A. Pendahuluan
Hermeneutik, sebagai suatu teori pemahaman terhadap teks, memiliki problem yang tak akan jauh dari persoalan seputar interpretasi terhadap diskursus suatu teks. Persoalan-persoalan yang diperdebatkan masih berputar di sekitar oposisi antara eksplanasi (enklaren) dan pemahaman (verstehen) yang melibatkan beberapa pakar hermeneutik seperti F. Schleiermacher, W. Dilthey, M. Heidegger, H.G. Gadamer, Jurgen Habermas, dan sebagainya. Dalam perkembangan hermeneutika yang dipahami sebagai teori memahami teks yang kemudian berkembang melalui metode fenomenologis yang makin meluas ke dalam berbagai aspek kehidupan manusia, maka paper ini akan menyorot pandangan salah satu pakar hermeneutik, yakni Paul Ricoeur yang mencoba untuk mengembalikan fokus hermeneutik kepada ranah teks. Ricoeur akan menjelaskan secara eksplisit mengenai teks serta kaitannya dengan eksplanasi maupun interpretasi.
Dalam proses memahami sesuatu yang dilakukan baik berupa teks maupun konteks, akan lahir beragam teori dan metode. Hermenutika adalah salah satu di antara sekian teori dan metode untuk menyingkap makna, sehingga dapat dikatakan bahwa hermeneutika memiliki tanggungjawab utama dalam menyingkap dan menampilkan makna yang ada di balik simbol-simbol yang menjadi obyeknya (Faiz, 2003: 20).
Bagi Gadamer, hermeneutik bukan merupakan suatu metode, melainkan upaya memahami dan menginterpretasi sebuah teks. Gadamer mengkritik F. Schleiermacher dan W. Dilthey yang menganggap bahwa hermeneutika itu merupakan suatu metode memahami yang dilakukan melalui tata bahasa dan psikologi. Menurut Gadamer, metode itu bersifat ketat dan mengekang, karena ia berpendapat bahwa logika sendiri sudah tidak berdaya dan tidak mampu menjadi sarana untuk mencapai kebenaran filosofis.
Dalam beberapa hal, Ricoeur berpihak pada Gadamer bahwa menginterpretasi sebuah teks itu akan lebih baik dilakukan melalui dialog dengannya. Ricoeur menganggap bahwa teks klasik menangkap kita lebih dahulu, sebelum kita menafsirkannya, atau kita menafsirkannya karena teks itu telah berbicara kepada kita terlebih dahulu. Momen awal ini sangat penting sebagai dugaan pertama makna teks (Sastrapratedja, 2012). Akan tetapi Ricoeur tidak begitu saja menjadi seorang Gadamerian yang dogmatis. Berbeda dengan Gadamer, Ricoeur menawarkan kritisismenya pada fase hermeneutik yang kedua. Ia menegaskan bahwa sebuah teks itu memiliki dua sisi di dalamnya, yakni sisi subjektif dan sisi objektif. Inilah persoalan yang akan penulis bahas dalam paper yang singkat ini. Tentunya penulis tidak akan menjelaskannya secara lebih rinci dan detail karena keterbatasan dari pengetahuan yang penulis miliki.
Sebuah teori atau pendekatan akan mempunyai fungsi apabila diaplikasikan terhadap suatu objek, begitu pula dengan hermeneutika. Namun, sebelum melangkah lebih lanjut tentang hermeneutika dan aplikasinya terhadap sebuah objek maka akan dibicarakan terlebih dahulu tentang postmodernisme. Postmodernisme muncul sekitar tahun 1970-an terutama pemikiran dalam bidang seni. Istilah itu muncul pertama kali dalam bidang seni pada tahun 1930-an yang dikenalkan oleh Federico de Onis dalam karyanya Antologia de la Poesia Espanola a Hispanoamericana yang menunjukkan reaksi terhadap modernism. Istilah postmodernisme akhirnya menjadi satu konstruksi yang dipakai dalam berbagai bidang termasuk sastra, ilmu pengetahuan dan informasi, sosial dan ekonomi (Susanto, 2011).
Postmodernisme timbul akibat kegagalan aliran modern yang ditandai oleh empirisme, rasionalisme, dan kapitalisme yang mengakibatkan peminggiran peran agama sehingga berpengaruh pada moral dan mental. Pandangan-pandangan rasionalisme ternyata telah mempengaruhi pengikutnya untuk lebih menggunakan logika yang dipadu dengan kenyataan yang tampak. Kata post berarti pasca sedangkan modernisme berasal dari bahasa Latin, yaitu modo yang berarti baru saja. Sehingga, kata postmodernisme dapat diartikan sebagai akibat dari, setelah, pascakelahiran, pengembangan, dan penolakan.
Postmodernisme dipengaruhi oleh akar filsafat Nietczche dan Heidegger. Adapun bidang kajian posmodernisme meliputi sastra, seni, arsitektur, sains, dan filsafat (Alwasilah, 2010). Postmodernisme juga tertarik menghubungkan apa yang ditemukan dalam teks-teks itu ketika dibaca dengan realitas sosial, terutama setelah publikasi oleh Jean Francois Lyotard pada tahun 1984 tentang hubungan pembacaan teks dengan realitas sosial (Bertens, 2008).
Susanto dalam buku berjudul Pengantar Teori Sastra (2011) menyebutkan bahwa tahapan-tahapan modernisme dihubungkan dengan kapitalisme, sedangkan postmodernisme didasarkan pada kapitalisme pasca Perang Dunia II yang didasarkan atas dominasi teknologi dalam jaringan global kapitalisme multinasional. Postmodernisme itu sendiri adalah hasil respon modernisme. Adapun ciri-ciri modernisme itu ada enam, mulai dari pandangan dualistik, militerisme sampai dengan tribalisme. Selanjutnya, postmodernisme mempunyai arti yang beragam, setidaknya ada dua pandangan terhadap postmodernisme apabila menilik awalan kata post. Ada yang berpandangan bahwa postmodernisme merupakan kelanjutan dari modernism, namun ada pula yang menyangkalnya dan menganggap postmodernisme merupakan alternatif atau cara pandang yang berbeda.
Pandangan pertama, yang menyatakan bahwa postmodernisme merupakan kelanjutan dari modernisme ialah Brian Mc Hale yang menganggap bahwa postmodernisme bukan merupakan gejala pasca atau setelah modernisme yang mengindikasikan keterputusan dari modernisme. Kehadiran postmodernisme di dalam ranah sastra pun tidak dapat dilepaskan dari kesejarahan semua fenomena literer. Menurut Mc Hale dalam lingkup sastra lebih mengarah pada lanjutan dari pemikiran modernis, akan tetapi memiliki penekanan-penekanan pada hal berbeda dan mencoba melihat dari sudut pandang yang berbeda yaitu berupa pergeseran dari dominan epistemologis menuju dominan ontologis (dalam Ras, 2014).
Pandangan yang kedua menganggap postmodernisme sebagai alternatif atau cara pandang yang baru, yang bukan merupakan kelanjutan dari modernisme. Tokoh yang mempunyai pandangan demikian ialah Lyotard (dalam Susanto, 2011). Ia mempunyai tiga pendapat tentang kata post. Pertama, kata post mempunyai pengertian perubahan atau pemberontakan terhadap yang lalu. Dalam konteks itu post merupakan pemutusan hubungan dengan modernisme dengan kata lain menawarkan suatu cara pandang baru dan cara hidup yang baru yang lepas dari tradisi dan institusi. Kedua, post merupakan bukti dari kegagalan proyek modernitas yang ditandai dengan dekadensi humanisme. Ketiga, post berarti tidak mengulang lagi. Dengan demikian postmodernisme atau pascamodernisme bukan tahapan atau bagian dari kronologi modernisme, melainkan seruan untuk kembali mengolah narasinarasi atau wacana-wacana dan cerita-cerita, tersembunyi, kecil, ataupun yang terlupakan atau dilupakan.
.
B. Hermeneutika
1. Pengertian
Apabila kita kembali pada ciri-ciri modernisme di atas, maka dapat kita ketahui bahwa batasan-batasan pengertian tentang posmodernisme ditandai oleh adanya resistensi atau keraguan terhadap aliran rasionalisme, yang dipengaruhi berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, serta mempercayai makna pragmatik. Kaitan dengan hal tersebut, maka cara untuk mendapatkan pengetahuan atau mencari kebenaran dalam tradisi postmodernisme salah satunya, yaitu Hermeneutic Mode of Engagements (Alwasilah, 2010).
Untuk kajian sastra berkaitan dengan postmodernisme ada setidaknya ada dua pendekatan yang dapat digunakan untuk mendekati atau menganalisis karya sastra, yaitu dekonstruksi dan hermeneutika. Sebagai sebuah bentuk pembatasan agar lebih sederhana, maka sajian tulisan ini hanya akan tertuju pada kajian hermeneutika. Kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti memaknai. Hermeneutika awalnya muncul dalam kajian keagamaan untuk menafsirkan ayat-ayat kitab suci. Ahli lain mengatakan bahwa istilah Hermeneutika yang dalam bahasa inggris hermeneutics, berasal dari kata dalam bahasa Yunani hermeneuine dan hermenia yang masing-masing berarti menafsirkan dan penafsiran (Raharjo, 2008: 27). Adapun pakar hermeneutika ialah Gadamer dan Heidegger dengan pemikirannya sebagai berikut. Hermeneutika berkonsentrasi pada makna. Makna itu ada pada bahasa.
Gadamer berpandangan bahwa ada yang bisa dimengerti dari bahasa. Hal itu sejalur dengan ungkapan zoon logon echon yang artinya manusia sebagai makhluk berbicara. Selanjutnya, hermeneutika itu menekankan pada pemahaman. Pemahaman yang dimaksud adalah interpretasi teks. Teks itu perlu ditafsirkan karena ada perbedaan ruang dan waktu. Tujuan akhir dari hermeneutika adalah pemahaman yang lebih baik atau pemaknaan (sense making) dari interaksi berbagai konstruksi yang sudah ada, lalu dianalisis agar lebih mudah dipahami pihak lain (Alwasilah, 2010).
Gambaran umun dari pengertian hermeneutika diungkapkan juga oleh Zygmunt Bauman, yakni sebagai upaya menjelaskan dan menelusuri pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang, dan kontradiktif, yang menimbulkan kebingungan bagi pendengar dan pembaca (Faiz, 2003:22). Kaitannya dengan sastra, hermeneutika dijadikan sebagai alat untuk menafsirkan teks-teks sastra. Penafsir teks sastra hendaknya tidak bersikap tertutup dalam menghadapi sebuah teks. Penafsir hendaknya membuka diri dengan melihat teks-teks lain yang sangat dimungkinkan sekali telah melatari atau mempengaruhi teks yang sedang dikaji. Faiz (2003: 23) menyebutnya sebagai mempertimbangkan horizon-horizon yang melingkupi teks tersebut, yaitu horizon teks, horizon pengarang, dan horizon pembaca.
Jika asal kata hermeneutika diruntut, maka kata tersebut merupakan derivasi dari kata Hermes, seorang Dewa dalam mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan dan menjelaskan pesan (message) dari sang Dewa kepada manusia. Menurut versi lain dikatakan bahwa Hermes adalah seorang utusan yang memiliki tugas menyampaikan pesan Yupiter kepada manusia. Tugas utama Hermes yang digambarkan sebagai seorang yang memiliki kaki bersayap dan lebih dikenal dengan sebutan Mercurius adalah menerjemahkan pesan-pesan dari gunung Olimpus ke dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendengarnya. Sejak saat itulah Hermes menjadi simbol seorang duta yang di bebani dengan misi tertentu (Sumaryono, 1999: 24).
Berangkat dari mitos Yunani tersebut, istilah henneneutik diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, terutama proses ini melibatkan bahasa sebab bahasa merupakan mediasi paling sempurma dalam proses (Palmer,2003:15). Menurut Palmer (2003:15-36) bahwa mediasi dan proses membawa pesan agar dipahami yang diasosiasikan dengan Dewa Hennes itu terkandung dalam tiga bentukmakna dasar dari herme > neuein dan herme > neia. Tiga bentuk tersebut menggunakan verba dari herme > neuein, sebagai berikut.
……
Pertama, herme > neuein sebagai to express (mengungkapkan), to assert (menegaskan), atau to say (menyatakan), hal ini terkait dengan fungsi pemberitahuan dari Hennes.
Kedua, herme > neuein sebagai to explain (menjelaskan), interpretasi sebagai penjelasan menekankan aspek pemahaman diskursif. Interpretasi lebih menitikberatkan pada penjelasan daripada dimensi interpretasi ekspresif. Hal yang paling esensial dari kata-kata bukanlah mengatakan sesuatu, menjelaskan sesuatu, merasionalisasikannya, membuatnya jelas. Seseorang dapat mengekspresikan situasi tanpa menjelaskannya, dan mengekspresikannya merupakan interpretasi, serta menjelaskannya juga merupakan bentuk interpretasi.
Ketiga, herme > neuein sebagai to translate. Pada dimensi ini to interpret (menafsirkan) bermakna to translate (menerjemahkan) yang merupakan bentuk khusus dari proses interpretatif dasar membawa sesuatu untuk dipahami. Dalam konteks ini, seseorang membawa apa yang asing, jauh dan tak dapat dipahami ke dalam mediasi bahasa seseorang itu sendiri, seperti Dewa Hermes, penerjemah menjadi media antara satu dunia dengan dunia yang lain Palmer (2003: 15-36)
Penerjemahan membuat kita sadar akan cara bahwa kata-kata sebenamya membentuk pandangan dunia, bahkan persepsi-persepsi kita; bahwa bahasa adalah perbendaharaan nyata dari pengalaman kultural, kita eksis di dalam dan melalui media ini, kita dapatmelihat melalui penglihatannya. Namun, secara lebih aplikatif kata hermeneutika ini, menurut F. Budi Hardiman, bisa didefinisikan dalam tiga hal yaitu
a. mengungkapkan pikiran seseorang dalam kata-kata, menerjemahkan, dan bertindak sebagai penafsir;
b. usaha mengalihkan dan suatu bahasa asing yang maknanya tidak diketahui ke dalam bahasa lain yang bisa dimengerti oleh pembaca; dan;
c. pernindahan ungkapan pikiran yang kurang jelas, diubah menjadi ungkapan yang jelas (via Faiz, 2003: 22).
Oleh sebab itu, hermeneutika selalu berurusan dengan tiga unsur dalam aktivitas penafsirannya, yaitu : (1) tanda, pesan atau teks yang menjadi sumber atau bahan dalam penafsiran yang diasosiasikan dengan pesan yang dibawa oleh Hermes; (2) perantara atau penafsir (Hermes); (3) penyampaian pesan itu oleh sang Perantara agar bisa dipahami dan sampai kepada yang menerima (Faiz, 2003: 21).
Dengan alasan, mempertimbangkan tiga horizon tersebut diharapkan suatu upaya pemahaman ataupun penafsiran menjadi kegiatan rekonstruksi dan reproduksi makna teks, yang disamping melacak bagaimana suatu teks itu dimunculkan oleh pengarangnya, dan muatan apa yang masuk dan ingin dimasukkan oleh pengarang ke dalam teks yang dibuatnya; juga berusaha melahirkan kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan kata lain, sebagai sebuah metode penafsiran, hermeneutika memperhatikan tiga hal sebagai komponen pokok dalam upaya penafsiran, yaitu teks, konteks, kemudian melakukan upaya kontekstualisasi.
Hermeneutika sebagai bentuk mediasi dan proses membawa pesan agar dapat dipahami mempunyai tiga bentuk, yaitu mengungkapkan kata-kata, menjelaskan, dan menerjemahkan. Interpretasi sastra bila dilihat dari bentuk luarnya telah melibatkan dua dari proses itu dan sering kali juga yang ketiga. Sastra merepresentasikan sesuatu yang harus dipahami. Teks dengan subjeknya dapat terpisahkan dari kita karena waktu, tempat, bahasa, dan rintangan lainnya yang memerlukan pemahaman. Tugas interpretasi harus membuat sesuatu yang kabur, jauh, dan gelap maknanya menjadi sesuatu yang jelas, dekat, dan dapat dipahami (Palmer, 2005).
Keberhasilan untuk mendapatkan makna hermeneutika kuncinya ada pada pembaca dan teks. Teks merupakan hasil karya manusia yang bermediumkan bahasa yang dibuat oleh seorang pencipta (pengarang) yang bermaksud menyampaikan, ide, gagasan, pikiran, dan tujuannya dalam sebuah teks. Teks mempunyai referensi dan rujukan suatu dunia yang lain yang tidak diketahui, oleh sebab itu sifatnya tertutup, sehingga pembaca dituntut untuk memahami dan menemukan sesuatu yang hendak dibicarakan oleh teks. Sikap tersebut menunjukkan perlunya suatu perlakuan terhadap teks (Susanto, 2011).
Berkaitan dengan diri pembaca sebagai seorang penafsir teks, maka kegiatan yang dilakukan penafsir terhadap teks tidak boleh secara subjektif melainkan secara intersubjektif, yakni percampuran antara teks sebagai wakil pengarang dan penfasir itu sendiri. Penafsir tidak berjalan secara otoriter sesuai dengan kehendaknya sendiri dalam menafsirkan sebuah teks. Penafsiran itu memerlukan suatu alat, Susanto (2011) menyebutnya sebagai cakrawala pemahaman.
Cakrawala pemahaman merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, suatu kenyataan, kejadian, dan pengalaman dalam suatu komunitas dan menjadi suatu relasi pengetahuan mengenai suatu dunia yang dimiliki seseorang. Dengan demikian, jika cakrawala pemahaman seseorang berbeda, maka pemahaman seseorang tersebut akan berbeda dalam menghadapi dunia yang baru. Hal ini menunjukkan bahwa cakrawala pemahaman juga dipengaruhi oleh aspek kesejarahan. Selain itu, pemahaman seseorang juga dipengaruhi aspek zaman yang mana bisa terjadi perubahan cakrawala pemahaman seiring berjalannya waktu melalui pemahaman terhadap produk sosial yang baru.
Selanjutnya, berkaitan dengan pembaca sebagai seorang penafsir untuk mendapatkan pemahaman, maka ada dua hal yang perlu dipertimbangkan. Seperti kutipan berikut ini.
……
Clearly, then, there are these two things to consider in the situation of understanding, a knowledge of the language and a knowledge of the person, and the first we shall call grammatical or philological, and the second we shall call psychological or technical. The successful practice of the art, claims Schleiermacher, depends on two talents, the talent for language and the talent for knowledge of individual people. In other words, one who interprets a text is dealing with utterances, and that is language, but also with what those utterances might mean in the mind of him who utters them, and that is the writer or the thinker. On the one hand we try to decode the words, and on the other hand we try to read a mind (Abulad, 2007 : 11-23).
Pertimbangan tersebut meliputi pengetahuan bahasa dan pengetahuan individual. Pengetahuan yang pertama merupakan pengetahuan tentang tata bahasa atau pengetahuan tentang kata (filologi). Filologi berasal dari bahasa Latin yaitu philos yang berarti cinta dan logos yang berarti kata atau ilmu (Djamaris, 2006). Filologi secara harafiah berarti cinta pada kata-kata atau ilmu tentang kata-kata. Tetapi, kini filologi diartikan sebagai satu kajian tentang sastra lama yang menyangkut keaslian, bentuk, isi, bahasa dan kebudayaan (Alwi, 1995).
Pengetahuan atas tata bahasa dalam hal ini meliputi, morfologi dan sintaksis yang harus dikuasai oleh penafsir dalam rangka struktur bahasa. Pengetahuan ini merupakan pengetahuan dasar yang harus siap dan dimiliki penafsir. Ketidaksiapan atau kelemahan pada bagian dasar ini menjadikan penghambat untuk membaca teks. Menurut Saputra (2008) pengetahuan filologi terhadap teks (dalam konteks ini) berdasar pada matra jarak waktu dan jarak budaya. Jarak waktu adalah masa dimana teks dibuat atau diciptakan dengan waktu sekarang ketika teks dibaca. Jarak budaya ialah jarak yang mana teks dibuat atau diciptakan pada masa lalu atau masa lampau ketika unsur-unsur budaya yang menyertainya sudah tidak diakrabi lagi oleh pembaca sekarang. Lebih lanjut, ditegaskan oleh pendapat Robson (1988) bahwa tugas utama dari filologi adalah membuat suatu teks dapat dibaca dan dipahami, terutama kaitannya dengan penyajian teks dan interpretasi.
