A. Pendahuluan
ada mulanya, istilah filologi (philologia) lahir dan berkembang di kawasan kerajaan Yunani, yaitu kota Iskandariyah. Pada saat itu filologi diartikan sebagai suatu keahlian yang diperlukan untuk mengkaji peninggalan berupa tulisan yang berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya (Baroroh Baried, 1985:1). Salah satu tujuan dari diadakannya pengkajian terhadap teks yang ada di dalam naskah lama pada saat itu adalah untuk menemukan bentuk teks yang asli serta untuk mengetahui maksud dari pengarangnya dengan jalan menyisihkan kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalamnya.
Naskah mempunyai manfaat dan peranan yang bersifat universal. Artinya, isi naskah dapat dinikmati atau dimanfaatkan oleh siapapun, dari berbagai kalangan maupun berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, naskah perlu dilestarikan. Untuk melestarikan naskah diperlukan ilmu filologi.
Penggarapan naskah melalui filologi merupakan salah satu upaya penyelamatan warisan nenek moyang yang berbentuk tulisan, yaitu naskah. Penggarapan naskah juga merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkannya dari kerusakan. Apabila naskah telah hancur karena umurnya yang sudah tua, akan kesulitan dalam melacak ajaran nenek moyang melalui naskah tersebut. Jika dilacak melalui informan untuk mengetahui secara langsung ajaran-ajaran yang disampaikan dalam bentuk tertulis, kemungkinan sulit untuk mendapatkan informan itu.
Pada kenyataannya penanganan naskah tidak seperti yang diharapkan. Beberapa kendala yang dihadapi dalam penanganan naskah di antaranya adalah jenis huruf yang digunakan dalam naskah Jawa sudah tidak dikenal oleh kebanyakan mahasiswa bahkan orang dewasa, karena tulisan dan bahasanya sudah tidak dipakai sehari-hari pada saat ini. Oleh karena itu, penelitian naskah perlu segera dilakukan. Untuk melakukan penelitian terhadap naskah, diperlukan beberapa langkah. Langkah-langkah tersebut, antara lain dengan melakukan inventarisasi naskah, studi katalog, membuat deskripsi naskah, pembacaan teks, suntingan teks, terjemahan, serta mengupas isi teksnya.
Kita ketahui bahwa sejarah perjalanan umat manusia telah dimulai sejak lama, secara pasti tidak diketahui berapa ribu atau berapa juta tahun yang lalu umur sejarah manusia di muka bumi ini dimulai. Bukti-bukti sejarah kehidupan manusia di masa lampau itu dapat kita temukan di masa kini . Banyak peninggalan nenek moyang yang bisa kita jumpai, baik dalam bentuk benda fisik seperti candi, prasasti, senjata, alat-alat rumah tangga, atau naskah, maupun dalam bentuk nonfisik seperti tradisi, budaya, pola pikir, dan sejenisnya.
Sebagai manusia dan bangsa yang menghargai peninggalan nenek moyangnya, upaya mempelajari, melestarikan, dan menumbuhkembangkan warisan leluhur itu Kita lakukan. Naskah-naskah klasik sebagai salah satu jenis produk budaya pada masa lampau cukup penting keberadaannya. Penting karena dalam naskah-naskah tersebut terkandung banyak hasil pemikiran pada cendikiawan pendahulu kita yang kini kita warisi. Karya-karya tersebut harus kita pelajari agar hormat kita kepada nenek moyang kita bertambah karena perkenalan kita dengan karya-karya mereka yang berkualitas.
Beragamnya warisan sastra klasik bangsa kita oleh para pakar disebutnya dengan beberapa istilah. Akan tetapi, yang dimaksud tetap sama, mengacu kepda karya-karya tradisional dari daerah-daerah nusantara. Keragaman yang ditandai bahasa yang digunakan, beragama karena budaya yang mereka kenalkan lewat karya-karyanya, beragam karena pemikiran yang mereka lontarkan. Keseragaman pada satu hal, yakni hampir semua karya mereka tidak pernah dimilikinya sebagai karya sendiri. Jarang yang mencantumkan penulis dalam karya klasik.
Penulis atau mungkin penyalin beranggapan bahwa karya itu milik bersama. Keragaman karyaklasik itu dapat ditinjau dari berbagai segi yang umum, yakni (1) naskah-naskah yang berisi teks sejarah, (2) naskah-naskah keagamaan, (3) naskah-naskah sains, dan (4) naskah-naskah kesusastraan. Naskah yang sangat berharga itu berserakan tempatnya. Banyak yang belum dikenal masyarakat. Kekhawatiran atas kepunahan nasakah ituharus diwaspadai, harus ada yang mencoba melestarikannya, harus ada yang mengenalkannya dalam bahasa sekarang. Oleh karena itu, salahsatu studi keilmuan mengarahkan pandangannya ke sana, pada naskah-naskah, yaitu filologi. Filologi merupakan salah satu bentuk usaha manusia menggali harta terpendam itu.
Lebih khusus lagi, Filologi merupakan ilmu yang bidang kajiannya adalah meneliti naskah-naskah klasik peninggalan masa lalu. Kajian atau studi yang dilakukan dalam filoogi merupakan kajian kritis karena di dalamnya ada proses memilah dan memilih dengan tingkat kehati-hatian yang sangat tinggi. Segala sesuatu dilakukan untuk mendapat naskah asli atau setidaknya mendekati keaslian. Dalam filologi, naskah yang demikian disebut naskah yang autoritatif. Penelitian naskah dalam filologi tidak hanya meneliti bentuk fisik naskah tetapi juga sampai kandungan terdalam yang ada di dalamnya. Ada upaya untuk merekonstruksi atau menghadirkan kembali ide-ide, pola pikir, atau rumusan-rumusan hikmah kehidupan yang telah dicapai para pendahulu kita. Dengan demikian filologi merupakan ilmu yang menghubungkan kita dangan landasan kokoh masa lalu agar maksimal meningkatkan kualitas kita (sebagai bangsa yang memiliki sejarah yang demikian panjang) di masa kini dan masa yang akan datang.
B. Filologi
1. Pengertian Filologi
Secara etimologis, filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang arti aslinya kegemaran berbincang-bincang. Makna filologi berkembang lagi menjadi cinta kepada kata sebagai pengejawantahan pikiran, kemudian menjadi perhatian terhadap sastra dan akhirnya studi ilmu sastra (Wagenvoort, 1947: 41 dalam Sulastin-Sutrisno, 1981: 1). Menurut Saputra (2008: 79), pengertian kata pada cinta kepada kata dapat diperluas lagi menjadi bahasa dan berkembang lagi menjadi kebudayaan, sehingga studi filologi berarti studi tentang kebudayaan masa lalu melalui naskah dan teks. Pendapat lain mengatakan bahwa, filologi berasal dari bahasa yunani yaitu berasal dari kata philos dan logos, philos yang berarti cinta dan logos yang diartikan kata. Kedua kata itu lama kelamaan berubah dari arti cinta bercakap-cakap atau suka berbincang-bincang kemudian berkembang menjadi senang belajar atau senang berbudaya. Pengkajian filologi kemudian memberi batasan kepada objek kajianya dengan mempelajari hasil kebudayaan lama yang berwujud naskah peninggalan masyarakat lama. Robson (1978: 3) menyatakan, sastra dalam bahasa-bahasa daerah yang telah timbul sebelum jaman modern disebut kalasik. Penelitiannya termasuk apa yang dinamakan filologi.
Lubis (2001: 16) menyatakan, filologi adalah pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas yang mencakup bidang sastra, bahasa, dan kebudayaan. Kemudian, menurut pengertian yang ada di dalam Kamus Istilah Filologi (1977: 10) filologi adalah ilmu yang menyelidiki perkembangan kerokhanian sesuatu bangsa dan khususnya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kasusasteraanya. Dapat dikatakan bahwa filologi merupakan ilmu bahasa yang mengungkap kandungan naskah-naskah lama sehinga dapat dimengerti oleh masyarakat pembaca sebagai generasi penerus bangsa sehingga nilai-nilai luhur, dan amanat dari nenek moyang yang terkandung di dalamnya dapat tersampaikan secara jelas.
