interval 90-109, bodoh pada interval 80-89, border line pada interval 70-79, morrons pada interval 50-69, embicile pada interval 30-49, idiot pada interval dibawah 30 (Soemanto, 1998:154-155).
Para ahli psikologi menyatakan bahwa IQ hanya mempunyai peran sekitar 20% dalam menentukan keberhasilan hidup, sedangkan 80% sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain diantaranya adalah kecerdasan emosi (Mustaqim, 2001:153). Namun, saat ini telah ditemukan Q jenis ketiga yang posisinya mengalahkan dominasi faktor keberhasilan EQ, yaitu kecerdasan spiritual (spiritual quotient) yang sering disebut SQ. menurut Danah Zohar dan Ian Marsall kecerdasan spiritual berperan paling urgen di dalam menentukan keberhasilan, karena kecerdasan ini adalah kecerdasan yang memfungsikan kecerdasan lain, yaitu IQ (intellectual quotient) dan EQ (emotional quotient) dan dari ketiga kecerdasan tersebut, yaitu kecerdasan otak (IQ), kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ), semuanya mempunyai fungsi masing-masing yang dibutuhkan dalam hidup di dunia ini.
Kecerdasan emosi menentukan potensi seseorang untuk mempelajari keterampilan-keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsurnya; kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain. Kecakapan emosi kita menunjukkan berapa banyak potensi itu yang mampu kita terjemahkan ke dalam kemampuan di tempat kerja (Daniel Goleman, 2003:39). Keterampilan ini mungkin muncul karena tekanan moral yang mendesak. Yaitu saat ketika jalinan masyarakat tampaknya terurai semakin cepat, ketika sifat mementingkan diri sendiri, kekerasan, dan sifat jahat tampaknya menggerogoti sisi baik kehidupan masyarakat kita. Di sini, alasan untuk mendukung perlunya kecerdasan emosional bertumpu pada hubungan antara perasaan, watak, dan naluri moral (Daniel Goleman, 2003:xii).
Berpikir bukanlah proses otak semata-mata dan bukan urusan IQ saja. Sebab, manusia berpikir tidak hanya memakai otak, tetapi juga dengan emosi dan tubuh (EQ), serta dengan semangat, visi, harapan, kesadaran akan makna dan nilai (SQ) (Auliya, 2005:11). Menurut Ali Shariati,
Manusia adalah makhluk dua dimensional yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan akan kepentingan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, manusia harus memiliki konsep dunia atau kepekaan emosi dan Intellegence yang baik (EQ dan IQ) dan penting pula penguasaan ruhiyah vertikal atau SQ (Spiritual Quotient). Hanya saja SQ dari barat itu belum atau bahkan tidak menjangkau ketuhanan. Pembahasannya baru sebatas tatanan biologis atau psikologis semata, tidak bersifat transendental (Rohaliyah. 2006:3).
B. Kecerdasan EQ
Pada tahun 1948, peneliti Amerika R.W. Leeper memperkenalkan gagasan tentang ‘pemikiran emosional’, yang diyakininya sebagai bagian dari pemikiran logis. Akan tetapi, hanya sebagian kecil psikolog atau pendidik yang melanjutkan pemikiran ini sampai 30 tahun. Kemudian pada tahun 1989, Howard Gardner dari Universitas Harvard menulis tentang kemungkinan adanya kecerdasan yang bermacam-macam, termasuk yang disebutkannya kemampuan dalam tubuh’ pada pokok adalah kemampuan melakukan introspeksi dan kecerdasan pribadi (Steven S. Stein, dan Howard E. Book. 2003:32).
Istilah ‘kecerdasan emosional’ pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan (Steven S. Stein, dan Howard E. Book. 2003:32). Dan kemudian, dipublikasikan dan dipopulerkan pada tahun 1995 oleh Daniel Goleman. Hasil penelitian para neurolog dan psikolog, Goleman berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki dua potensi pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan intelektual atau ‘Intelligence Quotient’ (IQ), sedangkan pikiran emosional digerakkan oleh emosi (Sukidi. 2002:39-40).
IQ (intelligence Quotient) atau kecerdasan intelektual pertama kali ditemukan oleh Binet pada tahun 1905 di Paris Perancis. Kemudian teori ini dibawa ke Amerika yaitu di Satandford sehingga kemudian dikenal dengan Standford Binet. Secara biologis IQ terletak pada otak bagian luar atau disebut dengan neocortex. IQ ini mulai digunakan pada perang dunia pertama untuk mengukur kemampuan seseorang. Menurut Ginanjar (2003) IQ merupakan suatu kecerdasan yang berkaitan dengan kesadaran akan ruang, kesadaran akan suatu yang tampak dan penguasaan matematik. Dengan kecerdasan ini manusia mampu menghitung, belajar aljabar, mengoperasikan komputer, belajar bahasa asing, memahami rumus-rumus fisika, maupun melakukan perhitungan yang rumit sekalipun.
Kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda tetapi saling melengkapi dengan kecerdasan akademik, yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ (Desmita, 2009:170). Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. Banyak orang-orang yang memiliki kecerdasan IQ tinggi, tidak menjadi jaminan sukses. Akan tetapi orang yang mempunyai kecerdasan IQ yang sedang-sedang justru menjadi sukses, dan banyak yang menempati posisi kunci di dunia.
Emosional Quotient (EQ) adalah serangkaian kecakapan yang memungkinkan kita melapangkan jalan di dunia yang rumit dalam aspek pribadi, sosial, dan pertahanan dari seluruh kecerdasan, akal sehat yang penuh misteri, dan kepekaan yang penting untuk berfungsi secara efektif setiap hari. Dalam bahasa sehari-hari kecerdasan emosional biasanya kita sebut sebagai ‘street smart (pintar)’ atau kemampuan khusus yang kita sebut ‘akal sehat. Ini terkait dengan kemampuan membaca lingkungan politik dan sosial, dan menatanya kembali; kemampuan memahami dengan spontan apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain, kelebihan dan kekurangan mereka. Kemampuan untuk tidak terpengaruh oleh tekanan; dan kemampuan untuk menjadi orang menenangkan, yang kehadirannya didambakan orang lain (Steven S. Stein, dan Howard E. Book. 2003:31-32).
EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosional ditemukan oleh Daniel Goleman pada tahun 1995 yang tertuang dalam bukunya ‘Working With Emotional Qoutient’. EQ secara biologis terletak pada otak tengah atau lebih dikenal dengan lymbic system. Menurut Goleman (1995), EQ merupakan kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, mengendalikan dorongan hati, dan mengatur suasana hati. Sedangkan menurut Ginanjar kecerdasan emosioanal merupakan kemampuan untuk mengendalikan emosi, kemampuan untuk menguasai diri untuk tetap dapat mengambil keputusan dengan tenang. Kecerdasan ini cenderung berperan dalam hubungan antara individu yang satu dengan yang lain. Hal ini berkaitan bagaimana mereka saling berbicara dengan menghormati lawan bicara, bagaimana harus bergaul, bagaimana menyayangi orang lain, mencintai, dan mengungkapkan persaan hati.
Menurut Goleman, kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain. Kecakapan emosi kita menunjukkan berapa potensi itu yang mampu kita terjemahkan ke dalam kemampuan di tempat kerja (Goleman, Daniel. 2003:39). Kecerdasan emosi dapat juga diartikan sebagai kemampuan mental yang membantu kita mengendalikan dan memahami perasaan-perasaan kita dan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan tersebut.
Kecerdasan emosi merupakan sebuah wacana baru yang teramati menarik. masyarakat mulai mengenal begitu besar perannya dalam menentukan kesuksesan. Dalam mempertahankan kehidupan saat ini memerlukan berbagai keterampilan yang tidak diajarkan pada bangku sekolah dulu. Bagaimana menjalin komunikasi yang baik dengan pelanggan, cara mempertahankan pendapatan tanpa membuat orang lain tersinggung, kesabaran mencuri peluang dalam memasarkan produk, hingga keuletan untuk bangkit kembali manakala mengalami kejatuhan. Kesemuanya membutuhkan keterampilan pengolahan emosi yang prima (Al-Jada’, 2005: Xi).
C. Kecerdasan SQ
Setelah Daniel Goleman dengan konsep ‘Emotional Quotient (EQ)’nya mengguncang tradisi pemikiran lama yang menempatkan kecerdasan intelektual atau rasional sebagai satu-satunya kecerdasan yang menentukan keberhasilan hidup seseorang, baru-baru ini muncul pula suatu istilah yang dikenal dengan Spiritual Quotient (SQ). Kata ‘spirit’ berasal dari kata benda bahasa latin ‘spiritus’ yang berarti napas dan kata kerja ‘spirare’ yang berarti untuk berkapas. Melihat asalnya, untuk hidup adalah untuk bernapas, dan memiliki napas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti memiliki ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibanding hal yang bersifat fisik atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup. Spiritualitas merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan kesejahteraan seseorang. Spiritualitas menunjukkan berbagai kata kunci yang dapat dipertimbangkan: makna (meaning), nilai-nilai (values), transendensi (transcendence), bersambung (conneting), dan menjadi (becoming). Makna merupakan sesuatu yang signifikan dalam kehidupan, merasakan situasi, memiliki dan mengarah pada suatu tujuan. Nilai-nilai adalah kepercayaan, standar dan etika yang dihargai. Transendensi merupakan pengalaman, kesadaran dan penghargaan terhadap dimensi transendental terhadap kehidupan di atas diri seseorang. Bersambung adalah meningkatkan kesadaran terhadap hubungan dengan diri sendiri, orang lain, Tuhan dan alam. Menjadi adalah membuka kehidupan yang menuntut refleksi dan pengalaman, termasuk siapa seseorang dan bagaimana seseorang mengetahui. (Hasan, 2006:288-289).
Dalam pengertian yang luas, spiritualitas merupakan hal yang berhubungan dengan spirit. Sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering dibandingkan dengan sesuatu yang bersifat duniawi dan sementara. Di dalamnya mungkin terdapat kepercayaan terhadap kekuatan supernatural seperti dalam agama, tetapi memiliki penekanan terhadap pengalaman pribadi. Spiritual adalah memiliki arah tujuan, yang secara terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan kekuatan berkehendak dari seseorang, mencapai hubungan yang lebih dekat dengan ketuhanan dan alam semesta, dan menghilangkan ilusi dari gagasan salah yang berasal dari indra, perasaan, dan pikiran. Spiritualitas memiliki dua proses, pertama, proses ke atas, yang merupakan tumbuhnya kekuatan internal yang mengubah hubungan seseorang dengan Tuhan. Kedua, proses ke bawah yang ditandai dengan peningkatan realitas fisik seseorang akibat perubahan internal (Hasan, 2006:289-290).
Spiritual Quotient atau kecerdasan spiritual merupakan temuan mutakhir secara ilmiah yang pertama kali digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University melalui serangkaian penelitian yang sangat komprehensif. Dalam bukunya berjudul’Spiritual Intelligence: the Ultimete Intellegence, Danag Zohar dan Ian Marshall menjelaskan bahwa SQ adalah inti dari segala Intellegence. Kecerdasan ini digunakan untuk menyelesaikan masalah makna dan nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan orang lain (Zohar dan Ian Marshall, 2007:4). Dengan adanya kecerdasan ini, akan membawa seorang untuk mencapai kebahagiaan hakiki. Karena adanya kepercayaan di dalam dirinya, dan juga bisa melihat apa potensi dalam dirinya. Karena setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan juga ada kekurangan. Intinya, bagaimana kita bisa melihat hal itu. Kecerdasan spiritual membawa seseorang untuk mendapat menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, dan tentu saja dengan Sang Maha Pencipta.