Pengetahuan yang kedua adalah aspek psikologis. Scheleiermacher berpendapat bahwa pemahaman terhadap teks tergantung pada talenta bahasa dan talenta pengetahuan individual. Hal itu didasarkan pada pandangan terhadap teks, yakni teks adalah suatu ucapan atau bahasa, dan ucapan itu merupakan suatu pemikiran. Di satu sisi penafsir harus memecahkan kode bahasa dan di sisi lain mencoba untuk membaca pikiran. Pengetahuan gramatikal atau tata bahasa kaitannya dengan ketetapan makna dalam suatu teks hanya dapat dilakukan melalui lapangan kebahasaan dan kebudayaan. Makna dari sebuah batang tubuh teks ditetapkan dengan merujuk pada hubungannya dengan kata-kata lain di sekelilingnya. Pengetahuan psikologis merupakan pengetahuan di mana pembaca berupaya merekonstruksi subjektivitas pengarang sehingga dapat memahami maksud yang hendak disampaikan pengarang.
.
2. Sejarah Hermeneutika
Istilah hermeneutica baru muncul pertama kali saat diperkenalkan oleh seorang teolog Strasborg bernama johann Konrad Danhauer (1603-1666) dalam bukunya yang berjudul : Hermeneutica sacra, Sive methodus Eksponendarums Sacrarum Litterarum, yang menilai bahwa Hermeneutika adalah syarat terpenting bagi setiap ilmu pengetahuan yang mendasarkan keabsahannya pada interpretasi teks-teks. Ia secara terbuka mendeskripsikan inspirasinya dari Risalah Peri hermeneias (de interpretations) Aristoteles, yang mengklain bahwa ilmu interpretasi yang baru berlaku tidak lain menjadi pelengkap dari Organon Aristotelian (Raharjo, 2008: 54).
Pada abad ke 17 baru mulai digunakan untuk menunjukkan teori tentang aturan-aturan yang perlu diikuti dalam proses memahami dan menafsirkan secara tepat terhadap suatu teks yang berasal dari masa lampau, khususnya teks-teks kitab suci dan teks-teks klasik. Puncak dari perkembangan aliran filsafat hermeneutika adalah ketika munculnya dua aliran pemikiran yang berlawanan satu dengan yang lain yaitu pragmatika Intensionalisme Hirschian dan hermeneutika Gadamerian.
Pragmatika intensionalisme memandang bahwa hakekatnya makna sudah ada karena dibawa oleh pengarang atau penyusun teks, sehingga tinggal menunggu interpretasi penafsir, dan makna berada di belakang teks (behind the text). Sebaliknya, hermeneutika Gadamerian memandang bahwa makna harus dikonstruksi dan direkonstruksi oleh penafsir itu sendiri sesuai konteksnya, sehingga makna berada di depan teks (in front of the text). Hermeneutika Gadamerian mengatakan bahwa makna ditentukan oleh penafsir itu sendiri dengan mempertimbangkan konteks. Dengan demikian konteks merupakan salah satu unsur sangat penting dalam memproduksi makna. Tak bisa dihindari, dua aliran pemikiran yang berbeda tersebut melahirkan pembedaan kerangka metodologis. Walaupun harus diakui bahwa termasuk oleh para pengagasnya bahwa hermeneutika bukan satu-satunya metode yang paling sempurna untuk memahami teks, tetapi hehadirannya telah memberikan sumbangan besar bagi perkembangan pemikiran filsafat kontemporer (Raharjo, 2008:25-26).
Selanjutnya dalam filsafat kontemporer term hermeneutik digunakan dalam pengertian yang lebih luas, meliputi hampir semua tema filsafat tradisional, sejauh berkaitan dengan persoalan bahasa (Fowler, Roger. 1984: 146). Sebagai bahasan filsafat dan metode penelitian, hermenutika semakin diminati. Istilah Hermeneutika pada masa ini mengandung dua pengertian, yaitu Hermeneutika sebagai seperangkat prinsip metodologis penafsiran dan sebagai penggalian filosofis dari sifat dan kondisi yang tidak bisa dihindari dari kegiatan memahami (Raharjo, 2008:29).
Sementara Wilhelm Dilthey, sejarawan pertama tradisi Hermeneutika, menyatakan bahwa hermenetika telah muncul satu abad lebih awal oleh Protestantisme, sesaat setelah lahirnya prinsip Sila Scriptura Luther (Grondin, 2007: 45-46). Namun dari laporan Dilthey, kita akan kesulitan menemukan dari tulisan-tulisan apa yang dapat disebut Hermeneutika dalam semangat Luther. Baru dalam karya para pengikut Luther seperti Philipp Melanchton (1497-1560) dan Flacius Illyricius (1520-1575) (Grondin, 2007: 47).
Pada gilirannya seorang filsuf pengikut protestan berkebangsaan Jerman Schleiermacher dinilai sebagai orang yang bertanggung jawab membawa Hermeneutika dari ruang biblical studies ke ruang lingkup filsafat, sehingga ia kemudian dianggap sebagai pemrakarsa Hermeneutika modern. Menurutnya apa saja yang berbentuk teks dapat menjadi objek Hermeneutika, dan tidak terbatas hanya pada teks kitab suci. Selanjutnya Hermeneutika dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey sendiri yang menggagas hermeneurika sebagsi landasan ilmu-ilmu kemanusiaan, lalu Hans-Georg Gadamer yang mengembangkannya menjadi metode filsafat, dan dilanjutkan oleh para filosof kontemporer seperti Paul Ricoeur, Jurgen Habermas, Jacques Derrida, Michel Foucault, Lyotard, Jean Baudrillard, dan yang lain (Raharjo, 2008:30).
Sementara dalam filsafat kuno sebetulnya telah terlihat tradisi mencari hal-ihwal yang dapat dianggap sebagai Hermeneutika dalam teks-teks klasik seperti De Interpretation Aristoteles, yang sering diterjemahkan dalam bahasa Jerman dengan Hermeneutika Aristoteles (Grondin, 2007: 48). Orang Yunani menggunakan kata ermenia untuk mendeskripsikan apa yang sekarang kita sebut sebagai penerjemahan, atau lebih tepat diartikan sebagai penafsiran (Grondin, 2007: 56).
Sementara ketika bahasa tulis (teks) muncul, Aristotels menegaskan bahwa tanda-tanda tertulis itu hanyalah simbol bagi ucapan lisan, sebagaimana penegasan Plato tentang hal ini, bahwa wacana tertulis, yang paling baik sekalipun, tetap saja berfungsi sebagai re-memorasi. Di sini, keduanya sepakat untuk mengembalikan media tertulis ke kata yang terucap, sedangkan kata terucap ini adalah simbol bagi kata batin (inner word) (Grondin, 2007: 62).
Dari tiga horizon ini, Aristoteles mengasumsikan bahwa tidak ada yang benar-benar hilang dalan rangkaian transmisinya. Artinya, kata tertulis tanda yang dengan persis mewakili kata batin. Sementara Plato menekankan perbedaan antara horizon-horison itu, menurutnya tidak ada jaminan bahwa kata tertulis akan dapat dipahami dengan tepat (Grondin, 2007:63).
.
3. Beberapa Varian Hermeneutika
Hermeneutika tidak secara tiba-tiba menjadi satu disiplin ilmu dalam khazanah filsafat, namun pada awalnya ia hanya sebatas subdisiplin teologi yang sudah muncul sejak awal dalam sejarah peradaban manusia yang mencakup kajian metodologis tentang autentitas dan penafsiran teks. Namun dalam kurun berikutnya, Hermeneutika perkembang menjadi kajian penafsiran secara menyeluruh dengan ruang lingkup yang lebih luas (Raharjo, 2008: 53). Dan pada bagian ini, penulis sengaja akan sedikit mengungkapkan beberapa informasi historis yang akan menekankan pada perkembangan Hermeneutika menjadi berbagai varian-varian prinsip dan metodologis.
Hal ini disebabkan oleh keadaran bahwa dalam wilayah filsafat kontemporer yang terpecah-pecah, kita sedikit sekali dapat menemukan kesamaan antara satu dengan lain, kecuali fakta bahwa kita benar-benar hidup pada diskursus filosofis yang terpecah-pecah, yaitu diskursus yang bercirikan interpretasi. Filsafat yang mencoba menghadapi situasi seperti ini bisa disebut sebagai Hermeneutika (Grondin, 2007: 17).
a. Hermeneutika Romantis (Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher 1768-1834)
Schleiermacher merupakan filosof Jerman pertama yang terus menerus memikirkan persoalan hermeneutika. Itulah sebabnya ia dianggap sebagai bapak hermeneutika modern, karena dalam melieu pemikirannya, makna hermeneutika berubah dari sekadar kajian teologis (teks Bibel) menjadi metode memahami dalam penegertian filsafat.
Pemikiran hermeneutika Schleiermacher bermula dari pertanyaan universal: bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana ia terjadi. Dalam hal ini, ia mengajukan dua teori pemahaman hermeneutikanya, yaitu: pemahaman ketatabahasaan (grammatical understanding) terhadap semua ekspresi dan pemahaman psikologis terhadap pengarang. Dari bentuk kedua ini, Schleiermacher lalu mengembangkan apa yang ia sebut intuitive understanding yang operasionalisasinya merupakan suatu kerja rekonstruksi. Artinya, hermeneutika bertugas untuk merekonstruksi pikiran pengarang. Tujuan pemahaman bukan makna yang diperoleh dari dalam materi subjek, tetapi lebih merupakan makna yang muncul dalam pandangan pengarang yang telah direkonstruksi tersebut.
Pemahaman yang benar menurut Schleiermacher, tidak saja melibatkan pemahaman konteks kesejarahan dan budaya pengarang, tetapi juga pemahaman terhadap subjektivitas pengarang (Zarkasyi, 2004). Dalam perspektif ini, ada lima unsur yang terlibat dalam upaya memahami wacana yaitu: penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural (Thiselton, 1992:204-205).
Penafsir yang hendak memahami suatu wacana selain mencermati teks, juga meletakkannya dalam konteks historis dan kultural, sehingga menurut Gadamer, hermeneutika Schleiermacher disebut romantisme historis (historical romanticism) (Gadamer, 1977:7). Hanya dengan cara demikian, menurut hermeneutika ini, seorang penafsir benarbenar sampai kepada makna teks. Makna teks, sejauh mengikuti perspektif ini, diidentikkan dengan maksud pengarang. Dengan demikian, bagi Schleiermacher, di samping faktor gramatikal (tata bahasa), faktor kondisi dan motif pengarang sangat penting untuk memahami makna suatu teks.
Sebagai sistem metodologi pemahaman, Hermeneutika romantis berangkat dari pertanyaan sederhana: sebenarnya bagaimana pemahaman manusia dan bagaimana pemahaman itu terjadi?. Dan jawaban bagi pertanyaan ini, menurut perspektif Hermeneutika jenis ini, ada pada lima unsur yang terlibat dalam proses memahami sebuah wacana, yaitu: penafsir, teks, maksud pengarang, konteks historis, dan konteks kultural.
Tokoh dari pemahaman ini adalah Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher (1768-1834), seorang filosof, teolog, filolog dan tokoh sekaligus pendiri Protestanisme Liberal berkebangsaan Jerman. ia dianggap sebagai pemrakarsa Hermeneutika modern karena menjadi filosof jerman pertama yang terus-terus menerus memikirkan Hermeneutika, sehingga dapat menghidupkannya kembali sebagai seni penafsiran dalam tradisi gereja. Ketertarikannya pada kajian ini menguat sejak di Universitas Halle, ketika ia bertemu dengan tiga serangkai pemikir lainnya, yaitu F.A. Wolf seorang filolog klasik, Reil seorang professor kedokteran dan Steffens seorang filosof (Raharjo, 2008: 37).
Mengenai pertanyaan di atas, Schleiermacher mengajukan dua teori pemahaman Hermeneutikanya pertama: pemahaman ketatabahasaan (grammatical understanding) terhadap semua ekspresi, dan kedua: pemahaman psikologis terhadap pengarang. Berpijak dari keduanya, Hermeneutika menjadi sebuah intuitive understanding, yang bertugas untuk merekonstruksi pikiran pengarang. Sehingga pemahaman hanya dapat diperoleh tidak hanya dari pemahaman kesejarahan dan budaya pengarang saja, namun lebih dari itu harus melibatkan subjektivitas pengarang. Jadi proses penafsiran berawal dari penafsir ke teks melalui konteks sejarah dan cultural untuk menangkap kembali maksud penulis aslinya. Dan penafsiran akan semakin baik, jika dilandasi dengan pengetahuan tentang latar belakang sejarah pengarang teks. Sebagaimana dinyatakan Thiselton yang dikutip Mudjia, The more we learn about an author, the better equipped we are for interpretation.
Menurut Schleiermacher, dalam setiap kalimat yang diucapkan terdapat dua momen pembahasan, yaitu apa yang dikatakan dalam konteks bahasa dan apa yang dipikirkan oleh pembicara. Hal ini karena bisa saja terjadi apa yang dikatakan penutur bahasa tidak sama dengan yang ia pikirkan. Selain itu, pembicara mempunyai aspek tempat dan waktu, dan bahasa yang cenderung dimodifikasi menurut kedua hal itu. Sehingga makna bukan sekedar apa yang dibawa oleh bahasa, sebab bahasa dapat mengungkap sebuah realitas dengan sangat jelas, tapi pada saat yang sama dapat menyembunyikannya rapat-rapat, ini tergantung pemakainya.
Perspektif seperti ini yang membuatnya disebut sebagai Hermeneutika romantis, yang dalam bahasa Gadamer disebut historical romanticism. Dimana pengarang dan segala latar belakang subjektivitasnya menjadi sentral kebenaran dari pemahaman suatu teks. Dan pemahaman harus mengikuti hukum bahwa kesalahpahamanlah yang justru muncul secara otomatis atau alamiah, sedangkan pemahaman harus dicari. Oleh karena itu pemahaman dapat dicari dengan cara menelusuri segala kesalahpahaman yang dapat dan mungkin terjadi. Secara ringkas, model kerja Hermeneutika romantis meliputi dua hal: pertama: pemahaman teks melalui penguasaan terhadap aturan-aturan sintaksis bahasa pengarang, dan kedua: penangkapan muatan emosional dan batiniah pengarang secara intuitif dengan menempatkan diri penafsiran dalam dunia batin pengarang.
b. Hermeneutika Metodis (Wilhem Dilthey 1833-1911)
Hermeneutika Metodis adalah tekanik memahami akspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan. Sebagaimana teori sebelumnya dalam Hermeneutika romantis, Hermeneutika metodis juga menekankan pada sisi psikologis pengarang untuk memahami suatu pernyataan. Namun perbedaannya, Hermeneutika metodis lebih menekankan pada sisi sejarah (history) pengarang.
Pemikiran hermeneutika Schleiermacher dikritik oleh Wilhem Dilthey seorang filosof, kritikus sastra dan ahli sejarah dari Jerman. Menurutnya manusia bukan sekadar makhluk berbahasa, seperti yang sangat ditonjolkan oleh Schleiermacher, tetapi makhluk eksistensial. Menurut dilthey, sejak awal manusia tidak pernah hidup hanya sebagai makhluk linguistik yang hanya mendengar, menulis dan membaca untuk kemudian memahami dan menafsirkan. Lebih dari itu, manusia adalah makhluk yang memahami dan menafsirkan dalam setiap aspek kehidupannya (Maulidin, No. 14. V., 6). Namun demikian, dalam proses memahami teks, Dilthey berpandangan bahwa makna teks harus ditelusuri dari maksud subyektif pengarangnya. Bagi Dilthey, hermeneutika adalah teknik memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan. Oleh karena itu, ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan ekspresi dari pengalaman hidup masa lalu.
Untuk memahami pengalaman tersebut, interpreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Berbeda dengan Schleiermacher yang memandang bahwa kerja pengarang bersumber dari prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang, Dilthey berpandangan bahwa asumsi seperti itu a historis. Ia mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam perkembangan pikiran pengarang. Menurut Dilthey, pikiran seseorang selalu berkembang karena situasi eksternal dan pengalaman-pengalaman barunya. Karena mengedepankan masa lalu (sejarah) pengarang dalam menafsirkan teks, maka gagasan hermeneutika Dilthey juga sering disebut hermeneutika historis.
Dengan demikian, hermeneutika metodis berawal dari kritik tajam terhadap teori Schleiermacher dalam Hermeneutika romantisnya yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk bahasa. Kritik ini dilontarkan oleh Willhem Dilthey (1833-1911) seorang filosofis historis dari Jerman, ia sebenarnya pengagum berat Schleiermacher dengan kemampuannya dalam menggabungkan teologi dan kesusastraan dengan karya-karya filsafat. Namun dalam hal ini, ia berbeda dengan Schleiermacher, menurutnya, manusia tidak sekedar makhluk bahasa, yang hanya mendengar, menulis dan membaca untuk kemudian mehamami dan menafsirkan. namun lebih dari itu, manusia merupakan makhluk eksistensial, yang memahami dan menafsirkan dalam setiap aspek kehidupannya, dimana ekspresi kebahasaan adalah hasil dari pengalaman penutur bahasa dan manusia akan dapat memahami sejarah, karena ia adalah pencipta sejarahnya sendiri. Maka sisi psikologi manusia tidak dapat dipisahkan dari sisi eksternal-nya, karena manusia adalah produk system social yang membentuknya sedemikian rupa. Sehingga pada akhirnya, menurutnya, Hermeneutika pada dasarnya bersifat menyejarah, yang berarti bahwa makna itu sendiri tidak pernah berhenti pada satu masa saja, tetapi selalu berubah menurut modifikasi sejarah. Mudjia mencontohkan penulisan sejarah Indonesia yang tidak hanya ditulis sekali untuk selamanya (Raharjo, 2008:42).
c. Hermeneutika Fenomenologis (Edmund Husserl 1889-1938)
Hermeneutika fenomenologi adalah pemahaman teks dengan cara membebaskan diri dari prasangka dan membiarkan teks berbicara sendiri. Artinya, teks merefleksikan kerangka mentalnya sendiri, dan penafsir harus netral dan menjauhkan diri dari unsur-unsur subjektifnya atas objek. Tokoh penggagas teori ini adalah Edmund Husserl (1889-1938), seorang filosof aliran fenomenologi, yang sebenarnya jika ada sumbangsih-nya pada Hermeneutika, dapat dipastikan itu diluar maksud utamanya. Karena, walaupun tidak sepenuhnya, Husserl alergi terhadap pemikiran yang kita pandang sebagai Hermeneutika, gagasannya tentang teori interpretasi fenomena bukan yang fundamental, akan tetapi fenomena itu sendiri yang menarik baginya.
Berbeda dengan hermeneutikawan sebelumnya, Husserl menganggap bahwa pengetahuan dunia obyektif itu bersifat tidak pasti. Menurutnya, apa yang kita andaikan sebagai dunia objektif sesungguhnya adalah dunia yang sudah diwarnai oleh aparatus sensor yang tak sempurna dari tubuh manusia dan dari aktivitas-aktivitas rasional maupun abstraksi pikiran. Ketika kita berupaya meraih pengetahuan yang pasti tentang dunia obyektif, sesungguhnya kita sedang memastikan dunia persepsi kita-dunia fenomena.
Husserl menawarkan sebuah ilmu tentang kesadaran untuk melacak keteraturan sistemik dalam persepsi dan pemahaman melalui kepastian terhadap pengetahuan dunia obyektif yang menjadi niscaya. Melalui fenomenologi, orang harus memiliki keberanian untuk menerima apa yang sebenarnya terlihat dalam fenomena secara tepat, sebagaimana ia menghadirkan dirinya lebih dari pada menafsirkannya, dan kemudian menggambarkannya dengan penuh kejujuran. Karena berangkat dari kerangka dasar fenomenologi, maka menurut hermeneutika Husserl, proses penafsiran harus kembali pada data, bukan pada pemikiran, yakni pada halnya sendiri yang harus menampakkan dirinya. Interpreter harus melepaskan semua pengandaian dan kepercayaan pribadinya serta dengan simpati melihat obyek yang mengarahkan diri kepadanya. Jadi, bagi hermeneutika Husserl, pengetahuan sejati adalah kehadiran data dalam kesadaran budi, bukan rekayasa pikiran untuk membentuk teori.
Dengan demikian, dalam perspektif ini proses pemahaman yang benar harus mampu membebaskan diri dari prasangka, yakni dengan membiarkan teks berbicara sendiri. Berbeda dengan hermeneutika romantis (Schleiermacher) dan historis (Dilthey), hermeneutika fenomenologis ini berpendapat bahwa teks merefleksikan kerangka mentalnya sendiri, dan karenanya penafsir harus netral dan menjauhkan diri dari unsur-unsur subyektifnya atas objek.
