A. Pendahuluan
Sastra merupakan wahana komunikasi kreatif dan imajinatif. Sastra sebagai karya fiksi memiliki pemahaman yang lebih mendalam, bukan sekadar cerita khayal dari pengarang saja, melainkan wujud dari proses kreativitas pengarang ketika menggali dan menuangkan ide yang ada dalam pikirannya. Kehidupan individu maupun sosial pengarang cukup berpengaruh terhadap karya sastra yang dihasilkannya. Pemahaman karya sastra tidak bisa mengesampingkan apa yang menjadi dasar bagi pengarang untuk melakukan proses kreativitas tersebut, hingga mampu menciptakan suatu karya sastra. Hal ini senada dengan pendapat Sangidu (2004) yang memandang sastra sebagai suatu gejala sosial. Sementara itu, Darmono (2003) berpendapat karya Sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan, serta peradaban yang telah menghasilkannya.
Penggunaan bahasa dalam karya fiksi berbeda dengan penggunaan bahasa dalam wacana lain, misalnya penggunaan bahasa dalam pidato-pidato, karya-karya ilmiah, dan perundang-undangan. Bahasa dalam karya fiksi mengandung imajinasi yang tinggi sehingga tidak membuat pembaca merasa cepat bosan. Dasar penggunaan bahasa dalam karya sastra bukan hanya sekedar paham, tetapi yang lebih penting adalah keberdayaan pilihan kata yang dapat mengusik dan meninggalkan kesan terhadap sensitivitas pembaca. Setiap kata yang dipilih oleh pengarang dapat diasosiasikan ke dalam berbagai pengertian. Misalnya kata ayu, bagus, apik, elok memiliki denotasi atau arti yang sama, tetapi kesan kata-kata ini diarahkan pada sensitivitas yang berbeda. Setiap kata dan kalimat yang dipilih pada umumnya dilakukan atas kesadaran untuk menimbulkan efek keindahan.
Perjalanan panjang tentang peranan dan perlunya telaah atau kajian linguistik atas karya sastra akhirnya melahirkan suatu kesimpulan; bahwa linguistik memiliki keabsahan akademis untuk ikut membicarakan karya sastra, khususnya menyangkut pemakaian bahasanya. Terlebih lagi bila melihat bahwa sampai sekarang ini kenyataan pada umumnya bahasa masih menjadi atau merupakan media utama karya sastra. Dalam perspektif linguistik, karya sastra khususnya novel dapat dipandang sebagai suatu wacana yang memanfaatkan potensi-potensi bahasa untuk mengungkapkan sarana-sarana puitik (keindahan).
Sedangkan dalam linguistik kajian yang bertujuan meneliti aspek khusus pemakaian bahasa dalam karya sastra adalah stilistika. Pengkajian stilistika juga menyadarkan kita akan kiat pengarang dalam memanfaatkan kemungkinan yang tersedia dalam bahasa sebagai sarana pengungkapannya (Sudjiman, 1993: viii). Stilistika adalah ilmu bagian linguistik yang memusatkan diri pada variasi-variasi penggunaan bahasa, yang paling sadar dan kompleks dalam kesusastraan. Stilistika berarti studi tentang gaya bahasa, mensugestikan sebuah ilmu, paling sedikit sebuah studi yang metodis (Turner. G.W dalam Pradopo, 1997: 254).
Bahasa merupakan salah satu unsur terpenting dalam sebuah karya sastra. Bahasa dalam karya sastra mengandung unsur keindahan. Keindahan adalah aspek dari estetika. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Zulfahnur dkk (1996), bahwa sastra merupakan karya seni yang berunsur keindahan. Keindahan dalam novel dibangun oleh pengarang melalui seni kata. Seni kata atau seni bahasa berupa kata-kata yang indah terwujud dari ekspresi jiwa. Hal tersebut senada dengan pendapat Nurgiyantoro (2005), “Bahasa dalam seni sastra dapat disamakan dengan cat warna. Keduanya merupakan unsur bahan, alat, dan sarana yang mengandung nilai lebih untuk dijadikan sebuah karya.
Pemakaian bahasa dalam karya sastra yang runtut dan sesuai gramatikal memang baik, tetapi terdapat juga pemakaian yang memperlihatkan keunikan bahasa atau yang menyimpang dari pola umum. Penyimpangan tersebut merupakan daya tarik karya sastra yang merupakan cerminan dari gaya bahasa dari pengarang. Gaya bahasa setiap pengarang pastinya berbedabeda, untuk mengetahui ciri khas pemakaian bahasa seorang pengarang dapat dilihat melalui kajian stilistika. Karena pada umumnya stilistika lebih banyak dibicarakan dalam ilmu bahasa, khususnya dalam bentuk deskripsi berbagai jenis gaya bahasa. Gaya bahasa berkaitan dengan aspek keindahan.
Proses penciptaan gaya bahasa dalam karya sastra jelas disadari oleh penulis atau pengarang, itu dilakukan dalam rangka untuk memperoleh aspek keindahan tersebut secara maksimal. Pada dasarnya dalam karya sastra, gaya bahasa memegang peranan penting, begitu juga dengan stilistika yang dalam genre tertentu seperti puisi, stilistika merupakan unsur terpenting. Pesan dan amanat dalam genre tersebut dapat juga diketahui dengan analisis stilistika.
.
B. Kajian Stilistika
1. Pengertian Stilistika
Salah satu cara untuk menikmati karya sastra yakni melalui pengkajian stilistika. Stilistika adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa suatu karya sastra. Hal ini sesuai dengan pendapat Zhang (mengutip pendapat Lodge, 1966) bahwa untuk menjembatani apresiasi karya sastra dengan bahasa, maka diperlukan telaah yang dikenal dengan telaah ilmu gaya bahasa (Zhang, 2010: 155). Sementara itu, Endraswara (2003: 72) mengatakan penelitian stilistika berdasarkan asumsi bahwa bahasa sastra mempunyai tugas mulia. Bahasa sastra memiliki pesan keindahan dan sekaligus membawa makna. Tanpa keindahan bahasa, karya sastra menjadi hambar. Keindahan karya sastra, hampir sebagian besar dipengaruhi oleh kemampuan pengarang dalam memainkan bahasa.
Secara definitif stilistika adalah ilmu yang berkaitan dengan gaya dan gaya bahasa. Tetapi pada umumnya lebih banyak mengacu pada gaya bahasa. Jadi, dalam pengertian yang paling luas, stilistika sebagai ilmu tentang gaya, meliputi berbagai cara yang dilakukan dalam kegiatan manusia. (Ratna, 2009: 167). Gaya menyangkut masalah penggunaan bahasa, dalam hal ini karya sastra dianggap sebagai sumber data utama dan pada perkembangan terakhir dalam sastra menunjukkan bahwa gaya dibatasi dalam analisis puisi, karena dilihat secara umum puisilah yang memiliki penggunaan bahasa yang khas, selain itu gaya pada dasarnya ada dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Istilah stilistika diserap dari bahasa bahasa Inggris stylistics yang diturunkan dari kata style yang berarti gaya. Secara etimologi, istilah style atau gaya itu sendiri menurut Shipley (1979: 314) dan Mikics (2007: 288) berasal dari bahasa Latin stilus, yang berati batang atau tangkai, menyaran pada ujung pena yang digunakan untuk membuat tanda-tanda (tulisan) pada tanah liat yang berlapis lilin (metode kuno dalam menulis). Jadi, secara sederhana stilistika dapat diartikan sebagai ilmu tentang gaya bahasa.
Secara teoretis, telah banyak pakar sastra yang memberikan definisi tentang stilistika. Beberapa di antaranya seperti diuraikan berikut ini. Verdonk (2002: 4) memandang stilistika, atau studi tentang gaya, sebagai analisis ekspresi yang khas dalam bahasa untuk mendeskripsikan tujuan dan efek tertentu. Bahasa dalam karya sastra adalah bahasa yang khas sehingga berbeda dari bahasa dalam karya-karya nonsastra. Untuk itulah, analisis terhadap bahasa sastra pun membutuhkan analisis yang khusus. Dalam hal ini dibutuhkan stilistika sebagai teori yang secara khusus menganalisis bahasa teks sastra (Mills, 1995: 3).
Stilistika (stylistic) adalah ilmu yang meneliti penggunaan bahasa dan gaya bahasa di dalam karya sastra (Sudjiman, 1990: 75). Stilistika sangat penting bagi studi linguistik maupun studi kesusastraan. Stilistika dapat memberikan sumbangan penelitian gaya bahasa untuk merupakan unsur pokok untuk mencapai berbagai bentuk pemaknaan karya sastra, dikarenakan karya sastra tidak lepas dari penggunaan gaya bahasa yang keindahan.
Penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra berlawanan dengan pengunaan bahasa pada karya ilmiah. Penggunaan bahasa pada karya ilmiah pastinya menggunakan bahasa yang baik dan benar, pemilihan kata yang tepat, kalimatnya jelas, ini harus diperhatikan sekali agar tidak menimbulkan makna ambigu/ganda. Sedangkan pemakaian bahasa dalam karya sastra lebih memiliki kebebasan yang berasal dari kreatifitas pengarang, karena dimaksudkan agar dapat memiliki kekayaan makna.
Musthafa (2008: 51) berpendapat bahwa stilistika adalah gaya bahasa yang digunakan seseorang dalam mengekspresikan gagasan lewat tulisan. Pengertian stilistika yang cukup komprehensif dan representatif seperti dikemukakan oleh Tuloli (2000: 6), stilistika atau ilmu gaya bahasa pada umumnya membicarakan pemakaian bahasa yang khas atau istimewa, yang merupakan ciri khas seorang penulis, aliran sastra, atau pula penyimpangan dari bahasa sehari-hari atau dari bahasa yang normal atau baku, dan sebagainya. Dengan demikian, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa stilistika (stylistics) adalah ilmu yang secara spesifik mengungkap penggunaan gaya bahasa yang khas dalam karya sastra.
Kajian sastra dengan memanfaatkan teori stilistika hakikatnya berangkat dari pendekatan objektif seperti yang dibicarakan oleh Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp (1976: 8). Pendekatan objektif merupakan pendekatan dalam kajian sastra yang menitikberatkan pada hubungan antarunsur karya sastra. Fokus pendekatan objektif adalah karya sastra itu sendiri. Kajian stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan objektif karena ditinjau dari sasaran kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan sistem tanda dalam karya sastra
Stilistika tidak hanya merupakan studi gaya bahasa dalam kesusastraan saja, melainkan juga studi gaya bahasa pada umumnya walaupun terdapat penelitian khusus pada bahasa kesusastraan seperti hal-nya yang dikemukakan oleh (Turner. G.W dalam Pranawa, 2005: 21) yang mengatakan bahwa Stylistics is that part of linguistics which concentrate on variation in the use of language (Stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan diri pada variasi dalam penggunaan bahasa).
Style, atau gaya, yaitu cara yang khas dipergunakan oleh seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan diri gaya pribadi. Cara pengungkapan tersebut bisa meliputi setiap aspek kebahasaan: diksi, penggunaan bahasa kias, bahasa pigura (figurative language), struktur kalimat, bentuk-bentuk wacana, dan sasaran retorika yang lain. Stilistika sebagai bidang linguistik terapan, dalam pengertian extended adalah cara untuk mengungkapkan teori dan metodologi penganalisisan formal sebuah teks sastra. Sedang dalam pengertian restricted, linguistik terapan dikaitkan khusus pada bidang pendidikan bahasa (Satoto, 1995: 36).
Stilistika adalah studi tentang cara pengarang dalam menggunakan sistem tanda sejalan dengan gagasan yang ingin disampaikan, dari kompleksitas dan kekayaan unsur pembentuk karya sastra itu yang dijadikan sasaran kajian hanya pada wujud penggunaan sistem tandanya. Walaupun fokusnya hanya pada wujud sistem tanda, untuk memperoleh pemahaman tentang ciri penggunaan sistem tanda bila dihubungkan dengan cara pengarang dalam menyampaikan gagasannya, pengkaji perlu juga memahami (1) gambaran objek atau peristiwa, (2) gagasan, (3) satuan isi, dan (4) ideologi yang terkandung dalam karya sastranya (Aminuddin, 1995: 46).
Secara umum lapangan kajian stilistika adalah pemakaian bahasa, sehingga dapat dilihat bahasa yang digunakan dalam suatu karya sastra. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stilistika merupakan ilmu yang mempelajari tentang gaya bahasa, pilihan kata, dan penggunaan bahasa.
Bahasa hampir selalu memiliki variasi yang disebabkan oleh lingkungan tertentu. Linguistik merupakan ilmu yang berupaya memberikan bahasa dan menunjukkan bagaimana cara kerjanya, sedangkan stilistik merupakan bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, yang walaupun tidak secara eksklusif, terutama pemakaian bahasa dalam sastra (Turner G.W. dalam Pranawa, 2005: 20).