SQ (Spiritual Qoutient) atau kecerdasan spiritual merupakan temuan terkini secara ilmiah yang pertama kali digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari Harvard University dan Oxford University melalui riset yang sangat komperhensif. Pembuktian ilmiah tentang kecerdasan spiritual di antaranya adalah riset ahli psikologi dan ahli saraf, Michael Persinger pada awal tahun1990-an, dan lebih mutahir lagi tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S Ramachandran dan timnya dari California University, yang menemukan eksistensi God-Spot dalam otak manusia. Inilah pusat spiritual yang terletak di antara jaringan otak dan syaraf. Kemudian bukti yang kedua adalah riset ahli syaraf Austria, Wolf Singer pada era 1990-an telah menunjukan adanya proses syaraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan syaraf yang secara literatur ‘mengikat’ pengalaman kita secara bersama untuk ‘hidup lebih bermakna’. Menurut Zohar dan Marshall (2002) kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibanding dengan yang lain. Dapat dikatakan di dalam kecerdasan spiritual inilah terdapat fitrah manusia sebenarnya. Masih menurut Zohar dan Marshall SQ merupakan kecerdasan yang paling tinggi dalam diri manusia.
SQ merupakan sesuatu yang dapat diubah atau ditingkatkan. SQ merupakan cara untuk melakukan integrasi, memahami dan beradaptasi dengan perspektif baru. Bagian dalam diri manusia, pikiran dan spiritualitas, merupakan sesuatu yang elastis. Manusia dapat meningkatkan SQ yang dimilikinya sampai usia tua. Di antara tahap kelemahan dan pencerahan terdapat sudut kepanikan yang membuat seseorang dapat meningkatkan diri. Individu memiliki kemampuan organisasi diri ketika menghadapi tepian yang merupakan batas kekacauan. Tempat ini merupakan daerah orang merasa nyaman ketika seharusnya merasakan ketidak nyamanan (Hasan, 2006: 313-314).
D. Kecerdasan ESQ
Cukup banyak orang yang memiliki IQ di atas rata-rata, tetapi banyak di antara mereka tidak berhasil dalam kehidupan pribadi maupun dalam pekerjaan. Justru kadang kalanya orang yang memiliki IQ biasa-biasa saja sebagian besar dari merekalah yang kemudian menjadi orang-orang yang sukses dalam kehidupan pribadi maupun dalam pekerjaannya. Yang memiliki IQ tinggi cenderung kurang pandai bergaul, tidak berperasaan dan egois, karena IQ hanya berperan ketika individu menjadi makhluk pribadi. Sedangkan yang memiliki IQ biasa-biasa saja tergolong lebih luwes dalam bergaul, penolong sesama, setia kawan, bertanggungjawab dan ramah tamah.
Ada sebuah cerita yang tragis di SMA Coral Springs, Florida. Jason H, adalah siswa terpandai di kelas dua yang selalu mendapatkan nilai A. Ia bercita-cita masuk Fakultas Kedokteran di Harvard. Tetapi pada suatu tes fisika, Poligruto, guru fisikanya hanya memberi nilai 80. Karena yakin bahwa nilai 80 ini yang hanya B akan menghalangi cita-citanya, Jason membawa sebilah pisau dapur ke sekolah. Kemudian ia menemui guru fisikanya di laboratorium, lalu menusuknya di tulang selangka sebelum ia berghasil ditangkap dengan sangat susuh payah. Dari kisah nyata ini membuktikan bahwa mengandalkan IQ saja jelas tidak cukup untuk kehidupan manusia.
Menurut berbagai penelitian, IQ hanya berperan dalam kehidupan manusia dengan besaran maksimum 20% , bahkan menurut Steven J. Stein, Ph.D. dan Howard E. Book,M.D. menyebutkan bahwa peranan IQ hanya 6% dalam kehidupan manusia (Ginanjar,2003: 61). Berdasarkan hal tersebut di atas, dibutuhkan kecerdasan yang kedua yaitu kecerdasan Emosioanal atau EQ. Dengan kecerdasan emosional seseorang mampu menata dirinya terutama dalam masalah hubungan dengan orang lain.
Orang yang memiliki kecerdasan emosional akan lebih menghormati orang lain dan lebih membuat orang lain senang. Hal inilah yang justru telah mempelancar perjalanan kita dalam menempuh hidup ini dan berhasil dalam pekerjaan kerena punya banyak link, banyak orang yang dapat membantu dalam mencapai kesusksesan kita. Oleh karena itu Ginanjar juga menyebutkan EQ sebagai serangkaian kecakapan untuk melapangkan jalan di dunia yang penuh liku-liku permasalahan sosial. Tapi coba bayangkan apa yang terjadi jika kecerdasan ini dimiliki orang-orang yang ‘jahat’, orang-oarang yang memilki ambisi pribadi yang menghancurkan. Bukankah Stanlin, Hitler, Musolinni, dan para koruptor juga memiliki kemampuan ilmu-ilmu yang demikian?. Mereka adalah orang-orang yang pandai dan cerdas otaknya, tetapi kepandaiannya digunakan untuk kepentingan pribadinmya semata. Mereka juga memiliki komitmen, loyalitas, inegritas, pandai bergaul dan pandai menyenangkan orang demi tujuan yang tidak mulia sebagai ambisinya. Maka hal ini telah membuktikan bahwasanya IQ dan EQ saja juga tidak cukup. Hal ini menunjukkan masih dibutuhkan nilai-nilai lain yang tidak bisa dipungkiri keberadaannya, yaitu kecerdasan spiritual atau Spiritual Quotient (SQ). SQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif (Zohar dan Marshall, 2002: 4). Menurut Pasaik (2003) kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ) merupakan kunci-kunci kesuksesan yang betul-betul mengorek kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh manusia hingga ke dasar-dasarnya. Namun, perlu dicatat secara jelas bahwa kedua kecerdasan ini memiliki kelemahan yang signifikan dalam mengaktualkan potensi dasar ortak manusia. Ukuran IQ memiliki kelemahan dalam hal pemberian peluang bagi nuansa-nuansa emosional, seperti empati, motivasi diri, pengendalian diri dan kerja sama sosial. Sedangkan EQ sebagaimana dengan IQ, sama sekali menepis peranan spiritual dalam mendorong kesuksesan.
