Secara harfiah, Pararaton berarti Para Penguasa, adalah sebuah kitab sastra Jawa yang berasal dari zaman Majapahit. Naskah kitabnya sendiri digubah dengan menggunakan bahasa Jawa Kawi. Naskah ini cukup singkat, terdiri atas 32 halaman seukuran kertas folio. Kitab ini juga dikenal dengan nama Pustaka Raja yang dalam bahasa Sansekerta juga berarti kitab raja-raja.
Bisa jadi kisah dalam Pararaton ini tidak sepenuhnya benar, akan tetapi Pararaton juga tidaklah sepenuhnya salah. Sangatlah bijak kalau kita tetap menggunakannya sebagai data sekunder atau tersier karena apa yang terdapat dalam Kitab Pararaton ini sangat mungkin tidak terdapat dalam Kakawin Nagarakrtagama. Salah satu contoh misalnya di sini kita bisa menilai apakah tokoh bernama Tohjaya ini benar-benar ada atau fiktif. Tokoh Tohjaya yang tidak disebutkan dalam kakawin Negarakertagama itu ternyata disebutkan dalam kitab Pararaton. Penyebutan nama Tohjaya ini juga tertera pada prasasti Mula Malurung.
Prasasti Mula Malurung merupakan piagam pengesahan penganugerahan Desa Mula dan desa Malurung untuk tokoh yang bernama Pranaraja. Prasasti ini berupa lempengan-lempengan tembaga yang diterbitkan oleh Kertanagara pada tahun 1225 sebagai raja muda Kediri atas perintah ayahnya yaitu Wisnuwarddhana sebagai Raja Singasasri.
Pranaraja merupakan pengabdi raja-raja sebelumnya. Kertanegara disebut sebagai putra Seminingrat dengan Waning Hyun. Waning Hyun adalah pengganti Prameswara. Pengganti Prameswara adalah Guningbhaya lalu Tohjaya. Sepeninggal Tohjaya, Seminingrat kemudian mempersatukan kembali Kerajaan Tumapel. Dengan demikian sangat jelas bahwa secara penokohan riil kitab Pararaton ini masih ada benarnya.
Sejarah tetaplah merupakan sebuah interpretasi dari para ahli. Kejadian sebenarnya berupa analisa yang kebenarannya hanya bisa dinilai dari kebenaran metoda yang digunakan untuk menelaah. Telaah mengenai perang Bubat itu benar-benar terjadi atau tidak bisa dua jawaban. Jika alasannya penokohan yang riil, maka Pararaton pun memiliki kelebihan. Akan tetapi kisah yang dipaparkan seperti novel juga menjadi pertimbangan bahwa Pararaton adalah karangan orang, memang kadang merujuk pada naskah sejarah asli, tetapi lebih banyak ditambahi dengan bumbu cerita. Untuk selanjutnya, silakan sidang pembaca yang menafsirkannya secara arif dan bijaksana.
Om awignam astu namas siddham.
Ya Tuhan, atas perkenan-Mu semoga tidak ada halangan.
Nihan katuturanira Ken Angrok. Mulanira duk dinadeken manusa, hana anakira rangdyaning Jiput, lumaku tan rahayu amegati apusira pinaka pamañcananing hyang Suksma, sah sira saking Jiput, angungsi sira ring mandaleng Bulalak. Parabira sang abatur ing Bulalak sira mpu Tapawangkeng, agawe gopuraning açramanira, pinalampahan wedus bang sapalaki dening hyanging lawang. Lingira Tapawangkeng, “Nora olihing apeningan dadi agaweya papapatakaning awak, yan amatimatia janma, norana ta amutusakena papaloking caru wedus bang ika.” Dadi ta sang amegati apus angling, asanggup makacaruaning lawangira mpu Tapawangkeng, satya ta sira, asanggup pinakacaru, marganira muliha maring Wisnubhuwana tumitisa mareng wibhawajanma, mareng madhyapada muwah, mangkana pamalakunira.