Hal ini berarti stilistika adalah studi gaya yang menyarankan bentuk suatu ilmu pengetahuan atau paling sedikit studi yang metodis. Kajian stilistika berpangkal pada bentuk ekspresi, bentuk bahasa kias dan aspek bunyi. Akan tetapi, istilah stilistika secara umum dikenal sebagai studi pemakaian bahasa dalam karya sastra. Adapun alasan penggunaan bahasa dalam karya sastra karena bahasa mampu menghadirkan kekayaan makna, mampu menimbulkan misteri yang tidak ada habisnya, mampu menimbulkan efek emotif bagi pembaca atau pendengarnya, citraan serta suasana tertentu. Pengungkapan hal tersebut dilakukan oleh pengarang untuk menunjukkan sifat kreativitasnya serta pengungkapan gagasan tersebut bersifat individual, personal yang tidak dapat ditiru dan selalu ada pembaharuan.
.
2. Ruang Lingkup Kajian Stilistika
Berbagai pakar sastra telah mengurai ruang lingkup stilistika. Dalam Pengkajian Puisi Univeristas Gajah Mada, Yogyakarta, Pradopo (1993: 10) mengurai ruang lingkup stilistika, yaitu aspek-aspek bahasa yang ditelaah dalam stilistika meliputi intonasi, bunyi, kata, dan kalimat sehingga lahirlah gaya intonasi, gaya bunyi, gaya kata, dan gaya kalimat. Dalam Bunga Rampai Stilistika, Sudjiman (1993: 13-14) menguraikan pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana style dapat diterjemahkan sebagai gaya bahasa.
Sesungguhnya gaya bahasa terdapat dalam segala ragam bahasa ragam lisan dan ragam tulis, ragam sastra dan ragam nonsastra. Gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi secara tradisional gaya bahasa selalu dikaitkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis.
Gaya bahasa mencakup diksi atau pilihan kata, struktur kalimat, majas dan citra, polarima, makna yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Misalnya, kita dapat menduga siapa pengarang sebuah karya sastra karena kita menemukan ciri-ciri penggunaan bahasa yang khas, kecenderungannya untuk secara konsisten menggunakan struktur tertentu, gaya bahasa pribadi seseorang. Misalnya, Idrus dikenal dengan gaya bahasanya yang khas dan sederhana.
Setelah membaca sebuah karya sastra, kita dapat juga menentukan ragamnya (genre) berdasarkan gaya bahasa teks karena kekhasan penggunaan bahasa, termasuk tipografinya. Gaya bahasa sebuah karya juga dapat mengungkapkan periode, angkatan, atau aliran sastranya. Misalnya kita dapat mengenal gaya sebuah karya sebagai gaya egaliter (gaya ragam); kita mengenal gaya realisme dalam karya yang lain (gaya aliran). Sebuah karya kita perkirakan terbit pada zaman Balai Pustaka dengan memperhatikan gaya bahasa (gaya angkatan).
Menentukan gaya khas seorang pengarang (sastrawan) kita seharusnya membaca dan menelaah penggunaan bahasa dalam semua karyanya. Memastikan apa yang disebut gaya suatu ragam atau suatu jenis sastra tertentu, kita seharusnya membaca dan menelaah penggunaan bahasa dalam semua karya dari ragam dan jenisnya. Demikian pula cara kerja untuk menentukan gaya semasa (angkatan), aliran kesusastraan tertentu. Ranah penelitian menjadi terlalu luas.
Ranah penelitian stilistika biasanya dibatasi pada teks tertentu. Pengkajian stilistika adalah meneliti gaya sebuah teks sastra secara rinci dengan sistematis memperhatikan preferensi penggunaan kata, struktur bahasa, mengamati antarhubungan pilihan kata untuk mengidentifikasikan ciri-ciri stilistika (stilistic features) yang membedakan pengarang (sastrawan) karya, tradisi, atau periode lainnya. Ciri ini dapat bersifat fonologi (pola bunyi bahasa, matra dan rima), sintaksis (tipe struktur kalimat), leksikal (diksi, frekuensi penggunaan kelas kata tertentu) atau retoris (majas dan citraan).
Dalam Apresiasi Stilistika Intermasa, Natawidjaja (1986:5) menguraikan objek stilistika atau ruang lingkup stilistika. Ia menguraikan bahwa apresiasi stilistika tiada lain usaha memahami, menghayati, aplikasi dan mengambil tepat guna dalam mencapai retorika agar melahirkan efek artistik. Berdasarkan ekspresi individual kita kenal 1) pribahasa, 2) ungkapan, 3) aspek kalimat 4) gaya bahasa, 5) plastik bahasa, dan 6) kalimat asosiatif. Keenam objek itu dibahas satu persatu secara singkat dengan sistematika bahasan, cara, dan daftar contoh.
Berdasarkan ruang lingkup stilistika di atas dan sebelumnya jelas terlihat persamaan, walaupun dengan redaksi yang berbeda dapaat disimpulkan bahwa ruang lingkup stilistika itu sebagai berikut.
a. Pengertian Stilistika
b. Sejarah Stilistika
c. Tujuan Stilistika
d. Manfaat Stilistika
e. Hubungan Stilistika dengan Disiplin Ilmu Lain
f. Metodologi Penelitian Stilistika Sastra
g. Stilistika Puisi
h. Stilistika Cerita Pendek
i. Stilistika Novel
Kerancuan yang muncul dari definisi stilistika adalah masalah yang kadang dihadapi oleh mahasiswa yang baru mengenal istilah ini. Sebab stilistika ilmu gaya bahasa yang juga termasuk dalam cabang ilmu linguistik selain ilmu sastra. Kridalaksana (1982: 157), dalam Kamus Linguistik, memberikan batasan stilistika. Menurutnya, stilistika adalah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdispiliner antara linguistik dan kesusastraan (2) penerapan lingustik pada penelitian gaya bahasa. Menurut Turner (1977: 7), stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama dalam kesusastraan.
Fowier (1987: 237) mengatakan bahwa stilistika merupakan cabang dari studi sastra. Menurutnya, para ahli mengatakan bahwa stilistik meneliti sastra pada aspek bahasanya, yakni imaji, stuktur suara, sintaksis, dan lain-lain. Yunus (1989: xvii) mengatakan bahwa hakikat stilistika adalah pemakaian dan penggunaannya dalam karya sastra, tetapi kemunculannya sudah ada dalam linguistik. Menurutnya, stilistika dipakai sebagai gabungan, yakni ilmu sastra dan ilmu linguistik. Lebih lanjut, Yunus (1989: xviii) mengusulkan bahwa stilistika itu menjadi ilmu yang berdiri sendiri, terlepas dari linguistik ataupun sastra. Stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa.
Menurut Sudjiman (1993: 3) stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi atau memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh penggunanya. Stilistika meneniliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra. Secara umum, lingkup telaah stilistika mencangkupi diksi atau pilihan kata (pilihan leksikal), struktur kalimat, majas, citraan, pola rima, dan mantra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra (Sudjiman, 1993: 13). Di samping itu kajian stilitika dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda kebahasaan yang digunakan dalam seperti yang digunakan seperti yang terlihat dalam setruktur lahir. Tanda-tanda kebahasaan itu sendiri dapat berupa unsur fonologi, unsur leksikal, unsur sintaksis, dan unsur bahasa figuratif (Nurgiyantoro, 1995: 280).
Gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga dimensi yakni, kejujuran, sopan santun, dan menarik. Kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan kalimat yang berbelit-belit adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Sopan santun dalam bahasa berarti kita memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak berbicara, khususnya pendengar atau pembaca. Menarik dalam bahasa dapat diukur melalui komponen: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup dan penuh daya khayal imajinasi (Keraf, 2000: 113).
Untuk mengkaji karya sastra dari sudut stilistika, ada dua kemungkinan dalam mendekatinya. Pertama, studi stilistika dilakukan dengan cara menganalisis sistem linguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan menginterpretasi ciri-cirinya, dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai makna yang penuh. Kedua, penelitian stilistika ini dilakukan dengan mengamati variasi dan distorsi terhadap pemakian bahasa yang normal dan menemukan tujuan estetisnya (Wellek dan Warren, 1990: 226). Dari kedua pendekatan tersebut terlihat perbedaan letak pijakannya. Namun, kedua pendekatan tersebut pada hakikatnya tidaklah saling bertentangan.
Dikemukakan Pradopo (dalam Syarifudin, 2006: 15) aspek gaya bahasa meliputi, bunyi, kata, dan kalimat. Bunyi meliputi asosiasi, alitrasi, pola persajakan, orkestrasi dan iramanya, kata meliputi aspek morfologi, sematik dan etimologi, dan kalimat meliputi gaya kalimat dan sarana retorika. Kajian stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan objektif. Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan sistem tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggungjawabkan.
Landasan empirik merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian. Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati, memahami, dan menghayati sistem tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang.
Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang analisis yang dilakukan apresiasi sastra meliputi: (1) Analisis tanda baca yang digunakan pengarang. (2) Analisis hubungan antara sistem tanda yang satu dengan yang lainnya. (3) Kaitannya dengan kritik sastra, kajian stilistika digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impesionistis dan subyektif.
Melalui kajian stilistika, diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria objektifitas dan keilmiahan (Aminuddin, 1995: 42). 4. Analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya (Aminuddin, 1995: 98). Aminuddin (1995: 42-43) mengungkapkan bahwa prosedur analisis yang digunakan dalam kajian stilistika, diantaranya : (1) Analisis aspek gaya dalam karya sastra. (2) Analisis aspek-aspek kebahasaan seperti manipulasi paduan bunyi, penggunaan tanda baca dan cara penulisan. (3) Analisis gagasan atau makna yang dipaparkan dalam karya sastra.
.
3. Stilistika Sastra dan Stilistika Linguistik
Pembicaraan stilistika tidak dapat dilepaskan dari linguistik atau ilmu bahasa. Bahkan, secara tegas Starcke (2010: 2) dalam definisinya menyatakan bahwa stilistika sebagai salah satu disiplin linguistik. Eksistensi linguistik dalam konteks stilistika itu seperti tampak pada pandangan beberapa pakar berikut. Junus (1989: xvii) misalnya, memandang stilistika sebagai ilmu gabung (inter atau multidisiplin) antara linguistik dan ilmu sastra. Widdowson (1997: 3) dan Sudjiman (1993: 3) memandang stilistika sebagai kajian mengenai diskursus (wacana) kesastraan yang beranjak dari orientasi linguistik.
Mcrae dan Clark (dalam Davies dan Elder, 2006: 328) berpendapat bahwa stilistika sebagai penggunaan linguistik (ilmu bahasa) untuk mendekati teks sastra. Simpson (2004: 3) melihat analisis stilistika berfungsi untuk memahami teks sastra dengan dasar wawasan struktur linguistik. Sementara Child dan Fowler (2006: 229) memandang stilistika sebagai kajian analitis terhadap sastra dengan menggunakan konsep atau teknik linguistik modern. Berdasarkan pandangan beberapa pakar tadi, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa stilistika merupakan pengkajian sastra dari perspektif linguistik.
Beberapa pandangan pakar di atas menjelaskan bahwa dasar pemahaman linguistik menjadi kebutuhan mutlak jika ingin menerapkan teori stilistika. Wellek dan Warren (1989:221) lebih menegaskan bahwa stilistika tidak dapat diterapkan dengan baik tanpa dasar linguistik yang kuat karena salah satu penelitian utamanya adalah kontras sistem bahasa karya sastra dengan penggunaan bahasa pada zamannya. Dengan demikian, pemahaman stilistika sebagai ilmu gabung (linguistik dan sastra) merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan (Sayuti, 2001: 173).
Penggabungan dua disiplin ilmu, yaitu linguistik dan sastra menyebabkan terjadinya dikotomi arah kajian atau penelitian stilistika. Teori stilistika dapat diterapkan dalam kerangka penelitian bahasa (linguistik), dan dapat pula diterapkan dalam penelitian sastra. Teori stilistika yang digunakan dalam kerangka penelitian bahasa (linguistik) lazim disebut stilistika linguistik, atau dalam istilah Hendricks (dalam Aminuddin, 1995: 22) disebut stylolinguistik. Sementara teori stilistika yang digunakan dalam kerangka penelitian sastra sering disebut stilistika sastra. Oleh sebab itu, secara umum, dibedakan menjadi dua jenis stilistika yaitu stilistika linguistik atau linguistics stylistics dan stilistika sastra atau literary (poetic) stylistics (Missikova, 2003: 15).