Jadi IQ memang penting kehadirannya dalam kehidupan manusia, yaitu agar manusia bisa memanfaatkan ilmu pengetahuan yang teraplikasi dengan terwujudnya teknologi secara efektif maupun efisien. Kemudian EQ juga memiliki peranan begitu penting dalam membangun hubungan antar manusia yang efektif sekaligus perannya dalam meningkatkan kinerja, namun tanpa SQ yang mengajarkan nilai-nilai kebenaran, maka keberhasilan itu hanya menghasilkan para diktaktor, Hitler-Hitler baru ataupun Fir’aun-Fir’aun kecil di muka bumi ini. Jadi peranan SQ dalam kehidupan manusia adalah membangkitkan kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap prilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan permikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya, dan memiliki pola pikir tauhidi (integeralistik), serta berprinsip ‘hanya karena Allah swt’. Dalam kata lain, SQ menjadikan kita bagaimana agar membuat semua aktivitas sebagai nilai ibadah kita kepada Allah swt, Sang Maha Esa, sehingga kita benar-benar menjalankan apa yang telah disebutkan dalam kalamNya yang mulia: ‘Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada Ku’ (QS: Adz dzariyat: 56).
Oleh karenanya, potensi IQ, EQ, dan SQ perlu di sinergikan kedalam satu formula. Maka munculah formula ESQ, yaitu suatu formula yang menyatukan unsur IQ, EQ, dan SQ dalam satu kesatuan yang terintegerasi. Jadi ESQ meninjau aktivitas manusia dari ketiga kecerdasan. Bagaimana bekerja dengan cerdas, mawas, dan juga ikhlas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan menggapai keridhaanNya semata. Begitu juga dalam aktivitas yang lain termasuk di dalamnya aktivitas pendidikan, belajar dan pembelajaran. Maka dengan ESQ ini setiap individu akan melakukan aktivitas dengan kekuatan intelektualnya, dengan memikirkan kebermaknaan dia bagi orang lain serta menjadikan aktivitas untuk ibadah. Dan inilah hakikat kita sebagai manusia yang sesungguhnya.
Menurut Ali Shariati, bahwa manusia adalah makhluk dua dimensional yang membutuhkan penyelarasan kebutuhan akan kepentingan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, manusia harus memiliki konsep dunia atau kepekaan emosi dan Intellegence yang baik (EQ dan IQ) dan penting pula penguasaan ruhiyah vertikal atau SQ (Spiritual Quotient). Hanya saja SQ dari barat itu belum atau bahkan tidak menjangkau ke-Tuhanan. Pembahasannya baru sebatas tatanan biologis atau psikologis semata, tidak bersifat transendental (Syahmuharnis dan Harry Sidharta, 2006:20). Merujuk pada istilah di-dimensional tersebut, Ary Ginanjar melakukan sebuah upaya penggabungan terhadap ketiga konsep tersebut dilakukan. Lewat sebuah perenungan yang panjang, ia mencoba untuk melakukan sebuah usaha penggabungan dari ketiganya dalam konsep ESQ (Emotional Spiritual Quotient), yang dapat memelihara keseimbangan antara kutub keakhiratan dan kutub keduniaan (Agustian, 2001:Xx).
Model ESQ (Emotional Spiritual Quotient), adalah sebuah mekanisme sistematis untuk mengatur dari ketiga dimensi manusia, yaitu body, mind, dan soul, atau dimensi fisik, mental, dan spiritual dalam satu kesatuan yang integral. Sesederhananya ESQ berbicara tentang bagaimana mengatur tiga komponen utama: Iman, Islam, dan Ihsan dalam keselarasan dan kesatuan tauhid. Seperti kita ketahui bahwa dalam setiap diri seorang manusia ada titik Tuhan (God Spot) yang di dalamnya terdapat energi berupa percikan sifat-sifat Allah Sang Pencipta. Dalam God Spot ini bermuara pada suara hati Illahiah atau self yang merupakan collective unconscious, yang kemudian berpotensi besar sebagai spiritual (SQ). Pada titik inilah terjadi komunikasi Illahiah, yang senantiasa memberi tahu, apa saja yang diinginkan-Nya. Melalui titik inipun ia memberi tahu larangan-larangan-Nya, agar manusia selaras dengan ketentuan alam semesta. Namun inner value (nilai bagian dalam) dan drive yang terdapat dalam God Spot ini, sering tertutup oleh lingkaran hitam yang di dalamnya dipenuhi oleh persepsi atau paradigma dunia (Agustian, 2005:28). Jadi kecerdasan ESQ (Emotional Spiritual Quotient) bagi umat Muslim, bermakna untuk kembali kepada Al-Qur’an dan al-Hadis (sunah Nabi Muhammad), karena keduanya adalah panduan hidup bagi umat Islam. Sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia harus tunduk, patuh atau tawanduh (sopan santun) kepada-Nya. Allah telah menganugerahkan aturan-Nya di dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memahami hal ini, Allah adalah sentral dari ciptaan-Nya, termasuk kehidupan manusia (Syahmuharnis dan Harry Sidharta, 2006:57).