Inilah tuturan yang mengisahkan tentang Ken Angrok. Pada awal mula diciptakannya manusia. Ada anak seorang janda yang tinggal di Desa Jiput. Anak tersebut tingkah lakunya jauh dari nilai-nilai keselamatan karena gemar memutus-mutus tali kekang kesusilaan dan gemar memperdayai orang lain. Hal tersebut tentu menjadi olok-olok bagi Hyang Suksma. Anak itu pergi dari Jiput bermaksud untuk pindah ke wilayah Bulalak. Julukan kepala wilayah Bulalak itu Mpu Tapawangkeng. Ketika Ken Angrok datang, Mpu Tapawangkeng sedang membuat gapura asramanya. Agar pintu gapura asramanya itu berdiri, Mpu Tapawangkeng harus memberikan tumbal seekor kambing jantan berwarna merah kepada roh pintu gapura. Tapawangkèng berkata, “Kalau begini, sampai kepalaku berpusing pun tidak mungkin berhasil. Aku tidak boleh mengabulkan permintaan roh pintu, karena akhirnya hal ini akan menyebabkan diriku jatuh ke dalam dosa. Kalau sampai terjadi aku mengurbankan manusia, maka tidak akan ada yang dapat mengabulkan permintaan tumbal kambing jantan merah itu.” Kemudian orang yang memutus-mutus tali kekang kesusilaan tadi mengatakan bahwa ia siap untuk mejadi tumbal pintu gapura Mpu Tapawangkeng dengan harapan agar pengorbanannya dapat menjadi sarana bagi dirinya untuk dapat kembali ke surga Dewa Wisnu dan menitis lagi ke dalam kelahiran orang yang mulia di alam tengah lagi. Begitulah permohonan orang yang memutus-mutus tali kekang kesusilaan tadi.
Irika ta duk inastwan tumitisa denira mpu Tapawangkeng tinut i rasaning kapralinanira, amukti ta sira tumitisa denira mpu Tapawangkeng tinut i rasaning kapralinanira, amukti ta sira pitung mandala. Ri huwusnira pralina irika ta sira pinakacaru denira mpu Tapawangkeng. Telasira mangkana mur ta sira maring Wisnubhuwana, tan liñok ing rasaning sangketanira sang pinakacaru amalaku ta sira titisakena ri wetaning Kawi.
Demikianlah, permintaan orang yang memutus-mutus tali kekang kesusilaan untuk dapat menitis kembali itu direstui oleh Mpu Tapawangkeng. Jika Mpu Tapawangkeng menyetujui inti sari kematiannya, maka ia akan menikmati tujuh biara sesudah bangkit dari kematiannya. Ia pun dijadikan tumbal oleh Mpu Tapawangkeng. Selesai dikurbankan, ia terbang ke alam Bhatara Wisnu. Mpu Tapawangkeng tidak ingkar dari inti perjanjian atas kesiapan orang yang memutus-mutus tali kekang kesusilaan untuk dijadikan kurban. Ia meminta untuk dititiskan di sebelah timur Gunung Kawi.
Sira bhatara Brahma angilingilingi ta sira rowanganirayugaha, huwusing mangkana hana ta wong apangantenan hañar, sedeng akurenan sih, lanang aran sira Gajahpara, wadon aran sira Ken Endok, angulahaken atatanen. Maring sawah Ken Endok angirimi lakine Gajahpara, araning sawah nggenira ngirim ring Ayuga, pradeçanira Ken Endok aran ing Pangkur.
Bhatara Brahma mengamat-amati siapakah yang akan dijadikan pasangannya dalam berolah yuga (memperoleh anak). Sesudah demikian itu, Bhatara Brahma melihat ada sepasang pengantin baru yang saling mencintai. Yang laki-laki bernama Gajahpara sedangkan yang wanita bernama Ken Endok. Mata pencaharian mereka itu bercocok tanam. Suatu hari Ken Endok pergi ke sawah untuk mengirim makanan kepada suaminya, yaitu Gadjahpara. Adapun nama sawah tempat ia mengirim makanan adalah Ayuga, sedangkan desa Ken Endok namanya Pangkur.