Persamaan antara stilistika linguistik maupun stilistik sastra terletak pada objek kajian yaitu bahasa dalam karya sastra, karena stilistika menurut Wynne (2005: 1) dan Crystal (2000: 99) adalah kajian terhadap bahasa sastra. Perbedaan keduanya terletak pada tujuan akhir kajian atau penelitian. Orientasi akhir kajian stilistika linguistik hanya untuk mendeskripsikan berbagai fenomena kebahasaan dalam karya sastra, tanpa memperhatikan efek estetika dari penggunaan bahasa tersebut.
Darwis (2002: 91) menyatakan bahwa dalam stilistika linguistik tidak terdapat kewajiban untuk menjelaskan keterkaitan antara pilihan kode bahasa (bentuk linguistik) dan fungsi atau efek estetika atau artistik karya sastra. Stilistika linguistik tidak lain hanyalah berupa penerapan teori linguistik untuk mengungkap berbagai unsur kebahasaan dalam teks sastra. Penerapan teori linguistik pada sastra ini yang lazim dikenal dengan istilah linguistik sastra atau literary linguistics (Fabb, 2003: 446).
Stilistika sastra selain mengungkap atau mendeskripsikan berbagai struktur dan bentuk linguistik, yang lebih utama lagi adalah deskripsi efek estetika dan kandungan makna di balik berbagai struktur dan bentuk linguistik tersebut. Yang ditekankan dalam stilistika sastra adalah bagaimana menemukan fungsi sastra, yaitu memberikan efek estetika (puitis) (Darwis, 2002: 91). Dalam hal ini, stilistika sastra bertujuan mengungkap hakikat yang terselubung di balik berbagai fenomena kebahasaan tersebut, hakikat yang menjadi tujuan utama dari sastra, yaitu dulce et utile (menghibur dan bermanfaat), atau dalam istilah Bressler (1999: 12) disebut to teach (mengajar) dan to entertain (menghibur). Dengan demikian, penelitian stilistika sastra selain dapat mengungkap efek estetika sebagai buah kreativitas pengarang, juga mampu mengungkap makna di balik bahasa yang estetis tersebut.
.
4. Manfaat Stilistika
Berbagai manfaat diperoleh dari stilistika bagi pembaca sastra, guru sastra, kritikus sastra, dan sastrawan. Manfaat menelaah sastra adalah sebagai berikut.
a. Mendapatkan atau membuktikan ciri-ciri keindahan bahasa yang universal dari segi bahasa dalam karya sastra lebih.
b. Menerangkan keindahan karya sastra dengan menunjukkan keselarasan penggunaan ciri-ciri keindahan bahasa dalam karya sastra.
c. Membimbing pembaca menikmati karya sastra dengan baik.
d. Membimbing sastrawan dalam memperbaiki atau meninggikan mutu karya sastranya.
e. Kemampuan membedakan bahasa yang digunakan dalam satu karya sastra dengan karya sastra yang lain.
.
C. Gaya Bahasa
1. Pengertian Gaya Bahasa
Gaya bahasa dan penulisan merupakan salah satu unsur yang menarik dalam sebuah bacaan. Pengarang memiliki gaya yang berbeda-beda dalam menuangkan setiap ide tulisannya. Setiap tulisan yang dihasilkan nantinya mempunyai gaya yang dipengaruhi oleh penulisnya, sehingga dapat dikatakan, watak seorang penulis sangat mempengaruhi sebuah karya yang dihasilkannya. Hal ini relevan dengan pendapat Keraf yang mengatakan:
Gaya bahasa dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yakni dari segi non bahasa dan dari segi bahasa. Dari segi nonbahasa, gaya dapat dikategorikan berdasarkan pengarang, waktu, media, permasalahan, tempat, tujuan, dan sasaran, sementara itu dari segi bahasa gaya bahasa dikategorikan berdasarkan pilihan kata, pilihan nada, struktur kalimat, dan penyampaian kalimat (2009:115).
Menurut Keraf (2006: 113) pengertiaan gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style itu sendiri berasal dari kata Latin stilus yang berarti semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Gaya bahasa adalah cara pengungkapan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa kepribadian penulis atau pemakai bahasa. Sama halnya dengan Keraf, dalam memberikan pengertian terhadap gaya bahasa.
Dalam kaitannya dengan gaya bahasa terdapat istilah-istilah lain yang mungkin muncul, di antaranya: seni bahasa, estetika bahasa, kualitas bahasa, ragam bahasa, gejala bahasa, dan rasa bahasa. Dua istilah pertama memiliki penertian yang hampir sama yaitu bahasa dalam kaitannya dengan ciri-ciri keindahan sehingga identik dengan gaya bahasa itu sendiri. Kualitas bahasa berkaitan dengan nilai penggunaan bahasa secara umum, termasuk ilmu pengetahuan. Ragam bahasa adalah genre (jenis sastra). Gejala bahasa dalam pengertian sempit menyangkut perubahan (penghilangan, pertukaran) dalam sebuah kata, sedangkan dalam pengertian luas menyangkut berbagai bentuk perubahan bahasa baik lisan maupun tulis, majas termasuk dalam gejala bahasa yang paling khas.
Rasa bahasa adalah perasaan yang timbul sesudah mendengarkan, menggunakan suatu ragam bahasa tertentu. (Ratna, 2009: 4). Gaya bahasa memiliki tujuan utama yaitu memunculkan aspek keindahan. Dalam karya sastra gaya bahasa memegang peranan penting, karena merupakan unsur pokok yang digunakan untuk mencapai berbagai bentuk keindahan. Dalam hubungannya dengan gaya bahasa, karya sastra sebagai salah satu genre hasil peradaban manusia dan merupakan hasil aktivitas pengarang, maka menggunakan bahasa sebagai media utama. Jadi gaya bahasa yang dimaksudkan pada suatu karya sastra berkaitan erat dengan tujuan dan pribadi pengarang.
Aminuddin (1995: 4) memberi penjelasan bahwa gaya bahasa atau style merupakan teknik serta bentuk gaya bahasa seseorang dalam memaparkan gagasan sesuai dengan ide dan norma yang digunakan sebagai mana ciri pribadi pemakainya. Pengertian gaya bahasa tersebut dikemukakan pada wawasan retorika klasik. Jadi, gaya bahasa pada masa retorika klasik dipandang sebagai sejenis ornamen atau perhiasan lahir atau yang di dalam tradisi Jawa disebut basa rinengga atau pemakaian bahasa yang dihias sehingga kelihatan indah. Akan tetapi, pada komunikasi modern, style bukan hanya dihubungkan dengan penggunaan bahasa yang indah, akan tetapi juga memberikan kesadaran bahwa hal yang menarik dari penggunaan bahasa dalam peristiwa komunikasi adalah aspek bentuk yang diembannya.
Pengertian gaya menurut (Enkvist dalam Aminuddin, 1995: 6) yaitu (a) gaya sebagai bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya, (b) gaya sebagai pilihan antara berbagai pernyataan yang mungkin, (c) gaya sebagai kumpulan ciri pribadi, (d) gaya sebagai bentuk penyimpangan norma atau kaidah, (e) gaya sebagai kumpulan ciri kolektif, dan (f) gaya sebagai bentuk hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan teks yang terlebih dahulu dari pada sebuah ayat atau kalimat.
Kridalaksana (2001: 63) memberikan pengertian gaya bahasa atau style adalah (1) pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur atau menulis; (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu; (3) keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Menurut Pradopo (1997: 137) gaya bahasa adalah cara penggunaan bahasa yang khusus untuk mendapatkan efek-efek tertentu dalam suatu karya sastra, sedangkan menurut Sudjiman (1993: 50) gaya bahasa atau majas adalah peristiwa pemakaian kata yang melewati batas-batas maknanya yang lazim atau menyimpang dari arti harfiahnya. Style (gaya bahasa), adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa, atau bagaimana seseorang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan (Abrams dalam Nurgiantoro, 1995: 276).
Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat dihasilkan dari pendayagunaan struktur kalimat. Gaya bahasa yang dihasilkan bersifat nyata berbeda dengan gaya bahasa berdasarkan penyampaian makna yang sifatnya abstrak atau konotasi. Keraf berpendapat:
Struktur kalimat adalah bagaimana sebuah kalimat menjadi tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Misalnya antitesis, repetisi, klimaks, antiklimaks, dan paralelisme. Sementara itu, gaya bahasa berdasarkan penyampaian makna disebut figure of speech yaitu penyimpangan bahasa secara emotif dari bahasa biasa dalam ejaan, pembentukan kata, konstruksi, untuk memperoleh kejelasan, penekanan, hiasan, humor, dan efek-efek tertentu (2009: 129).
Style ditandai oleh ciri-ciri formal kebahasaan seperti pemilihan kata, struktur kalimat, bentuk-bentuk bahasa figuratif, penggunaan kohesi dan lain-lain. Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang. Pandangan terhadap gaya bahasa dapat dibedakan dari jenisnya dibagi menjadi dua segi yakni segi non bahasa dan segi bahasa. Guna melihat gaya secara luas, maka pembagian berdasarkan masalah non bahasa tetap diperlukan, namun gaya bahasa dilihat dari aspek kebahasaan lebih diperlukan.
.
2. Bentuk-bentuk Gaya Bahasa
Menurut Depdiknas (2005) gaya bahasa atau majas adalah pemanfaatan kekayaan bahasa, pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-efek tertentu, keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra dan cara khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan baik secara lisan maupun tertulis. Meskipun ada banyak macam gaya bahasa atau majas, namun secara sederhana gaya bahasa terdiri dari empat macam, yaitu majas perbandingan, majas penegasan, majas pertentangan, dan majas sindiran.
a) Majas perbandingan, meliputi: alegori, alusio, simile, metafora, sinestesia, antropomorfemis, antonomesia, aptronim, metonemia, hipokorisme, litotes, hiperbola, personifikasi, pars prototo, totum proparte, eufemisme, depersonifikasi, disfemisme, fabel, parabel, perifrase, eponim, dan simbolik.
b) Majas penegasan, meliputi: apofasis, pleonasme, repetisi, pararima, aliterasi, paralelisme, tautologi, sigmatisme, antanaklasis, klimaks, antiklimaks, inversi, retoris, elipsis, koreksio, sindeton, interupsi, eksklamasio, enumerasio, preterito, alonim, kolokasi, silepsis, dan zeugma.
c) Majas pertentangan, meliputi: paradoks, antitesis, oksimoron, kontradiksi interminus, dan anakronisme.
d) Majas sindiran, meliputi: ironi, sarkasme, sinisme, satire, inuendo, dan lain-lain (Depdiknas (2007).
Senada dengan pendapat di atas, ahli lain membagi jenis-jenis gaya bahasa menjadi empat kelompok, yaitu sebagai berikut.
a) Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata dibedakan menjadi gaya bahasa resmi, gaya bahasa tak resmi, dan gaya bahasa percakapan.
b) Gaya bahasa berdasarkan nada terdiri dari gaya sederhana, gaya mulia dan bertenaga, dan gaya menengah.
c) Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat terdiri dari klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis, dan repetisi.
d) Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna terdiri dari gaya bahasa retoris meliputi aliterasi, asonansi, anastrof, apofasis atau preterisio, apostrof, asidenton, polisidenton, kiasmus, elipsis, eufemismus, litotes, hysteron proteron, pleonasme dan tautologi, perifrasis, prolepsis, erotesis, silepsis dan zeugma, koreksio, hiperbol, paradoks, oksimoron; dan gaya bahasa kiasan meliputi metafora, simile, alegori, personifikasi, alusi, eponimi, epitet, sinekdoke, metonimia, antonomasia, hipalase, ironi, sinisme, dan sarkasme, satire, inuendo, antifrasis dan pun atau paronomasia (Keraf, 2000: 115-145).
Gaya bahasa berdasarkan penyampaian makna terdiri dari dua kelompok yakni gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan. Gaya bahasa retoris merupakan gaya bahasa yang maknanya diartikan secara harfiah sesuai dengan makna lahirnya. Bahasa yang digunakan mengandung kelangsungan makna. Misalnya asindeton, polisindeton, litotes, hiperbola, anastrof dan sebagainya. Sementara itu gaya bahasa kiasan merupakan gaya bahasa yang maknanya tidak dapat ditafsirkan sesuai dengan kata-kata yang membentuknya. Gaya bahasa kiasan diperoleh dengan cara membandingkan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain. Bahasa kiasan adalah teknik pengungkapan bahasa yang maknanya tidak menunjukkan pada makna harfiah kata-kata yang mendukungnya tetapi pada makna yang tersirat. Ketidaklangsungan makna inilah yang merupakan salah satu siasat penulis untuk menarik perhatian pembaca (Nurgiyantoro, 2005).
a. Gaya Bahasa Perulangan
Majas perulangan yaitu majas yang cara cara melukiskan suatu keadaan dengan cara mengulang-ulang kata, frase, suatu maksud. Yang termasuk ke dalam majas ini antara lain majas anaphora, tautologi, repetisi, epifora, dan lain-lain.