Dengan demikian, ESQ (Emotional Spiritual Quotient) adalah sinergi dari tiga konsep, yaitu IQ, EQ, dan SQ dalam sebuah kesatuan yang membentuk keseimbangan dalam kehidupan seseorang di dunia maupun di akhirat. ESQ adalah sebuah icon yang menggunakan paradigma baru yang berdasarkan pada ajaran Islam dalam bidang apapun. ESQ membantu seseorang dalam menjalani kehidupan yang modern ini, dan juga sebuah Training (pelatihan) untuk mengenal penciptaan alam ini dan lebih mengenal dirinya sendiri. ESQ bukan hanya mempelajari ibadah yang semata-mata hanya sebuah ritual yang dilakukan oleh raga, tetapi dilakukan dengan jiwa yang penuh dengan keikhlasan. Tidak hanya itu, ESQ mampu menjawab persoalan-persoalan yang terjadi saat ini, yaitu kekosongan batin dan jiwa yang mengakibatkan seseorang sering merasa kurang bersyukur apa yang telah dimiliki. Sedangkan ilmu ESQ adalah ilmu pengetahuan yang menjabarkan tentang fenomena pada manusia, di sini bertujuan agar manusia memiliki mata hati yang mampu melihat kaca mata dunia. Sehingga manusia dapat hidup dengan perasaan aman, yang mana merupakan bagian di dalam ajaran Islam, yang berupa ajaran akhlak moral atau akal budi.
E. Unsur-Unsur Kecerdasan Emosional
Goleman mengutip Salovey menempatkan kecerdasan pribadi Gardner dalam definisi dasar tentang kecerdasan emosional yang dicetuskannya dan memperluas kemampuan tersebut menjadi lima unsur kemampuan utama yang membangun kecerdasan emosi, yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan.
1. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri sendiri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosional, para ahli psikologi menyebutkan kesadaran diri sebagai metamood, yakni kesadaran seseorang akan emosinya sendiri. Menurut Mayer kesadaran diri adalah waspada terhadap suasana hati maupun pikiran tentang suasana hati, bila kurang waspada maka individu menjadi mudah larut dalam aliran emosi dan dikuasai oleh emosi (Goleman. 2002:64). Kesadaran diri memang belum menjamin penguasaan emosi, namun merupakan salah satu prasyarat penting untuk mengendalikan emosi sehingga individu mudah menguasai emosi.
2. Mengelola Emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman. 2002:77-78). Jadi kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan menyelaraskan perasaan (emosi) dengan lingkungannya sehingga dapat memelihara harmoni kehidupan individunya dengan lingkungannya atau orang lain. Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
3. Memotivasi Diri Sendiri
Kemampuan memotivasi diri merupakan kemampuan mendorong dan mengarahkan segala daya upaya dirinya bagi pencapaian tujuan, keinginan dan cita-citanya. Peran memotivasi diri yang terdiri atas antusiasme dan keyakinan pada diri seseorang akan sangat produktif dan efektif dalam segala aktivitasnya. Prestasi harus dilalui dengan dimilikinya motivasi dalam diri individu, yang berarti memiliki ketekunan untuk menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati, serta mempunyai perasaan motivasi yang positif, yaitu antusianisme, gairah, optimis dan keyakinan diri.
4. Mengenali Emosi Orang Lain
Kemampuan untuk mengenali emosi orang lain disebut juga empati. Kemampuan mengenal emosi orang lain yaitu kemampuan memahami emosi orang lain (empati) serta mampu mengomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain yang dimaksud. Kemampuan seseorang untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan kemampuan empati seseorang. Individu yang memiliki kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan orang lain sehingga ia lebih mampu menerima sudut pandang orang lain, peka terhadap perasaan orang lain dan lebih mampu untuk mendengarkan orang lain (Goleman. 2002:54).
Rosenthal dalam penelitiannya menunjukkan bahwa orang-orang yang mampu membaca perasaan dan isyarat non verbal lebih mampu menyesuaikan diri secara emosional, lebih populer, lebih mudah bergaul, dan lebih peka. Nowicki, ahli psikologi menjelaskan bahwa anak-anak yang tidak mampu membaca atau mengungkapkan emosi dengan baik akan terus menerus merasa frustrasi. Seseorang yang mampu membaca emosi orang lain juga memiliki kesadaran diri yang tinggi. Semakin mampu terbuka pada emosinya sendiri, mampu mengenal dan mengakui emosinya sendiri, maka orang tersebut mempunyai kemampuan untuk membaca perasaan orang lain (Goleman. 2002:172).
5. Membina Hubungan
Kemampuan dalam membina hubungan merupakan suatu keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan dan keberhasilan antar pribadi. Keterampilan dalam berkomunikasi merupakan kemampuan dasar dalam keberhasilan membina hubungan. Individu sulit untuk mendapatkan apa yang diinginkannya dan sulit juga memahami keinginan serta kemauan orang lain.
Orang-orang yang hebat dalam keterampilan membina hubungan ini akan sukses dalam bidang apapun. Orang berhasil dalam pergaulan karena mampu berkomunikasi dengan lancar pada orang lain. Orang-orang ini populer dalam lingkungannya dan menjadi teman yang menyenangkan karena kemampuannya berkomunikasi. Ramah tamah, baik hati, hormat dan disukai orang lain dapat dijadikan petunjuk positif bagaimana siswa mampu membina hubungan dengan orang lain. Sejauh mana kepribadian siswa berkembang dilihat dari banyaknya hubungan interpersonal yang dilakukannya Goleman. 2002:59).
F. Aplikasi ESQ dalam Pembelajaran
Emosi sejak lama dianggap memiliki kedalaman dan kekuatan sehingga dalam bahasa latin, motus anima yang arti harfiahnya jiwa yang menggerakkan kita (Cooper dan Ayman Sawaf, 2002:xiv).