Mengenai fenomena, Husserl menganggap bahwa pengetahuan dunia objektif bersifat tidak pasti. Menurutnya, apa yang kita andaikan sebagai dunia objektif sudah diwarnai oleh apparatus sensor yang tidak sempurna dari tubuh manusia dan dari aktivitas-aktivitas rasional maupun dari abstraksi pikiran. Dengan begitu, ketika berusaha meraih pengetahuan yang pasti tentang dunia objektif, sesungguhnya kita sedang memastikan dunia persepsi kita, dunia fenomena. Husserl menawarkan fenomenologi untuk melacak keteraturan sistemik dalam persepsi dan pemahaman melalui kepastian terhadap pengetahuan dunia objektif. Yaitu dengan cara menerima apa yang sebenarnya terlihat dalam fenomena, dan menggambarkannya secara jujur.
d. Hermeneutika Dialektis (Martin Heidegger 1889-1976)
Hermeneutika dialektis adalah upaya intepretasi dengan asumsi bahwa pemahaman adalah sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Karena itu, menurut teori ini, untuk memahami teks, tidak hanya dengan melacak makna yang letakkan oleh pengarang dalam teks, namun juga harus dikaitkan antara keberadaan kita dengan sesuatu yang ditunjukkan oleh teks tersebut. Ini berarti makna bukan sesuatu yang tunggal, namun yang ada adalah keragaman makna dan dinamika eksistensial.
Dengan demikian, pembacaan dan penafsiran akan selalu merupakan pembacaan ulang dan penafsiran ulang, sehingga pembacaan satu teks secara baru akan mendatangkan pemahaman dengan makna yang baru pula. Tokoh teori ini adalah Martin Heidegger (1889-1976), salah satu murid Husserl yang sejak awal tertarik dengan filsafat, khususnya fenomenologi Husserl. Namun kendati demikian, ia adalah filosof yang dengan keras menentang Hermeneutika fenomenologi Husserl, yang mengharuskan netralitas penafsir. Menurutnya, pemahaman harus didahului dengan prasangka-prasangkan akan objek.
Heidegger menentang gagasan fenomenologis Husserl walaupun dia pernah menjadi murid Hausserl. Heidegger menolak gagasan Husserl mengenai netralitas sang penafsir, sebab kerja penafsiran hanya bisa dilakukan dengan didahului prasangka-prasangka mengenai obyek. Menurut Heidegger, prasangka-prasangka historis atas obyek merupakan sumbersumber pemahaman, karena prasangka adalah bagian dari eksistensi yang harus dipahami.
Menurut perpektif ini, pemahaman adalah sesuatu yang muncul dan sudah ada mendahului kognisi. Untuk memahami teks, kita tidak mungkin bisa mencapainya dengan melacak makna tertentu yang ditempatkan di sana oleh pengarang. Keberadaan kita harus dikaitkan dengan apa yang bisa ditunjukkan oleh teks. Implikasinya, tidak ada lagi makna yang tunggal dan tetap; sebaliknya, yang ada adalah keragaman makna dan dinamika eksistensial. Pembacaan atau penafsiran selalu merupakan pembacaan ulang atau penafsiran ulang, yang dengan demikian akan memahami lagi teks yang sama secara baru dengan makna yang baru pula.
e. Hermeneutika Dialogis (Hans Georg Gadamer)
Hermeneutika dialogis adalah interpretasi dengan asumsi bahwa pemahaman yang benar akan dapat dicapai malalui dialektika dengan mengajukan banyak pertanyaan. Artinya, pikiran penafsir juga menceburkan diri kedalam pembangkitan kembali makna teks. Dengan demikian, proses pemahaman adalah proses peleburan antara sekurang-kurangnya dua horizon. Pengarang dan konteks historis dari teks dipertimbangkan dalam proses itu bersama dengan prasangka-prasangka penafsir seperti tradisi, kepentingan praktis bahasa dan budaya (Raharjo, 2008: 33).
Tokoh dari teori ini adalah murid Martin Heidegger sendiri, seorang filosof kelahiran Marbug bernama Hans-Georg Gadamer (1900-2002). Karier puncak Gadamer pada tahun 1960 ketika ia manulis karya yang cukup monumental berjudul Wahrheit und Methode (kebenaran dan metode) yang kemudian menjadi rujukan kajian Hermeneutika kontemporer sampai saat ini.
Sebagai penerus Heidegger yang telah mengembangkan interpretasi ontologis, Gadamer tidak memaknai hermeneutika sebagai penerjemah eksistensi, tetapi pemikiran dalam tradisi filsafat. Sebenarnya, ia tidak menganggap hermeneutika sebagai metode, karena baginya pemahaman yang benar adalah pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya, kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode, tetapi melalui dialektika dengan mengajukan banyak prtanyaan. Dengan demikian, bahasa menjadi medium sangat penting bagi terjadinya dialog (Zarkasyi, 2004).
Menurut perpektif ini, yang akan dibahas lebih lanjut dalam sub bab tersendiri, dalam proses memahami teks, pikiran penafsir juga menceburkan diri ke dalam pembangkitan kembali makna teks. Proses pemahaman adalah proses peleburan horizon-horizon. Tindakan pemahaman adalah suatu kehendak yang sejauh mungkin bisa melahirkan proses peleburan antara sekurang-kurangnya dua horizon. Pengarang dan konteks hostoris dari sebuah teks dipertimbangkan dalam proses interpretative bersama dengan prasangka-prasangka penafsir seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa dan budaya.
f. Hermeneutika Kritis (Jurgen Hambermas 1929-)
Istilah teori kritis (critical theory) pertama kali dikenalkan oleh Max Horkheimer dan pada mulanya hanya merujuk secara khusus kepada tradisi Mazhab Frankfurt yang di antara tokohnya adalah Max Horkheimer (1895-1973), Theodor W. Adorno (1903-1969), Herbert Marcuse (1898-1979), dan Jurgen Habermas (1929-). Seiring dengan perkembangan ilmu sosial, istilah tersebut mempunyai konotasi yang lebih luas, termasuk di dalam tradisi teori post-modernisme dan feminism, yang bermazhab tradisi filsafat Prancis (Agger, 2001:201).
Dalam karya-karyanya, Habermas tidak pernah membicarakan secara utuh hermeneutika dalam arti definif, baik sebagai sains untuk memahami maupun sebagai sebuah gagasan tunggal. Namun, jika hermeneutika diartikan sebagai cara atau seni memahami makna komunikasi baik yang menggunakan simbol-simbol linguistik maupun non-linguistik, maka Habermas mempunyai gagasan yang unik, yakni bagaimana cara dia memahami. Dianggap unik, karena ia membawa karakter yang khas aliran Frankfurt, yaitu teori kritis. Maka hermeneutika Habermas dapat disebut sebagai hermeneutika kritis (Thiselton, 1992:380).
Menurut perspektif kritis ini, hermeneutika dialogis Gadamer, oleh Habermas dianggap kurang memiliki kesadaran sosial yang kritis. Kalau bagi Gadamer, pemahaman didahului oleh pra-penilaian (pre-judgement), maka bagi Habermas, pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpreter dan khususnya komunitas-komunitas interpreter yang terlibat dalam interpretasi. Hermeneutika ini lebih mengedepankan refleksi kritis penafsir dan menolak kehadiran prasangka dan tradisi. Karena itu, untuk memahami suatu teks, seorang penafsir harus mampu mengambil jarak atau lemalngkah keluar dari tradisi dan prasangka. Hanya dengan cara demikian hermeneutika mampu mengemban tugas untuk mengembangkan masyarakat komunikatif yang universal.
Secara metodologis, hermeneutika kritis Habermas dibangun di atas klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias-bias dan unsur-unsur kepentingan politik, ekonomi, sosial, termasuk bias stata kelas, suku dan gender. Dengan menggunakan metode ini, konsekuensinya kita harus curiga dan waspada, atau dengan kata lain kritis, terhadap bentuk tafsir atau pengetahuan atau jargon-jargon yang dipakai dalam sains dan agama.
Hermeneutika kritis adalah interpretasi dengan pemahaman yang ditentukan oleh kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpreter. Secara metodologis, teori ini dibangun di atas klaim bahwa setiap bentuk penafsiran dipastikan ada bias-bias dan unsure-unsur kepentingan politik, ekonomi, social, termasuk bias strata kelas, suku, dan gender. Artinya, dengan menggunakan metode ini, konsekuensinya kita harus curiga dan waspada (kritis) terhadap bentuk tafsir, pengetahuan atau jargon-jargon yang dipakai dalam sains dan agama (Raharjo, 2008:64).
Tokoh dari teori ini adalah Jurgen Habermas (1929-) seorang filosof Jerman yang juga belajar politik. Sejalan dengan Gadamer, ia juga menempatkan bahasa sebagai unsure fundamental Hermeneutika. Sebab, analisis suatu fakta dilakukan melalui hubungan simbol-simbol sebagai simbol dari fakta. Hanya saja Hermeneutika dialogis Gadamer dianggapnya kurang memiliki kesadaran social yang kritis. Kalau menurut Gadamer, pemahaman didahului dengan pra-penilaian (pre-judgement), maka bagi Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Artinya teori ini lebih mengedepankan refleksi kritis penafsir dan menolak kehadiran prasangka dan tradisi. Sehingga untuk memahami suatu teks, seorang penafsir harus mampu mengambil jarak atau melangkah keluar dari tradisi dan prasangka.
g. Hermeneutika Dekonstruksionis (Jacques Derrida 1930-)
Hermeneutika dekonstruksionis adalah pemahaman yang didapatkan melalui upaya membangun relasi sederhana antara pananda dan petanda, dengan asumsi bahwa, bahasa dan sistem simbol lainnya merupakan sesuatu yang tidak stabil. Makna tulisan akan selalu mengalami perubahan, tergantung pada konteks dan pembacanya. meaning is contextualized to the relationship between the text and its reader. Tokoh dari teori ini adalah Jacques Derrida (1930-) seorang filosof post-strukturalisme kelahiran Aljazair. Dalam filsafat bahasa, Derrida membedakan antara tanda dan simbol. Dan dalam kaitannya dengan teks, ia memberikan analisis yang cukup cermat. Menurutnya, objek timbul dalam jaringan tanda, dan jaringan atau rajutan tanda ini disebut teks. Tidak ada sesuatu diluar teks, sebab segala sesuatu yang ada selalu ditandai dengan tekstualitas.
Derrida dikenal sebagai salah seorang filosof poststrukturalisme. Terminologinya tentang dekonstruksi merupakan istilah yang sangat kuat untuk menjelaskan gagasan poststrukturalisme. Derrida menunjukkan bahwa bahasa dan juga sitem simbol lainnya, merupakan sesuatu yang tidak stabil. Karena itu maka tulisan (teks), menurut Derrida, selalu mengalami perubahan, tergantung pada konteks dan pembacanya.
Perspektif ini menolak ambisi untuk menangkap makna esensial yang tunggal dan utuh. Hermeneutika dekonstruksionis menghendaki agar kita lebih menekankan pada pencarian makna makna eksistensial, makna yang di sini dan sekarang. Dekonstruksi Derrida mengingatkan bahwa setiap upaya untuk menemukan makna selalu menyelipkan tuntutan bagi upaya membangun relasi sederhana antara petanda dan penanda. Karena bahasa hanya merujuk pada dirinya sendiri, maka makna adalah arbitrer dan tidak bisa dipastikan begitu saja.
Dari varian tersebut di atas menunjukkan bahwa hermeneutika sebagai aliran filsafat telah mengikuti pandangan hidup tokoh-tokohnya. Tentunya pergeseran makna dan focus kajian masing-masing hermeneutika juga melibatkan pergeseran obyek materi pemahaman, cara dan sikap mental subyek dalam memahami obyek dan juga subyek. Oleh sebab itu, pemilihan hermeneutika sebagai sebuah perpektif dan pendekatan dalam penelitian juga sangat tergantung pada objek, tujuan, dan metode penelitiannya.
.
4. Interpretasi dan Eksplanasi
Hermeneutika adalah kata yang muncul pada bidang sastra, teologi, dan filsafat. Secara sempit hermeneutika diartikan sebagai studi tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi, sedangkan secara umum hermeneutika adalah studi pemahaman khususnya tugas pemahaman teks (Palmer, 2005). Sehingga, hermeneutika dapat dikatakan sebagai usaha untuk mendapatkan sebuah pemahaman terhadap suatu teks.
Proses memahami sesuatu yang dilakukan oleh seseorang seperti lingkaran, artinya pemahaman tersebut dimulai dari tiap-tiap bagian ke bagian yang lain. Kemudian, tiap-tiap bagian itu dihubungkan hingga menjadi keseluruhan atau kesatuan. Selain itu, pemahaman menurut Hirsch (dalam Susanto, 2011) bisa didapatkan dari sumber-sumber ekstra teks (extrinsic evidence). Sumber-sumber ekstra teks itu selanjutnya diperbandingkan, artinya membandingkan teks dengan teks-teks lain yang sejenis dari pengarang yang sama atau pengarang lain dalam periode yang sama. Hal ini didasarkan oleh asumsi bahwa dalam suatu periode teks atau karya-karya yang dihasilkan memiliki tema yang sama yang digemari oleh penikmat.
Sehubungan dengan penafsiran, Ricoeur (dalam Saktimulya, 2015) memandang penggunaan hermeneutika sebagai strategi yang terbaik untuk menafsirkan teks-teks filsafat dan sastra. Hermeneutika diterapkan dalam ranah bahasa, sastra dan filsafat karena ketiga ranah tersebut juga memiliki sifat simbolik, puitik, dan konseptual. Jadi, untuk bisa mendapatkan suatu pemahaman terhadap sebuah teks (sastra), maka diperlukan usaha-usaha penafsiran. Adapun jalan yang dapat ditempuh salah satunya dengan cara membaca teks lain yang sejenis.
Beberapa langkah dapat ditempuh juga dalam rangka penafsiran untuk mendapatkan pemahaman selain menggunakan sumber-sumber ekstra teks. Langkah-langkah tersebut misalnya penafsir mulai bekerja dari tataran linguistik, yaitu semantik dilanjutkan dengan menghubungkan antara dunia objektif teks dengan dunia yang diacu, dan memberikan makna yang didasarkan bahwa teks merupakan ekspresi tidak langsung sehingga perlu menafsirkan kiasan-kiasan yang ada di dalamnya.
Dalam suatu aksi membaca sebuah teks, maka hal yang tidak bisa dihindari adalah dua sikap membaca yang biasanya saling mengkonfrontasi satu sama lain. Dua sikap membaca ini disebut dengan interpretasi dan eksplanasi. Tidak mengherankan jika hal ini masih saja diperdebatkan dalam persoalan hermeneutik. Karena interpretasi erat kaitannya dengan pemahaman (understanding) yang dianggap sebagai penafsiran subjektif sang interpreter, sementara kita biasanya menuntut akan sebuah penafsiran yang objektif dari suatu teks. Bagaimana dengan eksplanasi? Ricoeur mengatakan bahwa eksplanasi adalah penjelasan struktural yang ada pada teks yang sifatnya cenderung objektif. Sementara interpretasi dengan melalui pemahaman, memberikan kesan yang subjektif. Apakah ini kontradiksi?
Apa yang ingin Ricoeur jelaskan adalah bahwa sebuah teks itu memiliki tempat diantara penjelasan struktural dan pemahaman hermeneutik yang berhadapan satu sama lain. Untuk memecahkan kesenjangan yang nampak pada dua tempat tersebut, Ricoeur memulainya dengan analisis teks melalui status otonomnya. Kita, sebagai pembaca dari teks tersebut, boleh saja memperlakukan teks tersebut sebagai sebuah objek yang tanpa dunia dan tanpa penulis dalam kasus kita masih mempertahankan suspensi dari teks tersebut. Maka dari itu, dalam hal ini, kita menjelaskan teksnya dalam pengertian relasi internalnya dan strukturnya. Inilah yang disebut sebagai penjelasan. Pada sisi lain, kita juga dapat mengangkat suspensi teks tersebut dan mengembalikannya terhadap komunikasi yang ada (kini); yang dalam hal ini artinya, kita menafsirkan teks tersebut. Kedua kemungkinan ini (eksplanasi dan interpretasi) pasti akan berhubungan erat dalam aksi membaca, karena membaca merupakan dua dialektika dari kedua sikap tersebut (Ricoeur, 1995: 152).
Bagaimanapun, melalui membaca, kita dapat melanjutkan suspensi yang mempengaruhi acuan teks terhadap sebuah dunia di sekitarnya dan pada para pendengar dari subjek yang berbicara (aspek strukturalnya), inilah yang kita sebut dengan eksplanasi. Sementara kita juga bisa mengangkat suspensi tersebut dan mengisi teks juga mengembalikannya pada komunikasi yang ada, inilah sikap kedua yang menjadi tujuan utama dari aksi membaca. Interpretasi adalah hasil konkret dari suatu pembaharuan yang mempertahankan keunggulan apropriasi. Hal ini tercapai melalui gagasannya mengenai lego ut intelligam (Aku membaca untuk memahami) yang merupakan tujuan utama dari hermeneutik dan membaca teks. Inilah pula yang berhubungan dengan bahwa filsafat Ricoeur adalah filsafat membaca sekaligus filsafat dari kehidupan.
Interpretasi adalah sebuah kerja pemikiran yang terdiri dari penafsiran makna tersembunyi pada makna lahiriah, dalam mengembangkan tingkatan-tingkatan makna yang tersirat pada makna literal (Kearney and Rainwater, 1996:245) Inilah definisi interpretasi menurut Ricoeur. Menurutnya, interpretasi lah yang mampu membuat pluralitas makna menjadi jelas.
Dalam menginterpretasi suatu teks, kita tidak hanya terbatas pada kalimat-kalimat individual (eksplanasi secara literal) dalam teks saja, akan tetapi juga mencakup keseluruhan makna teks yang di luar dari jumlah bagian-bagian kalimatnya. Maksud dari makna-makna yang diungkapkan oleh interpretasi ini adalah makna-makna intensional, ‘intensional’ untuk diambil dalam pengertian filosofis khusus (cukup independen dari intensi pengarang) bahwa teks itu termotivasi oleh sebuah sikap, seperti kepercayaan (belief). Kegiatan interpretasi pun disokong oleh lingkaran hermeneutik (Hermeneutic Circle) bahwa saya harus yakin supaya saya bisa memahami tapi saya juga harus memahami supaya saya bisa yakin.
.
5. Teks Sebagai Objek Hermeneutika
Pada hakikatnya, Hermeneutik menjadi sebuah teori dari teks, disebabkan karena mengambil teks sebagai titik permulaannya. Akan tetapi pada akhirnya hermeneutik datang untuk melihat dunia secara tekstual, sejauh keberadaan manusia itu diekspresikan melalui suatu wacana, dan wacana itu sendiri merupakan undangan bagi manusia untuk dapat diinterpretasikan satu sama lain (Simms, 2003: 30).
Para pakar hermeneutik melihat dunia yang berhubungan dengan individu-individu melalui perantara teks. I understand the world not directly, but through texts (saya tidak dapat memahami dunia secara langsung, melainkan saya memahaminya melalui teks-teks) dalam arti melalui teks-teks yang dilihat sebagai keseluruhan, bukan sebagai satuan bahasa individual yang dirangkaikan bersama-sama (Simms, 2003: 33).
Setiap kali kita membaca sebuah teks, maka ia selalu berhubungan dengan masyarakat, tradisi ataupun aliran yang hidup dari beragam gagasan. Meskipun demikian, sebuah teks yang ditafsirkan tidak akan bersih dari pengandaian dan situasi kita sendiri dalam ruang dan waktu tertentu. Kesenjangan ini mendorong Ricoeur untuk mengatakan bahwa sebenarnya sebuah teks itu mempunyai tempat di antara penjelasan struktural dan pemahaman hermeneutik yang berhadapan satu sama lain (Sumaryono, 1999: 108.). Namun sebelum itu, akan lebih baik bagi kita untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan teks menurut Paul Ricoeur.
Teks adalah setiap wacana yang dibakukan (fixed) dalam bentuk tulisan. Sedangkan pembakuan (fiksasi) sendiri adalah yang membentuk teks (Ricoeur, 1995: 145). Bagaimanapun, tulisan itu menyimpan sebuah wacana dan membuatnya menjadi sebuah arsip yang bisa dibaca oleh individu maupun banyak orang.