Tumurun sira irika bhatara Brahma asanggama lawan Ken Endok, enggenirayuga ring Tegal lalateng, angenaken strisamaya sira bhatara Brahma, “Hayo kita asanggama lawan lakinta muwah, yan ko asanggamaha lawan lakimu, lakimu mati mwah kacacampuran mene yugamami iku, arane yugamami iku Ken Angrok, iku tembe kang amuter bhumi Jawa.” Muksah sira bhatara Brahma. Sira Ken Endok anuli maring sawah, katemu sira Gajahpara. Lingira Ken Endok, “Kaki Gajahpara wruhanira yen ingsun rinowang asanggama denira hyan tan katinghalan ri Tegal ing lalateng, wekasira ring isun, hayo aturu lawan lakinta muwahmuwah, mati lakinta yan amaksakna aturu lawan kita, kalawan kacacampuran yuganingong iku.”
Turunlah Bhatara Brahma ke sawah itu. Di sana Dewa Brahma bersetubuh dengan Ken Endok. Tempat mereka berolah yuga yaitu di ladang Lalateng. Sebelum kembali ke surga, Dewa Brahma mengingatkan perjanjian kepada Ken Endok, “Janganlah kamu bersetubuh dengan suamimu lagi. Kalau kamu bersetubuh dengan suamimu, maka suamimu akan mati. Lagi pula nanti akan tercampur benih anakku itu dengan benih Ganahpara. Kelak ketika lahir, berilah nama anakku itu Ken Angrok. Dialah yang kelak akan memerintah sekeliling Bumi Jawa.” Dewa Brahma lalu menghilang. Kemudian Ken Endok meneruskan perjalanan ke sawah dan berjumpa dengan Gajahpara. Ken Endok berkata, “Kanda Gajahpara, ketahuilah olehmu bahwa diriku telah dijadikan pasangan dalam bersetubuh oleh Hyang yang tidak kelihatan di ladang Lalateng. Pesan beliau kepadaku, “Jangan tidur dengan suamimu lagi. Akan matilah suamimu kalau ia memaksakan diri untuk tidur dengan kamu, dan akan tercampurlah anakku itu.”
Tumuli mulih sira Gajahpara, teka ring umah den ajak aturu sira Ken Endok, harep den rowanga asanggama manih. Alumuh sira Ken Endok ring ki Gajahpara. “Eh kaki Gajahpara pegat ingsun aomahomah lawan sira, awedi sun ing pangucap sang hyang, tanpaweh yan atemu manih lawan sira”
Kemudian pulanglah Gajahpara. Sesampainya di rumah Ken Endok diajak tidur oleh Gajahpara. Gajahpara ingin ditemani di dalam persetubuhan lagi. Ken Endok menolak terhadap keinginan Gajahpara itu dan berkata, “Wahai, kakanda Gajahpara, lebih baik putuslah ikatan rumah tanggaku dengan kakanda. Saya takut untuk melanggar ucapan Sang Hyang. Ia tidak mengizinkan aku untuk berkumpul lagi dengan kakanda.”
Lingira Gajahpara, “Nini angapaha, sun kapakena, suka ingsun yen apegatana kalawan sira, dening renareni kang saking sira denmulih manih nini maring sira, pomahomahingsun denmulih manih maring ingsun.” Tumuli huwusing mangkana Ken Endok mulih maring Pangkur sabrang lor, sira Gajahpara maler ing Campara sabrang kidul.
Gadjahpara berkata perlahan, “Dinda, bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku tidaklah berkeberatan kalau harus bercerai dengan dirimu. Adapun harta benda yang berasal dari pembawaanmu akan aku kembalikan kepadamu lagi. Sedangkan harta benda milikku akan kembali pula kepadaku lagi.” Sesudah itu Ken Endok pulang ke Pangkur seberang utara dan Gajahpara tetap tinggal di Campara sebelah selatan.