1) Repetisi
Repetisi merupakan majas perulangan kata, frase, dan klausa yang sama dalam suatu kalimat. Majas repetisi ialah majas perulangan yang cara melukiskan suatu hal dengan mengulang-ulang kelompok kata atau frasa yang sama (Ducrot dan Todorov, 1981 : 279).
Contoh:
Seumpama eidelwis akulah cinta abadi yang tidak akan pernah layu.
Seumpama merpati akulah kesetiaan yang tidak pernah ingkar janji.
Seumpama embun akulah kesejukan yang membasuh hati yang lara.
Seumpama samudra akulah kesabaran yang menampung keluh kesah segala muara.
2) Kiasmus
Kiasmus ialah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus merupakan inversi atau pembalikan susunan antara dua kata dalam satu kalimat. Majas kiasmus merupakan bentuk majas perulangan yang isinya mengulang atau repetisi sekaligus merupakan inversi hubungan antara dua kata dalam satu kalimat (Ducrot dan Todorov, 1981 : 277)..
Contoh:
Yang kaya merasa dirinya miskin, sedang yang miskin mengaku dirinya kaya. Sudah biasa dalam kehidupan sehari-hari, orang pandai ingin disebut bodoh, namun banyak orang bodoh mengaku pandai.
Ia menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah.
3) Epizeukis
Epizeukis ialah gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung. Maksudnya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk menegaskan.
Contoh :
Kita harus bekerja, bekerja, dan terus bekerja untuk mengejar semua ketertinggalan kita.
Ingat, kita harus bertobat, bertobat, sekali lagi bertobat!
4) Tautotes
Tautotes ialah gaya bahasa perulangan yang berupa pengulangan sebuah kata berkali-kali dalam sebuah konstruksi.
Contoh :
Kau menunding aku, aku menunding kau, kau dan aku menjadi seteru.
Aku adalah kau, kau adalah aku, kau dan aku sama saja.
5) Anafora
Anafora ialah gaya bahasa repetisi yang merupakan perulangan kata pertama pada setiap baris atau kalimat. Majas anafora merupakan bentuk majas perulangan yang menempatkan kata atau frasa yang sama di depan suatu puisi (Suprapto, 1991 : 11).
Contoh :
Apatah tak bersalin rupa, apatah boga sepanjang masa.
Kucari kau dalam toko-toko.
Kucari kau karena cemas karena sayang.
Kucari kau karena sayang karena bimbang.
Kucari kau karena kau mesti disayang.
6) Epistrofa (efifora)
Epistrofa ialah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata atau frasa pada akhir baris atau kalimat berurutan. Majas epifora merupakan majas repetisi atau perulangan yang cara melukiskannya dengan menempatkan kata atau kelompok kata yang sama di belakang baris dalam bentuk puisi secara berulang (Suprapto, 1991 : 27).
Contoh :
Kalau kau izinkan, aku akan datang.
Jika sempat, aku akan datang.
Jika kau terima, aku akan datang.
Jika tak hujan, aku akan datang.
7) Simploke
Simploke ialah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan awal dan akhir beberapa baris (kalimat secara berturut-turut).
Contoh :
Kau bilang aku ini egois, aku bilang terserah aku.
Kau bilang aku ini judes, aku bilang terserah aku.
Ada selusin gelas ditumpuk ke atas. Tak pecah.
Ada selusin piring ditumpuk ke atas. Tak pecah.
Ada selusin barang lain ditumpuk ke atas. Tak pecah.
8) Mesodiplosis
Mesodiplosis ialah gaya bahasa repetisi yang berupa pengulangan kata atau frase di tengah-tengah baris atau kalimat secara berturut-turut.
Contoh :
Para pembesar jangan mencuri bensin.
Para gadis jangan mencuri perawannya sendiri.
Para pendidik harus meningkatkan kecerdasan bangsa.
Para dokter harus meningkatkan kesehatan masyarakat.
9) Epanalepsis
Epanalepsis ialah gaya bahasa repetisi yang berupa perulangan kata pertama pada akhir baris, klausa, atau kalimat mengulang kata pertama.
Contoh :
Kita gunakan pikiran dan perasaan kita.
Saya akan berusaha meraih cita-cita saya.
10) Anadiplosis
Anadiplosis ialah gaya bahasa repetisi yang kata atau frase terakhir dari suatu kalimat atau klausa menjadi kata atau frase pertama pada klausa atau kalimat berikutnya.
Contoh:
Dalam baju ada aku,
Dalam aku ada hati.
Dalam hati : ah tak apa jua yang ada.
Dalam raga ada darah
Dalam darah ada tenaga
Dalam tenaga ada daya
Dalam daya ada segalanya
11) Pararima
Majas pararima merupakan pengulangan konsonan awal dan akhir dalam kata atau bagian kata yang berlainan. Pararima merupakan gaya bahasa yang pada mulanya menegaskan sesuatu yang dianggap kurang tepat kemudian diperbaiki.
Contoh:
Sepertinya saya pernah menyampaikan hal ini dua hari yang lalu. Ah bukan, kemarin.
Tujuan kami menghadap Pak Lurah, ingin mengadakan acara parade bedug, maksudnya meminta izin untuk mengadakan parade bedug.
12) Aliterasi
Sejenis gaya bahasa yang berwujud perulangan konsonan pada suatu kata atau beberapa kata, biasanya terjadi pada puisi. Aliterasi merupakan majas perulangan yang memanfaatkan purwakanti atau kata-kata yang suku kata awalnya memiliki persamaan bunyi (Suprapto, 1991: : 6).
Contoh:
Mengalir, mengambus, mendesak, mengepung.
Memenuhi sukma, menawan tubuh.
Serasa manis semilir angin.
Selagu merdu, dersik bayu.
Kau keraskan kalbunya.
Bagai batu membesi benar.
Timbul telangkai bertongkat urat.
Ditunjang pengacara petah pasih.
13) Asonansi
Asonansi ialah sejenis gaya bahasa perulangan yang berupa perulangan vokal, pada suatu kata atau beberapa kata. Biasanya dipergunakan dalam puisi untuk mendapatkan efek penekanan.
Contoh:
Segala ada menekan dada.
Mati api di dalam hati.
Harum sekuntum bunga rahasia.
Dengan hitam kelam.
b. Gaya Bahasa Perbandingan
Majas perbandingan adalah majas yang cara melukiskan keadaan apapun dengan menggunakan perbandingan antara satu hal dengan hal lain. Yang termasuk majas ini misalnya majas asosiasi, metafora, personifikasi, alegori, pleonasme, dan lain-lain.
1) Simile
Perumpamaan ialah padanan kata atau simile yang berarti seperti. Secara eksplisit jenis gaya bahasa ini ditandai oleh pemakaian kata: seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, serupa. Istilah simile berasal dari bahasa Latin simile yang bermakna seperti. Majas simile merupakan majas yang menggambarkan suatu keadaan dengan membanding-bandingkan suatu hal dengan hal lainnya yang pada hakikatnya berbeda namun disengaja untuk dipersamakan (Ducrot dan Todorov, 1981 : 279). Hal-hal tersebut dibandingkan secara eksplisit dengan penggunaan kata-kata seperi, bagaikan, laksana, umpama, dan lain-lain.
Simile merupakan pengungkapan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan dan pengubung, seperti layaknya, bagaikan, dan lain-lain. Simile adalah bahasa kiasan berupa pernyataan satu hal dengan hal lain dengan menggunakan kata-kata pembanding. Secara eksplisit jenis gaya bahasa ini ditandai oleh pemakaian kata: seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, serupa.
Contoh:
Seperti air di daun talas.
Wajahnya bagaikan bulan kesiangan.
Umpama kucing dengan tikus.
Laksana air dengan minyak.
Nyalakanlah semangat serupa dian nan tak kunjung padam.
Bersabarlah ibarat samudra yang mampu menampung keluh kesah segala muara.
2) Metafora
Metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang artinya memindahkan. Istilah metaphora diturunkan dari kata meta yang artinya di atas dan pherein yang artinya membawa (Tarigan, 1993 : 141). Suatu majas yang sering lali menimbulkan penambahan kekuatan dalam suatu kalimat. Majas metafora membatu orang yang berbicara atau menulis untuk menggambarkan hal-hal dengan jelas, dengan cara membanding-bandingkan suatu hal dengan hal lain yang emiliki ciri-ciri dan sifat yang sama.
Perbedaan metafora dengan simile yaitu, majas metafora bersifat implisit sedangkan majas simile bersifat eksplisit. Dibandingkan dengan majas lainnya, majas metafora merupakan majas yang paling singkat, padat, dan rapi. Poerwadarminta menjelaskan, metafora yaitu majas dengan pemakaian kata-kata yang memiliki arti lain, tetapi merupakan lukisan yang didasarkan persamaan atau perbandingan (1976 : 648)
Contoh :
Pustaka itu gudangnya ilmu, dan membaca adalah kuncinya.
Kesabaran adalah bumi.
Kesadaran adalah matahari.
Keberanian menjelma kata-kata.
Dan perjuangan adalah pelaksana kata-kata (sebuah bait yang diambil dari puisi Rendra).
Dewi malam telah keluar dari peraduannya (dewi malam = bulan).
Karena tingkahnya, mereka telah menjadi sampah masyarakat (sampah masyarakat = manusia-manusia yang tak berguna dalam masyarakat).
Semangatnya masih berkobar-kobar untuk meneruskan perjuangannya (berkobar-kobar = semangat yang hebat diumpamakan dengan nyala api).
Aku adalah angin yang kembara.
3) Personifikasi
Personifikasi ialah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat insani pada barang atau benda yang tidak bernyawa ataupun pada ide yang abstrak. Personifikasi merupakan pengungkapan dengan menggunakan perilaku manusia yang diberikan kepada sesuatu yang bukan manusia. Personifikasi adalah majas yang menerapakan sifat-sifat manusia terhadap benda mati. Personifikasi atau penginsanan adalah gaya bahasa yang mempersamakan benda-benda dengan manusia, punya sifat, kemampuan, pemikiran, perasaan, seperti yang dimiliki dan dialami oleh manusia.
Contoh:
Angin bercakap-cakap bersama daun-daun, bunga-bunga, kabut dan titik embun.
Indonesia menangis, duka nestapa Aceh memeluk dengan erat sanubari bangsaku.
Saat kulihat rembulan, dia seperti tersenyum kepadaku.
Badai menderu-deru.
Lautan mengamuk.
Hatinya berkata bahwa perbuatan ini tak boleh dilakukannya.
Angin melambai-lambai.
Deru ombak memanggil-manggil.
Bunga ros menjaga dirinya dengan duri.
4) Depersonifikasi
Depersonifikasi ialah gaya bahasa yang melekatkan sifat-sifat suatu benda tak bernyawa pada manusia atau insan. Biasanya memanfaatkan kata-kata: kalau, sekiranya, jikalau, misalkan, bila, seandainya, seumpama. Depersonifikasi: Pengungkapan dengan tidak menjadikan benda-benda mati atau tidak bernyawa. Depersonifikasi adalah majas yang berupa pembandingan manusia dengan bukan manusia atau dengan benda. Majas ini mirip dengan majas metafora.
Contoh:
Kalau engkau jadi bunga, aku jadi tangkainya.
Dikau langit, daku bumi.
Aku heran melihat Tono,mematung.
5) Alegori
Alegori sering mengandung sifat-sifat moral spiritual. Biasanya alegori tersebut membangun cerita yang rumit dengan maksut yang terselubung. Cerita fabel dan parabel merupakan alegori-alegori yang pendek. Alegori yaitu gaya basa yang memperlihatkan perbandingan yang utuh, yang membentuk kemanunggalan kang paripurna, merupakan rangkaian cerita yang dipergunakan sebagai perlambang untuk mendidik atau menerangkan suatu hal (Suprapto, 1991 : 10).
Alegori ialah gaya bahasa yang menggunakan lambang-lambang yang termasuk dalam alegon antara lain: fabel dan parabel. Alegori ialah gaya bahasa yang menyatakan dengan cara lain, melalui kiasan atau penggambaran. Alegori adalah kata kiasan berbentuk lukisan/cerita kiasan, merupakan metafora yang dikembangkan.
Contoh:
Menuju ke Laut
(Sutan Takdir Alisjahbana)
Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun,
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun,
dari mimpi yang nikmat.
.
Ombak riak berkejar-kejaran
di gelanggang biru di tepi langit.
Pasir rata berulang di kecup,
tebing curam ditentang diserang,
dalam bergurau bersama angin,
dalam berlomba bersama mega.
.
Sejak itu jiwa gelisah
Selalu berjuang tiada reda.
Ketenangan lama serasa beku,
gunung pelindung rasa pengalang.