Filologi merupakan suatu ilmu pengetahuan tentang sastra yang di dalamnya mencakup bidang kebahasaan, kesastraan, dan kebudayaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa filologi adalah ilmu tentang bahasa, kebudayaan, pranata dan sejarah suatu bangsa sebagaimana terdapat dalam bahanbahan tertulis (1994: 277). Filologi juga dapat dikatakan sebagai salah satu disiplin ilmu berkaitan dengan karya masa lampau yang berupa tulisan. Karya masa lampau dipelajari dari anggapan bahwa dalam peninggalan tulisan tersebut terkandung nilai-nilai yang masih relevan dengan masa kini.
Sementara menurut Kamus Istilah Filologi (1977: 10), filologi merupakan ilmu yang menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kekhususannya atau yang menyelidiki kebudayaan berdasarkan bahasa dan kesusastraan-nya. Baried dkk (1994: 9) menjelaskan bahwa filologi di Indonesia, awalnya dikembangkan oleh pemerintahan kolonial Belanda, bertujuan untuk mengungkap informasi masa lampau yang terkandung dalam bahan tertulis peninggalan masa lalu dengan harapan adanya nilai-nilai atau hasil budaya masa lampau yang diperlukan dalam kehidupan masa kini. Dari berbagai pendapat tentang definisi filologi, dapat disimpulkan bahwa filologi adalah ilmu yang mempelajari hasil karya masa lampau untuk memahami suatu kebudayaan di zaman dahulu dengan cara mengkaji isi teks tertulis.
2. Faktor Penyebab Lahirnya Filologi
Sebagai suatu disiplin ilmu, filologi lahir disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Baroroh-Baried, faktor-faktor penyebab lahirnya filologi sebagai disiplin ilmu adalah sebagai berikut.
a. Munculnya informasi tentang masa lampau di dalam sejumlah karya tulisan.
b. Anggapan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan tulisan masa lampau masih relevan dengan kehidupan sekarang ini.
c. Kondisi fisik dan substansi materi informasi akibat rentang waktu yang panjang.
d. Faktor sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya tulisan masa lampau yang tidak ada lagi atau tidak sama dengan latar sosial budaya pembacanya masa kini.
e. Keperluan untuk mendapatkan hasil pemahaman yang akurat (1994: 2).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa filologi merupakan salah satu disiplin ilmu atau keahlian yang mengkaji dan mempelajari tentang hasil budaya dalam arti luas (bahasa, sejarah, sastra, dan kebudayaan) yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa lampau dengan tujuan untuk mengungkapkan khazanah budaya serta perkembangan kerohanian suatu bangsa dalam segi kebudayaannya dalam arti yang luas. Oleh karena itu, filologi dapat digolongkan sebagai disiplin ilmu-ilmu kemanusiaan yang bertujuan untuk mengungkapkan hasil budaya manusia pada masa lampau yang termuat di dalam naskah dan teks lama
3. Tujuan Filologi
Secara umum, filologi bertujuan mengungkapkan hasil pemikiran, pengalaman, dan budaya yang hidup pada masa lalu. Dengan cara seperti itu muncul juga manfaatnya, yakni terkodifikasinya nilai-nilai budaya klasik, melestarikan budaya yang terkandung dalam naskah itu dan memperkenalkannya kepada masyarkat. Tujuan filologi menurut Djamaris (2002: 9) adalah sebagai berikut.
a. Mentransliterasikan teks dengan tugas utama menjaga keaslian/ciri khusus penulisan kata dan menterjemahkan teks yang ditulis dalam bahasa daerah ke bahasa Indonesia.
b. Menyunting teks dengan sebaik-baiknya dengan memperhatikan pedoman ejaan yang berlaku, penggunaan huruf kapital, tanda-tanda baca, penyusunan alinea, dan bagian-bagian cerita.
c. Mendeskripsikan kedudukan dan fungsi naskah dan teks yang diteliti supaya dapat diketahui tempat karya sastra yang diteliti itu dalam kelompok atau jenis sastra yang mana dan apa manfaat dan gunanya karya sastra itu.
d. Sebagai tambahan, tujuan kritik teks adalah membersihkan teks dari kesalahan yang mungkin terjadi selama penyalinan berulang kali itu; merekontruksi isi naskah, sehingga naskah telah tersusun kembali seperti semula; dan menjelaskan bagian-bagian cerita yang kurang jelas sehingga seluruh teks dapat dipahami.
4. Objek Penelitian Filologi
Setiap kajian ilmu mempunyai objek penelitian. Kajian ilmu filologi juga mempunyai objek sebagai sasaran untuk penelitiannya. Objek dari penelitian filologi berupa naskah dan teks. Filologi mempelajari kebudayaan masa lampau melalui teks-teks tertulis yang terdapat dalam naskah. Baried, dkk (1985: 55) mengemukakan bahwa, filologi mempunyai objek naskah dan teks. Dijelaskan juga bahwa objek penelitian filologi adalah naskah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan masa lampau.
Peninggalan suatu kebudayaan yang berupa naskah merupakan dokumen bangsa yang paling menarik bagi para peneliti kebudayaan lama, karena memiliki kelebihan yaitu dapat memberi informasi yang lebih luas. Adapun objek penelitian filologi adalah sebagai berikut.
a. Naskah
Naskah dalam bahasa Inggris disebut manuskrip dan dalam bahasa Belanda disebut handschrift adalah semua peninggalan tertulis nenek moyang pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan (Djamaris, 1977: 20). Naskah adalah karangan yang masih ditulis dengan tangan (KBBI, 1997: 684). Naskah atau manuskrip adalah karangan tulisan tangan baik asli maupun salinannya, yang mengandung teks atau rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu (Darusuprapta, 1984: 10).
Naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pemikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa pada masa lampau (BarorohBaried, 1985: 54). Pendapat tersebut kemudian diperkuat dengan pendapat yang dinyatakan oleh Suyami (1996: 220), yaitu naskah merupakan salah satu saksi dari suatu dunia berbudaya dan tradisi peradaban yang menginformasikan budaya manusia pada masanya. Naskah juga didefinisikan sebagai karangan tulisan tangan baik asli maupun salinannya, yang mengandung teks atau rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu (Onions dalam Darusuprapta, 1984: 1).
Kemudian, Baroroh-Baried (1985: 55) menyebut naskah lama yang berupa tulisan tangan dengan istilah handschrift dan manuskrip. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa naskah dapat didefinisikan sebagai karangan tulisan tangan yang asli maupun salinannya dan merupakan salah satu saksi dari dunia berbudaya serta tradisi peradaban yang mengandung teks atau rangkaian kata-kata sebagai hasil ungkapan pemikiran dan perasaan budaya masa lampau. Ungkapan pemikiran dan perasaan tersebut dapat berupa ide-ide dan gagasan-gagasan nenek moyang yang bernilai dan dapat digali untuk diterapkan dalam kehidupan masa kini. Naskah lama merupakan produk budaya masa lampau yang ditulis dalam berbagai aksara yang berkembang pada saat itu.
Aksara-aksara yang digunakan untuk menulis naskah di antaranya adalah aksara Jawa, aksara Arab Pegon, dan aksara Latin. Aksara Jawa masih dapat dibedakan menjadi beberapa ragam sesuai dengan gaya penulisannya. Ragam aksara Jawa dapat dibedakan menjadi empat. Keempat ragam aksara yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1) Mbata sarimbag, bentuk aksara menyerupai rimbag, yaitu cetakan batu bata merah yang ciri-cirinya berbentuk persegi mirip dengan batu bata merah.