Inteligensi emosional dibutuhkan oleh semua pihak untuk dapat hidup bermasyarakat termasuk di dalamnya menjaga keutuhan hubungan sosial, dan hubungan sosial yang baik menuntun seseorang untuk memperoleh sukses di dalam hidup seperti yang diharapkan. Di samping itu, kemampuan seseorang untuk mengendalikan emosinya dengan baik akan mempengaruhi proses berpikirnya secara positif pula. Sebagai contoh, apabila cepat merasa resah maka konsentrasinya mudah terganggu. Sebaliknya, jika ia dapat menenangkan dirinya dalam menghadapi tekanan sosial, konsentrasinya tidak mudah goyah dan akan lebih mampu mempertahankan efektivitas kerjanya. Seseorang dengan taraf inteligensi emosional yang baik cenderung lebih mampu mengendalikan amarah dan bahkan mengarahkan energinya ke arah yang lebih positif, bukan ke arah ekspresi yang negatif atau destruktif. Misalnya, akibat rasa kecewa ia justru berusaha memperbaiki langkahlangkah di dalam hidupnya agar kekecewaannya tidak lagi terulang. Sebaliknya, seseorang dengan taraf inteligensi emosional yang rendah mungkin bertindak eksplosif dan destruktif merasa kecewa (Satiadarma, 2003:36).
Keberadaan IQ, EQ, dan SQ sebenarnya telah termuat dalam pendidikan di Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya IQ pada pelajaran sains, IPA, matematika dan mata pembelajaran lainnya. EQ juga dapat ditemukan pada pendidikan moral baik melalui pendidikan Pancasila maupun pedidikan Kewarganegaraan. Sementara SQ juga dapat ditemukan pada Pendidikan Agama. Tetapi semuanya terpetak-terpetak dan tidak terintegerasi dalam satu kesatuan yang saling berhubungan. Hasil yang didapat oleh siswa adalah bagaimana bisa mengerjakan dengan baik soal-soal dari pelajaran-pelajaran tersebut. Keberhasilan siswa dalam belajar diukur dengan nilai yang didapat pada tes ataupun ujian saja, walaupun mereka tidak memahami kandungan yang sesungguhnya dari mata pelajaran yang bersangkutan. Peranan guru lebih cenderung hanya memberikan materi dan menjawab kesulitan siswa terhadap materi yang diberikan oleh guru. Makna-makna di balik materi kurang begitu diangkat, padahal disinilah peluang agar guru bisa menjalankan tugasnya, ‘mengajar sekaligus mendidik siswa’. Sehingga hal-hal seperti ini telah menyebabkan ketidak seimbangan kecerdasaan, baik IQ, EQ, maupun SQ pada diri siswa.
Formula ESQ merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan dan pembelajaran di sekolah-sekolah, terutama sekolah-sekolah berbasis agama Islam seperti MI, MTs, MA maupun Sekolah Islam Terpadu. Di sekolah-sekolah seperti ini dibutuhkan pembelajaran berwawasan ESQ, yaitu pembelajaran yang tetap memperihatikan unsur IQ, EQ, dan SQ dalam satu kesatuan yang terintegerasi dalam satu mata pelajaran. Sebagai contoh untuk mata pelajaran sains, misalnya fisika dapat mengandung unsur IQ, EQ, dan SQ sekaligus. Begitu juga untuk mata pelajaran yang lain.
Aplikasi dari pembelajaran berwawasan ESQ salah satunya adalah dengan pembelajaran yang dilengkapi dengan pesan-pesan ilaahiyah dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Untuk mata pelajaran yang berkaitan dengan alam, misalnya fisika mudah dikemas dalam pembelajaran berwawasan ESQ. Hal ini dikarenakan antara ayat-ayat Al-Qur‘an dengan teori-teori yang terdapat dalam ilmu fisika terdapat keselarasan. Selain itu Al-Qur’an juga banyak membicarakan pelbagai subyek yang jelas-jelas ilmiah.
Menurut Djazuni (2003), pembelajaran yang mengaitkan antara materi dengan ayat-ayat Al-Qur’an, akan memberikan wawasan keagamaan yang dihayati dalam kehidupan sehari-hari. Disebutkan juga oleh Lubis dan Widayana (2003), bahwa pembelajaran yang mengaitkan antara materi fisika dengan ayat-ayat Al Qur’an akan membuat generasi muda kita (dalam hal ini siswa sekolah) akan memahami betapa besar keagungan Allah, yang sekaligus meningkatkan keimanaan dan ketaqwaan.
Lebih lanjut mereka menyebutkan walaupun pembelajaran mengaitkan materi dengan ayat-ayat Al-Qur’an, namun pencapaian pokok bahasan dan sub pokok bahasan tetap tidak berubah. Dalam hal ini pembelajaran berwawasan ESQ akan tetap membuat siswa memahami isi materi yang disampaikan guru sesuai dengan kurikulum yang ada. Sebagai bagian untuk meningkatkan pemahaman siswa akan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Pencapaian-pencapaian pembelajaran tetap berdasarkan pada rencana dalam kurikulum yang telah digariskan.
Dengan kata lain, pembelajaran berwawasan ESQ bertujuan untuk meningkatkan dan menyelaraskan antara iptek maupun imtaq dalam satu mata pelajaran apapun tanpa terkecuali. Untuk meningkatkan dan menyelaraskan iptek dan imtaq ini, lebih rinci disebutkan dalam Proyek Peningkatan Wawasan Keagamaan Guru Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional tahun 2003, bahwa guru mata pelajaran apa pun dituntut untuk mempunyai andil dan peranan yang besar melalui beberapa cara, antara lain sebagai berikut.
a. Penciptaan suasana kegiatan belajar-mengajar yang betul-betul diarahkan untuk penanaman keimanan dan ketakwaan para siswa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Pengaitan pokok bahasan, sub pokok bahasan, masing-masing mata pelajaran dengan nilai-nilai keimananan dan ketaqwaan.
c. Penyelarasan konsep iptek dan seni dengan nilai-nilai imtaq.
d. Penanaman kesadaran dan keyakinan kepada siswa bahwa Allah swt telah menerapkan prisnsip-prinsip keterkaitan alam semesta yang disebut dengan sunnatullah.
e. Pemberian kesadaran kepada para siswa bahwa mereka belajar semata-mata melaksanakan perintah Tuhan dalam hal menuntut ilmu.