Berontak hati hendak bebas,
menyerang segala apa mengadang.
.
Gemuruh berderau kami jatuh,
terhempas berderai mutiara bercahaya.
Gegap gempita suara mengerang,
Dahsyat bahna suara menang.
Keluh dan gelak silih berganti,
pekik dan tempik sambut menyambut.
.
Tetapi betapa sukanya jalan,
bedana terhembas, kepala tertumbuk,
hati hancur, pikiran kusut, namun kembali tiada ingin
namun kembali diada angin,
ketenangan lama tiada diratap.
.
Kami telah meninggalkan engkau,
Tasik yang tenang tiada beriak,
diteduhi gunung yang rimbun,
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun,
dari mimpi yang nikmat.
6) Alusio
Alusio merupakan pemakaian ungkapan yang tidak diselesaikan karena sudah dikenal. Alusio adalah gaya bahasa yang menampilkan adanya persamaan dari sesuatu yang dilukiskan yang sebagai referen sudah dikenal pembaca.
Contoh:
Bandung dikenal sebagai Paris Jawa.
Cirebon dikenal sebagai Kota Udang.
Sukarno-Sukarno kecil menunjukkan kebolehannya dalam lomba pidato.
7) Antitesis
Secara kalamiah antitesis diturunkan dari kata ‘antithesis’ yang artinya ‘musuh yang cocok’ atau pertentangan sang yang benar-benar (Poerwadarminta, 1976 : 52). Majas antitesis tersebut sejenis majas yang sengaja mengadakan komparasi (perbandingan) antara dua antonim (yaitu dua kata yang memiliki ciri semantik yang sebaliknya). Antitesis ialah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan.
Contoh:
Dia gembira atas kegagalanku dalam ujian.
Tua muda, besar kecil ikut meramaikan pesta itu.
Kaya miskin, cantik jelek, pintar bodoh semuanya sama di mata Tuhan.
Semua kebaikan ayahnya dibalas dengan keburukan sifatnya.
8) Pleonasme
Pleonasme adalah penggunaan kata yang mubazir yang sebesarnya tidak perlu. Pleonasme merupakan majas yang dipergunakan dengan cara menambahkan keterangan pada pernyataan yang sudah jelas atau menambahkan keterangan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Contoh:
Dia turun ke bawah → Dia turun
Dia naik ke atas → Dia naik
Capek mulut saya berbicara. → Capek saya bicara.
9) Tautologi
Tautologi adalah gaya bahasa yang menggunakan kata atau frase yang searti dengan kata yang telah disebutkan terdahulu. Tautologi merupakan pengulangan kata dengan menggunakan sinonimnya. Tautologi adalah sarana retorika yang menyatakan sesuatu secara berulang dengan kata-kata yang maknanya sama supaya diperoleh pengertian yang lebih mendalam. Tautologi merupakan suatu majas perulangan yang cara melukiskanya dengan mengulang-ulang kata yang ada dalam kalimat (Suprapto, 1991 : 85).
Contoh :
Tak ada badai tak ada topan, tiba-tiba saja ia marah.
So pasti, buku-buku bermutu banyak memberikan manfaat bagi para pembacanya.
Apa maksud dan tujuannya datang ke mari?
10) Perifrasis
Perifrasis ialah gaya bahasa yang dalam pernyataannya sengaja menggunakan frase yang sebenarnya dapat diganti dengan sebuah kata saja. Perifrase merupakan ungkapan yang panjang sebagai pengganti ungkapan yang lebih pendek. Parifrasis adalah majas yang berfungsi menggantikan serangkaian kata yang mempunyai arti sama.
Contoh:
Nissa telah menyelesaikan sekolah dasarnya tahun 2008 (lulus).
Kelima orang itu segera meninggalkan kampung kita (diusir).
Ia telah dipanggil Sang Maha Pemilik Hidup (meninggal).
11) Antisipasi (prolepsis)
Antisipasi ialah gaya bahasa yang dalam pernyataannya menggunakan frase pendahuluan yang isinya sebenarnya masih akan dikerjakan atau akan terjadi. Prolepsis adalah majas yang menggunakan kalimat pendahuluan tetapi makna sebenarnya akan diketahui belakangan.
Contoh:
Aku melonjak kegirangan karena aku mendapatkan piala kemenangan.
Dia tertawa terbahak-bahak karena menonton humor di televisi.
12) Koreksio (epanortosis)
Koreksio ialah gaya bahasa yang dalam pernyataannya mula-mula ingin menegaskan sesuatu. Namun, kemudian memeriksa dan memperbaiki yang mana yang salah. Koreksio: Ungkapan dengan menyebutkan hal-hal yang dianggap keliru atau kurang tepat, kemudian disebutkan maksud yang sesungguhnya. Dipakai untuk membetulkan kembali apa yang salah diucapkan baik yang disengaja maupun tidak.
Contoh:
Dia adikku! Eh, bukan, dia kakakku!
Gedung Sate berada di Kota Jakarta. Eh, bukan, Gedung Sate berada di Kota Bandung.
Silakan Riki maju, bukan, maksud saya Rini
13) Antropomorfisme
Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia. Majas Antropomorfisme adalah majas Metafora yang menggunakan kata atau bentuk lain yang berhubungan dengan manusia untuk hal yang bukan manusia.
Contoh:
Mulut gua itu sangat sempit.
Kaki meja terlalu tinggi.
14) Sinestesia
Majas yang berupa suatu ungkapan rasa dari suatu indra yang dicurahkan lewat ungkapan rasa indra lainnya. Dalam majas sinestesis, perbandingan dilakukan dengan cara membandingkannya dengan sesuatu yang dapat dirasakan oleh panca indera.
Contoh:
Kau tau ketika aku membongkar niat buruknya. Ia hanya terdiam, wajahnya berubah total, memucat masam.
Senyumnya yang manis merekah dan terasa begitu hangat, membuat diriku senantiasa mengingatnya. Sulit sekali bagi diriku jika tak memikirkannya.
15) Antonomasia
Majas antonomasia merupakan penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis. Majas perbandingan yang menyebutkan sesuatu bukan dengan nama asli dari benda tersebut, melainkan dari salah satu sifat benda tersebut.
Contoh:
Hei Jangkung!
Si Pintar
Si Gemuk
Si Kurus
16) Aptronim
Majas Aptronim merupakan majas yang digunakan dalam pemberian nama yang cocok dengan sifat atau pekerjaan orang.
Contoh :
Sulit kalau bicara dengan Si Bolot, orang bertanya ke mana dijawab ke mana.
Karena sehari-hari ia bekerja sebagai kusir gerobak, ia dipanggil Karto Grobak.
Karena pekerjaanya sebagai penjual siomay Buyung mendapat julukan Buyung Siomay.
17) Metonimia
Pengungkapan berupa penggunaan nama untuk benda lain yang menjadi merek, ciri khas, atau atribut. Apabila sepatah kata atau sebuah nama yang berasosiasi dengan suatu benda dipakai untuk menggantikan benda yang dimaksud. Metonemia adalah bahasa kiasan dalam bentuk penggantian nama atas sesuatu.
Contoh:
Kita harus bersyukur tinggal di negeri Zamrud Khatulistiwa yang elok permai ini.
Panda banyak terdapat di negeri Tirai Bambu.
Ayah selalu mengisap Djarum Super (Djarum Super adalah merk rokok). Mengisap Djarum Super artinya mengisap rokok merk Djarum Super.
Pak guru mengendarai Kijang (Kijang adalah jenis mobil). Mengendarai Kijang artinya mengendarai mobil jenis Kijang.
Ayah mengendarai Vespa (Vespa adalah merk skuter). Mengendarai Vespa artinya mengendarai skuter merk Vespa.
18) Asosiasi
Majas asosiasi merupakan majas perbandingan yang cara melukiskan suatu hal dengan cara membandingkan suatu hal dengan hal lain, sesuai dengan keadaan hal yang dimaksud (Suprapto, 1991 : 14). Asosiasi adalah perbandingan terhadap dua hal yang berbeda, namun dinyatakan sama. Gaya bahasa ini memberikan perbandingan terhadap sesuatu benda yang sudah disebutkan. Perbandingan itu menimbulkan asosiasi terhadap banda sehingga gambaran tentang benda atau hal yang disebutkan itu menjadi lebih jelas.
Contoh:
Semangatnya keras bagai baja.
Pikirannya kusut bagai benang dilanda ayam.
Suaranya merdu bagai buluh perindu.
19) Hipokorisme
Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib. Hipokorisme adalah penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib. Majas Hipokorisme adalah Penggunaan nama timangan atau kata yang dipakai untuk menunjukkan hubungan karib.
Contoh:
Lama Otok hanya memandangi ikatan bunga biji mata itu, yang membuat Otok kian terkesima.
Si Ujang sangat suka memancing.
20) Tropen
Majas tropen yaitu majas perbandingan yang cara menggambarkan suatui pekerjaan dengan menggunakan kata-kata yang memiliki pengertian yang sama (Suprapto, 1991 : 88). Majas tropen ialah kiasan yang memakai kata-kata yang tepat dan sejajar dengan arti yang dimaksud.
Contoh :
Tiap malam ia menjual suara dari satu panggung ke panggung lainnya.
Untuk membela anak istri, kurelakan walau bermandi darah.
Pikirannya melayang-layang entah kemana.
c. Gaya Bahasa Pertentangan
Majas pertentangan yaitu majas yang cara melukiskan hal apapun dengan mempertentangkan antara hal yang satu dengan hal yang lainnya. Yang termasuk ke dalam jenis majas ini antara lain hiperbola, litotes, oksimoron, paronomasia, ironi, paralipsis, dan lain-lain.
1) Hiperbola
Hiperbola ialah gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan baik jumlah, ukuran, ataupun sifatnya dengan tujuan untuk menekan, memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Hiperbola merupakan pengungkapan yang melebih-lebihkan kenyataan sehingga kenyataan tersebut menjadi tidak masuk akal. Adalah sepatah kata yang diganti dengan kata lain yang memberikan pengertian lebih hebat daripada kata lain.
Contoh:
Harga-harga sudah meroket.
Ketika mendengar berita itu, mereka terkejut setengah mati
Saya ucapkan beribu-rbu terima kasih atas perkenan Bapak dan Ibu menghadiri undangan panitia.
Bertemu dengan kamu sayang, wahai sahabatku yang elok dan indah, syahdu, hati berbunga-bunga sejuta rasanya terbang melayang di angkasa bahagia.
Pemikiran-pemikirannya tersebar ke seluruh dunia.
2) Antitesis
Pengungkapan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan arti satu dengan yang lainnya. Majas pertentangan yang menggunakan paduan kata yang berlawanan arti.
Contoh:
Tua muda, besar kecil, semuanya hadir di tempat itu.
Kaya miskin, cantik jelek, pintar bodoh semuanya sama di mata Tuhan.
Semua kebaikan ayahnya dibalas dengan keburukan sifatnya.
3) Anakronisme
Ungkapan yang mengandung ketidaksesuaian dengan antara peristiwa dengan waktunya. Anakronisme merupakan majas yang mengungkapkan sesuatu yang bertentangan dengan waktu kejadian yang dibicarakan (anakronisme, ana = mundur; chronos = waktu). Biasanya majas ini digunakan untuk menceritakan sesuatu yang telah terjadi (masa lalu atau sejarah) dan menambahkan unsur-unsur yang belum ada kala itu dalam menyatakan sesuatu.
Contoh :
Sambil menyalakan TV, sekali-sekali Hang Tuah melirik jam tangan Titusnya. Sementara tidak jauh, tampak Hang Jebat sedang bermain golf.
Pasukan Kerajaan Majapahit mengendarai panser menuju peperangan.
4) Litotes
Litotes ialah majas yang berupa pernyataan yang bersifat mengecilkan kenyataan yang sebenarnya. Litotes : ungkapan berupa penurunan kualitas suatu fakta dengan tujuan merendahkan diri. Apabila kita menggunakan kata yang berlawanan artinya dengan yang dimaksud dengan merendahkan diri terhadap orang yang berbicara.
Contoh:
Sekali-kali datanglah ke gubuk reotku.
Wanita itu parasnya tidak jelek.
Akan kutunggu engkau di bilikku yang kumuh di desa.
Apa yang kami berikan ini memang tak berarti buatmu.
5) Ironi
Ironi ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang isinya bertentangan dengan kenyataan yang sebenarnya. Ironi merupakan sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut. Ialah salah satu majas sindiran yang dikatakan sebaliknya dari apa yang sebenarnya dengan maksud menyindir orang dan diungkapkan secara halus. Ironi/ sindiran adalah gaya bahasa berupa penyampaian kata-kata denga berbeda dengan maksud dengan sesungguhnya, tapi pembaca/pendengar, di harapkan memahami maksud penyampaian itu.