2) Ngetumbar, cirinya adalah ber bentuk setengah bulat menyerupai biji ketumbar pada sudut-sudutnya tidak lagi berupa sudut siku ataupun sudut lain.
3) Mucuk eri, bentuk aksara Jawa pada bagian tertentu berbentuk sudut lancip seperti eri (duri).
4) Ragam kombinasi, aksaranya berupa kombinasi dari ketiga ragam yang telah disebutkan di atas. Kombinasi tidak hanya terjadi pada tiap-tiap aksara, tetapi juga dapat terjadi pada tiap baris, alenia, bahkan pada tiap halaman (Ismaun, 1966: 7).
Naskah yang diteliti adalah produk masa lampau yang mengandung ungkapan pemikiran dan perasaan nenek moyang yang ditulis tangan dan biasanya menggunakan aksara tradisional. Kemudian, ragam aksara yang digunakan adalah ragam kombinasi antara ragam aksara ngêtumbar dan mucuk êri. Akan tetapi, ragam aksara yang digunakan tersebut lebih terdominasi oleh ragam aksara ngêtumbar.
b. Teks
Objek penelitian selain naskah adalah teks. Teks adalah kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja (Baroroh-Baried, 1985: 56). Kandungan naskah yang menyajikan berbagai aspek sekarang sudah mulai mendapat perhatian peneliti. Hal itu disebabkan karena kandungan naskah menyimpan informasi tentang produk-produk masa lampau mempunyai relevansi dengan produk-produk jaman sekarang. Dalam penjelmaan dan penurunannya, secara garis besar dapat disebutkan adanya tiga macam teks, yaitu: (1) teks lisan atau tidak tertulis, (2) teks naskah atau tulisan tangan, dan (3) teks cetakan (Baroroh-Baried, 1985: 56).
Ahli lain mengatakan bahwa teks artinya kandungan naskah, sesuatu yang abstrak, dan hanya dapat dibayangkan saja (Baroroh-Baried, 1985: 56). Onions (1974: 913 dalam Darusuprapta, 1984: 1), mendefinisikan teks sebagai rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu. Pendapat lain diungkapkan oleh Istanti (2010: 14) bahwa teks adalah informasi-informasi yang terkandung di dalam naskah. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa teks merupakan bagian yang abstrak dari suatu naskah. Teks hanya dapat dibayangkan saja dan dapat diketahui isinya jika sudah dibaca. Isi dari teks adalah berupa ide-ide, informasi, pesan atau amanat yang akan disampaikan oleh pengarang kepada pembaca. Menurut de Han, terjadinya teks diakibatkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu:
1) aslinya hanya ada dalam ingatan pengarang,
2) aslinya adalah berbentuk teks tertulis, yaitu berupa kerangka yang masih memerlukan kebebasan seni,
3) aslinya merupakan teks yang tidak mengizinkan adanya kebebasan dalam pembawaannya karena pengarang telah menentukan pilihan kata, urut-urutan kata, dan komposisi untuk memenuhi maksud tertentu yang ketat dalam bentuk literer (1993 dalam Baroroh-Baried, 1985: 57)
Kemudian, untuk mengetahui kandungan teks dan seluk beluk teks dapat dilakukan penelitian lebih mendalam dengan tekstologi. Tekstologi, yaitu ilmu yang meneliti tentang penjelmaan dan penurunan teks serta penafsiran dan pemahaman tentang teks.
Teks merupakan sesuatu yang tertulis berupa kode-kode bahasa, baik itu berupa teks lisan, teks tertulis, maupun teks rekaman. Istilah teks sebenarnya berasal dari kata text yang berarti tenunan. Teks dalam filologi diartikan sebagai tenunan kata-kata, yakni serangkaian kata-kata yang berinteraksi membentuk satu kesatuan makna yang utuh. Teks dapat terdiri dari beberapa kata, namun dapat pula terdiri dari milyaran kata yang tertulis dalam sebuah naskah berisi cerita yang panjang.
Teks menurut Baried (1994: 57) adalah kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang abstrak yang hanya dapat dibayangkan saja. Perbedaan antara naskah dan teks menjadi jelas apabila terdapat naskah muda tetapi mengandung teks yang tua. Teks terdiri dari isi, yaitu ide-ide atau amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembacanya. Dan bentuk, yaitu cerita dalam teks yang dapat dibaca dan dipelajari menurut berbagai pendekatan melalui alur, perwatakan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Istilah lain dari naskah ialah manuskrip berasal dari bahasa Inggris manuscript. Kata manuscript diambil dari ungkapan Latin Codicesmanu scripti, artinya buku-buku yang ditulis dengan tangan dan scriptusx, berasal dari scribere yang berarti menulis. Dalam bahasa lain istilah naskah atau manuskrip sama dengan kata handschrift (bahasa Belanda). Penulisan dalam katalog kata manuscript biasanya disingkat ms untuk bentuk tunggal, mss untuk bentuk jamak, sedangkan kata handschrift disingkat hs untuk bentuk tunggal, dan hss untuk bentuk jamak.
Naskah adalah benda material tempat suatu teks dituliskan. Dapat dikatakan juga bahwa naskah adalah suatu karangan tulisan tangan baik yang asli maupun salinan, yang mengandung teks atau rangkaian kata-kata yang merupakan bacaan dengan isi tertentu (Darusuprapta 1984: 10). Menurut Djamaris (1997: 55), Naskah merupakan peninggalan tertulis nenek moyang pada kertas, lontar, kulit kayu dan rotan. Naskah atau teks adalah sebuah hasil karya yang penyambutannya ditafsirkan, dihayati, disampaikan sesuai dengan keperluan dan minat pembaca, serta manfaat teks itu sendiri, Teuw (1984: 122).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa filologi mempunyai sasaran kerja yang berupa naskah dan objek kajian filologi berupa teks, yakni informasi yang terkandung dalam naskah, yang sering disebut juga dengan muatan naskah. Jadi objek penelitian filologi adalah teks dan naskah yang di dalamnya terkandung nilai-nilai budaya di masa lalu.
5. Cara Kerja Penelitian Filologi
Cara kerja atau langkah kerja penelitian filologi adalah tahapan kerja dalam penelitian filologi yang memiliki keterkaitan antartahapannya. Adapun cara kerja atau langkah kerja dari penelitian filologi secara berurutan adalah sebagai berikut.
a. Pengumpulan Data atau Inventarisasi Naskah
Ada dua hal yang perlu dilakukan agar suatu karya klasik dapat dibaca atau dimengerti, yakni menyajikan dan menafsirkan (Robson, 1994: 12). Begitu juga dengan filologi, untuk menyajikan dan menafsirkan dalam penelitian filologi ada beberapa langkah yang diperlukan. Untuk memilih naskah yang akan diteliti, langkah pertama adalah dengan mengiventarisasi semua naskah sejenis, atau varian-variannya. Varian-varian suatu naskah dapat diketahui melalui katalog dengan koleksi naskah, baik pribadi, lembaga, swasta, milik negara, maupun dari luar negeri (Djamaris, 1977: 24). Inventarisasi naskah adalah kegiatan mengumpulkan informasi mengenai keberadaan naskah-naskah yang mengandung teks sekorpus.
Naskah-naskah yang mengandung teks sekorpus, yaitu naskah-naskah yang mengandung teks sejudul, yang dapat tercantum pada sampul naskah luar atau sampul dalam naskah. Meskipun demikian, menurut Saputra (2008:81) tidak berarti bahwa naskah-naskah yang mengandung teks sejudul berarti mengandung teks sekorpus atau sebaliknya ada kemungkinan naskah-naskah yang tidak sama judulnya tetapi mengandung teks sekorpus. Sebelum melakukan inventarisasi naskah, langkah awal yang harus dilakukan adalah menentukan teks atau naskah yang akan diteliti. Kemudian, teks dan naskah yang akan ditentukan untuk diteliti perlu dipertimbangkan dari berbagai segi.