Menurut Ricoeur, tulisan adalah manifestasi penuh dari sebuah wacana. Apa yang kita bakukan dalam tulisan adalah suatu wacana yang bisa dikatakan berasal dari suatu ujaran berdasarkan pada situasi, tempat dan waktu tertentu. Itulah mengapa, sebelumnya perlu kita ketahui bahwa wacana yang dibakukan ke dalam teks mampu didapatkan melalui proses komunikasi. Proses komunikasi inilah yang menghasilkan suatu wacana yang dapat dituliskan. Adapun proses komunikasi sendiri terbagi kedalam dua bagian, yaitu komunikasi oral (oral communication), yakni komunikasi yang sifatnya dialog dua arah antara pembicara dan pendengar dan komunikasi literal (literal communication), yakni komunikasi yang sifatmya satu arah saja.
Roman Jakobson dalam artikelnya Linguistics and Poetics mendeskripsikan suatu skema komunikasi oral, yang terdiri dari enam faktor wacana komunikatif, yakni pembicara (speaker), pendengar (hearer), medium atau (channel), kode (code), situasi (situation), dan pesan (message).
Di dalam setiap situasi saat terjadi komunikasi oral, maka sang pemberi pesan pasti akan memberikan pesan (message) kepada pendengar yang diberi pesan. Akan tetapi, agar proses komunikasi ini dapat berfungsi dan operatif, maka pesan saja tidak cukup. Kita memerlukan konteks acuan yang bentuknya bisa verbal maupun non verbal. Konteks acuan non verbal dapat berupa raut muka, gestur, dsb. Selain itu, pesan juga harus mengandung kode yang sifatnya umum (common) bagi si pendengar dan dapat dimengerti.
Jika saya hendak menyampaikan sesuatu pada teman saya yang berasal dari Vietnam yang tak mengerti bahasa Indonesia sama sekali, sedangkan saya mengajaknya bicara dengan memakai bahasa Indonesia, maka pesan saya tidak akan tersampaikan pada teman saya yang saya ajak bicara. Tak kalah penting dari itu, dalam suatu komunikasi kita juga membutuhkan adanya kontak. Karena bagaimanapun, suatu proses komunikasi tidak akan terjadi tanpa adanya kontak fisik antara penyampai pesan dan penerima pesan. Jadi, proses komunikasi akan berfungsi melalui pesan yang didalamnya melingkupi konteks, kode, dan kontak.
Berbeda dengan komunikasi oral, komunikasi literal yang terwujudkan melalui pembakuan (fiksasi) wacana kedalam tulisan justru mengganti media suara manusia, mimik muka, dan gestur oleh tanda-tanda material. Hal ini tampak jelas jika kita jelaskan terlebih dahulu bahwa dalam suatu komunikasi, di dalamnya terkandung aksi berujar (performative acts) yang meliputi poin-poin berikut:
……
The locutionary act or propositional act, yakni aksi proposisional dalam sebuah ujaran,
The illocutionary act (force), yakni tindakan apa yang kita lakukan saat berbicara, dan
The perlocutionary act, yaitu efek/stimulus yang dihasilkan melalui pembiacaraan.
Ketika kita melakukan suatu pembakuan (fiksasi) sebuah wacana, maka kita akan menemukan bahwa Illocutionary force itu sedikit sekali terbakukan dan prelocutionary act adalah aspek yang paling kurang terbakukan (least inscribable) pada suatu wacana.
Ketika teks telah mengambil alih suatu ujaran dalam sebuah komunikasi, dalam arti ujaran itu telah terbakukan ke dalam tulisan, maka acuan pergerakan terhadap aksi berujar (act of showing) menjadi terhalang. Pada akhirnya kata-kata berhenti untuk menghadapkan diri mereka di hadapan berbagai objek; kata-kata tertulis menjadi kata-kata untuk diri mereka sendiri. Karena dalam budaya menulis, dunia teks itu sendiri bukan lagi merupakan hal yang bisa ditunjukkan dalam aksi dialog, melainkan ia tereduksi menjadi suatu jenis aura yang mana mengembangkan karya-karya tertulis itu. Dengan demikian, ketika kita berbicara tentang dunia Yunani atau dunia Byzantium, maka dunia ini bisa disebut sebagai ‘khayalan’, dalam pengertian, ia terepresentasikan oleh tulisan sebagai ganti dari dunia yang direpresentasikan oleh ujaran; akan tetapi dunia imajinasi ini pada dirinya sendiri adalah merupakan sebuah ciptaan dari literatur (Ricoeur, 1995: 148-149).
.
6. Otonomi Teks
Ricoeur berpandangan bahwa teks itu memiliki kehidupannya sendiri, ia berbeda dari intensi/maksud si pengarang. Ketika suatu diskursus dituangkan ke dalam teks, atau bisa kita katakan terjadinya suatu inskripsi (fiksasi), maka teks itu tidak akan hanya berhadapan dengan si pengarang melainkan juga dengan pembaca. Kemudian, kita sebagai pembaca, tidak bisa dengan begitu saja menjadikan teks mempunyai arti sebagaimana yang kita kehendaki. Selain itu, kita juga tidak bisa dengan begitu saja mengotak atik struktur bahasa teks yang bukan merupakan bahasa pribadi.
……
It is… to seek in the text itself, on the one hand, the internal dynamic that governs the structuring of the work and, on the other hand, the power that the work possesses to project itself outside itself and to give birth to a world that would truly be the ‘thing’ referred to by the text. This internal dynamic and external projection constitute what I call the work of the text. It is the task of hermeneutics to reconstruct this twofold work (Ricoeur 1995: 17-18).
Karena struktur bahasa itulah yang menjadi dimensi objektif bagi teks dan memberikan perlindungan bagi subjektivitas ekstrim. Adapun dalam proses menginterpretasikannya, maka apa yang kita tafsirkan dalam suatu teks adalah dunia yang ditawarkan dimana aku dapat bertempat tinggal (Sastrapratedja, 2012:152). Inilah yang akan kita ketahui kemudian bahwa menurut Ricoeur, teks itu bersifat otonom. Ia independen dari intensi maupun kondisi sirkumtansialnya pengarang. Dan karena ia otonom, maka kita dapat melakukan dekontekstualisasi maupun rekontekstualisasi terhadap teks.
Tulisan pada dasarnya telah memisahkan dirinya sendiri untuk terlepas dari batas-batas dialog (komunikasi dua arah) (Ricoeur 1995: 17): karena tidak sama halnya dengan ujaran, ia bersifat otonom dalam hubungannya dengan maksud pembicara, dan penerimaan terhadap pendengar aslinya (yang benar-benar sedang ia ajak bicara pada saat itu), juga terhadap kondisi ekonomi, sosial dan kultural yang ada pada saat wacana itu dituliskan (Simms, 2003: 33). Adapun Sumaryono (1999) pun menjelaskan bahwa otonomi teks menurut Ricoeur itu dibagi ke dalam 3 macam, di antaranya: (1) Intensi atau maksud pengarang, (2) Situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks, dan (3) untuk siapa teks itu dimaksudkan.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, Ricoeur menegaskan bahwa teks itu bisa dibebaskan dari maksud psikologis pengarang dan kondisi sosial yang merata pada masanya; ditambah lagi, ia bisa dibaca oleh siapapun, tidak hanya terbatas pada seseorang yang menjadi objek tujuan dari teks itu dialamatkan (tidak lagi bersifat dialogis). Ricoeur menemukan otonomi teks ini terbebaskan dari berbagai kendala, dimana teks lah yang menciptakan dunianya sendiri. Dan kemudian terserah pada pembaca untuk menempati dunia tersebut, lalu menemukan situasinya yang menjelaskan sistuasi dirinya (pembaca). Ricoeur mengatakan, ‘Apa yang harus diinterpretasikan dalam sebuah teks adalah suatu dunia yang diajukan yang mana saya dapat menempatinya dan saya dapat meproyeksikan salah satu kemungkinan-kemungkinan terbesar saya. Itu lah yang saya sebut sebagai dunia teks (World of the text), sebuah dunia yang cocok untuk teks yang unik ini (Ricoeur 1995: 86).
Atas dasar otonomi inilah, maka yang dimaksud dengan ‘dekontekstualisasi’ adalah bahwa materi teks melepaskan diri dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya, sehingga teks tersebut membuka diri untuk kemungkinan dibaca secara luas (Sumaryono, 1999: 109). Ia tidak lagi terbatas pada kelemahan suatu komunikasi oral dimana wacananya pasti masih terikat dengan horison pengarang yang terbatas pada situasi dan kondisi, serta dialamatkan untuk orang tertentu. Sedangkan ‘rekontekstualisasi’ adalah ketika teks membuka lebar kemungkinan untuk dibaca oleh beragam pembaca dimana pembacanya pasti berbeda-beda. Jadi proses dekontekstualisasi dapat kita sebut sebagai proses pembebasan diri dari konteks, sedangkan rekontekstualisasi adalah proses masuk kembali ke dalam konteks (berdasarkan konteks pembaca yang berbeda-beda).
.
7. Hermeneutika sebagai Sistem Interpretasi Paul Ricoeur
Dari kesejarahan hermeneutika, Paul Ricoeur (lahir 1913 di Valence, Perancis Selatan) yang lebih mengarahkan hermeneutika ke dalam kegiatan penafsiran dan pemahaman terhadap teks (textual exegesis). Menurut profesor filsafat di Universitas Nanterre (perluasan dari Universitas Sorbonne) ini, Pada dasarnya keseluruhan filsafat itu adalah interpretasi terhadap interpretasi. Paul Ricoeur sependapat dengan Nietzsche bahwa Hidup itu sendiri adalah interpretasi. Bila terdapat pluralitas makna, maka di situ interpretasi dibutuhkan (Sumaryono, 1999: 105; Pennata, 2003: 376).
Jika diruntut keberadaan hermeneutik dapat dilacak sampai Yunani kuno. Pada waktu itu sudah ada diskursus hermeneutik sebagaimana yang terdapat dalam tulisan Aristoteles yang bejudul peri hermenian (the interpretation). Karenanya, Palmer (2003: 38-47) pun menempatkan posisi hermeneutika Paul Ricoeur sepenuhnya terpisah dari tokoh-tokoh hermeneutik yang dibahas sebelumnya, yaitu sebagai berikut.
Pertama, hermeneutik sebagai teori penafsiran kitab suci. Hermeneutik dalam bentuk ini membicarakan tentang tradisi gereja dimana masyarakat Eropa mendiskusikan otensitas Bibel untuk mendapatkan kejelasan maknanya, hermeneutik identik dengan prinsip interpretasi. Kenyataan ini acap kali termanifestasikan sampai sekarang, terutama jika dihubungkan dengan penafsiran kitab suci (exegesis of scripture) bentuk hermeneutik semacam ini dikaji oleh J. C. Dannhauer’s. Kajian semacam ini memiliki aneka macam bentuk dan melahirkan berbagai corak pemikiran seperti yang dilakukan Martin Luther yang memberikan interpretasi dalam Bibel melukis mistik, dogmatik, humanis, dan lain sebagainya.
Kedua, hermeneutik sebagai sebuah metode filologi. Dimulai dengan munculnya rasionalisme dan hal-hal yang berhubungan dengannya, perjalanan filologi klasik pada abad ke-18 mempunyai pengaruh pada hermeneutik Bibel. Kenyataan ini menimbulkan metode kritik sejarah dalam teologi. Kajian dalam bentuk semacam ini dimulai oleh Ernesti pada 1761 M. sampai akhirnya corak ini dianggap sebagai metode penafsiran sekuler oleh pihak gereja. Namun, sejak munculnya abad pencerahan di Eropa sampai sekarang, metode Bibel tidak dapat dipisahkan dengan metode research dalam filologi. Kehadiran bentuk ini mulai tampak pada abad ke-19 M yang sering didiskusikan oleh filolog, Schleimacher, Frederich August Wolf, dan Frederich Ast. Ia memberikan porsi yang sama dengan tafsir terhadap kitab suci dan teks lainnya (Syamsuddin, 2003: 57).
Ketiga, hermeneutik sebagai ilmu pemahaman linguistik (science of linguistic understanding). Schleimacher membedakan hermeneutik sebagai science (ilmu) dan hermeneutik sebagai art (seni) dalam memahami. Bentuk memahami dalam hermeneutik merupakan arti secara umum dalam keilmuan hermeneutik dan hal ini masih digunakan sampai saat ini. Arti tersebut merupakan asal dari hermeneutik. Oleh karena itu, dalam perspektif historis, hermeneutik patut dianggap sebagai pahlawan dalam penafsiran Bibel serta filologi tradisional. Sebab dengan munculnya kedua bentuk disiplin tersebut menandai adanya pemahaman secara linguistic (bahasa) terhadap teks.
Keempat, hermeneutik sebagai tradisi ilmu kemanusiaan. Kerangka hermeneutik dalam bentuk ini dimulai Wilhelm Dilthey (Gadamer, 2004: 260). Ia berusaha membawa hermeneutik dalam menafsirkan ilmu kemanusiaan, seperti menginterpretasikan ekspresi kehidupan manusia. Dilthey memberi kritik terhadap Kant terutama dalam pure reason-nya. Di akhir perkembangan pemikiran Dilthey, mereka berusaha menginterpretasikan psikologi dalam memahami dan menginterpretasikan.
Kelima, hermeneutik sebagai fenomena das sein dan pemahaman eksistensialisnya yang dipengaruhi gurunya, Edmund Husserl dalam perjalanannya bentuk hermeneutik filosofis ini dikembangkan oleh Gadamer yang memberikan perhatian lebih terhadap hermeneutik dalam kaitannya dengan filsafat. Ia tidak percaya dengan adanya metode tertentu dalam mendapatkan hasil yang baik dalam menginterpretasikan teks.
Keenam, hermeneutik sebagai sistem penafsiran. Bentuk pemaknaan hermeneutik merupakan suatu teori tentang seperangkat aturan yang menentukan yaitu interpretasi (exsegesis) suatu bagian dari teks atau sekumpulan tanda yang dianggap sebuah teks kajian tipe terakhir dari hermeneutik ini dikemukakan oleh Paul Ricouer.
Dalam perspektif Paul Ricoeur, juga Emilio Betti yang mewakili tradisi hermeneutika metodologis, dan keduanya tokoh hermeneutika kontemporer, Hermeneutika adalah kajian untuk menyingkapkan makna objektif dari teks-teks yang memiliki jarak ruang dan waktu dari pembaca. Namun, sebagaimana Hans-Georg Gadamer yang mewakili tradisi hermeneutika filosofis, Paul Ricoeur juga menganggap bahwa seiring perjalanan waktu niat awal dari penulis sudah tidak lagi digunakan sebagai acuan utama dalam memahami teks (Ricoeur,2003: 203).
Melalui bukunya, De l’interpretation (1965), Paul Ricoeur mengatakan bahwa hermeneutika merupakan teori mengenai aturan-aturan penafsiran, yaitu penafsiran terhadap teks tertentu, atau tanda, atau simbol, yang dianggap sebagai teks. Menurutnya, tugas utama hermeneutik ialah di satu pihak mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja di dalam sebuah teks, di lain pihak mencari daya yang dimiliki kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan ‘hal’-nya teks itu muncul ke permukaan (via Sumaryono, 1999: 105).
Penafsiran terhadap teks tertentu, atau tanda, atau simbol, yang dianggap sebagai teks ini menempatkan kita harus memahami What is a text? Dalam sebuah artikelnya, Paul Ricoeur mengatakan bahwa teks adalah any discourse fixed by writing (dalam Thomson, 1982: 145). Dengan istilah discourse ini, Paul Ricoeur merujuk kepada bahasa sebagai event, yaitu bahasa yang membicarakan tentang sesuatu, bahasa yang di saat ia digunakan untuk berkomunikasi. Sementara itu, teks merupakan sebuah korpus yang otonom, yang dicirikan olehempat hal sebagai berikut.
a. Dalam sebuah teks makna yang terdapat pada apa yang dikatakan (what is said), terlepas dari proses pengungkapannya (the act of saying), sedangkan dalam bahasa lisan kedua proses itu tidak dapat dipisahkan.
b. Makna sebuah teks juga tidak lagi terikat kepada pembicara, sebagaimana bahasa lisan. Apa yang dimaksud teks tidak lagi terkait dengan apa yang awalnya dimaksudkan oleh penulisnya. Bukan berarti bahwa penulis tidak lagi diperlukan, … akan tetapi, maksud penulis sudah terhalang oleh teks yang sudah membaku.
c. Karena tidak terikat pada sebuah sistem dialog, maka sebuah teks tidak lagi terikat kepada konteks semula (ostensive reference), ia tidak terikat pada konteks asli dari pembicaraan. Apa yang ditunjuk oleh teks, dengan demikian adalah dunia imajiner yang dibangun oleh teks itu sendiri, dalam dirinya sendiri maupun dalam hubungannya dengan teks-teks yang lain.
d. Teks juga tidak lagi terikat kepada audiens awal, sebagaimana bahasa lisan terikat kepada pendengarnya. Sebuah teks ditulis bukan untuk pembaca tertentu, melainkan kepada siapa pun yang bisa membaca, dan tidak terbatas pada ruang dan waktu… Sebuah teks membangun hidupnya sendiri karena sebuah teks adalah sebuah monolog (Ricoeur via Permata, 2003: 217-220).
Paul Ricoeur mengalamatkan penafsiran kepada tanda, atau simbol, yang dianggap sebagai teks. Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah interpretasi atas ekspresi-ekspresi kehidupan yang ditentukan secara linguistik (Ricoeur dalam Josef Bleicher, 2003: 347). Hal itu sebab seluruh aktivitas kehidupan manusia berurusan dengan bahasa, bahkan semua bentuk seni yang ditampilkan secara visual pun diinterpretasi dengan menggunakan bahasa. Manusia pada dasarnya merupakan bahasa, dan bahasa itu sendiri merupakan syarat utama bagi pengalaman manusia, kata Paul Ricoeur (via Sumaryono, 1999: 107). Karenanya, hermeneutik adalah cara baru ‘bergaul’ dengan bahasa. Oleh sebab itu, penafsir bertugas untuk mengurai keseluruhan rantai kehidupan dan sejarah yang bersifat laten di dalam bahasa.
Bahasa dinyatakan dalam bentuk simbol, dan pengalaman juga dibaca melalui pemyataan atau ungkapan sirnbol-simbol (Ricoeur via Sumaryono, 1999: 108). Oleh sebab itu pula, Paul Ricoeur memaknakan simbol secara lebih luas daripada para pengarang yang bertolak dari retorika Latin atau tradisi neo-Platonik, yang mereduksi sirnbol menjadi analogi. Kata Paul Ricoeur : Saya mendifinisikan simbol sebagai struktur penandaan yang di dalamnya sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada, sebagai tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif dan yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama.
Sekali lagi, setiap kata adalah sebuah simbol, tegas Paul Ricoeur (via Sumaryono, 1999: 106). Kata-kata penuh dengan makna, dan intensi yang tersembunyi. Tidak hanya kata-kata di dalam karya sastra, kata-kata di dalam bahasa keseharian juga merupakan simbol-simbol sebab menggambarkan makna lain yang sifatnya tidak langsung, terkadang ada yang berupa bahasa kiasan, yang semuanya itu hanya dapat dimengerti melalui simbol-simbol itu. Karenanya, simbol dan interpretasi merupakan konsep yang mempunyai pluralitas makna yang terkandung di dalam simbol atau kata-kata di dalam bahasa. Setiap interpretasi adalah upaya untuk membongkar makna yang terselubung.
Dalam konteks karya sastra, setiap interpretasi ialah usaha membuka lipatan makna yang terkandung di dalam karya sastra. Oleh sebab itu, Hermeneutika bertujuan menghilangkan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut. Dengan begitu, Hermeneutik membuka makna yang sesungguhnya sehingga dapat mengurangi keanekaan maknadari simbol-simbol, kata Paul Ricoeur (dalam Josef Bleicher, 2003: 376).
Lalu, bagaimana interpretasi dilakukan? Interpretasi, dalam perspektif Paul Ricoeur, adalah karya pemikiran yang terdiri atas penguraian makna tersembunyi dari makna yang terlihat, pada tingkat makna yang tersirat di dalam makna literer. Simbol dan interpretasi menjadi konsep yang saling berkaitan, interpretasi muncul di mana makna jamak berada, dan di dalam interpretasilah pluralitas makna termanifestasikan (dalam Josef Bleicher, 2003: 376).