Keunggulan lain yang muncul dari pembelajaran berwawasan ESQ yaitu akan membuat siswa sekolah berbasis Islam menjadi lebih antusias dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar di kelas. Hal ini dikarena pengelolaan pembelajaran memberikan rangsangan (stimulus) untuk membangkitkan minat mereka sebagai siswa sekolah yang terbiasa berinteraksi dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Seperti yang telah diungkapkan Anni (2004) dalam psikologi belajar, bahwa untuk membangkitkan minat belajar, pengaitan pembelajaran dengan minat siswa adalah sangat penting. Selanjutnya ia mengatakan proses pembelajaran dan materi yang terkaiat dapat merangsang sekumpulan kegiatan belajar. Apabila siswa menemukan proses pembelajaran yang merangsang, maka perhatiannya akan meningkat.
G. Manfaat Kecerdasan ESQ (Emotional Spiritual Quotient)
1. Kesehatan Spiritual
Mengembangkan IQ dan EQ, memang menjadikan kita sehat secara pikiran (intelektual) dan sehat secara emosional sekaligus. Akan tetapi dewasa ini manusia modern justru jauh lebih banyak terjangkit penyakit spiritual dengan segala variasinya: mulai dari krisis spiritual (spiritual crisis), penyakit jiwa (soul pain), penyakit Eksistensial (eksistensial illness), darurat spiritual (spiritual emergency), dan banyak lagi, seperti patologi spiritual.
Jawaban atas penyakit jiwa spiritual yang dewasa ini justru lebih banyak diderita manusia modern tentu tidak dapat kita peroleh dari IQ maupun EQ. Sebaliknya, kecerdasan spiritual (ESQ) bukan saja menyentuh segi spiritual kita, melainkan lebih dari itu: menyajikan beragam resep, mulai dari pengalaman spiritual (spiritual experience) sampai penyembuhan spiritual (spiritual healing), sehingga kita benar-benar mengalami segi kesehatan spiritual (Sukidi. 2002:71).
2. Kedamaian Spiritual
Kecerdasan ESQ membimbing kita meraih kedamaian hidup secara spiritual. Ini secara filisof spiritual dilukiskan oleh FR. Paul Edwards ‘kecerdasan spiritual adalah bukti ilmiah. Ini adalah benar ketika seseorang merasakan keamanan (secure), kedamaian (peace), penuh cinta (Love) dan bahagia (hapy). Ketidak dibedakan dengan suatu kondisi di mana kita merasakan ketidakamanan (insecure), ketidakbahagiaan (unhapyy), dan ketidakcintaan (unloved) (Sukidi. 2002:72).
3. Kebahagiaan Spiritual
Kecerdasan ESQ tidak hanya mengajak kita memaknai hidup secara lebih bermakna (meaningful), melainkan lebih dari itu: meraih kebahagiaan sejati, yakni kebahagiaan spiritual. Mungkin justru asumi terakhir itu banyak benarnya, karena memang selama ini state of mind (segi pandang) kita dibelenggu oleh kebahagiaan yang serba intelektual atau material (IQ) dan emosional (EQ). Jarang kita diperkenalkan dengan kebahagiaan spiritual (SQ) ini, padahal kebahagiaan sejati (the true happiness) justru terletak pada kebahagiaan spiritual (spiritual happiness): suatu jenis kebahagiaan yang membuat hati dan jiwa kita menjadi bahagia, tenteram, dan penuh kedamaian (Sukidi. 2002:74).
4. Kearifan Spiritual
Kecerdasan ESQ mengarahkan seseorang ke puncak tangga, yakni kearifan spiritual (spiritual wisdom). Kearifan spiritual adalah sikap hidup arif dan bijak secara spiritual, yang cenderung mengisi lembaran hidup ini dengan sepenuhnya autentik dan genuine: truh (kebenaran), beuty (keindahan), dan perfection (kesempurnaan) dalam keseharian hidupnya. Inilah autentisitas kearifan hidup secara spiritual, yang sebenarnya juga sederhana saja: hanya to be sensitive to the reality. Yakni, kepekaan diri spiritual terhadap seluruh realitas sekitar kita, yang sebenarnya justru merupakan sebuah komitmen spiritual (Sukidi. 2002:75-76).
5. Pengasahan AQ (Adversity Quotient)
AQ (Adversity Quotient) adalah kecerdasan yang dimiliki seseorang dalam mengatasi kesulitan dan sanggup bertahan. Dengan AQ, seseorang bagai diukur kemampuannya mengatasi setiap persoalan hidup untuk tidak putus asa (Agustian, 2001:271). Dalam bukunya Ary Ginanjar menjelaskan bahwa pada saat umat manusia ketika bersa’i. Ini menjelaskan bahwa ketika kemampuan logika sudah habis (putus asa), atau bisa dikatakan sudah kehabisan akal di tengahtengah padang pasir. Tetapi Siti Hajar tidak menyerah untuk mencari air di tengah-tengah padang pasir, setelah itu Allah memberi setitik cahaya pencerah dengan lewat kaki Nabi Ismail kecil, Allah memberi sumber air (sekarang disebut sumur zam-zam) (Agustian, 2001:272). Dari sini bisa diambil untuk melatih seseorang agar tidak mudah putus asas dalam menghadapi kesulitan yang sedang melanda, karena Tuhan akan memberi jalan keluar dari setiap kesulitan yang Tuhan berikan.