Menurut Surono (tanpa tahun: 5), penting tidaknya suatu naskah digarap perlu dipertimbangkan dari berbagai segi di antaranya adalah naskah dipertimbangkan dari segi bobot ilmiah, manfaat bagi pembangunan bangsa, dan sebagainya. Pengumpulan data atau inventarisasi naskah dapat dilakukan dengan beberapa metode, seperti metode studi pustaka dan metode studi lapangan (field research). Metode studi pustaka menggunakan sumber data berupa katalogus naskah yang berada di berbagai perpustakaan dan museum.
Hasil dari pengumpulan data atau inventarisasi naskah adalah berupa daftar mengenai sejumlah naskah (sekorpus) yang akan menjadi sumber data penelitian, yaitu judul naskah, nomor koleksi, tempat penyimpanan, pemilik naskah, dan sebagainya. Saputra (2008: 82) berpendapat bahwa hasil dari inventarisasi naskah sekaligus memungkinkan dapat menentukan eliminasi naskah (pencoretan naskah dari daftar naskah-naskah yang akan diteliti karena berbagai alasan pada tahap awal).
b. Studi Katalog
Katalog adalah buku yang memuat daftar naskah Jawa yang ditulis tangan ataupun cetak yang menguraikan tentang keadaan naskah atau teks dengan ringkas (Mulyani, 2009a: 2). Di dalam katalog (Behrend, 1990) disebutkan bahwa jenis isi naskah Jawa beraneka macam, yaitu jenis (1) sejarah, (2) sarasilah, (3) hukum, (4) wayang, (5) sastra wayang, (6) sastra, (7) piwulang, (8) Islam, (9) primbon, (10) bahasa, (11) musik, (12) tari-tarian, (13) adat-istiadat, dan (14) lain-lain, yaitu teks-teks yang tidak dapat digolongkan ke dalam ketiga belas jenis tersebut dimasukkan ke dalam jenis teks lain-lain.
Setelah melakukan inventarisasi semua jenis naskah, langkah selanjutnya yaitu melakukan studi katalog. Setelah naskah yang akan diteliti sudah ditetapkan berdasarkan studi katalog, selanjutnya melakukan pengamatan langsung di perpustakaan Setelah melakukan pengamatan naskah yang diteliti secara langsung dan sudah melihat kondisi naskah, maka dipilih sebagai bahan penelitian.
Dalam metode studi pustaka, sumber yang digunakan sebagai acuan tidak hanya mengacu pada satu sumber. Sumber lain yang dapat digunakan selain katalog adalah berupa buku-buku atau daftar naskah yang terdapat di perpustakaan, museum, dan instansi lain yang menaruh perhatian terhadap naskah lama. Seperti telah disebutkan di atas bahwa kegiatan inventarisasi naskah selain dapat dilakukan dengan metode studi pustaka, juga dapat dilakukan dengan metode studi lapangan (field research). Metode studi lapangan (field research) merupakan kegiatan inventarisasi naskah yang dilakukan dengan mengadakan pelacakan keberadaan naskah di tempat penyimpanan, yaitu sebagai koleksi dari museum, perpustakaan, maupun koleksi pribadi perseorangan. Beberapa hal yang perlu diketahui terlebih dahulu dalam melakukan studi lapangan adalah tempattempat yang menyimpan naskah, sehingga diperlukan instrumen penelitian yang berupa kuisioner yang antara lain berisi pertanyaan tentang asal-usul naskah, pemilik naskah, fungsi naskah, dan kedudukan naskah tersebut.
c. Deskripsi Naskah
Deskripsi naskah adalah penyajian informasi mengenai kondisi fisik naskah-naskah yang menjadi objek penelitian (Saputra, 2008: 83). Selain melakukan deskripsi naskah, sebaiknya juga melakukan deskripsi teks, hal tersebut disebabkan karena yang menjadi objek dari penelitian filologi adalah naskah dan teks. Deskripsi teks adalah penjelasan untuk menggambarkan keadaan teks untuk memberikan keterangan bagaimana cara mengkaji teks yang akan diteliti (Mulyani, 2009a: 9). Deskripsi naskah secara terperinci dapat dilakukan setelah memperoleh naskah melalui inventarisasi naskah.
Metode yang digunakan dalam deskripsi naskah adalah metode deskriptif. Semua naskah dideskripsikan dengan pola yang sama, yaitu nomor naskah, ukuran naskah, keadaan naskah, tulisan naskah, bahasa, kolofon, garis besar isi cerita, dan sebagainya. Hal tersebut dilakukan untuk memudahkan tahap penelitian selanjutnya, yaitu berupa pertimbangan (recentio) dan pengguguran (eliminatio). Kemudian, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan deskripsi naskah adalah sebagai berikut.
1) Koleksi siapa, disimpan di mana, nomor kodeks berapa.
2) Judul apa, bagaimana, berdasarkan keterangan dalam teks oleh penulis pertama, atau berdasarkan keterangan yang diberikan bukan oleh penulis pertama.
3) Pengantar (manggala dan doksologi), uraian pada bagian awal di luar isi teks: waktu mulai penulisan, tempat penulisan, nama diri penulis, alasan penulisan, tujuan penulisan, harapan penulis, pujaan kepada Dewa Pelindung atau Tuhan Yang Maha Esa, pujian kepada penguasa pemberi perintah atau nabi-nabi.
4) Penutup (kolofon), uraian pada bagian akhir di luar isi teks: waktu menyelesaikan penulisan, tempat penulisan, nama diri penulis, alasan penulisan, tujuan penulisan, harapan penulis.
5) Ukuran teks: lebar x panjang teks, jumlah halaman teks, sisa halaman kosong.
6) Ukuran naskah: lebar x panjang naskah, tebal naskah, jenis bahan naskah, (lontar, bambu, dluwang, kertas), tanda air.
7) Isi; lengkap atau kurang, terputus atau hanya fragmen, hiasan gambar, prosa atau puisi, jika prosa berapa rata-rata jumlah baris tiap halaman, berapa ratarata jumlah kata tiap halaman, jika puisi berapa jumlah pupuh, apa saja nama tembangnya, berapa jumlah bait pada tiap pupuhnya.
8) Termasuk ke dalam golongan jenis naskah apa, bagaimanakah ciri-ciri jenis itu (harus diakui belum ada pembagian jenis naskah yang seragam).
9) Tulisan :
jenis aksara/huruf : Jawa/Jawi/Bali/Latin/Bugis/Lampung
bentuk aksara/huruf : persegi/bulat
ukuran aksara/huruf : besar/kecil/sedang
sikap aksara/huruf : tegak/miring
goresan aksara/huruf : tebal/tipis
warna tinta : hitam/coklat
goresan tinta : jelas/kabur
10) Bahasa : baku, dialek, campuran, pengaruh lain.
11) Catatan oleh tangan lain :
di dalam teks : halaman berapa, di mana, bagaimana
di luar teks pada pias tepi: halaman berapa, di mana, bagaimana
12) Catatan di tempat lain: dibicarakan dalam daftar naskah/ katalogus/ artikel mana saja, bagaimana hubungannya satu dengan yang lain, kesan tentang mutu masing-masing (Mulyani, 2009b: 31-32).
Menurut Saputra (2008: 84), ada dua model deskripsi yang dapat digunakan, yaitu model tabel dan model paparan. Keduanya masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Oleh karena itu, kedua model deskripsi tersebut apabila diterapkan secara bersamaan akan saling melengkapi. Seperti telah disebutkan di atas bahwa deskripsi yang disajikan dalam bentuk tabel dan paparan, masing-masing mempunyai keunggulan dan kelemahan. Adapun keunggulan dari deskripsi yang disajikan dengan model tabel, yaitu deskripsi naskah dan teks menjadi lebih jelas dan mudah dipahami oleh pembaca sedangkan kelemahannya, yaitu deskripsi naskah dan teks yang disajikan kepada pembaca kurang dapat membawa pembaca berimajinasi terhadap naskah yang dideskripsikan.