Menurut Paul Ricoeur, interpretasi dilakukan dengan cara pcrjuangan melawan distansi kultural, yaitu penafsir harus mengambil jarak agar ia dapat melakukan interpretasi dengan baik. Namun, yang dimaksudkan Paul Ricoeur dengan distansi kultural itu tidaklah steril dari anggapan-anggapan. Di samping itu, yang dimaksudkan dengan mengambil jarak terhadap peristiwa sejarah dan budaya tidak berarti seseorang bekerja dengan tangan kosong (via Sumaryono, 1999: 106). Posisi pembaca bekerja tidak dengan tangan kosong ini, seperti halnya posisi karya sastra itu sendiri yang tidak dicipta dalam keadaan kekosongan budaya (Teuw, 1981: 11). Akan tetapi, seorang pembaca atau penafsir itu masih membawa sesuatu yang oleh Heideger disebut vorhabe (apa yang ia miliki), vorsicht (apa yang ia lihat), dan vorgriff (apa yang akan menjadi konsepnya kemudian). Hal itu artinya, seseorang dalam interpretasi tidaklah dapat menghindarkan diri dari prasangka (via Sumaryono, 1999: 107).
Memang, setiap kali kita membaca suatu teks, tidak dapat menghindar dari prasangka yang dipengaruhi oleh kultur masyarakat, tradisi yang hidup dari berbagai gagasan. Walaupun begitu, menurut Paul Ricoeur, sebuah teks harus kita tafsirkan dalam bahasa yang tidak pemah tanpa pengandaian, dan diwamai dengan situasi kita sendiri dalam kerangka waktu yang khusus. Karenanya, sebuah teks selalu berdiri di antara penjelasan struktural dan pemahaman hermeneutika, yang saling berhadapan. Penjelasan struktural bersifat objektif, sedangkan pemahaman hermeneutika memberi kesan kita subjektif.
Dikotomi antara objektivitas dan subjektivitas ini oleh Paul Ricoeur diselesaikan dengan jalan sistem bolak-balik, yakni penafsir melakukan pembebasan teks (dekontekstualisasi) dengan maksud untuk menjaga otonomi teks ketika penafsir melakukan pemahaman terhadap teks; dan melakukan langkah kembali ke konteks (rekontekstualisasi) untuk melihat latar belakang terjadinya teks, atau semacamnya.
Dekontekstualisasi maupun rekontekstualisasi itu bertumpu pada otonomi teks. Semantara itu, otonomi teks ini ada tiga macam, yakni (1) intensi ataumaksud pengarang (teks), (2) situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan teks (konteks), dan (3) untuk siapa teks itu dimaksudkan (kontekstualisasi) (Paul Ricoeur via Sumaryono, 1999: 109; dan, Faiz, 2003: 12). Atas dasar otonomi teks itu, maka kontekstualisasi yang dimaksudkan bahwa materi teks melepaskan diri dari cakrawala yang terbatas dari pengarangnya. Selanjutnya, teks tersebut membuka diri terhadap kemungkinan dibaca dan ditafsiri secara luas oleh pembaca yang berbeda-beda, inilah yang dimaksudkan dengan rekontekstualisasi.
Dengan jalan sistem bolak-balik itu, seorang hermeneut harus melakukan pembacaan dari dalam teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks tersebut, dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Karenanya, untuk dapat berhasil pembacaan dari dalam itu, menurut Paul Ricoeur, ia harus dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus dapat mengatasi situasi dikotomis, serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek-aspek subjektif dan objektif. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan cara membuka diri terhadap teks, ini berarti kita mengijinkan teks memberikan kepercayaan kepada diri kita, kata Paul Ricoeur (via Sumaryono, 1999:110).
Yang dimaksudkan dengan membuka diri terhadap teks ini adalah proses meringankan dan mempermudah isi teks dengan cara menghayatinya. Mengapa demikian? Hal itu disebabkan bahwa : dalam interpretasi terhadap teks, kita tidak perlu bersitegang dan bersikap seakan-akan menghadapi teks yang beku, tetapi kita harus dapat ‘membaca ke dalam’ teks itu. Kita juga harus mempunyai konsep-konsep yang kita ambil dari pengalaman-pengalaman kita sendiri yang tidak mungkin kita hindarkan keterlibatannya sebab konsep-konsep ini dapat kita ubah atau disesuaikan tergantung pada kebutuhan teks. Namun, di sini kita juga masih berkisar pada teks sekalipun dalam interpretasi kita juga membawa segala kekhususan ruang dan waktu kita.
Cara-cara tersebut, sesungguhnya berujung kepada tugas utama hermeneutika, yakni memahami teks. Pada umumnya, para hermeneut membedakan antara pemahaman, penjelasan, dan interpretasi, namun sekaligus ada sirkularitas antara ketiganya. Tentang sirkularitas ini, Paul Ricoeur mengatakan, Engkau harus memahami untuk percaya, dan percaya untuk memahami. Namun, buru-buru Paul Ricoeur menegaskan bahwa : lingkaran tersebut hanya semu saja sebab tidak ada satu pun hermeneut yang pada kenyataannya mau mendekatkan diri pada apa yang dikatakan oleh teks jika ia tidak menghayati sendiri suasana makna yang ia cari. Hermeneut harus menggumuli interpretasinya sendiri, ia harus mulai dengan pengertian yang seakan-akan ‘masih mentah’ sebab jika tidak demikian ia tidak akan mulai melakukan interpretasi.
Bagaimana langkah-Iangkah pemahaman terhadap teks tersebut? Dalam perspektif Paul Ricoeur melalui bukunya The Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning, langkah pemahaman itu ada tiga, yang berlangsung mulai dari penghayatan terhadap simbol-simbol, sampai ke tingkat gagasan tentang berpikir dari simbol-simbol, (1) langkah simbolik atau pemahaman dari simbol-simbol, (2) pemberian makna oleh simbol serta penggalian yang cermat atas makna, dan (3) langkah filosofis, yaitu berpikir dengan menggunakan simbol sebagai titik tolaknya (Ricoeur, 2003: 162-164; Sumaryono, 1999: 111; Faiz, 2003: 36).
Ketiga langkah tersebut erat hubungannya dengan langkah pemahaman bahasa, yakni langkah semantik, refleksif, dan eksistensial atau ontologis. Langkah semantik merupakan pemahaman pada tingkat bahasa yang murni; pemahaman refleksif setingkat lebih tinggi, mendekati ontologis; sedangkan pemahaman eksisitensial atau ontologis adalah pemahaman pada tingkat keberadaan makna itu sendiri. Karenanya, Paul Ricoeur menegaskan bahwa pemahaman itu pada dasamya ‘cara berada’ (mode of being) atau cara menjadi.
Namun, bagaimana pemyataan Paul Ricoeur ini dapat diterima sebabpemahaman hanya dapat terjadi pada tingkat pengetahuan, dan cara pemahaman selalu mendapat bantuan daripengetahuan? Tentang pendapat Paul Ricoeur bahwa Pemahaman merupakan cara berada atau cara ‘menjadi’, dan bukan cara mengetahui atau cara memperoleh pengetahuan ini, Paul Ricoeur hanya ingin menyentakkan kesadaran kita bahwa hermeneutik adalah sebuah metode yang sejajar dengan metode di dalam sains. Ia tidak berkehendak memperlakukan metode hermeneutika ini dengan kaku dan terstmktur sebagaimana terdapat di dalam ilmu ilmiah lainnya. Mengapa demikian?
Bagi Paul Ricoeur, pemahaman merupakan salah satu aspek ‘proyeksi Dasein’ (proyeksi manusia seutuhya) dan keterbukaannya terhadap being. Dengan begitu, Pertanyaan tentang kebenaran bukan lagi menjadi pertanyaan tentang metode, melainkan pertanyaan tentang pengejawantahan being untuk being, yang eksistensinya terkandung di dalam pemahaman terhadap being. Hal itu sebab kita memahami manusia dari segala aspek yang ia miliki, manusia seutuhnya, manusia sebagai Dasein : sejarahnya, cara hidupnya, cita-citanya, gaya penampilan, keburukannya, serta segala sesuatu yang membuatnya menjadi khas. Oleh sebab itu, kita memahami manusia sebagaimana ia menjadi (via Sumaryono, 1999: 111-112).
Dalam hal ini, tatkala hermeneutika memahami manusia dan hasil kerja budayanya, termasuk di dalamnya kesusastraan, yakni dengan jalan melakukan interpretasi. Namun, apakah setiap orang dapat mencapai pemahaman pada tingkat tertinggi sebagaimana korespondensi satu lawan satu antara penafsir dan sasarannya? Pemahaman tersebut, memang terlalu ideal, dan sulit dijangkau oleh ilmu-ilmu alamiah sekalipun.
Ada perbedaan antara seorang pakar bidang sains dan seorang hermeneut dalam memahami sesuatu. Seorang pakar bidang sains berhenti pada kasus yang ia terangkan sebagai suatu fakta atau peristiwa, dan ia bergantung kepada diagram ilmiah untuk memberikan penjelasannya. Sementara itu, seorang hermeneut memahami sesuatu tanpa harus ada penjelasan yang terikat kepada diagram ilmiah tertentu sebab ia mempergunakan metode interpretasi (Sumaryono, 1999: 111-112).
Bagaimana langkah pemahaman terhadap teks itu diimplemantasikan kepada teks sastra? Dalam buku Paul Ricoeur lain, Rule of Mataphor (1977) (via Hadi 2004: 90-92), ia menegaskan bahwa setiap teks berbeda komponen dan struktur bahasa atau semantiknya, oleh karena itu dalam memahami teks diperlukan proses hermeneutik yang berbeda pula. Apalagi yang dihadapi adalah teks sastra, hermeneutik harus mampu membedakan antara bahasa puitik yang bersifat simbolik dan metaforikal, dengan bahasa diskursif non-sastra yang tidak simbolik.
Perlakuan pemaknaan teks sastra berbeda dengan teks selainnya itu diakibatkan bahasa sastra memiliki kekhasan, yang ciri utamanya dapat dikenali sebagai berikut.
……
Pertama, bahasa sastra dan uraian falsafah bersifat simbolik, puitik, dan konseptual. Di dalamnya berpadu makna dan kesadaran. Kita tidak dapat memberi makna referensial terhadap karya sastra dan falsafah sebagaimana dilakukan terhadap teks yang menggunakan bahasa penuturan biasa. Bahasa sastra menyampaikan makna secara simbolik melalui citraan-citraan dan metafora yang dicerap oleh indra, sedangkan bahasa bukan sastra berusaha menjauhkan bahasa atau kata-kata dari dunia makna yang luas. Kedua, dalam bahasa sastra pasangan rasa dan kesadaran menghasilkan objek estetik yang terikat pada dirinya. Penandaan harus dilakukan, dan tanda harus diselami maknanya, tidak dapat dibaca secara sekilas lintas. Tanda dalam bahasa simbolik sastra mesti dipahami sebagai sesuatu yang mempunyai peran konotatif, metaforikal, dan sugestif. Ketiga, bahasa sastra berpeluang menerbitkan pengalaman fictional dan pada hakikatnya lebih kuat dalam menggambarkan ekspresi kehidupan (via Abdul Hadi, 2004: 90-92).
Dalam upaya interpretasi teks diperlukan proses hermeneutik yang berbeda itu, menurut Paul Ricoeur, prosedur hermeneutikanya secara garis-besar dapat diringkas sebagai berikut.
a. Pertama, teks harus dibaca dengan kesungguhan, menggunakan symphatic imagination (imajinasi yang penuh rasa simpati)
b. Kedua, pentakwil mesti terlibat dalam analisis struktural mengenai maksud penyajian teks, menentukan tanda-tanda (dilal) yang terdapat di dalamnya sebelum dapat menyingkap makna terdalam dan sebelum menentukan rujukan serta konteks dari tanda-tanda signifikan dalam teks. Barulah kemudian pentakwil memberikan beberapa pengandaian atau hipotesis.
c. Ketiga, penta’wil mesti melihat bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan makna dan gagasan dalam teks itu merupakan pengalaman tentang kenyataan non-bahasa (Hadi W.M. 2004: 90-92).
.
8. Kelebihan dan Kekurangan Metode Hermeneutika
Tidak ada metode yang sempurna, itulah kata yang tepat untuk mengambarkan realitas dan berbagai metode yang digunakan dalam penelitian. Demikian pula metode hermeneutik, tentunya di samping mempunyai banyak kelebihan, juga terdapat kelemahan-kelemahan yang selalu ada sebagaimana disampaikan oleh para ahli. Dua kutub pertentangan antara intensionalisme dan hermeneutika Gadamerian, masing-masing memiliki kelemahan.
Intensionalisme gagal menjelaskan tentang peran yang dimainkan penafsir dalam menjelaskan gagasan pengarang. Demikian pula hermeneutika Gadamerian tidak mencukupi sebagai teori makna yang dipahami sebagai sesuatu yang utama, karena memandang terlalu berlebihan peran penting intensionalisme atau kemampuan pelaku tindakan dalam menjawab signifikansi suatu tindakan bagi orang lain. Karena itu, jalan tengahnya adalah intensionalisme perlu dilengkapi dengan menggunakan wawasan dari hermeneutika Gadamerian, dan sebaliknya, hermeneutika Gadamer harus memasukkan wawasan dari intensionalisme untuk memperoleh makna tindak intensional dan signifikansinya.
.
C. Tokoh-tokoh Hermeneutika
1. Hans-Georg Gadamer
Hans Georg Gadamer dilahirkan di Marburg-Jerman pada tahun 1900. Ia memiliki latar belakang pendidikan formal dalam bidang studi bahasa dan kebudayaan klasik serta studi filsafat. Gelar Doktor diraihnya ketika berusia 29 tahun dalam bidang filsafat di Merburg. Setelah itu ia menjadi tenaga pengajar di Leipzig pada tahun 1939 dan di Frankfrut pada tahun 1947. Dan akhir karirnya ia menjadi guru besar di Heidelberg.
Pemikiran Gadamer secara umum di latarbelakangi oleh fenomenologi dan bangunan sendi-sendi pemikiran Heidegger. Namun, pemikirannya tentang hermeneutik sebagaimana diakui sendiri oleh Gadamer, secara khusus merupakan inspirasi dari dan reaksi terhadap pemikiran Dilthey dan Schleiermacher dan para pengikut mereka yang dipandang oleh Gadamer terlalu bersifat idealistik (Poespoprojo, 1985:92).
Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah retorika dan filsafat praktis (etika). Di dalam sejarahnya retorika dan hermeneutika memang selalu terkait. Retorika adalah seni untuk memaparkan pengetahuan. Sementara hermeneutika adalah seni untuk memahami teks. Teks ini memang dalam bentuk tulisan. Akan tetapi teks juga bisa memiliki arti luas, yakni realitas itu sendiri. Dalam arti ini juga dapat dikatakan, bahwa hermeneutika dan retorika saling membutuhkan satu sama lain. Retorika mengandaikan orang memahami teks. Sementara pemahaman tidak boleh berhenti di dalam diri seseorang saja, melainkan juga dapat disampaikan dengan jernih kepada orang lain. Gadamer sendiri berulang kali menegaskan, bahwa hermeneutika dan retorika lebih merupakan seni, dan bukan ilmu pengetahuan.
Di dalam beberapa tulisannya, termasuk Truth and Method, yang merupakan karya terbesarnya, Gadamer mencoba untuk melepaskan hermeneutika dari wilayah ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial. Untuk melakukan itu ia kemudian kembali membaca tulisan-tulisan Plato. Menurut Gadamer hubungan antara pembaca dengan teks mirip seperti hubungan dialog antara dua orang yang saling berbicara. Dalam arti ini dialog kehilangan dimensi rigorus saintifiknya, dan menjadi percakapan rasional untuk memahami suatu persoalan. Selain itu Gadamer juga membaca tulisan-tulisan Aristoteles, terutama pada bagian etika. Gadamer menjadikan etika sebagai dasar bagi hermeneutika. Tujuan utamanya tetap yakni melepaskan hermeneutika dari ilmu pengetahuan yang cenderung rigorus, saintifik, dan sifatnya instrumental.
a. Pengertian Sebagai Kegiatan Pikiran
Jika membaca tulisan-tulisan Gadamer langsung, anda akan mendapatkan kesan bahwa ia senang sekali bermain kreatif dengan bahasa untuk menciptakan pemahaman-pemahaman baru. Menurutnya bahasa tidak pernah bermakna tunggal. Bahasa selalu memiliki beragam makna, dan itu justru harus diakui dan dirayakan. Beragam makna di dalam bahasa menandakan adanya sesuatu yang bersifat esensial, tetap, dan universal di dalam bahasa itu sendiri. Artinya bahasa itu memiliki sesuatu yang sifatnya khas pada dirinya sendiri, dan lepas dari pikiran manusia. Di dalam bahasa terdapat pengertian, dan tugas hermeneutika adalah memahami pengertian tersebut, dan membuka kemungkinan bagi pemahaman-pemahaman baru.
Berdasarkan penelitian Jean Grodin, hermeneutika, yakni proses untuk memahami teks, memiliki tiga arti. Hermeneutika selalu terkait dengan pengertian tentang realitas. Yang pertama pengertian selalu terkait dengan proses-proses akal budi (cognitive process). Untuk memahami berarti untuk menyentuhnya dengan akal budi. Untuk memahami berarti untuk melihatnya secara lebih jelas. Untuk memahami berarti untuk menggabungkan pengertian yang bersifat partikular dalam konteks yang lebih luas. Untuk memahami sesuatu berarti untuk menggenggamnya dengan kekuatan akal budi. Inilah arti dasar dari hermeneutika sebagai proses untuk memahami sesuatu, atau memahami teks.
Konsep pengertian atau pemahaman (understanding) juga bisa diterapkan untuk memahami realitas sosial. Inilah yang kiranya menjadi argumen utama Wilhelm Dilthey, seorang filsuf ilmu-ilmu sosial yang hidup pada abad ke-19. Di dalam proses memahami realitas sosial, setiap bentuk tindakan dan ekspresi seseorang selalu mencerminkan apa yang dihayatinya di dalam kehidupan. Inilah yang disebut Dilthey sebagai pengalaman hidup (life experience).
Pengalaman hidup tersebut dapat dipahami melalui proses rekonstruksi ulang yang dilakukan peneliti melalui penelitiannya. Maka dari itu menurut saya, searah dengan penelitian Dilthey, ilmu-ilmu sosial tidak dapat menggunakan metode ilmu-ilmu alam, karena tujuan ilmu-ilmu alam bukanlah memami pengalaman hidup, melainkan mengkalkulasi yang untuk mengeksploitasi dan memprediksi fenomena alamiah. Konsep pengertian sendiri memang sudah tertanam di dalam tradisi hermeneutika sejak lama. Di dalam tradisinya hermeneutika berfokus pada upaya untuk memahami teks-teks kuno, terutama teks kitab suci. Konsep hermeneutika Gadamer juga berakar pada tradisi tafsir teks-teks kitab suci ini.
b. Pengertian sebagai Kegiatan Praktis
Yang kedua hermeneutika selalu terkait dengan pengertian yang bersifat praktis. Dalam arti ini orang yang mengerti bukan hanya ia memahami pengetahuan tertentu, tetapi juga memiliki ketrampilan praktis untuk menerapkannya. Misalnya anda adalah seorang guru yang baik. Artinya anda tidak hanya memahami pengetahuan teoritis tentang cara mengajar dan arti pengajaran itu sendiri, tetapi mampu mengajar dengan baik. Seorang koki yang baik tidak hanya memahami konsep teoritis bumbu, tetapi juga mampu mengolahnya menjadi sebuah masakan yang enak. Untuk memahami sudah selalu mengandaikan mampu menerapkan.
Di dalam hidupnya manusia selalu mencari arah baru untuk dituju. Untuk menemukan arah yang tepat, manusia haruslah memiliki pengertian yang tepat tentang dirinya sendiri. Hanya dengan memahami diri secara tepatlah manusia bisa mewujudkan potensi-potensinya semaksimal mungkin. Di dalam proses merumuskan filsafatnya, Gadamer sangat terpengaruh pada filsafat Heidegger, terutama tentang fenomenologi adanya. Namun Gadamer tidak mengikuti jalur yang telah dirintis oleh Heidegger, yakni proses untuk memahami eksistensi ada melalui manusia. Gadamer memfokuskan hermeneutikanya lebih sebagai bagian dari penelitian ilmu-ilmu manusia.
Untuk memahami manusia menurutnya, orang harus peduli dan mampu memaknai manusia tersebut dalam konteksnya. Kepedulian dan pemaknaan itu membuat tidak hanya teks yang menampilkan dirinya, tetapi juga si peneliti yang membentuk makna di dalam teks itu.