Durung genep sapasar mati sira Gajahpara. Suraking wong angucap, “Kamakara panase rareng jero weteng iku, durung pira pepegatane ramane lanang wadon, tur wong atuwane lanang mati.” Wekasan huwus genep leking rare metu rare lanang, binuñcal ing pabajangan denira Ken Endok.
Belum genap lima hari dari peristiwa di ladang Lalateng, kemudian Gajahpara meninggal. Gempar gegap gempita orang mempercakapkan, “Luar biasa panasnya hawa anak yang masih berada di dalam kandungan Ken Endok itu. Belum berapa lama perceraian antara orang tua laki-laki dan perempuannya, dan orang tua laki-lakinya sudah meninggal dunia.” Akhirnya sesudah genap bulannya, lahirlah seorang anak laki-laki. Anak laki-laki yang baru dilahirkannya itu didibuang di pabajangan (kuburan bayi) oleh Ken Endok.
Dadi hana wong amaling, aran sira Lembong, kasasar ing pabajangan tuminghal ing murub, pinaran denira Lembong, amiresep rare anangis, pinarekan denira Lembong, singgih kang murub rare anangis ika, sinambut ingemban bhinakta mantuk, denaku weka dera Lembong. Angrungu sira Ken Endok yen sira Lembong angakuaku weka, ring rowange ki Lembong kang awerta, anengguh rare antuke amamanggih ring pabajangan, katon murub ing ratri. Tumuli pinaran denira Ken Endok, singgih siranakira.
Kemudian, ada seorang pencuri bernama Lembong yang tersesat di kuburan bayi itu. Ia melihat ada suatu benda menyala yang berasal dari kuburan bayi. Lembong mendatangi benda yang menyala itu. Lembong juga mendengar ada suara bayi yang menangis. Setelah didekati oleh Lembong, ternyata bahwa benda yang menyala itu adalah bayi yang menangis tadi. Bayi itu diambil dan dibawa pulang dan diaku sebagai anak oleh Lembong. Ken Endok mendengar bahwa Lembong memungut seorang anak. Sahabat Ki Lembonglah yang mengabarkan tentang hal itu dengan menyebut-nyebut bahwa anak yang ditemukan oleh Ki Lembong di kuburan bayi itu tampak menyala pada waktu malam hari. Kemudian Ken Endok berniat untuk datang kepadanya. Ken Endok meyakini sesungguhnya bayi itu anaknya sendiri.
Kecapira Ken Endok, “Kaki Lembong manawa sira tan supeksa ring rare kang deniramanggih iku, anakingsun puniku, kaki, ayun sira kaki wikana purwakanipun, antukira bhatara Brahma asanggama kalawan isun puniku, hayo tanpamule sira ring rare puniku, upama ababu kakalih abapa tunggal samanipun rare puniku.” Mangkin sangsaya asih sira Lembong sasomah resep, wekasan atuha sakalawonlawon bhinaktanya mamaling denira Lembong. Awayah sapangon sira Ken Angrok angering Pangkur. Telas pomahomahira Ken Endok muwah sapomahomahira ki Lembong, henti tinotohaken denira Angrok.
Ken Endok berkata, “Kanda Lembong, barangkali engkau tidak mengetahui tentang anak yang engkau temui. Itu adalah anak saya, kanda. Jika kakanda ingin tahu riwayatnya, beginilah awal mula anak itu, Dewa Brahma bersetubuh dengan saya. Janganlah engkau tidak memuliakan anak itu karena dapat diumpamakan anak itu beribu dua dan satu ayah. Demikian persamaannya.” Lembong beserta keluarganya semakin menciintai dan merasa senang. Lambat laun anak itu akhirnya menjadi besar dan selalu dibawa ketika Lembong pergi mencuri. Setelah mencapai usia sebaya dengan anak gembala, Ken Angrok tinggal di Pangkur. Harta benda Ken Endok dan Lembong habis dibuat untuk taruhan oleh Ken Angrok.