Saputra (2008: 88) menjelaskan bahwa deskripsi naskah yang disajikan dengan model paparan, secara teknis lebih mudah diterapkan dan juga, lebih memberikan informasi yang luas mengenai segala hal yang berkaitan dengan naskah dan segala hal yang ditemui secara inderawi pada setiap halaman naskah. Adapun kelemahan dari deskripsi model paparan, yaitu pembaca tidak dapat secara langsung mengetahui rincian informasi mengenai keadaan naskah yang dideskripsikan karena pembaca harus membaca deskripsi yang disajikan dengan paparan tersebut secara keseluruhan.
d. Pembacaan
Setelah melakukan deskripsi naskah, langkah selanjutnya adalah pembacaan teks isi naskah. Hal itu bertujuan untuk mengungkap isi teks. Pembacaan teks dilakukan dari kata perkata.
e. Transliterasi
Transliterasi adalah penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf, dari abjad yang satu ke abjad yang lain (Baroroh-Baried, dkk, 1985: 65). Transliterasi penting untuk memperkenalkan teks-teks lama yang ditulis dengan aksara Jawa,karena sebagian masyarakat tidak begitu mengenal lagi terhadap aksara Jawa. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, transliterasi adalah penyalinan dengan penggantian huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Robson (1994:24), transliterasi didefinisikan sebagai pemindahan dari satu tulisan ke tulisan yang lain. Berbeda dengan pendapat Robson, Barried dan Lubis memiliki pemikiran yang hampir sama. Barried (1983:65) menjelaskan transliterasi adalah penggantian jenis tulisan, huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain.
Lubis (2001:80) mengartikan bahwa transliterasi adalah penggantian huruf atau pengalihan huruf demi huruf dari satu abjad ke abjad yang lain. Tidak berbeda jauh dengan pendapat Barried dan Lubis, Djamaris (1977:29) menjelaskan bahwa transliterasi adalah penggantian atau pengalihan huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Transliterasi dibagi menjadi dua (Robson, 1994 dalam Mulyani, 2008: 7), yaitu: (1) transliterasi diplomatik, yaitu transliterasi sesuai apa adanya, (2) transliterasi standar, yaitu transliterasi yang disesuaikan dengan ejaan yang berlaku.
f. Suntingan
Salah satu hasil kerja penelitian filologi adalah menyajikan suntingan teks. Suntingan teks adalah teks yang telah mengalami pembetulan-pembetulan dan perubahan-perubahan, sehingga bersih dari segala kekeliruan (Darusuprapta, 1984: 5). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 977), menyunting artinya menyiapkan naskah yang siap diterbitkan dengan memperhatikan segi sistematika penyajian isi, isi, dan bahasa.
Suntingan teks, menurut Wiryamartana (1990: 30-32) ada dua macam, yaitu suntingan teks edisi diplomatik dan suntingan teks edisi standar. Suntingan teks edisi diplomatik dibuat dengan maksud agar pembaca dapat mengetahui teks dari naskah sumber. Suntingan teks edisi standar, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan dan ketidakajegan-ketidakajegan serta ejaannya disesuaikan dengan ketentuan ejaan yang berlaku. Pada suntingan teks edisi standar diadakan pembagian kata atau pembagian kalimat, serta diberikan komentar mengenai kesalahan teks. Suntingan teks dengan perbaikan bacaan terdapat campur tangan peneliti sehingga teks dapat dipahami.
Suntingan teks merupakan teks yang telah mengalami pembetulan-pembetulan dan perubahan-perubahan, sehingga dianggap bersih dari segala kekeliruan (Darusuprapta, 1984: 5). Untuk menyajikan bacaan yang bersih dan terhindar dari tulisan yang rusak, harus mengadakan kritik teks yang alatnya berupa aparat kritik. Aparat kritik merupakan pertanggungjawaban ilmiah dari kritik teks yang berisi kelainan bacaan yang ada dalam suntingan teks atau penyajian teks yang sudah bersih dari korup (Mulyani, 2005: 26).
Suntingan teks adalah teks yang telah mengalami pembetulan-pembetulan dan perubahan-perubahan, sehingga bersih dari segala kekeliruan (Darusuprapta, 1984: 5). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991: 977), menyunting berarti menyiapkan naskah yang siap diterbitkan dengan memperhatikan segi sistematika penyajian, isi, isi, dan bahasa.
Menyunting adalah proses yang terjadi setelah transliterasi, kegiatan ini dilakukan agar teks dapat lebih dimengerti, tidak hanya sekedar dibaca namun juga dapat dipahami dan dimengerti. Ini diperjelas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996:977), menyunting adalah menyiapkan naskah siap cetak atau siap diterbitkan dengan memperhatikan segi sistematika penyajian isi, dan bahasa (menyangkut ejaan, diksi, dan struktur). Metode penyuntingan ini dapat dibedakan menjadi dua yaitu penyuntingan naskah tunggal dan penyuntingan naskah jamak (lebih dari satu). Adapun metode penyuntingan naskah tunggal dilakukan melalui dua cara, yakni diplomatik dan standar. Masing-masing diuraikan di bawah ini.
1) Edisi Diplomatik
Edisi diplomatik adalah edisi dimana teks disajikan seteliti-telitinya tanpa perubahan, teks disajikan sebagaimana adanya tanpa ada perbaikan atau perubahan dari editor. Tujuan dari edisi ini adalah mempertahankan kemurnian teks. Jika seseorang ingin memberikan contoh kepada pembacanya mengenai cara sebuah teks untuk dideklamsikan diungkapkan dalam naskah yang dimaksudkan untuk itu, maka bentuk publikasi yang sesuai adalah jiplakan dan edisi diplomatis.
Jiplakan adalah reproduksi fotografi dari naskah, halaman demi halaman, yang tidak membolehkan penambahan atau pengurangan apapun. Diplomatis adalah menyajikan teks persis, seperti yang terdapat dalam sumber naskah. Robson (1994: 25) menjelaskan kelebihan dan kekurangan penggunaan edisi diplomatis. Keuntungan penggunaan diplomatis ini adalah memperlihatkan secara tepat cara mengeja kata-kata dari naskah itu, yang merupakan gambaran nyata mengenai konvensi pada waktu dan tempat tertentu, dan juga memperlihatkan secara tepat cara penggunaan tanda baca di dalam teks itu, suatu hal yang dapat membawa konsekuensi bagi interpretasi dan apresiasi terhadap cara naskah itu digunakan. Untuk kekurangannya ialah bahwa pembaca tidak dibantu, padahal pembaca tidak mengenal dengan gaya atau isinya, sehingga pembaca harus berjuang sendiri dengan keanehan, kesulitan, atau perubahan apa saja yang mungkin dikandung teks itu.
Menurut Baried, dkk (1994:67-68) apabila hanya ada naskah tunggal dari suatu tradisi sehingga perbandingan tidak dilakukan, dapat ditempuh dua jalan. Pertama edisi diplomatik yaitu menerbitkan suatu naskah yaitu seteliti-telitinya tanpa mengadakan perubahan. Dari segi teoritis metode ini paling murni karena tidak ada unsur campur tangan dari pihak editor. Namun dari segi praktis kurang disukai pembaca. Djamaris (1991:16) menambahkan bahwa edisi diplomatik biasanya digunakan apabila isi dalam naskah itu dianggap suci atau dianggap penting dari segi sejarah kepercayaan atau bahasa sehingga diperlukan perlakuan khusus. Oleh Karena itu penggunaan edisi diplomatik ini bertujuan untuk memperhatikan kemurnian teks.
2) Edisi Standar
Edisi ini digunakan apabila naskah yang ada dianggap sebagai cerita biasa, bukan cerita yang dianggap suci atau penting dari sudut agama atau bahasa sehingga tidak perlu diperlakukan secara khusus atau istimewa. Lubis (2001:96) menjelaskan edisi standar adalah suatu usaha perbaikan dan penelusuran teks sehingga terhindar dari berbagai kesalahan dan penyimpangan-penyimpangan yang timbul ketika proses penelitian.