Dapat juga dikatakan bahwa filsafat Gadamer lebih bersifat terapan, jika dibandingkan dengan filsafat Heidegger. Sifat praktis ini diperoleh Gadamer, ketika ia mulai secara intensif membaca tulisan-tulisan Aristoteles tentang kebijaksanaan praktis. Kebijaksanaan praktis juga melibatkan pengertian tertentu. Dalam konteks pengertian ini, penerapan adalah sesuatu yang amat penting. Penerapan adalah soal tindakan nyata. Bertindak baik tidak sama dengan memahami hakekat dari yang baik, seperti yang dilakukan Plato di dalam filsafatnya (Grondin, 2007: 40).
c. Pengertian sebagai Kesepakatan
Gadamer juga berpendapat bahwa pengertian selalu melibatkan persetujuan. Untuk mengerti berarti juga untuk setuju. Di dalam bahasa Inggris, kalimat yang familiar dapa dijadikan contoh, we understand each other. Kataunderstand bisa berarti mengerti atau memahami, dan juga bisa berarti saling menyetujui atau menyepakati. Memang pengertian itu tidak seratus persen berarti persetujuan, namun ada hal-hal mendasar yang telah disetujui sebelumnya, ketika orang mengerti.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Grondin, ada dua alasan yang mendorong Gadamer merumuskan pengertian sebagai bagian dari persetujuan. Yang pertama bagi Gadamer, untuk memahami berarti juga untuk merekonstruksi makna dari teks sesuai dengan yang dimaksud penulisnya. Di dalam proses pemahaman itu, pembaca dan penulis teks memiliki kesamaaan pengertian dasar (basic understanding) tentang makna dari teks tersebut. Misalnya saya membaca teks tulisan Immanuel Kant. Ketika membaca saya tidak hanya mencoba memahami secara pasif tulisan Kant, namun pemikiran saya dan pemikiran Kant bertemu dan menghasilkan persetujuan dasar.
Pemahaman atau pengertian dasar (basic understanding) itu disebutnya sebagai sache, atau subyek yang menjadi tema pembicaraan. Sache inheren berada di dalam setiap proses pembacaan ataupun proses dialog. Dalam arti ini proses sache tidak lagi berfokus untuk membangkitkan maksud asli dari penulis teks, melainkan berfokus pada tema yang menjadi perdebatan yang seringkali berbeda dengan maksud asli si penulis teks.
Di dalam hermeneutika tradisional, tujuan utamanya adalah membangkitkan maksud asli pengarang. Namun di dalam hermeneutika Gadamer, maksud asli pengarang hanyalah hal sekunder. Yang penting adalah apa yang menjadi tema utama pembicaraan. Dan tema utama pembicaraan (subject matter) itu dapat terus berubah. Maksud asli pengarang tetap ada. Namun kita hanya dapat mengerti maksud tersebut, jika kita memiliki beberapa pengertian dasar yang sama dengan pengarang. Namun tetaplah harus diingat, bahwa fokus dari hermeneutika, atau proses menafsirkan, menurut Gadamer, adalah untuk membangkitkan makna tentang tema utama pembicaraan, dan tidak semata-mata hanya untuk menjelaskan maksud asli dari penulis teks (Grondin, 2007: 41).
Yang kedua menurut Gadamer, setiap bentuk persetujuan selalu melibatkan dialog, baik dialog aktual fisik, ataupun dialog ketika kita membaca satu teks tulisan tertentu. Di sisi lain persetujuan juga selalu melibatkan bahasa dan percakapan. Inilah yang disebut Gadamer sebagai aspek linguistik dari pengertian manusia (linguistic elements of understanding). Dalam arti ini untuk memahami berarti untuk merumuskan sesuatu dengan kata-kata, dan kemudian menyampaikannya dengan kejernihan bahasa.
Bagi Gadamer elemen bahasa untuk mencapai pengertian ini sangatlah penting. Bahkan ia berpendapat bahwa pengalaman penafsiran (hermeneutic experience) hanya dapat dicapai di dalam bahasa. Maka perlulah ditegaskan bahwa bagi Gadamer, tindak memahami selalu melibatkan kemampuan untuk mengartikulasikannya di dalam kata-kata dan menyampaikannya di dalam komunikasi. Di dalam proses ini, peran bahasa sangatlah penting.
Namun begitu bukankah tidak semua hal dapat disampaikan dengan kata-kata? Seringkali kita mengerti sesuatu, tetapi tidak bisa mengartikulasikannya secara jernih melalui bahasa. Misalnya saya mengerti sebuah simbol. Saya juga bisa memahami keindahan dari suatu karya seni. Saya juga bisa memahami keindahan suatu musik. Tidak hanya itu seringkali perasaan dan bahkan kebenaran itu sendiri tidak dapat dikurung di dalam rumusan kata-kata.
Di dalam bukunya yang berjudul The Truth and Method, Gadamer berpendapat bahwa para seniman, termasuk pelukis, pematung, dan pemusik, tidak pernah mampu menyampaikan apa yang mereka pikirkan dan rasakan dengan menggunakan kata-kata. Sebaliknya bagi mereka kata-kata adalah sesuatu yang sifatnya reduktif, karena menyempitkan makna di dalam rumusan yang tidak dinamis.
Jika bahasa tidak lagi bermakna, lalu bagaimana proses pengertian atau memahami bisa terjadi? Menurut Gadamer bahasa memiliki arti yang lebih luas daripada sekedar kata-kata. Dalam beberapa kasus tarian dan bahkan diam juga bisa menjadi sebentuk bahasa yang menyampaikan pesan tertentu. Semua bentuk komunikasi itu bisa membuka ruang untuk penafsiran dari pendengar ataupun penerima pesan. Tentu saja orang bisa salah tangkap, sehingga tercipta kesalahpahaman. Namun hal itu terjadi, karena orang tidak mampu menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Maka dari itu di dalam komunikasi, kita perlu memperhatikan juga apa yang tak terkatakan, di samping juga mendengarkan apa yang terkatakan. Dengan demikian walaupun sifatnya terbatas, namun bahasa, dalam arti luas, merupakan alat komunikasi yang universal untuk mencapai pemahaman.
c. Konsep Lingkaran Hermeneutis
Gadamer juga dikenal dengan argumennya soal proses penafsiran, atau yang disebutnya sebagai lingkaran hermeneutis. Argumennya begini setiap bentuk penafsiran selalu mengandaikan pengertian dasar tertentu. Pengertian dasar itu disebut Gadamer sebagai antisipasi. Konsep lingkaran hermeneutis ini sangatlah dipengaruhi oleh filsafat Heidegger. Oleh karena itu konsep lingkaran hermeneutis yang dirumuskan Gadamer sangatlah berbau fenomenologi.
Seperti sudah sedikit disinggung, menurut Gadamer, setiap bentuk penafsiran untuk memperoleh pemahaman selalu melibatkan pemahaman dasar lainnya. Artinya untuk memahami kita juga memerlukan pemahaman. Tentu saja dari sudut logika, hal ini tidak bisa diterima. Logika berpikir menolak sebuah penjelasan atas suatu konsep yang terlebih dahulu mengandaikan konsep tersebut, seperti untuk menafsirkan guna memahami sesuatu, orang perlu memiliki pemahaman. Namun jika dilihat secara fenomenologis, seperti yang dilakukan Heidegger dan Gadamer, hal itu mungkin.
Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah sebuah logika klasik, bahwa orang bisa memahami keseluruhan dengan terlebih dahulu memahami bagian-bagiannya. Hal yang sama dapat diterapkan untuk memahami suatu teks. Maksud utama dari keseluruhan teks dapat dipahami dengan berpusat pada bagian-bagian teks tersebut, dan sebaliknya bagian-bagian teks itu dapat dipahami dengan memahami keseluruhan teks.
Tujuan utama Gadamer adalah untuk memahami teks di dalam kerangka berpikir yang lebih menyeluruh, dan bukan hanya terjebak pada apa yang tertulis atau terkatakan saja. Teks harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yang tentunya melibatkan teks-teks lainnya. Ini adalah salah satu kriteria untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, menurut Gadamer (Grondin, 2007:47).
Pengandaian hermeneutika Gadamer adalah, bahwa keseluruhan (whole) dan bagian (parts) selalu koheren. Supaya dapat memperoleh pemahaman yang tepat, si pembaca teks haruslah memahami koherensi antara makna keseluruhan dan makna bagian dari teks tersebut. Setiap bentuk pemahaman juga mengandaikan adanya kesepakatan tentang tema apa yang sebenarnya ingin dipahami. Jika kesepakatan tentang tema apa yang sebenarnya sungguh dipahami ini tidak ada, maka proses penafsiran akan menjadi tidak fokus. Jika sudah begitu maka pemahaman yang tepat pun tidak akan pernah terjadi.
Jika dilihat dengan kaca mata ini, maka konsep lingkaran hermeneutis yang dirumuskan Gadamer tetap mengandung unsur logika yang tinggi. Tidak hanya itu proses untuk memahami keseluruhan melalui bagian, dan sebaliknya, adalah proses yang berkelanjutan. Pemahaman adalah sesuatu yang harus terus menerus dicari, dan bukan sesuatu yang sudah ditemukan lalu setelah itu proses selesai. Dalam arti ini Gadamer memiliki perbedaan mendasar dari Heidegger. Objek penelitian hermeneutik Heidegger adalah eksistensi manusia secara keseluruhan. Sementara objek penelitian Gadamer lebih merupakan teks literatur. Gaya Heidegger adalah gaya eksistensialisme. Sementara Gadamer lebih berperan sebagai seorang filolog yang hendak memahami suatu teks kuno beserta kompleksitas yang ada di dalamnya.
Bagi Heidegger fokus dari pengertian manusia adalah untuk memahami masa depan dari eksistensi manusia. Sementara bagi Gadamer fokus dari pengertian adalah upaya untuk memahami masa lalu dari teks, serta arti sebenarnya dari teks tersebut. Juga bagi Heidegger proses menafsirkan untuk memahami sesuatu selalu mengandaikan pemahaman yang juga turut serta di dalam proses penafsiran tersebut. Artinya untuk memahami orang perlu untuk memiliki pemahaman dasar terlebih dahulu. Sementara bagi Gadamer konsep lingkaran hermeneutis mencakup pemahaman bagian-bagian melalui keseluruhan, dan sebaliknya. Maksud utuh dari teks dapat dipahami dengan memahami bagian-bagian dari teks tersebut. Dan sebaliknya bagian-bagian dari teks dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami maksud keseluruhan dari teks tersebut.
Di sisi lain seperti sudah disinggung sebelumnya, fokus dari proses penafsiran (hermeneutika) dari Heidegger adalah eksistensi manusia. Sementara fokus dari hermeneutika Gadamer adalah teks literatur dalam arti sesungguhnya. Dalam arti ini fokus dari hermeneutika Heidegger adalah membentuk manusia yang otentik, yakni membantu menemukan tujuan dasar dari eksistensi manusia. Sementara bagi Gadamer fokus dari hermeneutika adalah menemukan pokok permasalahan yang ingin diungkapkan oleh teks. Namun keduanya sepakat bahwa musuh utama dari proses penafsiran untuk mencapai pemahaman adalah prasangka.
Prasangka membuat orang melihat apa yang ingin mereka lihat, yang biasanya negatif, dan menutup mata mereka dari kebenaran itu sendiri, baik kebenaran di level eksistensi manusia, maupun kebenaran yang tersembunyi di dalam teks. Walaupun banyak memiliki perbedaan, namun Gadamer dan Heidegger setidaknya identik dalam satu hal, yakni bahwa proses lingkaran hermeneutik sangatlah penting di dalam pembentukan pemahaman manusia. Dengan demikian kita bisa memastikan, bahwa walaupun filsafat Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran Gadamer, namun keduanya tidaklah sama.
Gadamer memang mendapatkan banyak sekali inspirasi dari Heidegger. Namun ia kemudian mengembangkannya serta menerapkannya pada hal yang lebih spesifik, yakni proses penafsiran tekstual di dalam literatur dan filsafat. Inilah inti dari Hermeneutika Gadamer. Ia memberikan kepada kita prinsip-prinsip untuk menafsirkan teks-teks dari masa lalu. Dan dengan itu ia membantu kita memahami apa artinya menjadi manusia dengan berdasarkan pada historisitas kehidupan itu sendiri.
.
2. Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher
Di dalam Hermeneutika Filosofis, Schleiermacher dipandang sebagai pelopor hermeneutika modern meskipun ia sendiri sebenarnya bukanlah seorang filsuf, melainkan seorang teolog dan pendeta protestan. Schleiermacher yang melihat hermeneutika sebagai seni memahami, membawa pemahaman kepada suatu seni dalam disiplin pendidikan (Mueller-Vollmer, 1986: 12).
Di Jerman, Schleiermacher berupaya menyelamatkan Kristianitas dengan menginterpretasikannya sebagai agama perasaan dan intuisi atau sebagaimana ia katakan: the sense of infinite in the infinite (Adian, 2006:201). Berkenaan dengan hal tersebut, Schleiermacher pun mengembangkan pemikirannya di bidang hermeneutika dan menjadi filsuf Jerman pertama yang merefleksikan secara serius suatu hermeneutika filsafat. Pewaris tradisi hermeneutika yang dibangun oleh Schleiermacher di Jerman antara lain Wilhelm Dilthey dan Max Weber.
Friedrich Ernst Daniel Schleiermacher, lahir pada 21 Maret 1768, di Breslau (daerah Silesia, dahulu daerah Jerman, kini Polandia). Schleiermacher berasal dari lingkungan ‘pietisme’ reformasi luteran yang berkembang di Moravia. Pendidikan sekolah dipercayakan orang tuanya pada Moravian Brotherhood. Pada tahun 1785, dalam usia 17 tahun, Ia masuk seminari di Barby/Elbe, sebuah seminari yang lebih menekankan pendidikan hati ketimabanag rasio. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Halle, dengan spesifikasi teologi walaupun ia kehilangan kepercayaan pada beberapa doktrin fundamental kristiani. Dalam dua tahun pertama di bangku kuliah, ia meluangkan ketertarikannya pada Spinoza dan Kant, dibanding dengan mat-kuliah teologi.
Pada tahun 1790, ia menyelesaikan kuliah serta ujian-ujiannya di Berlin. Ia kemudian mengambil tempat tugas tutorial di suatu keluarga. Tahun 1794-1795, ia bertugas sebagai pendeta di Landsberg, dekat Frankfurt. Tahun 1796-1806, Ia memegang suatu posisi kegerejaan di Berlin. Pada masa ini, Ia berhubungan dengan lingkungan para-romantik (the circle of the romantic), khususnya dengan Friedrich Schlegel. Dengan begitu, Schleiermacher bisa mengembangkan ketertarikannya pada Spinoza, tema-tema umum romantik tentang totalitas, serta mulai menyukai pandangan Plato.
Di Berlin ini pula, Schleiermacher jatuh cinta pada Eleonore Granau, istri seorang rekan pendetanya yang tidak bahagia dalama hidup perkawinannya. Sebelum perkaranya menjadi skandal besar dan atas nasihat Dewan Jemaatnya, ia pergi ke ‘pembuangan’ di Stolp dan mengurus sebuah jemaat kecil di sana yang jumlahnya hanya sekitar 250 jiwa, sambil menantikan Eleonore yang rencananya akan datang untuk dinikahi. Eleonore ternyata tidak jadi meninggalkan suaminya. Maka cintanya pun kandas di tengah jalan.
Schleiermacher tidak membuat hermeneutikanya dari suatu kevakuman. Karyanya harus dilihat dalam skema latar belakang perkembangan diri dan zamannya. Hermeneutika Schleiermacher harus dilihat sebagai bagian dari pergerakan romantik awal, 1795–1810, yang merevolusi kehidupan intelektual di pusat Eropa.
Schleiermacher hidup di masa ketika monopoli kognisi, estetika, dan etika Gereja yang amat pervasive dalam kehidupan sehari-hari mulai memudar. Pada masa ini, Immanuel Kant muncul dan mempertanyakan daya jangkau kognitif akal budi terhadap ‘yang transenden’ yang kemudian melahirkan aliran romantisisme. Pada masa inilah sistem-sistem kritisisme, protestantisme, dan romantisisme membentuk latar hermeneutika Schleiermacher.
Kritisisme yang dibangun oleh Immanuel Kant bersumbangsih melalui pemilahan antara fenomena yang penuh aturan dan noumena yang bebas-unik-batiniah. Pemahaman inilah yang kemudian dipakai Schleiermacher untuk melihat teks sebagai fenomena berupa aturan-aturan sintaksis komunitas bahasa si pengarang yang supraindividual dan noumena berupa muatan batin individual pengarang yang ingin diungkapkan.
Protestantisme mendekonstruksi dogmatisasi penafsiran teks suci oleh kalangan magisterium gereja sehingga penafsiran teks menjadi monopoli kalangan elite tertentu gereja saja. Pemberontakan terhadap dogmatisasi penafsiran mengembangkan pemikiran Schleiermacher tentang pemahaman sebagai seni yang menekankan kebebasan individu penafsir dari segala dogmatisme tafsir untuk secara intuitif menangkap maksud batiniah teks asli.
Romantisisme sejalan dengan Kant dalam hal tekanan pada kehendak bebas dan doktrin bahwa realitas semesta pada dasarnya spiritual, dengan alam sendiri merupakan cermin dari jiwa manusia. Pengetahuan tentang semesta spiritual tidak dapat diperoleh lewat cara-cara analitik rasional, tetapi hanya dengan keterlibatan – ketertenggelaman emosional dan intuitif dalam suatu proses. Sumbangan romantisisme bagi hermeneutika Schleiermacher adalah hermeneutika sebagai upaya pemahaman teks, bukan sebagai objek intelektual dengan memetakan aturan-aturan sintaksis semata, melainkan sebagai upaya memeroleh kembali yang subjektif-individual dari balik teks tersebut dengan kebebasan imajinasi intuisi.
Problema awal yang ingin dilampaui oleh romantisisme adalah tentang pikiran lain (other mind). Problem ini muncul tatkala sistem-sistem filsafat modern dari Immanuel Kant, Rene Descartes, selalu berpusat pada aku yang transenden dan menguniversalkannya. Muatan benak semua orang dianggap seragam. Selama ini problem pemahaman sebuah teks hanya pada penentuan aturan-aturan normatif pemahaman untuk mendapatkan makna suatu teks dan lupa bahwa teks yang ditulis oleh si pengarang yang mempunyai benak yang kaya akan muatan emosi, perasaan, dan batin.
Reduksi pemahaman pada aturan-aturan sintaksis-literal semata akan membawa kita pada kesalahpahaman dari maksud si pengarang. Sebuah contoh klasik dalam bahasa Latin, yaitu kalimat yang diucapkan oleh seorang dukun dari kota Delphi pada zaman Romawi yang disampaikan pada seorang jenderal yang akan maju ke medan perang memimpin pasukannya. Dukun tersebut mengatakan kepada sang jenderal sepotong kalimat yang berbunyi ‘Ibis redibis numquam peribis in armis’. Jika sang jenderal meletakkan koma sesudah kata redibis, sehingga secara gramatikal menunjukkan negasi numquam yang dikenakan pada kata peribis, maka kalimat tersebut akan dipahami sebagai ‘engkau akan pergi dan engkau akan kembali, engkau tidak akan gugur dalam medan perang’. Malangnya jenderal kalah dan gugur di medan perang. Anak buahnya segera pergi ke dukun tersebut dan memohon penjelasan dengan ancaman akan mengenakan denda uang kalau dukun tersebut tidak bersedia. Dukun yang cerdik itu berkilah dengan mengatakan bahwa pada dasarnya maksud ucapannya adalah ‘engkau akan pergi dan engkau takkan pernah kembali, engkau akan gugur dalam pertempuran’. Ini dapat terjadi hanya dengan memindahkan koma sesudah kata numquam, sehingga kalimatnya menjadi ‘Ibis redibis numquam, peribis in armis’.
Apa yang romantisisme kehendaki adalah realitas akan yang lain dari teks yang selama ini direduksi pada aturan-aturan sintaksis-literal saja. Pemahaman kemudian dipahami sebagai apropriasi suatu kesadaran asing; membuatnya menjadi kesadaran kita sendiri (one’s own consciousness).
a. Hermeneutika Schleiermacher
Menurut Schleiermacher, hermeneutika merupakan kecakapan atau seni memahami. Schleiermacher yakin bahwa pada zamannya seni memahami ini tidak ada lagi yang berupa hermeneutika umum, melainkan hanya ada sebagai hermeneutika-hermeneutika khusus. Jadi apa pun macam, ciri-corak dan objek hermeneutika itu, semua hermeneutika adalah seni memahami pikiran atau maksud orang lain dalam bentuk lisan atau tulisan. Dengan demikian, Hermeneutika mencari intensi-intesi spesifik yang individual di dalam konteks ucapan (bahasa).