Wekasan sira angonngon ing siramandala ring Lebak, angon kebo sapasang, alama hilang mahisa kang denirangon ika, ingajen deramandala wolung ewu ring sapasang kebo, mangke ingumanuman sira Ken Angrok dening rama-rena kalih, “Lah kaki isun anunggua kalih, lamun sira aja lungha, isun uga anunggonana ring siramandala ring Lebak.” Wesakan tan kedep lungha sira Ken Angrok, kari sira ramanira kalih ring Campara mwang ring Pangkur. Tumuli sira Ken Angrok aysah umungsi ring Kapundungan, tanpawilasa kang kongsi pernahing angher.
Akhirnya Ken Angrok menjadi penggembala kerbau di wilayah Lebak. Ken Angrok menggembalakan sepasang kerbau. Setelah sekian lama menggembala, hilanglah kerbau yang digembalakan itu, Sepasang kerbau itu dijual dan dihargai delapan ribu oleh penguasa wilayah Lebak. Ken Angrok dimarahi oleh orang tua laki-laki dan perempuannya. Kedua orang tuanya berkata, “Nah anakku, kami berdua bersedia menjadi abdi tanggungan atas ulahmu menjual sepasang kerbau milik penguasa wilayah Lebak asal engkau jangan pergi. Kami sajalah yang akan menjadi budak tanggungan pada penguasa wilayah Lebak.” Akhirnya ucapan kedua orang tuanya tidak dihiraukan, Ken Angrok tetap pergi. Kedua orang tuanya ditinggalkan di Campara dan di Pangkur. Kemudian Ken Angrok pergi ke Kapundungan. Orang yang rumahnya dijadikan sebagai tempat mengungsi tersebut dimintai tempat berlindung namun pemilik rumah tidak menaruh belas kasihan kepada Ken Angrok.
Wonten ta bobotoh saji saking Karuman, aran sira Bango Samparan, alah atotohan denira malandang ing Karuman, tinagih tanpangemasi, sah sira Bango Samparan saking Karuman ananakti maring Rabut Jalu, angrengö ujar saking akaça kinon muliha manih maring Karuman, “hana anakmami anghuwusakena hutangta aran sira Ken Angrok.” Sah sira Bango Samparan saking Rabut Jalu, lumampah saratri, dadi amanggih rare, kahitang widhining hyang denira Bango Samparan, singgih ta sira ken Arok, bhinakta mantuk maring Karuman, ingaku weka denira Bango Samparan.
Adalah seorang penjudi dalam permainan saji berasal dari Karuman yang bernama Bango Samparan. Bango Samparan kalah bertaruh dalam permainan judi dengan seorang bandar judi di Karuman. Ketika ditagih, Bango Samparan tidak dapat membayar dengan uang. Bango Samparan pergi dari Karuman dan berziarah ke tempat keramat Rabut Jalu. Di tempat itu, Bango Samparan mendengar suara dari angkasa yang menyuruh Bango Samparan untuk pulang ke Karuman lagi. “Kami mempunyai seorang anak yang akan dapat menyelesaikan hutang-hutangmu. Anak itu bernama Ken Angrok.” Pergilah Bango Samparan ke Rabut Jalu. Bango Samparan pergi ke Rabut Jalu dengan berjalan pada waktu malam hari. Akhirnya dijumpainya seorang anak laki-laki. Bango Samparan mencocokkan ciri-ciri anak itu dengan petunjuk dari Hyang. Yakinlah bahwa anak itu Ken Angrok. Kemudian anak itu dibawa puIang ke Karuman dan diaku sebagai anak oleh Bango Samparan.
Anuli maring kabotohan, kapangghih sira malandang denira Bango Samparan, linawan atotohan, alah sira malandang, pulih alahira Bango Samparan, tuhu yan widhining hyang, mantuk sira Bango Samparan, bhinakta mantuk sira Ken Angrok denira Bango Samparan.