Tujuan metode ini adalah untuk menghasilkan suatu metode baru yang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat misalnya dengan mengadakan pembagian alineaalinea, huruf besar dan kecil, penambahan dan pengurangan kata sesuai EYD, memuat penafsiran atau interprestasi setiap bagian atau kata-kata yang perlu penjelasan sehingga teks dapat mudah dibaca dan dipahami oleh pembaca sebagai masyarakat modern. Kelebihan dari edisi standar ini adalah suatu naskah lebih banyak membantu pembaca. Pembaca dibantu mengatasi berbagai kesulitan yang bersifat tekstual atau yang berkenaan dengan interpretasi dan dengan demikian terbebas dari kesulitan mengerti isinya (Robson 1994:25).
Dari dua edisi yang telah dijelaskan di atas, penelitian terhadap SKNG menggunakan edisi standar. Edisi ini digunakan karena agar suntingan teks dalam naskah ini dapat dilakukan perbaikan dan pembenahan teks sehingga terhindar dari kesalahan yang timbul ketika proses penyalinan. Selain itu, agar menghasilkan edisi yang sesuai dengan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Adapun hal-hal yang perlu dilakukan dalam metode standar menurut Djamaris (1991:15) adalah sebagai berikut. 1) mentransliterasikan teks, 2) membetulkan kesalahan teks, 3) membuat catatan perbaikan atau perubahan, 4) memberikan komentar, tafsiran (informasi diluar teks), 5) membagi teks menjadi beberapa bagian, 6) menyusun daftar kata sukar (glosarium).
Suntingan teks, menurut Wiryamartana (1990: 30-32) ada dua macam, yaitu suntingan teks edisi diplomatik dan suntingan teks edisi standar. Suntingan teks edisi diplomatik dibuat dengan maksud agar pembaca dapat mengetahui teks dari naskah sumber. Suntingan teks edisi standar, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan dan ketidakajegan-ketidakajegan serta ejaannya disesuaikan dengan ketentuan ejaan yang berlaku. Pada suntingan teks edisi standar diadakan pembagian kata atau pembagian kalimat, serta diberikan komentar mengenai kesalahan teks. Suntingan teks dengan perbaikan bacaan terdapat campur tangan peneliti sehingga teks dapat dipahami.
Suntingan teks merupakan teks yang telah mengalami pembetulan-pembetulan dan perubahan-perubahan, sehingga dianggap bersih dari segala kekeliruan (Darusuprapta, 1984: 5). Untuk menyajikan bacaan yang bersih dan terhindar dari tulisan yang rusak, harus mengadakan kritik teks yang alatnya berupa aparat kritik. Aparat kritik merupakan pertanggungjawaban ilmiah dari kritik teks yang berisi kelainan bacaan yang ada dalam suntingan teks atau penyajian teks yang sudah bersih dari korup (Mulyani, 2005: 26).
g. Terjemahan
Dalam bukunya yang berjudul Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia Robson (1994:14) menjelaskan bahwa terjemahan adalah cara merekam interpretasi yang dianggap terbaik oleh penyunting, sebagai hasil dari studi yang lama dan cermat. Danusuparta (1984:9) berpendapat bahwa terjemahan merupakan pergantian bahasa dari bahasa satu ke bahasa yang lain atau pemindahan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Dari uraian terjemahan di atas, terdapat tiga cara menerjemahkan teks, yaitu 1) terjemahan lurus, adalah terjemahan kata demi kata sedekat mungkin dengan aslinya, yang digunakan untuk membandingkan segi ketatabahasaan, 2) terjemahan isi dan makna, kata-kata yang ada dalam bahasa sumber kemudian diimbangi salinannya dalam bahasa sasaran yang sepadan, dan 3) terjemahan bebas, yaitu keseluruhan teks dalam bahasa sumber dialihkan ke bahasa sasaran secara bebas.
Menurut Mulyani (2009: 28), terjemahan inggih menika ngewahi basa saking basaning teks utawi basa sumber-ipun dhateng basa sasaran-ipun utawi basa ingkang sampun dipunpilih kajumbuhaken kaliyan ancasipun. Terjemahan adalah suatu langkah dalam kajian filologi yang berupa penggantian bahasa naskah ke dalam bahasa lain, misalnya saja dari bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar lebih mudah dipahami masyarakat secara umum.
Terjemahan dilakukan sedekat-dekatnya dengan makna masing-masing kata pada bahasa sumber dan konteks kalimatnya. Secara teknis, dalam terjemahan dimungkinkan mengubah susunan atau kalimat. Untuk menyelaraskan kalimat, maka bila diperlukan bisa dilakukan dengan menghilangkan atau menambah awalan atau akhiran pada kata atau kalimat tersebut. Menurut Darusuprapta (1984: 9), terjemahan dapat dibedakan menjadi tiga macam. Adapun macam-macam terjemahan tersebut adalah :
a) terjemahan harafiah, yaitu terjemahan kata demi kata, dekat dengan aslinya, berguna untuk membandingkan segi-segi ketatabahasaan,
b) terjemahan isi atau makna, yaitu kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa sumber diimbangi salinannya dengan kata-kata bahasa sasaran yang sepadan, dan
c) terjemahan bebas, yaitu keseluruhan teks bahasa sumber diganti dengan bahasa sasaran secara bebas.
h. Pemaknaan Teks
Setelah teks diterjemahkan, langkah yang terakhir adalah melakukan pemaknaan teks. Pemaknaan merupakan usaha untuk mengungkap isi teks. Tujuan pemaknaan teks, memahami, serta mengambil nilai positif dari isi yang terkandung dalam teks.
Berdasarkan keadaan teks dan tujuan penelitian yang pada dasarnya adalah mengungkap isi naskah, maka diperlukan kerja hermeneutik. Hermeneutik adalah ilmu atau teknik memahami karya sastra atau ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya (Teeuw, 1984: 123). Hermeneutik yang digunakan untuk menafsirkan karya sastra tersebut, dilakukan dengan memahami unsur-unsur secara keseluruhan. Metode pemaknaan lain yang digunakan adalah heuristik. Pada tahap ini penulis menemukan arti secara linguistik berdasarkan kemampuan linguistiknya. Proses pemaknaan sebenarnya terjadi dalam pikiran pembaca.
i. Alih Tulis Teks
Salah satu tujuan dari penelitian filologi adalah pengalihtulisan atau pengalihaksaraan suatu teks. Artinya, dengan adanya alih tulis pembaca dapat dengan leluasa membaca teks-teks lama peninggalan nenek moyang dengan bahasa yang dimengerti oleh pembaca masa kini. Menurut Mulyani (2009b: 20), suatu teks supaya dapat dibaca dan dipahami hendaknya teks itu (1) ditulis dengan aksara yang masih berlaku, (2) sudah dibersihkan dari tulisan yang rusak (korup), dan (3) disajikan dengan bahasa yang dapat dipahami oleh masyarakat masa kini. Tahap alih tulis teks terdiri atas transliterasi teks, suntingan teks, dan penyajian aparat kritik. Penjelasan lebih lanjut mengenai ketiga langkah kerja tersebut adalah sebagai berikut.