Menurut Schleiermacher, setiap ‘memahami’ selalu merupakan konversi dari ‘berbicara’. Ketika orang lain mengungkapkan pikirannya dengan ‘berbicara’, Subjek-pendengar harus memasukkan pembicaraannya itu ke dalam pikirannya. Dalam hal ini, pemahaman mengandaikan bahwa rekan-konversasi bisa menyejajarkan diri dengan subjek-pembicara bukan melulu sebagai pendengar atau pembaca begitu saja, melainkan sebagai orang yang mengetahui hidup luar dan dalam sang pembicara. Dengan demikian, rekan-konversasi mampu merekonstruksi perkataan subjek-pembicara, sambil tetap berpikir; menilai, mengritik, mengevaluasinya.
Hermeneutika Schleiermacher pada intinya meyakini bahwa tidak ada pemahaman yang berjarak (understanding at a distance). Pemahaman artinya memiliki keterlibatan internal dengan apa yang dipahami. Menurut Schleiermacher; ‘memahami suatu teks adalah memahami sebaik dan bahkan lebih baik dari pengarangnya’. Hal ini berarti menempatkan teks pada waktu dan tempat penyusunannya, seperti yang dikemukakan Schleiermacher, penafsir dapat menempatkan dirinya di dalam pengarang.
Dengan demikian, hermeneutika Schleiermacher memiliki implikasi bahwa, ‘keasingan’ suatu teks bersifat tidak total, sebab hal inilah yang memungkinkan ‘pengertian’. Asumsinya ialah bahwa suatu teks tidak sama sekali asing, tidak pula sama sekali biasa bagi si pembaca. Jadi, untuk memahami suatu teks atau pertanyaan, diperlukan pemahaman ‘awal’ mengenai hal-hal yang diungkapkan di dalam teks atau pernyataan itu (terkait dengan apa yang nanti dikenal dengan lingkaran hermeneutik).
Hermeneutika Schleiermacher tidak terlepas dari konsepsi Schleiermacher tentang bahasa dan praktik penafsiran. Memahami berarti mengarahkan perhatian pada suatu objek, yaitu bahasa. Bahasa dapat dipahami sebagai dimensi supra-individual dan dimensi individual. Bahasa sebagai dimensi supra-individual berarti bahasa dipahami sebagai aturan-aturan sintaksis pengungkapan makna yang dianut oleh suatu komunitas bahasa tertentu.
Setiap ungkapan berupa bahasa haruslah tunduk pada aturan-aturan sintaksis yang ada. Bahasa sebagai dimensi individual adalah bahasa sebagai media pengungkapan suatu interioritas batin yang unik individual, dimana manusia tidak selalu berpikir tentang hal yang sama pada saat berhadapan dengan kata yang sama. Bahasa sebagai dimensi individual tidak lagi dipandang sebagai aturan-aturan sintaksis yang umum, supra-individual, melainkan sebagai media pengungkapan muatan batin manusia.
Schleiermacher sendiri memandang bahasa sebagai dimensi individual dimana upaya pemahaman memerlukan suatu hermeneutika filosofis yang memandang teks tidak semata-mata sebagai suatu yang objektif-berjarak, sebagaimana terjadi dalam hermeneutika tradisional yang menggunakan prinsip-prinsip umum untuk menjelaskan ayat-ayat yang tak jelas. Praktik penafsiran yang dimaksud Schleiermacher bukan praktik penafsiran yang melulu intuitif yang tidak mentaati aturan atau seni (sewenang-wenang), melainkan suatu praktik penafsiran yang mengikuti suatu aturan dari teknik penafsiran. Hal itu disebabkan karena apabila hanya mengandalkan kesewenangan intuitif semata maka pemahaman akan menjadi suatu yang labil karena keterbatasan, kontingensi, hipotesis, dan perspektifis suatu upaya pemahaman. Dalam setiap pemahaman, kita tidak pernah bisa menafikan kemungkinan adanya kesalahpengertian.
b. Pendekatan Gramatikal dan Pendekatan Psikologis
Apakah ada cara yang bisa membantu agar pemahaman saya atas suatu teks yang ‘asing’ bagi saya sungguh tepat? Untuk menjawab pertanyaan ini, Hermeneutika Schleiermacher mengasumsikan bahwa setiap tulisan selalu mempunyai dua aspek. Pertama, aspek gramatikal: yang merupakan intisari dari keseluruhan pemikiran atau perkataan seseorang yang diungkapkan dalam tertib berbahasa. Kedua, yakni aspek psikologis meliputi latar belakang personal dari kehidupan penulis yang menggerakkannya dalam ekspresi bahasa demikian.
Schleiermacher percaya bahwa pemahaman suatu tuturan atau ucapan (bahasa), baik verbal maupun tertulis, niscaya melingkupi dua aspek tersebut. Pertama, terkait dengan pemahaman akan suatu ekspresi yang hanya berhubungan dengan bahasa sebagai wadahnya. Tiap ucapan harus dilihat sebagai bentukan suatu bagian dari sistem linguistic interpersonal yang ada (Sprache). Kedua, ekspresi tersebut harus juga bisa dilihat sebagai bagian dari proses-hidup sang-penutur/pembicara; sejarah internal atau mentalnya.
Dengan demikian, menurut Schleiermacher ada dua pendekatan untuk dapat menelusuri keasingan suatu teks. Kedua pendekatan ini bisa dibedakan, namun tidak boleh dipertentangkan. Sebab keduanya saling memerlukan dan melengkapi satu sama lain.
Pertama, pendekatan objektif yang berdasarkan bahasa atau gramatika. Dalam pendekatan gramatikal, pemahaman atas suatu teks dicapai melalui penelitian objektif atas arti kata-kata di dalam teks itu, gaya bahasa, etimologi, dan tata-bahasa yang dipakai oleh si penulis. Pendekatan gramatikal adalah upaya rekonstruksi konteks linguitik-historis suatu teks; aturan-aturan sintaksis suatu komunitas bahasa dimana teks itu ditulis.
Kedua, pendekatan subjektif dengan memperhatikan psikologi si penulis (interpretasi psikologis atas teks). Untuk mengerti suatu teks dari masa lampau, penafsir perlu keluar dari zamannya, merekonstruksi zaman pengarang dan menampilkan kembali keadaan dimana pengarang dahulu berada pada saat ia menulis teksnya. Penafsir harus menyamakan diri dengan pembaca yang asli, yang menjadi sasaran utama tulisan tersebut. Penafsir merekonstruksi pemikiran, perasaan, dan maksud si pengarang, gaya bahasa yang dipakainya, dan keunikannya. Dengan demikian, penafsir seolah-olah harus pindah ke dalam hidup batin pengarang.
Pendekatan gramatikal merupakan pendahuluan (preliminary) menuju suatu pemahaman psikologis yang akan menuntut kita untuk, melalui, teks kembali kepada orang yang memroduksi teks tersebut pada awalnya. Pemahaman adalah pemahaman terhadap orang lain (other people) secara individual, tidak sekadar makna-makna atau konsep-konsep yang sifatnya umum dan supraindividual. Kedua pendekatan tersebut, baik gramatikal maupun psikologis, adalah dua pendekatan yang saling melengkapi.
Jadi, bagi Schleiermacher, pemahaman yang tepat atas suatu teks akan tercapai bila pembaca memiliki pengetahuan bahasa yang dipakai oleh teks itu, entah itu bahasa sendiri, maupun bahasa asing dan pengetahuan tentang psikologi si penulis itu.
c. Metode Kerja Pemahaman: Komparatif dan Divinatoris
Dari mana pemahaman kita mengenai suatu teks berasal? Menurut Schleiermacher, ada dua metode untuk mendapatkan pemahaman yang benar: Cara komparatif dan cara divinatoris. Metode komparatif bekerja dengan menempatkan si pengarang dalam suatu tipe umum. Metode ini lebih bersifat klasifikatoris untuk keperluan komparasi antara satu teks dengan teks lain atau satu pengarang dengan pengarang lain. Metode ini ditempuh dengan membuat perbandingan antara teks-teks yang ada, dan juga antara aneka terjemahan, serta mempelajari konteks hidup si pengarang, tokoh dan aliran yang berpengaruh pada zamannya. Cara ini terkait dengan segala sesuatu yang bisa menjadi referensi untuk memahami dengan tepat suatu teks.
Metode divinatoris merupakan cara intuitif untuk memahami suatu teks. Hal ini dilakukan, misalnya, dengan membuat diri betah dan ‘masuk’ ke dalam teks itu (Einleben). Metode divinatoris berupaya memeroleh pemahaman langsung tentang si pengarang sebagai individual dengan membawa sang penafsir untuk mentransformasi dirinya ke dalam diri si pengarang.
Menurut Schleiermacher, cara intuitif seperti ini dapat ditemukan di dalam diri anak-anak. Seorang anak, misalnya, akan mengalami apa itu ‘cinta’, ‘kepercayaan’, ‘iman’, ‘bahaya’ tanpa penyelidikan lebih dahulu, melainkan langsung saja menghayatinya dalam sikap pasrah-aktif kepada ibu dan lingkungannya. Dalam hal ini, Schleiermacher menekankan hermeneutika sebagai seni dimana seorang penafsir harus mampu menggunakan daya imajinasi-intuisi, tebak-tebakan kreatif, untuk secara jitu menebak maksud si pengarang.
Schleiermacher menekankan bahwa distingsi-distingsi, termasuk pendekatan gramatikal dan psikologis, ini tidak boleh dipertentangkan, melainkan harus diterapkan sekaligus untuk memahami suatu teks, sebab semua ini saling memerlukan dan melengkapi.
d. Sumbangan Hermeneutika Schleiermacher
Hermeneutika abad pertengahan bersifat teleologis dan menempatkan ilmu-ilmu lain sebagai hamba sahaya teologi. Ilmu-ilmu lain hanya dianggap pembantu, dan apabila kritik-kritik dari ilmu-ilmu lain dirasakan menggangu dan merugikan maka bisa langsung disingkirkan. Pembakuan dogmatisasi penafsiran yang membelenggu kebebasan individu dalam proses penafsiran ditolak oleh Schleiermacher. Menurutnya, kritik-kritik dari ilmu-ilmu lain jangan dibentengi atas nama suatu otoritas pemaknaan, melainkan justru diterima sebagai masukan yang akan memperkaya pemaknaan teks suci itu sendiri.
Melalui pemikirannya tentang eksegesis, Schleiermacher ingin mendobrak dua ototritas sekaligus, yaitu supremasi akal dan dogmatism eksegesis. Schleiermacher banyak dipengaruhi Kant, dimana ia pun mengesampingkan unsur pengetahuan dalam iman. Namun, jika Kant meletakkan yang transenden di ranah noumena yang terasing dan menganjurkan suatu keberagaman dalam batas-batas penalaran saja (religion within the limits of reason alone), maka Schleiermacher ingin memberi tempat pada perasaan, emosi dalam beragama yang ia mengerti sebagai rasa ketergantungan darri Allah yang dialami manusia.
Prinsip pemahaman menurut Schleiermacher, adalah bahwa setiap pemahaman merupakan suatu pembalikan tindak wacana, yaitu mengangkat pemikiran yang mendasari wacana itu ke kesadaran. Tugas utama seorang hermeneut adalah membawa kembali kehendak makna yang menjadi jiwa suatu teks. Apabila teks suci dilihat sebagai wacana dimana ada suatu yang mau diungkapkan, ada yang dituju (umat), ada waktu (saat teks disusun), dan mengacu wahana tertentu (teks tertulis), maka teks-teks yang dianggap mengungkapkan iman harus didekati dari sudut ‘rasa saya apabila teks itu dibaca’. Proses interpretasi harus masuk menembus segala dogmatisasi penafsiran untuk sampai pada maksud si pengarang (interioritas rohani yang mendahului penyusunan teks) melalui daya intuisi yang dimiliki manusia (Adian, 2006: 208-209).
Eksegesis Schleiermacher ingin ‘meloncati’ segala ajaran iman atau dogma dari sejarah Gereja dan teologi langsung ke makna asli teks itu bagi ‘pengalaman imanku’. Schleiermacher seringkali dipandang sebagai bapak teologi liberal, yakni teologi yang menekankan kebebasan setiap orang dalam memperkaya intensitas keimanannya.
Kebebasan si penafsir dan segala dogmatism penafsiran membantu penafsir untuk secara intuitif mengalami proses batin pengarang teks dan menghayati dengan mesra proses-proses keimanan si penyusun teks tersebut. Hal itu merupakan kebalikan dari komposisi sebagai penyususnan suatu teks, yaitu dengan bertitik tolak dari yang sudah jadi untukmundur merekonstruksi pengalaman batin yang dahulu kala telah menghasilkan teks tersebut. Lewat pemikirannya tentang eksegesis, Schleiermacher telah mengubah iman dan agama menjadi ‘pengalaman religius’, ‘teologi menjadi antropologi’, dan wahyu menjadi kesadaran religius bangsa manusia (Adian, 2006: 209).
Lebih dari itu, Schleiermacher dipandang sebagai seorang yang mempelopori perkembangan hermeneutika modern. Schleiermacher menyumbangkan hal-hal substansial pada teori dan praktek interpretasi tekstual. Ia menemukan dimensi-dimensi linguistik pemahaman manusia dan kepentingannya. Ia memberikan sumbangsih besar bagi perkembangan hermeneutika filologis dan historis abad XIX dan hermeneutika filosofis abad XX (Mueller-Vollmer, 1986:12).
.
D. Problem Hermeneutik
Problema dasar yang diteliti hermeneutika adalah masalah penafsiran teks secara umum, baik berupa teks historis maupun teks keagamaan. Oleh karenanya, yang ingin dipecahkan merupakan persoalan yang sedemikian banyak dan kompleks yang terjalin disekitar watak dasar teks dan hubunganya dengan al-turats disatu sisi, serta hubungan teks dengan pengarangnya di sisi lain (Abu Zaid, 2004:3). Yang terpenting di antara sekian banyak persoalan di atas adalah bahwa hermeneutika mengkonsentrasikan diri pada hubungan mufassir (kritikus untuk kasus teks sastra) dengan teks.
Kosentrasi atas hubungan mufassir dengan teks ini merupakan titik pangkal dan persoalan serius bagi filsafat hermeneutik. Dalam penilaian penulis, hermeneutika merupakan sisi yang terabaikan sedemikian rupa dalam berbagai studi sastra sejak Plato hingga era modern. Istilah hermeneutik sebenarnya merupakan istilah klasik yang pertama kali digunakan dalam wilayah studi teologis untuk menunjuk pada sebuah kaidah dan kriterium yang harus diikuti mufassir untuk memahami teks-teks keagamaan (kitab suci). Dengan pengertian semacam ini, hermeneutika berbeda dengan tafsir yang didenotasi oleh istilah exsegesis dengan asumsi bahwa tafsir atau (exsegesis) itu menunjuk penafsiran itu sendiri dengan detail-detail aplikasinya, sementara hermeneutika mengacu pada teori penafsiran.
Istilah tertua yang menunjuk pada pengertian ini digunakan pada tahun 1654 dan berkesinambungan hingga dewasa ini terutama di lingkungan Protestanism Apabila dikaitkan dengan proses interpretasi teks-teks, maka objek hermeneutika dalam diskursus filsafat modern terkait dengan masalah-masalah yang timbul di seputar apa yang dikenal sebagai problem hermeneutik. Problem semacam ini timbul dengan sendirinya ketika seseorang disodori teks yang masih asing dan berusaha ia pahami. Pada kondisi demikian, terjadi kesenjangan pemahaman akibat perbedaan jarak, waktu, dan kebudayaan yang melingkupi keduanya, menurut Bleicher:
……
Problem hermeneutis muncul ketika seseorang berusaha memahami ekspresi-ekspresi manusia yang bermakna dan pada bagaimana menerjemahkan narasi-narasi yang bermakna subjektif tersebut menjadi objektif, sementara dalam kenyatannya, ia dimediasi oleh subjektifitas penafsir (Saenong, 2002:32).
Dalam pandangan Bleicher di atas, ada beberapa persoalan penting yang perlu diperhatikan, petama terdapat bentuk-bentuk ekspresi manusia yang bermakna. Ekspresi tersebut, menurut hemeneutika, biasanya tertuang dalam teks, apa pun bentuknya, kedua ada upaya menafsirkan ekspresi yang terdapat dalam teks yang masih subjektif kedalam bahasa yang lebih objektif. Sehingga dapat dikomunikasikan dan dipahami orang lain. Ketiga, proses penafsiran yang dilakukan oleh seorang penafsir senantiasa di prasuposisi oleh prapaham atau cakrawala mengenai pemirsa (audiens) dimana penafsiran tesebut ditujukan, artiya sebuah penafsiran senantiasa terikat dengan persoalan “mengapa teks ditafsirkan untuk kepentingan apa dan bagi siapa”.
Ketiga elmen hermeneutis yang dipostulatkan dari peryataan Bleicher di atas, jika diradikalkan ke dalam bentuk-bentuk struktural, akan merujuk ke sebuah “struktur triadik” yang menyusun kegiatan penafsiran, sebagaimana terefleksi juga dalam mitologi Yunani kuno mengenai, makna proses interpretasi. Pertama tanda, pesan atau teks dari berbagai sumber; kedua, seorang mediator yang berfungsi menerjemahkan tanda atau pesan sehingga dapat dengan mudah dipahami, ketiga, audiens yang menjadi tujuan sekaligus memprosuposisi penafsiran, ketiga unsur tersebut saling berhubungan secara dialektis dan masing-masing memberi sumbangan bagi proses pembentukan makna.
Unsur-unsur yang membentuk kegiatan interpretasi diatas pada gilirannya merangsang dan memperluas penyelidikan terhadap unsur-unsur utama dari ”problem hermeneutis” yang menjadi perhatian hermeneutika modern sebagaimana disingung sebelumnya, jika dirinci lagi maka para teoritus hermeneutik bergerak pada tiga wilayah penyelidikan; pertama asal usul teks, kedua apa makna “memahami teks”, ketiga, bagaimana pemahaman atau penafsiran dideterminasi oleh berbagai asumsi, kepercayaan, dan cakrawala orang-orang yang menjadi tujuan penafsiran (Saenong, 2002:34).
Setiap saat manusia dihadapkan pilihan-pilihan dan setiap pilihan menuntut keputusan dan keyakinan teologis seseorang akan mempunyai dampak eksatologis, yang menyangkut konsep keselamatan di dunia dan akhirat. Tentu saja urgensi penafsiran yang tepat adalah agar seseorang bisa mengambil keputusan yang tepat dalam berbagai aspek kehidupan yang konkret (Hidayat, 2004: 3). Oleh karena itu, hampir pada setiap tindakan pengambilan keputusan, manusia dituntut melakukan pemahaman dan penafsiran atas fenomena dan peristiwa yang terjadi ketika menyangkut soal keyakinan agama. Jika orang bisa memilih dan mengenakan baju secara berganti-ganti setiap saat, tidaklah demikian halnya dengan pilihan dan pemahaman agama.
Dari sudut pandang semiologi, dimanapun berada di kelilingi oleh teks yang menyimpan pesan yang paling menyolok tentu papan iklan dan tanda-tanda petunjuk jalan. Teks dalam pengertian ini hampir identik dengan kata, ayat dalam bahasa Arab. Al-Qur’an yang berarti tanda (sign). Kehadiran sebuah tanda (signfer) selalu mengasumsikan adanya objek yang ditandai (signted). Fenomena mendung, milsanya berkorelasi dengan air, entah air hujan yang diperkirakan akan turun atau gumpalan uap air di udara yang datang dari laut akibat penguapan yang kemudian dinamakan mendung. Apa yang disebut dunia manusia yang berperadaban sebagian besar merupakan dunia makna-makna tentang kaidah moral dan pengetahuan, baik mengenai dunia bersifat empiris maupun metafisis.
Dunia makna ini kemudian diawetkan dalam wadah berupa tradisi yang dikomunikasikan secara turun temurun melalui bahasa lisan maupun tulisan. Bahkan Tuhan berkomunikasi pada manusia melalui media bahasa, (Hidayat, 2004: 15) misalnya Al-Qur’an yang berbahasa Arab. Persoalan muncul, antara lain apa jaminan sebuah komunikasi terhindar dari salah paham? bagaimana sebuah generasi yang hidup di zaman dan tempat yang berbeda bisa menangkap gagasan secara benar dari generasi terdahulu yang perjumpaanya hanya diwakili oleh sebuah teks atau karya tulis? lebih jauh lagi, benarkah pemahaman seorang muslim tentang isi Al-Qur’an sudah persis sebagaimana yang dikehendaki oleh pengarang (Tuhan)? bisakah mufassir menangkap gagasan Muhammad Rasulullah melalui sepotong-sepotong kalimat yang terhimpun dalam kitab Hadis? Persoalanpersoalan inilah yang dimaksud sebagai persoalan hermeneutik. Secara teologis diyakini adanya perbedaan antara Al-Qur’an dan kitab-kitab suci lain. Menurut keyakinan umat Islam, Al-Qur’an baik lafal maupun makna adalah firman Allah yang didektekan jibril kepada Muhammad (Ichwan, 2001:10).