6. Segi Perenial ESQ
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, dibandingkan dengan yang lain. ESQ adalah landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ, dan SQ secara efektif. ESQ adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip ‘hanya karena Allah’ (Agustian, 2001:57).
Daftar Pustaka
Agustian, Ary Ginanjar. 2001. ESQ ( Emotional Spiritual Qoutient). Jakarta: Arga.
Agustian, Ary Ginanjar. 2001. ESQ: Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam. Jakarta:Arga
Agustian, Ary Ginanjar. 2005. ESQ:The ESQ Way 165 (Berdasarkan 1 Ihsan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam), Jakarta: Arga
Al-Jada’, Ahmad. 2005. Meneladani Kecerdasan Emosi Nabi. Jakarta: Pustaka Inti.
Al-Munir, Mahmud Samir. 2004. Guru Teladan Dibawah Bimbingan Allah. Jakarta: Gema Insani.
Anni, Chatarina. 2004. Psikologi Belajar. Semarang: Unnes Press.
Auliya, M. Yaniyullah Delta. 2005. Melejitkan Kecerdasan Hati & Otak: Menurut Petunjuk Alquran dan Neurologi. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Cooper, Robert K. Dan Ayman Sawaf. 2002. Executive EQ (Kecerdasa Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi), Terj. Alex Tri Kantjono Widodo, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Darsono, Max. 2000. Belajar dan Pembelajaran. Semarang: IKIP Semarang Press.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004 Standard Kompetensi Mata Pelajaran Sains. Jakarta: Depdiknas.
Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan, Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset.
El-Fandy, Jamaluddin. 2002. Al-Qur’an Tentang Alam Semesta. Jakarta: Amzah.
Ghulsyani. Mahdi. 1986. Fislafat Sains Menurut AL-Qur’an. Bandung: Mizan.
Gojali. Nanang. 2004. Manusia, Pendidikan dan Sains dalam Prespektif Tafsir Hermeneutika. Jakarta: Rineke Cipta.
Goleman, Daniel. 1997. Emotional Qoutient (Kecerdasan Emosional). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel. 2002. Emotional Intellegence : Kecerdasan Emosional (Mengapa EI Lebih Penting daripada IQ, Terj. T. Hermaya, Jakarta: PT Gramedia Utama.
Goleman, Daniel. 2003. Working With Emotional Intellegence: Kecerdasan Emosi untuk Mencapai puncak Prestasi, Terj. Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: Pt Gramedia Utama.
Hasan, Ali B. Purwakania. 2006. Psikologi Perkembangan Islam (Menyingkap Ruang Kehidupan Manusia dari Pra Kelahiran hingga Pasca Kematian), Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Kanginan, Marthen. 2003. Fisika SMA Kelas X Semester 1.Jakarta: Erlangga.
Lubis dan Widayana .2003. Suplemen Fisika Untuk Peningkatan Imtaq Siswa SMA. Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Wawasan Keagamaan Guru, Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Majalah Wanita. 1986. Ummi Identitas Wanita Islami. Jakarta: PT Kimus Bina Tadzkib.
Mastuhu. 1999. Memberdayakan Sistem Penddikan Islam. Jakarta: Logos.
Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Rosda Karya.
Mustaqim. 2001. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pasaik, Taufiq. 2003. Revolusi IQ, EQ, SQ Antara Neurosains dan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Rahman, Afzakir. 1992. Al-Qur’an Sumber Pengetahuan. Jakarta: Rineka Cipta.
Rohaliyah. 2006. SQ dan Tasawuf Bagi Masyarakat Modern (Telaah Substasi). Semarang: Ushuluddin IAIN Semarang.
Satiadarma, Monty P. dan Fidelis E. Waruwu. 2003. Mendidik Kecerdasan, Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Slameto, 2001. Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Soemanto, Wasty. 1998. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Steven S. Stein, dan Howard E. Book. 2003. Ledakan EQ:15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional meraih Sukses, Terj. Trinada Rainy Januarsari dan Yudha Murtanto, Bandung: Kaifa.
Suherman, Erman. 1990. Evaluasi Pendidikan Untuk Matematika. Bandung: Wijaya Kusumah
Sukidi. 2002. Rahasia Sukses Hidup Bahagia, Kecerdasan Spritual, Mengapa SQ Lebih Penting dari Pada IQ, dan EQ, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sukidin. 2002. Manajemen Tindakan Kelas. Jakarta: Insan Cendikia.
Supriyono. 2003. Strategi Pembelajaran Fisika. Malang: Universitas Negeri Malang.
Syahmuharnis dan Harry Sidharta. 2006. Transcendental Quotient (Kecerdasan diri terbaik), Jakarta: Republika
Yusuf, Ali. 2002. Wawasan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Zohar dan Marshall. 2002. Master Plan Kesiswaan SMA Islam Hidayatullah Semarang. Semarang: SMA Islam Hidayatullah.
Zohar dan Marshall. 2002. SQ Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir Integralistik Dan Holistik Untuk Memahami Kehidupan. Bandung: Mizan.
Zohar dan Marshall. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia DEPDIKNAS. Jakarta: Balai Pustaka.
Zohar dan Marshall. 2003. Kurikulum 2004 Pedoman Khusus Pengembangan Silabus dan Penilaian Mata Pelajaran Fisika. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2003. Naskah Keterkaitan 10 Mata Pelajaran Di SMU dengan Imtaq, Fisika. Jakarta: Bagian Proyek Peningkatan Wawasan Keagamaan Guru, Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2007. SQ (Kecerdasan Spiritual), Terj. Rahmani Astuti dan Ahmad Nadjib Burhani, Bandung: PT Mizan Pustaka.