1) Transliterasi teks
Transliterasi teks merupakan salah satu tahap atau langkah dalam penyuntingan teks yang berupa penggantian huruf demi huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain (Djamaris, 1977: 29). Misalnya, teks yang ditulis dengan huruf atau aksara Jawa dan Arab Pegon dialihtulis atau diganti ke huruf atau aksara Latin. Mulyani (2009a: 13) mendefinisikan transliterasi sebagai alih tulis yang disajikan dengan jenis tulisan yang berbeda dengan tulisan yang digunakan dalam naskah yang disalin. Sifat aksara pada naskah yang ditransliterasikan berbeda dengan aksara Latin. Oleh karena itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika melakukan transliterasi teks. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam transliterasi teks adalah sebagai berikut.
a) tata tulis aksara yang digunakan dalam naskah dan sifat aksara yang akan digunakan untuk mengalihtuliskannya,
b) sifat aksara dalam naskah dan sifat aksara yang akan digunakan untuk mengalihtuliskannya (dalam hal pemisahan kata),
c) ejaan, yaitu untuk mempertahankan bentuk variasi ejaan naskah, pengejaan kata pinjaman terutama dalam teks yang berbentuk puisi, dan
d) fungtuasi, berupa tanda baca yang berfungsi sebagai tanda penuturan kalimat (koma, titik koma, titik, titik dua, tanda tanya, tanda seru, dan tanda petik) serta tanda metra yang berfungsi sebagai tanda pembagian puisi, yaitu pembatas larik, pembatas bait, dan tembang (Mulyani, 2009b: 21).
Pada tahap transliterasi teks, seorang filolog mempunyai dua tugas pokok yang harus dilakukan. Pertama, menjaga kemurnian bahasa lama dalam naskah, khususnya penulisan kata. Penulisan kata yang menunjukkan ciri ragam bahasa lama dipertahankan bentuk aslinya, tidak disesuaikan penulisannya dengan penulisan kata menurut EYD dengan tujuan agar bahasa lama dalam naskah tidak hilang. Kedua, menyajikan teks sesuai dengan pedoman ejaan yang berlaku sekarang, khususnya teks yang tidak menunjukkan ciri bahasa lama yang disebutkan dalam tugas pertama di atas (Djamaris, 2002: 19-21). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ada dua metode transliterasi yang dapat digunakan agar tugas filolog dapat tercapai, yaitu transliterasi diplomatik dan transliterasi standar.
Transliterasi diplomatik, yaitu alih tulis dari aksara teks ke dalam aksara sasaran dengan tidak mengadakan perubahan pada teks yang disalin atau sesuai apa adanya, sehingga kemurnian teks dapat terjaga dengan mempertahankan bentuk aslinya dan tidak disesuaikan dengan pedoman Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Wiryamartana (1990: 30) menambahkan bahwa tujuan transliterasi dengan terbitan diplomatik, yaitu agar pembaca dapat mengikuti teks, seperti yang termuat dalam naskah sumber. Tujuan lain dari adanya transliterasi dengan terbitan diplomatik disebutkan oleh Suyami (2001: 28), yaitu untuk memberikan deskripsi atau gambaran yang lebih jelas mengenai keseluruhan isi teks dengan apa adanya.
Transliterasi standar adalah alih tulis yang merupakan pengulangan dari transliterasi diplomatik dengan cara menghilangkan hambatan-hambatan untuk pemahaman teks (Wiryamartana, 1990: 32). Artinya, agar suatu teks dapat dipahami oleh pembaca maka teks dialihaksarakan dari aksara yang digunakan dalam teksnya ke dalam aksara sasaran dengan membetulkan teks-teks yang salah disesuaikan dengan suatu sistem ejaan yang benar atau disesuaikan dengan Ejaan yang Disempurnakan (EYD).
Hasil dari transliterasi standar tersebut merupakan dasar untuk melakukan suntingan teks agar teks yang dihasilkan bersih dari bacaan yang korup, sehingga dapat memudahkan pembacaan isi naskah bagi pembaca yang kurang paham terhadap huruf/aksara daerah dan untuk mempercepat pemahaman isi naskah dalam kepentingan penelitian naskah.
b) Suntingan teks
Setelah teks ditransliterasikan, langkah selanjutnya adalah mengadakan suntingan teks. Darusuprapta (1984: 5) mendefinisikan suntingan teks sebagai suatu cara yang dilakukan dalam langkah kerja penelitian filologi dengan mengadakan pembetulan-pembetulan, perubahan, penambahan, maupun pengurangan dengan harapan teks yang dihasilkan bersih dari segala kekeliruan. Menurut Baroroh-Baried (1985: 69), suntingan teks dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu suntingan teks edisi diplomatik dan suntingan teks edisi standar. Suntingan teks diplomatik memperlihatkan secara tepat cara mengeja kata-kata dari naskah tesebut yang merupakan gambaran nyata mengenai konvensi pada waktu dan tempat tertentu dan juga, memperlihatkan cara penggunaan tanda baca yang tepat di dalam teks tersebut (Robson, 1988: 20).
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa suntingan edisi diplomatik dilakukan dengan tujuan agar pembaca dapat mengetahui teks dari naskah sumber. Suntingan teks edisi standar, yaitu menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakajegan serta ejaannya disesuaikan dengan sistem ejaan yang berlaku.
Di dalam suntingan teks edisi standar diadakan pembagian kata, pembagian kalimat, digunakan huruf kapital, pungtuasi, dan juga diberikan komentar mengenai kesalahan-kesalahan yang terdapat di dalam teks (Baroroh-Baried, 1985: 69). Suntingan teks dengan melakukan perbaikan bacaan terdapat campur tangan peneliti dengan tujuan agar teks dapat dimengerti dan dipahami isinya oleh pembaca.
c) Penyajian aparat kritik
Penyajian kritik teks dalam penelitian ini disertai dengan adanya aparat kritik (aparatus criticus). Menurut Mulyani (2009b: 29) aparat kritik (aparatus criticus) adalah pertanggungjawaban ilmiah dari kritik teks yang berisi kelainan bacaan (variae lectiones atau varian) yang ada dalam suntingan teks atau penyajian teks yang sudah bersih dari korup. Oleh karena itu, aparat kritik digunakan untuk menjelaskan segala perubahan, pengurangan, dan penambahan yang dilakukan sebagai bentuk pertanggungjawaban ilmiah dalam suatu penelitian naskah. Jadi, apabila dalam suatu penelitian diadakan perubahan, penambahan, maupun pengurangan maka dicatat dalam aparat kritik.
Penyajian aparat kritik dalam suntingan disebutkan oleh Mulyani (2009b: 29-30) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) dicantumkan di bawah teks sebagai catatan kaki atau (2) dilampirkan di belakang suntingan teks sebagai catatan halaman.
j. Terjemahan Teks
Terjemahan adalah pemindahan arti dari bahasa satu ke bahasa lain atau pemindahan makna dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Terjemahan teks dilakukan dengan tujuan agar masyarakat yang tidak paham dengan bahasa teks dapat memahami isi teksnya, sehingga amanat atau pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami oleh pembaca. 32 Proses pemindahan bahasa saat melakukan terjemahan teks harus dilakukan secara teliti dan jelas agar didapatkan hasil terjemahan teks yang baik.
Menurut Darusuprapta (1984: 9), keberhasilan terjemahan teks bergantung kepada beberapa hal di antaranya adalah, a) Pemahaman yang sebaik-baiknya terhadap bahasa sumber, yaitu bahasa yang diterjemahkan. b) Penguasaan yang sempurna terhadap bahasa sasaran, yaitu bahasa yang digunakan untuk menterjemahkan, c) Pengenalan latar belakang penulisan, baik tentang diri penulisnya maupun masyarakat bahasanya.
Metode terjemahan teks terdiri atas bermacam-macam metode. Menurut Darusuprapta (1984: 9), metode terjemahan teks tersebut dapat diringkas hanya menjadi tiga. Ketiga metode terjemahan teks yang dimaksud adalah sebagai berikut.
1) Terjemahan harfiah, yaitu terjemahan kata demi kata, dekat dengan aslinya, berguna untuk membandingkan segi-segi ketatabahasaan.
2) Terjemahan isi atau terjemahan makna kata yaitu kata-kata yang diungkapkan dalam bahasa sumber diimbangi salinannya dengan kata-kata bahasa sasaran yang sepadan.