Contoh:
Kuakui, kutu buku yang satu ini memang berpengetahuan luas sekali.
Hambur-hamburkan terus uangmu itu agar bias menjadi jutawan.
Kota Bandung sangatlah indah dengan sampah-sampahnya.
Bagus benar rapormu, sampai tidak naik kelas.
6) Oksimoron
Oksimoron ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang di dalamnya mengandung pertentangan dengan menggunakan kata-kata yang berlawanan dalam frase atau dalam kalimat yang sama. Karakteristik yang membedakannya dengan majas paradoks ialah pada oksimoron pertentangan diucapakan dalam satu frase yang sama.
Contoh:
Olahraga mendaki gunung memang amat menarik walupun sangat membahayakan.
Dalam hidup dan matiku hanya Kau sajalah yang aku puja.
Di kala senang ataupun susah kita kan menghadapi hidup bersama-sama.
7) Paronomosia
Paronomasia ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang berisi penjajaran kata-kata yang sama bunyinya, tetapi berlainan maknanya.
Contoh:
Bisa ular itu bisa masuk ke sel-sel darah.
Bak seekor lumba-lumba, ia menceburkan diri ke bak mandi.
Tanggal dua gigiku tanggal dua.
8) Zeugma
Zeugma ialah gaya bahasa yang menggunakan dua konstruksi rapatan dengan cara menghubungkan sebuah kata dengan dua atau lebih kata lain. Dalam zeugma kata yang dipakai untuk membawahkan kedua kata berikutnya sebenarnya hanya cocok untuk salah satu dari padanya. Zeugma: Silepsi dengan menggunakan kata yang tidak logis dan tidak gramatis untuk konstruksi sintaksis yang kedua, sehingga menjadi kalimat yang rancu. Zeugma adalah majas yang merupakan koordinasi atau gabungan gramatis dua kata yang mengandung ciri-ciri semantik yang bertentangan, seperti abstrak dan kongkrit.
Contoh:
Kami mendengar berita itu dari radio dan membacanya di surat kabar.
Kita harus jadi bangsa yang peramah bukan pemarah.
Kita harus berbuat baik di dunia dan di akhirat.
9) Silepsis
Dalam silepsis kata yang dipergunakannya itu secara gramatikal benar, tetapi kata tadi diterapkan pada kata lain yang sebenarnya mempunyai makna lain. Silepsis: Penggunaan satu kata yang mempunyai lebih dari satu makna dan yang berfungsi dalam lebih dari satu konstruksi sintaksis.
Contoh:
Fungsi dan sikap bahasa.
Seharusnya: Fungsi bahasa dan sikap bahasa. Fungsi bahasa maknanya fungsi dari bahasa, sikap bahasa maknanya sikap terhadap bahasa (Diksi dan Gaya Bahasa, Gorys Keraf)
Ia sudah kehilangan topi dan semangatnya.
Sehausnya: Ia sudah kehilangan topi dan kehilangan semangatnya. Kedua konstruksi kalimat tersebut memiliki makna gramatikal yang berbeda. Konstruksi yang satu bermakna denotasional dan yang lainnya bermakna kiasan. (Diksi dan Gaya Bahasa, Gorys Keraf).
10) Satire
Satire ialah gaya bahasa sejenis argumen atau puisi atau karangan yang berisi kritik sosial baik secara terang-terangan maupun terselubung. Satire: Ungkapan yang menggunakan sarkasme, ironi, atau parodi, untuk mengecam atau menertawakan gagasan, kebiasaan, dll. Satire adalah gaya bahasa sejenis ironi yang mengandung kritik atas kelemahan manusia agar terjadi kebaikan. Tidak jarang satire muncul dalam bentuk puisi yang mengandung kegetiran tapi ada kesadaran untuk berbenah diri.
Contoh:
Aku lalai di pagi hari
Beta lengah di masa muda
Kini hidup meracun hati
Miskin ilmu miskin harta
.
(Bait II puisi Menyesal karya M. Ali Hasymi)
11) Antifrasis
Antifrasis ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang menggunakan sebuah kata dengan makna kebalikannya. Berbeda dengan ironi, yang berupa rangkaian kata yang mengungkapkan sindiran dengan menyatakan kebalikan dari kenyataan, sedangkan pada antifrasis hanya sebuah kata saja yang menyatakan kebalikan itu.
Contoh Antifrasis:
Lihatlah si raksasa telah tiba (maksudnya si cebol).
Lihatlah orang tercantik didesa ini sudah datang (maksud dari kalimat ini adalah dia orang terjelek di kampungnya).
Contoh ironi:
Kami tahu bahwa kau memang orang yang jujur sehingga tak ada satu orang pun yang percaya padamu.
Harum benar kamu pagi ini, sampai-sampai aku ingin muntah.
12) Paradoks
Paradoks ialah gaya bahasa yang mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada. Paradoks: Pengungkapan dengan menyatakan dua hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya keduanya benar. Majas ini terlihat seolah-olah ada pertentangan. Paradoks adalah gaya bahasa berupa pernyataan yang mengandung kontras atau pertentangan, namun ternyata mengandung kebenaran.
Contoh:
Betapa banyak orang yang dalam kesendiriannya merasa kesepian di kota sehiruk-pikuk Jakarta.
Sebagai dosen, terus terang, saya juga banyak belajar dari mahasiswa-mahasiswi saya.
Gajinya besar, tapi hidupnya melarat. Artinya, uang cukup, tetapi jiwanya menderita.
Teman akrab adakalanya merupakan musuh sejati.
13) Klimaks
Klimaks ialah gaya bahasa yang berupa susunan ungkapan yang makin lama makin mengandung penekanan atau makin meningkat kepentingannya dari gagasan atau ungkapan sebelumnya. Klimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang sederhana/ kurang penting meningkat kepada hal yang kompleks/lebih penting. Klimaks, yang disebut juga gradasi, adalah gaya bahsa berupa ekspresi dan pernyataan dalam rincian yang secara periodek makin lama makin meningkat, baik kuantitas, kualitas, intensitas, nilainya. Klimaks dalah semacam gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal yang dituntut semakin lama semakin meningkat.
Contoh :
Kesengsaraan akan membuahkan kesabaran, kesabaran membuahkan pengalaman, dan pengalaman membuahkan harapan.
Dalam apresiasi sastra, mula-mula kita hanya membaca selayang pandang puisi yang akan kita apresiasi, lalu kita membaca berulang-ulang sampai paham maksudnya, merasakan keindahannya, terus mengkajidalami, bisa membawakannya penuh penghayatan, sampai kita mampu menghargai keberadaan dan mencintainnya, syukur juga terpangil untuk kreatif menciptakan bentuk-bentuk sastra.
Hidup kita diharapkan berguna bagi saudara, orang tua, nusa bangsa dan negara.
14) Anti klimaks
Antiklimaks ialah suatu pernyataan yang berisi gagasan-gagasan yang disusun dengan urutan dari yang penting hingga yang kurang penting. Antiklimaks: Pemaparan pikiran atau hal secara berturut-turut dari yang kompleks/lebih penting menurun kepada hal yang sederhana/kurang penting. Antiklimaks merupakan antonim dari klimaks adalah gaya bahasa berupa kalimat terstruktur dan isinya mengalami penurunan kualitas, kuantitas intensitas. Gaya bahasa ini di mulai dari puncak makin lama makin ke bawah. Dengan demikian, antiklimaks adalah gaya bahasa yang menyatakan beberapa hal berurutan semakin lma semakin menurun.
Contoh :
Ketua pengadilan negeri itu adalah orang yang kaya, pendiam, dan tidak terkenal namanya.
Bagi milyader bakhlil ini, jangankan menyumbang jutaan rupiah, seratus ribu, lima puluh ribu, sepuluh ribu, seribu rupiah pun ia enggan, masih dihitung-hitung.
Jauh sebelum memperoleh mendali emas dalam Olimpiade Athena 2004 cabang bulutangkis, Taufik Hidayat niscaya telah menjadi juara nasional dan sebelumnya juga tingkat propinsi, kabupaten, malahan pula tingkat kecamatan, desa, RT/RW.
Bahasa Indonesia diajarkan kepada mahasiswa, siswa SLTA, SLTP, dan SD.
15) Apostrof
Apostrof ialah gaya bahasa yang berupa pengalihan amanat dari yang hadir kepada yang tidak hadir. Apostrof adalah gaya bahsa berupa pengalihan pembicaraan kepada benda atau sesuatu yang tidak bisa berbicara kepada kita terutama kepada tokoh yang tidak hadir atau sudah tiada, dengan tujuan lebih menarik atau memberi nuansa lain.
Contoh:
Wahai Dewa Yang Agung, datanglah dan lepaskan kami dari kuku cengkraman durjana.
Hai burung-burung betapa merdu nyanyianmu, wahai bunga-bunga betapa indah dan semerbak aromamu, wahai embun pagi, betapa jernih berkilau kamu laksana butiran-butiran intan tertimpa hangat sinar surya.
16) Anastrof atau inversi
Anastrof ialah gaya bahasa retoris yang diperoleh dengan membalikkan susunan kata dalam kalimat atau mengubah urutan unsur-unsur konstruksi sintaksis. Inversi artinya menyebutkan terlebih dahulu predikat dalam suatu kalimat sebelum subjeknya.
Contoh:
Diceraikannya istrinya tanpa setahu saudara-saudaranya.
Mobil ini baru sekali. → Baru sekali mobil ini.
Buku ini menarik. → Menarik buku ini.
17) Apofasis atau Preterisio
Apofasis/preterisio adalah gaya bahasa yang dipakai oleh pengarang untuk menyampaikan sesuatu yang megandung unsur kontradiksi, kelihatannya menolak tapi sebenarnya menerima, kelihatannya memuji tapi sebenarnya mengejek, sekilas nampaknya membenarkan tapi sebenarnya menyalahkan, kelihatannya merahasiakan tapi sebenarnya membeberkan. Apofasismerupakan penegasan dengan cara seolah-olah menyangkal yang ditegaskan
Contoh :
Sebenarnya saya tidak sampai hati mengatakan bahwa anakmu kurang ajar.
Saya tidak mau berterus terang kepada wartawan bahwa anda telah menggelapkan uang negara.
18) Histeron Proteran
Histeron Proteran ialah merupakan bahasa pertentangan yang sengaja digunakan pengarang yang isinya merupakan kebalikan dari suatu yang logis atau kebalikan dari sesuatu yang wajar.
Contoh :
Jika kau menang di pertandingan, artinya kematian akan datang.
Jika kau lulus ujian, kau akan ku usir dari sini.
19) Hipalase
Hipalase ialah gaya bahasa yang berupa sebuah pernyataan yang menggunakan kata untuk menerangkan suatu kata yang seharusnya lebih tepat dikarenakan kata yang lain. Hipalase adalah majas yang berupa pernyataan sindiran yang bermakna lain dari yang dimaksudkan.
Contoh:
Ia duduk pada bangku yang gelisah.
Ia masih menuntut almarhum pembayaran maskawin dari kiki puterinya (maksudnya menuntut maskawin dari almarhum).
20) Sinisme
Sinisme ialah gaya bahasa yang merupakan sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan atau ketulusan hati. Sinisme: Ungkapan yang bersifat mencemooh pikiran atau ide bahwa kebaikan terdapat pada manusia (lebih kasar dari ironi).
Contoh:
Kau memang hebat hingga pasir di gurun sahara pun dapat kau hitung.
Muntah aku melihat perangaimu yang tak pernah berubah!
Jijik aku mendengar kebiasaannya yang tak pernah berubah.
21) Sarkasme
Sarkasme ialah gaya bahasa yang mengandung sindiran atau olok-olok yang pedas atau kasar. Sarkasme: Sindiran langsung dan kasar. Gaya bahasa sindiran yang terkasar dimana memaki orang dengan kata-kata kasar dan tak sopan.
Contoh:
Soal semudah ini saja tidak bisa dikerjakan. Goblok kau!
Kau memang benar-benar bajingan.
Otakmu memang otak udang!
22) Innuendo
Sindiran yang bersifat mengecilkan fakta sesungguhnya. Inuendo adalah majas sindiran dengan cara mengecilkan kenyataan yang sebenarnya.
Contoh :
Ia memang cantik, hanya saja suka berbohong.
Dia memang baik, cuma agak kurang jujur.
23) Kontradiksi interminus
Pernyataan yang bersifat menyangkal yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Yaitu majas yang memperlihatkan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang sudahdikatakan semula. Apa yang sudah dikatakan, disangkal lagi oleh ucapan kemudian.
Contoh:
Semuanya sudah hadir, kecuali Si Amir.
Kalau masih ada yang belum hadir, mengapa dikatakan semua sudah hadir.