Keyakinan ini tentu tidak mudah diterima oleh pemeluk agama lain. Di sini unsur keyakinan dan keimanan ikut berperan. Terlepas apakah memang demikian halnya ataukah tidak, yang pasti Al-Qur’an tertulis dalam bahasa Arab ataukah tidak, yang jelas Al-Qur’an tertulis dalam bahasa Arab dan persoalan hermeneutik selalu muncul ketika teks klasik dibaca dan dipelajari oleh generasi berikutnya yang hidup berselang waktu dan tempat (Muzauri. 2003: 69). Belum lagi mereka yang membaca Al-Qur’an melalui terjemahan, Al-Qur’an selalu mengembara dan menjenguk murid-muridnya bukan juga para lawan yang mengkritiknya yang terbesar di seluruh pelosok bumi sejak 15 abad yang lalu. Dengan kekuatan yang ada pada dirinya sendiri, Al-Qur’an melayani setiap pertanyaan dan sanggahan pembacanya, yang datang dari berbagai latar belakang kultur dan disiplin keilmuan (Hidayat, 2004: 17).
Mengingat bahasa manusia demikian banyak ragamnya, sedangkan setiap bahasa mencerminkan pola kebudayaan tertentu, maka problem terjemahan dan penafsiran merupakan problem pokok dalam hermeneutik. Dengan begitu problem hermeneutik selalu berkaitan dengan proses pemahaman, penafsiran dan penerjemahan atas sebuah pesan lisan atau tulisan untuk selanjutnya disampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam dunia yang berbeda.
Memang dapat dimaklumi bahwa Al-Qur’an secara empiris adalah sebuah naskah teks, sebagai suatu kitab yang menggunakan secara komunikasi bahasa. Namun demikian, hendaklah dipahami bahwa Al-Qur’an berbeda dengan teks sastra ataupun teks-teks lainnya, kekhususan ini karena sifat hakikat bahasa yang terkandung di dalam Al-Qur’an yang memiliki fungsi yang berbeda dengan fungsi bahasa lainnya dalam komunikasi antara manusia lainnya. Perbedaan ini terletak pada hakikat makna, fungsi bahasa Al-Qur’an yang khas, universal dan mengatasi ruang serta waktu. Oleh karena itu, kajian semantik Al-Qur’an yang hanya mendasarkan pada kaidah linguistik dalam menafsirkan makna yang dikandungnya akan banyak mengalami kesulitan dan keterbatasan.
Al-Qur’an bagaikan cermin atau kamera foto yang sanggup memantulkan seribu satu wajah sesuai orang yang datang untuk bercermin dan berdialog denganya, dan makna bisa berubah mengikuti perubahan. Konstelasi perhubungan antara manusia dengan lingkupnya. Makna terus menerus digali atau diciptakan manusia untuk kelangsungan hidupnya (Sudiarto, 2005: 6) Atau dengan ungkapan lain dapat dikatakan mempunyai banyak lapisan makna, yang dapat dibaca berbeda-beda oleh kepentingan yang berbeda sesuai dengan perkembangan zaman. Seorang penulis teks menghasilkan makna yang pada awal tidak disadari dan tidak dimaksudkannya.
Dengan mendekonstruksi teks itu, makna-makna tersebut muncul sendiri dapat ditemukan. Sedangkan menurut Haryatmaka, bahwa salah satu kekuatan sastra ialah membantu pembaca untuk bercermin dan menemukan kemanusiaannya tanpa harus merasa digurui. Bukan memperkosa teks yang dilakukan oleh pembaca ketika ia menafsirkan sebuah karya tetapi merupakan upaya untuk masuk di dalam lintasan makna teks (Haryatmoko, 2005: 15). Dengan demikian, pembaca tidak terjebak untuk mencari maksud pengarang, namun hendak menyingkap makna teks itu sendiri, bahkan mengutamakan reproduksi maksud pengarang, namun memproduksi makna.
Dengan demikian, sesungguhnya pemaknaan yang muncul dari Al-Qur’an juga dipengaruhi oleh alam pikiran, kultur dan bahasa pihak pembacanya (the world of readers). Setiap pembaca, disadari atau tidak, melakukan tindakan hermeneutik atau penafsiran yang dianggap otentik dan cocok bagi dirinya. Setiap orang, pada saat-saat tertentu, harus melakukan ijtihad untuk dirinya, setiap orang adalah mujtahid bagi dirinya. Ketika membaca Al-Qur’an dan terjemahannya, pembaca dihadapakan pada berlapislapis penafsiran. Pemahaman yang diambil adalah produk dari proses dan mata rantai penafsiran yang panjang. Jika diurut penafsiran pertama dilakukan oleh jibril yang kemudian dilakukan Muhammad SAW.
Al-Qur’an sebagai sebuah teks tidak dapat dilepaskan dari konstruksi situasi pada saat dibahasakan yang diwujudkan dalam susunan semiotika Arab. Oleh sebab itu kalau dilihat dari susunan bahasanya sebenarnya sebagai sebuah ungkapan makna substansi (ajaran) dari Allah tetapi dipergunakan susunan bahasa yang dimengerti oleh masyarakat Arab yang bersifat relatif dan sederhana sesuai dengan situasi pada saat itu (Nomas, 2000: I). Perspektif ilmu hermeneutika sebagai ilmu interpretasi terhadap teks suci Al-Qur’an berarti pula sebagai teori pemahaman terhadap wahyu dari dataran perkataan sampai pada dataran dunia konkret (dari lafadz ke arah kenyataan) atau dari logos sampai ke praksis. Proses penafsiran ilmiah yang bergerak dari teks ke arah realitas sosial tidak dapat dilepaskan dari proses berteologi seraya dibantu dengan ilmu/sains modern.
Begitu Muhammad Rasulullah wafat, proses penafsiran dan penerjemahan atas teks Al-Qur’an dan Hadits berkembang terus hingga sekarang. Karena bahasa dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan maka karya terjemahan dan penafsiran yang hanya terpaku pada gramatika bahasa akan kehilangan banyak dimensinya yang sangat fundamental (Hidayat, 2004: 19).
Setiap teks lahir dalam sebuah wacana yang memiliki banyak variable, antara lain kondisi politis, ekonomis, psikologis, dan sebagainya. Ketika wacana yang bersifat spontan dan dialogis dituliskan dalam teks, ada variabel yang hilang, yang potensial melahirkan salah paham di kalangan pembacanya. Atau setidaknya pengetahuan yang diperoleh melalui dialog lisan akan berbeda dari pengetahuan yang didapat hanya melalui buku. Gagasan yang ditemukan dalam sebuah buku tidak lagi disertai kehadiran pembacanya dan juga tidak tahu suasana sosio-psikologis dari pengarangnya.
Sebagaimana yang dibacarakan di muka, proses pemahaman, penafsiran dan penerjemahan atas sebuah teks selalu mengasumsikan adanya tiga subjek yang terlibat, yaitu: dunia pengarang, dunia teks dan dunia pembaca. Persoalan menjadi rumit ketika jarak waktu, tempat dan kebudayaan antara pembaca dan dua yang lain yaitu pengarang dan teks demikian jauh. Teks-teks keagamaan yang lahir sekian abad yang lalu di dunia timur tengah, ketika hadir di tengah masyarakat Indonesia kontemporer tentu saja merupakan sesuatu yang asing. Persoalan keterasingan inilah yang menjadi persoalan hermeneutik sebagai sebuah teori interpretasi. Pera hermeneutik adalah bagaimana menafsirkan teks klasik atau teks yang asing sama sekali agar menjadi milik bersama yang hidup di zaman dan tempat serta suasana kultural yang berbeda (Hidayat, 2004: 26).
Dalam tradisi hermeneutika modern menurut Komarudin Hidayat dikenal tiga orang yang disebut sebagai “three master of prejudices” yaitu Sigmund Freud, Karl Marx, dan Friedrich Nietzsche. Sikap “prejudice” atau prasangka ini dimaknai secara positif agar tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Sikap ini dialamatkan kepada setiap teks yang dijumpai, juga ditujukan kepada pihak pembacanya sendiri. Menurut Freud bawah sadar setiap pengarang, juga pembaca pasti turut berperan dalam memandang dan menafsirkan realitas. Isi bawah sadar yang paling dominan, kata Freud adalah dorongan dan ilusi-ilusi libido.
Jika asumsi Freud ini diterapkan pada hermeneutika Al-Quran, maka fenomena yang segera muncul adalah bagaimana mesti memahami narasi Al-Quran yang bercorak samangat lakilaki? Bukankah kultur Arab lebih dominan peran sosial laki-lakinya? Bagi umat Islam, tentu saja hal itu semata menyangkut masalah metodologi bukanya subtansi (Hidayat, 2004: 27). Tetapi dengan pendekatan, Freudian, secara menyolok, ditemukan indikasi-indikasi bahwa dorongan bawah sadar berupa libido tidak bisa dielakkan dan ditempatkan pada posisi metodologis semata.
Kalau saja Al-Quran bukan firman Allah yang suci maka, dengan mudah para musfassir mengatakan hal itu sebagai refleksi bawah sadar pengarangnya. Tetapi, karena Al-Quran diyakini sebagai firman suci Allah yang terbebaskan dari katagori gender, maka pemihakan naratif Al-Quran pada kaum laki-laki bisa jadi mengungkapkan dimensi freudian masyarakat Arab kala itu. Jadi, pemihakan ini tidak semata metodologis, tetapi juga subtansial karena juga disapa oleh Al-Quran kala itu adalah masyarakat Arab yang didominasi oleh laki-laki. Hal ini bisa dilihat pada kenyataan isyarat pada penggambaran Al-Quran mengenai berita-berita kenikmatan surgawi yang dikaitkan dengan kenikmatan seksual dan sensual dalam figur bidadari dan wanita cantik.
Selanjutnya, Karl Marx mengajak untuk mewaspadai kesadaran pengarang dan pembaca yang mudah sekali dipengaruhi oleh situasi ekonomi dan politik. Kelahiran jenis teks apa pun, termasuk teks keagamaan, tidak luput dari pengaruh ekonomi dan politik, sebuah teks atau ceramah keagamaan yang disampaikan ulama yang bersahabat dengan istana raja atau presiden, yang dimanjakan oleh harta dan fasilitas politik pasti berbeda ceramah atau karya tulis yang lahir dari ulama yang kritis terhadap istana. Secara karikatural, doa yang dipanjatkan pada Tuhan dikala seorang hidup berkecukupan tentu berbeda narasi dan semangatnya ketika dipanjatkan saat dia jatuh miskin dan hidup menderita hal ini pernah terjadi di masyarakat Eropa, para pendeta dan gereja telah bersekutu dengan peguasa kerajaan.
Fungsi agama telah diubah citranya menjadi alat “meninabobokkan” dengan janji penyelamatan di atas kelaparan dan penderitan massa (Ramly, 2004:164). Asumsi ini juga bisa untuk menjelaskan perkembangan literatur keislaman yang menonjol dari zaman ke zaman. Yaitu di abad tengah buku-buku tentang hukum Islam cukup menonjol karena penguasa perlu untuk mengendalikan perilaku politik, sosial, ekonomi, sebagai akibat perkembangan dunia islam yang sangat mengesankan tetapi, karena setiap kemegahan politik dan materi cenderung memancing korupsi dan konflik, maka krisis moral yang terjadi dipusat kekuasaan telah melahirkan reaksi para ulama puritan yang kemudian melahirakan karya tulis dengan semangat jutisme dan oposisi.
Demikianlah seterusnya ketika Islam berjumpa dengan kekuatan Barat, retorika dan teks-teks keislaman yang muncul juga bergeser arah dan gerak pendulumnya. Jadi meminjam analisis Marxian, dalam memahami dan menafsirkan teks, asumsi-asumsi kepentingan politis-ekonomis akan sangat besar pengaruhnya dan ini harus mampu secara kritis mengambil jarak dan melakukan dekontruksi dalam rangka memperoleh kebenaran objektif, lebih dari itu, menafsirkan sebuah teks sesungguhya juga memproduksi ulang pikiran pengarangnya sendiri makanya, tidak mengherankan kalau syarah yaitu komentar atas sebuah karya tulis jumlah halamannya bisa melebihi jumlah halaman buku yang dikomentari. Begitu juga gagasan berkembang kesana-kemari.
Kemudian Nietzshe, mengatakan bahwa pada setiap orang pada dasarnya memiliki dorongan untuk mengguasai orang lain, dengan begitu perlu waspada dalam memahami setiap teks dan jenis komunikasi apa pun karena didalamnya pasti terbesit maksud untuk mempenggaruhi dan menundukan orang lain agar mengikuti pendapatnya. Seorang pengarang atau pembicara ingin agar dirinya dikatakan hebat lalu diikuti serta dipuji oleh orang banyak. Untuk membangun image itu, pengarang berusaha menciptakan ungkapan dan metode untuk mempengaruhi dan menaklukan masyarakat pembacanya, sehingga akan lebih peka terhadap makna dan informasi yang mendukung ambisinya untuk berkuasa.
Mempertimbangkan asumsi dan peringatan yang dikemukaan Freud, Marx, maupun Nietzsche, hermeneutika sebagai sebuah metodologi penafsiran berusaha memperingatkan pembaca untuk bersikap “curiga” kepada setiap teks agar faktor- faktor subjektif, baik pembaca maupun pengarang.27 Subjektifitas tersebut misalnya bisa ditekan sekuat-kuatnya, sehingga gambaran tentang sebuah kebenaran mutlak dan objektif, meskipun kebenaran makna tekstualnya mudah diperoleh. analogi historis tidak selalu menghasilkan gambaran yang jernih karena variabel yang terlibat adalah subjek yang hidup. Bahkan, dalam menafsirkan sejarah, suasana kekinian dan imajinasi masa depan sangat mewarnai benak sejarahwan. Oleh karenanya, objektivitas historis kemudian menjadi kabur, yang ada adalah sebuah intensi ke depan berdasarkan asumsi-asumsi dan sistem nilai yang diwariskan oleh tradisi.
.
E. Kesimpulan
Tujuan utama dari Hermeneutik, menurut Paul Ricoeur, adalah pemahaman. Hal itu disebabkan karena hermeneutik didasarkan pada premis bahwa teks-teks mengatakan sesuatu tidak hanya mengenai dirinya sendiri melainkan juga mengenai dunia yang lebih luas. Dengan demikian, dengan membaca teks melalui jalan hermeneutik, kita akan mendapatkan pemahaman yang jauh lebih luas dan lebih besar mengenai dunia tidak hanya mendapatkan makna-makna secara literalnya saja. Bagaimana caranya? Sumaryono memberikan penafsirannya terhadap apa yang dimaksud Ricoeur untuk sampai pada level pemahaman, bahwa ‘Memahami bukanlah berarti memproyeksikan diri ke dalam teks, melainkan membuka diri terhadapnya’. Penafsir selalu dalam keadaan in medias res atau berada di tengah-tengah teks, dan tidak pernah hanya di depan atau pada permulaan atau pada akhir teks saja.
.
Daftar Pustaka
.
Abu Zaid, Nashr Hamid. 2004. Hermeneutika Inklusif, terj, Muhammad Mansur, Yogyakarta: LkiS.
Abulad, Romualdo E. 2007. What is Hermeneutics (dalam An Online Journal of Philosophy): Kritike Volume One Number Two.
Adian, Donny Gahral, Percik. 2006. Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Agger, Ben. 2001. Postmodernism: Ideology or Critical Theory, dalam The Discourse of Domination: From Frankfurt School to Postmodernism (Illinois: Northwestern University Press.
Alwasilah, A. Chaedar. 2010. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia dan PT. Remaja Rosdakarya.
Alwi, Yulis Haji. 1995. Kamus Filologi. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.
Bdk. Mueller-Vollmer, Kurt 1986. Introduction (dalam buku The Hermeneutik Reader), edtr. Kurt Mueller-Vollmer, Oxford: Basil Blackwell.
Bertens, Johannes Willem. 2008. Literary Theory: The Basic. USA dan Canada: Routledge.
Djamaris, Edward. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: CV. Monasco.
Faiz, Fakhruddin. 2002. Hermeneutika al-Qur’an. Yogyakarta: Qolam, Cet.III.
Faiz, Fakhruddin. 2003. Hermeneutika Al-Qur’an. Yogyakarta: Qolam
Fowler, Roger. 1984. A Dictionary of Modern Critical Term. New York: St Martin’s Press.
Gadamer, Hans-Georg. 2004. Kebenaran Dan Metode Pengantar Filsafat Hermenutika, terj. Ahmad Sahidah, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Grondin, Jean. 2007. Gadamer’s Basic Understanding of understanding (dalam Cambridge Companion to Gadamer). Cambridge: Cambridge University Press.
Grondin, Jean. 2007. Sejarah Hermeneutik. Jogjakarta : Ar-Ruzmedia.
Hadi W.M., Abdul. 2004. Hermeneutika, Estetika, dan Religiusitas. Yogyakarta: Mahatari.
Haryatmoko, 2005. Memecah Kesunyian Dunia Satu Dimensi dalam Jurnal Basis edisi ke 45 September – Oktober 2005.
Hidayat, Komaruddin. 2004. Menafsirkan Kehendak Tuhan. Jakarta: teraju.
Ichwan, Muhammad Nor. 2001. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang: Lubuk Raya.
Kearney, Richard and Mara Rainwater. 1996. The Continental Philosophy Reader. London: Routledge.
Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, teIj. Musnur Hery. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika, Teori Baru Mengenai Interpretasi, teIj. Musnur Hery. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Palmer, Richard E. 2005. Hermeneutika Teori Baru Mengenai Interpretasi. (Penerjemah: Musnur Hery dan Damanhuri Muhammed). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Paul Ricoeur, dalam, John B. Thomson (Ed.). 1982. “Hermeneutics and the Human Sciences, Essays on Language, Action and Interpretation. Cambridge: Cambridge University.
Permata, Ahmad Norma, dalam Paul Ricoeur. 2003. Filsafat Wacana, Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa, Terj. Musnur Hery. Yogyakarta: Ircisod, Cet. II.
Poespoprojo, Wasito.1985. Hermenutika Filsafati: Relevansi dari Beberapa Perspektifnya bagi Kebdayaan Indonesia, disertasi tak diterbitkan. Bandung: UNPAD.
Raharjo, Mudjia. 2008. Dasar-dasar Hermeneutika antara Intersionalisme dan Gadamerian. Jogjakarta: Ar-Ruzmedia
Ramly, Andi Muawiyah. 2004. Peta Pemikiran Karl Marx, Materialisme dan Dialiektis Dan Materialisme Histories, Yogyakarta: LKiS
Ricoeur, Paul. 1995. Hermeneutics and Human Sciences. New York: Cambridge University Press.
Ricoeur, Paul. 2003. dalam Josef Bleicher, Hermeneutika Kontemporer, Terj. Ahmad Norma Permata. Yogyakarta: Fajar Pustaka.
Robson, S.O. 1988. Principles of Indonesian Philology. Netherland: Foris Publications Holland.
Saenong, Ilham B. 2002. Hermeneutik Pembebasan, Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut Hanafi. Jakarta, Teraju.
Saktimulya, S.R, Sudibyo, Sumardiyanto. 2012. Warnasari Sistem Budaya Kadipaten Pakualaman Yogyakarta. Yogyakarta: Trah Pakualaman Hudyana Jakarta, Eka Tjipta Foundation, dan Perpustakaan Pura Pakualaman.
Sastrapratedja, M. 2012. Hermeneutika dan Etika Naratif Menurut Paul Ricoeur (dalam Jurnal Kanz Philosophia), Vol.2, No.2.
Simms, Karl. 2003. Paul Ricoeur. London: Routledge.
Sudiarto, 2005. Jaques Deridda Setahun Sesudah Kematianya, Dalam Jurnal Basis Edisi Khusus Derida.
Sumaryono, E. 1999. Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Susanto, Dwi. 2011. Pengantar Teori Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Syamsuddin, Sahiron. 2003. Hermenutika Al-Qur’an Madzhab Yogya. Yogyakarta: Islamika.
Teuw, A. 1981.Tergantung pada Kata. Jakarta: Pustaka Jaya. Thiselton, Anthony. 1992. New Horizon in Hermeneutics. Michigan:Zondervan Publishing Hause.
Zarkasyi, Hamid Fahmy. 2004. Menguak Nilai di balik Hermeneutika, ISLAMIA, Th I, No.1/Muharram 1425.
.
.