3) Terjemahan bebas, yaitu keseluruhan teks dari bahasa sumber diganti dengan bahasa sasaran secara bebas. Terjemahan teks pada tulisan ini dilakukan secara kontekstual dengan menggunakan ketiga metode terjemahan teks.
6. Manfaat Filologi
Secara umum manfaat filologi adalah menjaga kelestarian warisan luhur nenek moyang yang terkanding dalam naskah-naskah klasik. Dengan filologi naskah-naskah yang diambang kerusakan bisa diselamatkan. Lebih jauh dari itu hasil kerja filologi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dari berbagai bidang pekerjaan dan cabang ilmu untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan mereka di bidangnya masing-masing.
Dilihat dari pelestarian dan pengembangan budaya dan sastra daerah, filologi bernilai strategis. Objek studi filologi berasal dari berbagai daerah di nusantara yang dengan sendirinya membantu pelestarian dan pengembangan budaya dan sastra daerah. Rekonstruksi historis jadi mungkin dilakukan karena hasil kerja filologi. Selain rekonstruksi historis, adanya hasil kerja filologi bisa dijadikan dasar pemahaman akan kebudayaan bangsa Indonesia sebagai suatu pemahaman yang bisa dipertanggung jawabkan secara moral karena ditunjang oleh akar argemen yang kuat secara historis.
Kajian naskah lama bermanfaat bagi sumbangan kesusastraan Indonesia khususnya dan kesusastraan dunia umumnya baik dalam kajian sejarah sastranya maupun teori sastranya. Dengan ditemukannya naskah-naskah lama dan masih dalam keadaan baik dan terawat akan menjadikan khasanah sastra nusantara semakin kaya, menambah kekuatan sejarah kesusastraan di Indonesia dan mengaitkan pada adanya sumbangan pemikiran melalui bidang sastra dalam penyebaran dan identitas keagamaan di Indonesia serta memperkenalkan kekayaan budaya dan kesustraan berbagai daerah di Nusantara yang pernah berkembang di Indonesia.
Hasil filologi juga sangat bermanfaat para peneliti. Hasil penelitian filologi bisa dimanfaatkan untuk penelitian di bidang sastra, bahasa, filsafat, atau bidang ilmu lain. Dari sisi pengembagan budaya, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk pengembagan budaya daerah yang pada akhirnya akan mengembangkan budaya nasional. Manfaat-manfaat khusus yang dapat dinikmati dari hasil kerja filologi antara lain: 1) untuk bidang bahasa, memperkaya perbendaharaan kata (istilah) dalam rangka penyusunan kamus, 2) untuk bidang sastra, mengenal, mempelajari, dan menikmati karya sastra lama yang ada di nusantara, 3) untuk bidang sejarah, dapat digunakan sebagai sumber data sejarah masa lalu, terutama tentang sejarah kerajaan-kerajaan di nusantara, dan 4) untuk bidang pendidikan, isi cerita dapat dijadikan suri teladan yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat sekarang.
Daftar Pustaka
Baried, Baroroh, Sulastin Sutrisno, Siti Chamamah Soeratno, Sawu, dan Kun Zachrun Istanti. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian dan Publikasi UGM.
Baried, Baroroh, Sulastin Sutrisno, Siti Chamamah Soeratno, Sawu, dan Kun Zachrun Istanti. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Baroroh, Siti Baried, Sulastin Sutrisno, Siti Chamamah Soeratno, Sawu, Kun Zachrun Istanti. 1994. Pengantar Teori Filologi. Yogyakarta: Badan Penelitian Dan Publikasi UGM.
Baroroh-Baried, Siti, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Basuki, Anhari, Mudjahirin Thohir, Muhammad Abdullah, Muzakka, Trias Yusuf, Rukiyah. 2004. Pengantar Filologi. Semarang: Fasindo.
Behrend, T.E. 1990. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 1 Museum Sonobudoyo. Jakarta: Djambatan.
Behrend, T.E. 1997. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3A, 3B Fakultas Sastra UI. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Behrend, T.E. 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Brotosejati, Widodo. 2008. Macapat – Teori dan Praktik Nembang. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
Darusuprapta, dkk. 1990. Ajaran Moral dalam Susastra Suluk. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
Darusuprapta, Harjana Hardjawijana, Nursatwika, R.S. Subalidinata, Sardjana Hadiatmadja, Asia Padma Puspita, Sadjijo Prawiradisastra, Suwadji, Gina, Prijo Mustiko, E. Suhardjendra, H.J. Koesoemanto, Sardanto Tjokrowinoto, Sunardji, M. Sudiyanto, R.M.A. Sudiyatmana, Nur Sohib Hudan, Suseno Kartomihardjo, Ec. Sudjarwadi, dan Eko Kuntarto. 1996. Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta: Pustaka Nusantara. Dipodjodjo,
Darusuprapta. 1984. Beberapa Masalah Kebahasaan dalam Penelitian Naskah. Widyaparwa. Yogyakarta: Balai Penelitian Bahasa.
Darusuprapta.2002. Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
Dipodjodjo, Asdi S. 1996. Memperkirakan Titi Mangsa Suatu Naskah. Yogyakarta: Lukman Offest Yogyakarta.
Djamaris, Edwar. 1977. Filologi dan Cara Kerja Penelitian Filologi. Bahasa dan Sastra Tahun III No. I. Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Djamaris, Edwar. 1991. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Ekadjati, E Suhardi. 1982. Ceritera Dipati Ukur Karya Sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
Endraswara, Suwardi. 2006. Budi Pekerti Jawa Tuntunan Luhur dari Budaya Adiluhung. Yogyakarta: Gelombang Pasang.
Faipkah, Ari Jati. 2011. Tinjauan Filologi Serat Ki Ageng Gribig. Skripsi S1 pada Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Girardet, Nicolaus. 1983. Descriptive Catalogue Of Javanese Manuscripts And Printed Books In The Main libraries of Surakarta and Yogyakarta. Weisbaden: Franz steiner verlag BMBH.
Ismaun, Banis. 1996. Mengenal Ragam Bahasa Jawa dan Pengembangannya. Makalah Konggres Bahasa Jawa II di Batu Malang.
Lubis, Nabila. 2001. Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi. Jakarta: Media Alo Indonesia.
Mulyadi, SWR. 1991. Naskah dan Kita. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Mulyani, Hesti. 2009. Membaca Manuskrip Jawa 2. Diktat Mata Kuliah Membaca Manuskrip Jawa 2 (Semester 6) pada Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Prawiroatmojo, S. 1985. Bausastra Jawa Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1977. Kamus Istilah Filologi. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Robson, S. O. 1994. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Robson, S.O. 1978. Pengkajian Sastra-satra Tradisional Bahasa dan Sastra No. 6 Thn IV. Jakarta: Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Robson, S.O. 1994. Prinsip-prinsip Filologi Indonesia. Jakarta
Robson, SO. 1978. Bahasa dan Sastra: Pengkajian Sastra-Sastra Tradisional Indonesia. Jakarta Pusat: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Robson, SO. 1994. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: Rul.
Sudjiman, Panuti. 1995. Filologi Melayu. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Sumarsam. 2003. Gamelan- Interaksi Budaya dan Perkembangan Musikal di Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Supartinah. 2003. Tinjauan Filologi Serat Darma Laksita. Skripsi S1 pada Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Supriyanto, Teguh. 2008. Teks dan Ideologi Studi Sastra Populer Cerita Silat. Semarang: Universitas Negeri Semarang Press.
Suripto, Ragil. 1975. Teori Menabuh Gamelan. Bandung: Swastika.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Teeuw, A. 1988. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya.
Tim Penyusun Kamus. 1997. Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Widodo, Erna dan Muchtar. 2000. Konstruksi ke Arah Penelitian Deskriptif. Yogyakarta: Avyrouz.
Wiryamartana, I. Kuntara. 1990. Transformasi Teks Jawa lewat Tanggapan dan Penciptaan di Lingkungan Sastra Jawa. Arjunawiwaha. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Zaidan, Abdul Rozak. 1996. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.