Semuanya telah diundang, kecuali Sinta.
Kalau semuanya diundang, mengapa Sinta tidak.
24) Praterito
Majas praterito yaitu majas yang cara mengungkapkan suatu hal dengan cara menyembunyikan maksud. Pendengar atau pembaca harus mencari atau menebak apa yang tersembunyi tersebut namun pendengar atau pembaca sudah paham dan mengerti terhadap hal yang disembunyikan itu. (Suprapto, 1991 : 64).
Contoh :
Kejadian kemarin betul-beul mempermalukan warga sekampung.
Maklumlah, hal itu sudah menjadi kebiasaan murid waktu ulangan.
25) Alonim
Majas alonim digunakan dalam penggunaan varian dari nama untuk menegaskan. Majas alonim merupakan majas yang menggunakan varian nama untuk menjelaskan sesuatu.
Contoh:
Dok, pasien sudah selesai ditrepanasi. (Dok adalah varian dari dokter).
Bagaimana jika perdarahan di otaknya tidak kunjung berhenti, Prof.? tanya mahasiswa yang antusias pada kuliah cedera kepala Prof. Maliawan.
26) Kolokasi
Majas kolokasi digunakan untuk asosiasi tetap antara suatu kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat. Majas ini mengasosiasikan satu kata dengan kata yang lain.
Contoh:
Mobil itu berderit ketika sopir menginjak rem tiba-tiba di tikungan, meninggalkan bekas ban yang tajam di jalanan yang berdebu.
Ajaib, tatapan matanya bagaikan sihir.
27) Okupasi
Majas okupasi merupakan majas pertentangan atau berlawanan yang mengandung bantahan namun bantahan tersebut kemudian diberi penjelasan (Suprapto, 1991 : 56).
Contoh :
Candu dapat merusak kehidupan, oleh karena itu pemerintah mengawasi dengan ketat, untuk pecandunya sendiri, umumnya tidak dapat menghentikan kebiasaan yang tidak baik tersebut.
Membaca merupakan jedela dunia, tetapi banyak orang yang tidak suka membaca, Maka sangat sulit mencari toko buku di daerah karena minat baca masyarakat di daerah kurang.
d. Gaya Bahasa Pertautan
Majas pertautan yang cara menjelaskan suatu keadaan dengan mengaitkan hal yang dimaksud dengan lainnya yang memiliki sifat yang berkarakteristik sama atau mirip. Yang termasuk ke dalam jenis majas pertautan di antaranya metonimia, sinekdot, alusio, eufimisme, elipsis, inverse, dan lain-lain.
1) Metonimia
Metonimia berasal dari bajasa Yunani ‘meta’ yang artinya pertukaran dan ‘onym’ yang artinya nama. Metonimia merupakan sejenis majas yang menggunakan nama suatu benda untuk suatu hal lain yang memiliki keterkaitan dengan benda yang dimaksud. Dalam metonimia, suatu benda disebutakan tetapi yang dimaksud adalah benda lain (Dale (et all), 1971 : 234). Majas metonimia merupakan majas yang mempergunakan nama ciri ataui ciri hal yang menjadi cirri terhadap hal yang dimaksud kemudian ditautakan denngan mausia, barang, atau apapun sebagai gantinya (Suprapto, 1991 : 50). Metonimia ialah gaya bahasa yang menggunakan nama barang, orang, hal, atau ciri sebagai pengganti barang itu sendiri.
Metonimia adalah majas yang memakai nama ciri atau nama hal yang ditautkan dengan orang, barang atau hal, sebagai penggantinya. Kita dapan menyebut penciptanya atau pembuatnya, jika yang kita maksudkan ciptaan atau buatannya, ataupun kita dapat menyebut bahannya jika yang kita maksudkan barangnya (Moeliono,1984:3)
Contoh:
Parker jauh lebih mahal daripada pilot.
Ayah baru saja membeli Suzuki dengan harga lima juta rupiah.
Nanti malam akan dipentaskan Shakespeare di Gedung Kebudayaan.
2) Antanaklasis
Menggunakan perulangan kata yang sama, tetapi dengan makna yang berlainan. Antanaklasis merupakan bentuk majas perulangan yang memiliki pengulangan kata yang sama tetapi berbeda maksudnya. Jadi, majas antanaklasis itu majay yang menulang kata homonimi (Ducrot dan Todorov, 1981 : 227).
Contoh :
Angga membawa kembang untuk kembang desa yang dipujanya.
Enaknya lintah darat itu mulutnya disumpal lintah, biar kapok.
Karena buah penanya itu menjadi buah bibir orang.
3) Simbolik
Simbolik adalah majas yang menggambarkan sesuatu yang menggunakan benda-benda sebagai simbol atau lambang. Majas simbolik melukiskan sesuatu dengan menggunakan simbol atau lambang untuk menyatakan maksud.
Contoh :
Cintaku kepadamu tak akan pernah layu, bagai bunga surga.
Cintaku kepadamu kan selalu bergelora, bagai ombak samudra.
Jalan hidupnya seperti benang kusut.
4) Sinekdoke
Sinekdoke ialah gaya bahasa yang menyebutkan nama sebagian sebagai nama pengganti barang sendiri. Sinekdoke adalah bahasa kiasan dengan cara menyebutkan sesuatu bisa sebagian untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto), bisa pula sebaliknya keseluruhan digunakan untuk menyebut yang sebagian (totem pro parte). Pars pro toto: Pengungkapan sebagian dari objek untuk menunjukkan keseluruhan objek. Totem pro parte: Pengungkapan keseluruhan objek padahal yang dimaksud hanya sebagian.
Contoh Sinekdoke pars pro toto:
Lima ekor kambing telah dipotong pada acara itu.
Korban gelombang Tsunami 26 Desember 2004 mencapai 100 jiwa lebih.
Dalam Idul Adha tahun ini, Masjid Al-Amin berkurban 6 ekor sapi 10 ekor kambing.
Contoh Sinekdoke totem pro parte:
Dalam pertandingan itu Indonesia menang satu lawan Malaysia.
Dalam copa Amerika 2004, Brazil mengalahkan Argentina.
Karya-karya menjadi cindera mata bagi dunia
5) Alusio
Alusio ialah gaya bahasa yang menunjuk secara tidak langsung ke suatu pristiwa atau tokoh yang telah umum dikenal/ diketahui orang. Alusio adalah majas yang menggunakan pribahasa atau ungkapan. Alusi adalah majas yang secara tidak langsung menunjuk kepada tokoh, tempat, atau peristiwa.
Contoh:
Apakah peristiwa Madiun akan terjadi lagi di sini?
Setelah kepergian ayahnya, siapa yang akan menjadi tulang punggung keluarganya?
Tugu ini mengenangkan kita kembali ke peristiwa Bandung Selatan.
6) Eufimisme
Eufimisme ialah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasa lebih kasar yang dianggap merugikan atau yang tidak menyenangkan. Eufimisme: Pengungkapan kata-kata yang dipandang tabu atau dirasa kasar dengan kata-kata lain yang lebih pantas atau dianggap halus. Eufemisme adalah gaya bahasa berupa pengungkapan yang sifatnya menghaluskan supaya tidak menyinggung perasaan, tidak terasa tajam. Eufimisme berasal dari bahasa Yunani ‘euphemizein’ yang berarti ‘berbicara dengan menggunakan kata-kata yang jelas dan wajar’. Euphemizein diturunkan dari kata ‘eu’ yang berarti baik atau bagus ‘phanai’ yang berarti bicara. Jadi jelas, eufimisme artinya pandai berbicara baik (Dale (et all) 1971 : 239).
Contoh:
Karena melakukan suatu perbuatan yang kurang pas, Pak Bandot akhirnya dikenai pensiun dini. (Terlibat skandal, korupsi, dipecat, di PHK).
Anak itu tinggal kelas karena agak terlambat dalam mengikuti pelajaran. (Bodoh)
Tunasusila sebagai pengganti pelacur.
7) Disfemisme
Majas disfemisme adalah pengungkapan pernyataan tabu atau yang dirasa kurang pantas sebagaimana adanya.
Contoh :
Hati-hati, kita mulai masuk hutan larangan. Di sini banyak hantu!
Perbuatannya yang tidak senonoh telah merusak kehormatan gadis itu.
Apa kabar, Roni? (Padahal, ia sedang bicara kepada bapaknya sendiri).
8) Eponim
Eponim ialah gaya bahasa yang menyebut nama seseorang yang begitu sering dihubungkan dengan sifat tertentu sehingga nama itu dipakai untuk menyatakan sifat itu. Eponim: Menjadikan nama orang sebagai tempat atau pranata. Eponim adalah majas dimana nama dari seseorang begitu sering dihubungakan dengan sifat tertentu, sehingga nama tersebut dipakai sebagai pengganti dari sifat orang tersebut.
Contoh:
Dengan latihan yang sungguh-sungguh, saya yakin Anda akan menjadi Mike Tyson.
Kita bermain ke Ina. (Dalam hal ini, Ina menjadi perwakilan dari lokasi rumah milik Ina).
Belajarlah yang giat, maka kau akan menjadi Einsten.
9) Antonomasia
Antonomasia ialah gaya bahasa yang berupa pernyataan yang menggunakan gelar resmi atau jabatan sebagai pengganti nama diri. Penggunaan sifat sebagai nama diri atau nama diri lain sebagai nama jenis. Antomasia dalah majas yang memakai sifat atau ciri tubuh, gelar atau jabatan seseorang sebagai pengganti nama diri.
Contoh:
Kepala sekolah mengundang para orang tua murid.
Pangeran tidak bisa menghadiri jamuan makan malam hari ini.
10) Epitet
Epitet ialah gaya bahasa yang berupa keterangan yang menyatakan sesuatu sifat atau ciri yang khas dari seseorang atau suatu hal.
Contoh:
Dewi malam menyambut kedatangan sepasang remaja yang sedang dimabuk asmara.
Lonceng pagi untuk ayam jantan.
11) Erotesis
Majas erotesis merupakan majas yang mengungkapkan sesuatu dalam bentuk pertanyan yang tidak menuntut atau memerlukan suatu jawaban. Erotesis ialah gaya bahasa yang berupa pertanyaan yang tidak menuntut jawaban sama sekali. Erotesis atau pertanyaan retoris
ialah pernyataan yang dipergunakan dalam pidato atau tulisan dengan tujuan untuk mencapai efek yang lebih mendalam dan penekanan yang wajar, dan sama sekali tidak menghendaki adanya suatu jawaban.
Contoh:
Tegakah membiarkan anak-anak dalam kesengsaraan?
Apakah kau akan terus membiarkan cintamu menjauh?
Dimana letak akal para penipu rakyat itu?
12) Paralelisme
Paralelisme ialah gaya bahasa yang berusaha menyejajarkan pemakaian kata-kata atau frase-frase yang menduduki fungsi yang sama dan memiliki bentuk gramatikal yang sama. Paralelisme: Pengungkapan dengan menggunakan kata, frase, atau klausa yang sejajar. Pengulangan kata-kata untuk menegaskan yang terdapat pada puisi. Bila kata yang diulang pada awal kalimat dinamakan anaphora, dan jika terdapat pada akhir kalimat dinamakan evipora.
Contoh:
Kau berkertas putih
Kau bertinta hitam
Kau beratus halaman
Kau bersampul rapi.
Kalau kau mau aku akan datang
Jika kau menginginkan aku akan datang
Bila kau minta aku akan datang
Andai kau ingin aku akan datang
+ Bukan saja perbuatan itu harus dikutuk, tetapi juga harus diberantas.
– Bukan saja perbuatan itu harus dikutuk, tetapi juga harus memberantasnya (Ini contoh yang tidak baik).
13) Elipsis
Elipsis ialah gaya bahasa yang di dalamnya terdapat penanggalan atau penghilangan salah satu atau beberapa unsur penting dari suatu konstruksi sintaksis. Elipsis: Penghilangan satu atau beberapa unsur kalimat, yang dalam susunan normal unsur tersebut seharusnya ada. Elipsis adaklah gaya bahasa berupa penyusunan kalimat yang mengandung kata-kata yang sengaja dihilangkan yang sebenarnya bisa diisi oleh pembaca/penyimak.
Contoh:
Pembangunan mencakup dua hal yakni pembangunan material dan ……., pembangunan lahiriah dan …….., pembangunan individual dan ……….
Apa saja yang ada di dunia serta berpasangan ada siang ada ….……, ada baik ada …….., ada terang ada ………, ada pertemuan ada …….., roda berputar kadang di atas kadang …………
Mereka ke Jakarta minggu lalu (perhitungan prediksi).
Pulangnya membawa oleh-oleh banyak sekali (Penghilangan subjek).
Saya sekarang sudah mengerti (Penghilangan objek).
Saya akan berangkat (penghilangan unsur Keterangan).
Mari makan! (penghilangan subyek dan objek).
14) Gradasi
Gradasi ialah gaya bahasa yang mengandung beberapa kata (sedikitnya tiga kata) yang diulang dalam konstruksi itu. Gradasi yaitu majas yang memiliki rangkaian atau urutan sedikitnya tiga kata atau istilah yang secara sintaksis kata atau istilah tersebut memiliki satu ciri semantik atau lebih (Ducrot dan Todorov, 1981 : 277).
Contoh :
Kita tengah berjuang melawan musuh dengan satu tekad, tekad terus maju, maju dalam kehidupan, kehidupan yang baik, baik secara rohani ataui jasmani, rohani atau jasmani yang diridhoi, diridhoi oleh Gusti Allah, Gusti Allah yang memiliki hidup dan mati. Hidup dan mati kita semua.
15) Asindeton
Asindenton ialah gaya bahasa yang berupa sebuah kalimat atau suatu konstruksi yang mengandung kata-kata yang sejajar, tetapi tidak dihubungkan dengan kata-kata penghubung. Asindeton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana tanpa kata penghubung. Beberapa hal keadaan atau benda disebutkan berturut-turut tanpa menggunakan kata penghubung.
Contoh:
Meja, kursi, lemari ditangkubkan dalam kamar itu.
Ayah, ibu, anak merupakan inti dari sebuah keluarga.
Dan kesesakan, kepedihan, kesedihan, kesakitan, dan seribu derita detik-detik penghadapan orang melepaskan nyawa.
16) Polisindeton
Polisindenton ialah gaya bahasa yang berupa sebuah kalimat atau sebuah konstruksi yang mengandung kata-kata yang sejajar dan dihubungkan dengan kata-kata penghubung. Polisindenton: Pengungkapan suatu kalimat atau wacana, dihubungkan dengan kata penghubung.
Contoh:
Pembangunan memerlukan sarana dan prasarana juga dana serta kemampuan pelaksana.
Kemanakah burung-burung yang gelisah dan tak berumah dan tak menyerah pada gelap dan dingin yang merontokkan bulu-bulunya?
17) Retoris
Ungkapan pertanyaan yang jawabannya telah terkandung di dalam pertanyaan tersebut. Gaya bahasa penegasan ini mempergunakan kalimat Tanya-tak-bertanya. Sering menyatakan kesangsian atau bersifat mengejek. Erotesis/pertanyaan retoris adalah gaya bahasa berupa pengajuan pertanyaan untuk memperoleh efek mengulang tanpa menghendaki jawaban, karena jawabannya sudah tersirat di sana. Gaya bahasa ini acap digunakan oleh para orator.
Contoh:
Biaya pendidikan di Perguruan Tinggi sangat mahal. Bisakah rakyat kecil menyekolahkan anaknya sampai ke sana?
Siapa yang bisa berkuliah kalau bukan kaum berada?
Mana mungkin orang mati hidup lagi?
Inikah yang kau namai bekerja?
18) Interupsi
Ungkapan berupa penyisipan keterangan tambahan di antara unsur-unsur kalimat. Gaya bahasa penegasan yang mempergunakan sisipan di tengah-tengah kalimat pokok, denagn maksud untuk menjelaskan sesuatu dalam kalimat tersebut. Gaya bahasa yang memakai kata-kata atau bagian kalimat yang disisipkan di dalam kalimat pokok untuk lebih menjelaskan sesuatu dalam kalimat.
Contoh:
Tiba-tiba Ia – kekasih itu – direbut oleh perempuan lain.
Tiba-tiba ia – suami itu disebut oleh perempuan lain.
Aku, orang yang sepuluh tahun bekerja disini, belum pernah dinaikkan pangkatku.
19) Enumerasio
Majas enumerasio yaitu majas gaya bahasa penegasan yang melukiskan atau menggambarkan suatu kejadian atau peristiwa agar seluruh maksud di dalam kalimat tersebut menjadi lebih lugas dan jelas (Suprapto, 1991 : 27).
Contoh :
Angin semilir perlahan, langit biru terlihat ringan, lazuardi cerah nilakandi, bulan pun bersinar kembali, sedang aku, cuma duduk sambil melamun.
Memikirkan jantung hati, yang entah ke mana tak tahu rimbanya.
Korban meninggal saat itu juga, motonya hancur lebur, darah menganak sungai, mengalir ke mana-mana.
20) Resentia
Adalah gaya bahasa yang melukiskan sesuatu yang tidak mengatakan tegas pada bagian tertentu dari kalimat yang dihilangkan. Resentia adalah gaya bahasa yang menggambarkan sesuatu yang tidak bermaksud tegas pada bagian tertentu dari kalimat.
Contoh :
Apakah ibu mau….?
Apakah kamu suka…?
21) Anakuloton
Majas anakuloton merupakan majas yang dalam pemakaian kalimatnya sengaja disimpangkan dari kaidah-kaidah penulisan tata basa (Suprapto, 1991 : 11).
Contoh :
Jangan berebut, coba barisnya yang tartib!
Duduklah yang manis di krosi, jangan keluyuran!
Taruhlah barangmu di atas almari!
22) Meiosis
Majas meiosis merupakan penegasan yang cara mengungkapkan suatu hal atau keadaan dengan menggunakan pernyataan yang halus. Majas ini sering digunakan secara ironi, khususnya untuk menggambarkan suatu hal yang luar biasa (Suprapto, 1991 : 49).
Contoh :
Hasil panennya agak kurang baik (untuk menyatakan panen gagal).
Dia kurang aktif di karang taruna (menyatakan malas).
Maklum, dia pendengarannya agak jauh.
23) Simetrisme
Majas simetriisme merupakan majas yang menyatakan suatu kalimat dengan menggunakan kata-kata yang lain ananum sesungguhnya kalimat tersebut mengandung makna yang sama (Suprapto, 1991 : 82).
Contoh :
Anak tersebut sudah dididik, diajar, dituntun berjalan direl yang benar.
Ayahku sudah pergi dan tak mungkin kembali lagi.
Hidup harus gemi, nastiti, dan hati-hati.
.
D. Penutup
Selain aspek estetika, karya sastra juga harus menampilkan aspek etika (isi) dengan mengungkap nilai-nilai moral, kepincangan-kepincangan sosial, dan problematika kehidupan manusia beserta kompleksnya persoalan-persoalan kemanusiaan. Stilistika sebagai bahasa khas sastra, akan memiliki keunikan tersendiri dibandingkan dengan bahasa komunikasi sehari-hari.
Stilistika adalah bahasa yang telah dicipta dan bahkan direkayasa untuk mewakili ide sastrawan. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam sebuah bukunya, Ratna menyatakan bahwa stilistika adalah ilmu tentang gaya, sedangkan style secara umum adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu sehingga tujuan yang dimaksudkan tersebut dapat tercapai dengan baik (2009: 3).
Gaya bahasa sering disebut juga dengan istilah majas, yaitu cara memilih bahasa yang sesuai dengan cita rasa pengarang. Bahasa yang dipilih adalah bahasa yang dapat menimbulkan perasaan tertentu dalam hati orang lain. Gaya bahasa pada umumnya dipakai untuk menarik hati pembaca agar tidak bosan dan selalu memperoleh kesegaran dalam membaca karya sastra. Gaya bahasa dipakai untuk menghidupkan dan memberi jiwa pada karya tulis. Tak heran dalam sebuah novel pasti terdapat macam macam majas gaya bahasa sebagai daya tarik novel tersebut.
Penelitian stilistika penting untuk dilakukan dalam kerangka penelitian sastra karena stilistika memungkinkan kita mengidentifikasi ciri khas teks sastra (Wellek dan Warren, 1989:226; dan Bradford, 1997:xi). Selain itu, stilistika dapat memberikan manfaat bagi pembaca sastra, guru sastra, kritikus sastra, dan sastrawan. Stilistika dapat membantu pembaca sastra untuk lebih memahami seluk-beluk bahasa sastra, baik dari aspek bunyi, kata, kalimat, hingga wacana sastra.
Guru sastra dapat memanfaatkan stilistika sebagai salah satu alternatif metode pembelajaran sastra khususnya untuk mengajarkan pemaknaan puisi dari aspek bahasanya. Kritikus sastra dapat pula memanfaatkan stilistika sebagai salah satu alternatif teori dalam mengkaji/mengkritik karya sastra dari sudut pandang bahasanya. Sementara bagi sastrawan sebagai pencipta karya sastra, stilistika dapat memberikan kontribusi pemahaman tentang ragam bahasa sastra sehingga para sastrawan dapat lebih meningkatkan kualitas karya sastranya.
.
Daftar Pustaka
Abrams, M.H. 1976. The Mirror and The Lamp : Romantic Theory and The Critical Tradition. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Aminuddin. 1995. Stilistika: Pengantar Memahami Bahasa dalam Karya Sastra. Semarang: IKIP Semarang Press.
Bradford, Richard. 1997. Stylistics. London: New Fetter Lane.
Bressler, Charles E. 1999. Literary Criticism : An Introduction to Theory and Practice. Second Edition. New Jersey: Prentice Hall, Upper Saddle River.
Child, Peter and Roger Fowler. 2006. The Routledge Dictionary of Literary Terms. London and New York: Routledge.
Crystal, David. 2000. New Perspectives of Language Study 1 : Stylistics. University of Reading: Department of Linguistics Science.
Darmono, S. D. 2003. Kita dan Sastra Dunia. dalam http://www.mizan.com. diakses pada tanggal 13 Januari 2012.
Darwis, Muhammad. 2002. Pola-Pola Gramatikal dalam Puisi Indonesia. Dalam Jurnal Masyarakat Linguistik Indonesia edisi Tahun 20, Nomor 1, Februari 2002.
Davies, Alan and Catherine Elder (Ed). 2006. The Handbook of Applied Linguistics. Australia: Blackwell Publishing.
Depdiknas. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi 3). Jakarta: Balai Pustaka.
Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Fabb, Nigel. 2003. Linguistics and Literature. In Mark Arnoff and Janie Rees-Miller (Ed), The Handbook of Linguistics. USA: Blackwell Publisher.
Junus, Umar. 1989. Stilistika : Satu Pengantar. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa (cetakan XVI). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik (edisi IV). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mikics, David. 2007. A New Handbook of Literary Term. London: Yale University Press.
Mills, Sara. 1995. Feminist Stylistics. London and New York: Routledge.
Missikova, Gabriela. 2003. Linguistics Stylistics. Nitra: Filozoficka Fakulta Univerzita Konstantina Filozofa.
Musthafa, Bachrudin. 2008. Teori dan Praktik Sastra dalam Penelitian dan Pengajaran. Bandung: UPI.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1997. Pengkajian Puisi Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pranawa, Erry. 2005. Analisis Stilistika Novel Burung-burung Manyar Karya Y.B. Mangunwijaya (Tesis). Program Studi Linguistik Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika Kajian Puitika Bahasa Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Renne Wellek & Austin Warren, 1995. Penerjemah Melani Budianta, Teori Kesusastraan, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Sangidu. 2004. Penelitian Sastra Pendekatan Teori, Metode, Teknik dan Kiat. Yogyakarta: Unit Penerbitan Asia Barat.
Satoto, Soediro. 1995. Stilistika. Surakarta: STSI Press.
Sayuti, Suminto A. 2001. Penelitian Stilistika : Beberapa Konsep Pengantar. Dalam Jabrohim (Ed) Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita.
Shipley, Joseph T. 1979. Dictionary of World Literature : Forms, Technique, Critics.. USA: Boston The Writer, Inc.
Simpson, Paul. 2004. Stylistics : A Resource Book for Student. New York: Roudledge.
Starcke, Bettina Fischer. 2010. Corpus Linguistics in Literary Analysis. New York: Continuum International Publishing Group.
Sudjiman, Panuti. 1993. Bunga Rampai Stilistik. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Suprapto. 1991. Kumpulan Istilah Sastra dan Apresiasi Sastra. Jakarta: Dian.
Tuloli, Nani. 2000. Kajian Sastra. Gorontalo: Nurul Jannah.
Verdonk, Peter. 2002. Stylistics. New York: Oxford University Press.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
Widdowson, H.G. 1997. Stilistika dan Pengajaran Sastra. Diterjemahkan oleh Sudijah. Surabaya: Airlangga University Press.
Wynne, Martin. 2005. Stylistics : Corpus Approaches. Oxford: Oxford University.
Yunus, Umar. 1989. Stilistika; Suatu Pengantar. Kuala Lumpur : Dewan Bahasa dan Pustaka.
Zhang, Zhiqin. 2010. The Interpretation of a Novel by Hemingway in Term of Literary.
Zulfahnur, dkk. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Depdikbud.
Thank you bro, lagi mo buat penelitian gw pake teori stilistika. Mantap it helps!
Sip