Kemudian Bango Samparan pergi ke tempat perjudian sambil membawa Ken Angrok. Bango Samparan bertemu dengan bandar judi dan menantangnya untuk bermain judi lagi. Dalam perjudian kali ini, kalahlah bandar judi itu oleh Bango Samparan. Berkali-kali main, namun bandar judi itu tetap kalah oleh Bango Samparan. Memang benar petunjuk Hyang Widhi itu. Setelah menang, Bango Samparan kembali pulang. Ken Angrok pun dibawa pulang oleh Bango Samparan.
Sira Bango Samparan sirawayuh angalap du, sira Genuk buntu rabi tuha, sira Tirthaja rabi anom, hana anakira (rabi anom) Pañji Bawuk, panggulu sira Pañji Kuñcang, arinira Pañji Kunal, sira Pañji Kenengkung, wuruju wadon aran sira Cucupuranti. Sira Ken Angrok ta sira ingaku anak ta denira Genuk buntu. Alawas sira haneng Karuman, tan apatut sira kalawan parapañji kabeh, donira Ken Angrok sah saking Karuman. Tumuli sira ring Kapundungan amanggih sira raryangon anakira tuwan Sahaja, buyut ing Sagenggeng, aran sira Tuwan Tita, apasanakan kalawan sira Ken Angrok. Antyanta dening padasihsihan sira Tuwan Tita kalawan sira Ken Angrok. Ateher angher sira ring sira Tuwan Sahaja, tan hana wiyatanira.
Bango Samparan membayuh (mempunyai dua orang istri). Kedua istrinya itu masih bersaudara yaitu, Genuk Buntu nama istri tuanya dan Tirtaya nama isteri mudanya. Adapun nama anak-anak dari isteri muda yaitu Panji Bawuk, anak tengah Panji Kuncang. Panji Kuncang memiliki dua orang adik laki-laki bernama Panji Kunal dan Panji Kenengkung, sedangkan yang bungsu seorang anak perempuan bernama Cucu Puranti. Ken Angrok dipungut anak oleh Genuk Buntu. Sudah lama Ken Angrok tinggal di Karuman namun tidak dapat sehati dengan semua para panji itu. Oleh karena itu, Ken Angrok berkehendak untuk pergi dari Karuman. Lalu ia berangkat ke Kapundungan dan bertermu dengan seorang penggembala anak Tuan Sahaja. Tuan Sahaja merupakan seorang sesepuh di Sagenggeng. Anak gembala tersebut bernama Tuan Tita. Ia bersahabat karib dengan Ken Angrok. Antara Tuan Tita dengan Ken Angrok keduanya saling sayang menyayangi. Selanjutnya, Ken Angrok tinggal di rumah Tuan Sahaja. Mereka selalu akur dan tidak pernah terpisahkan
Ken Angrok kalawan sira Tuwan Tita, harep ta sira wikana ring rupaning aksara, mara sira ring sira Janggan ing Sagenggeng, ati amarajakaha, amalaku winarahan sastra. Ya ta winarahan sira ring rupaning aksara lawan panujuning swarawyañjanaçastra, sawredhining aksara, winarah sira ring rupacandra kapegataning tithi masa lawan sakakala, sadwara, pañcawara, saptawara, triwara, dwiwara, sangawara, wuku. Bisa sira Ken Angrok kalawan sira Tuwan Tita kalih sama winarahan ing sastra denira Janggan.
Ken Angrok dan Tuan Tita ingin mengetahui tentang bentuk-bentuk aksara (huruf). Maka pergilah mereka ke seorang guru yang ada di Sagenggeng. Mereka sangat ingin menjadi murid dan minta diajarkan sastra (pengetahuan). Mereka diberi pelajaran tentang bentuk-bentuk aksara dan kegunaan pengetahuan tentang sastra, keseluruhan huruf hidup dan huruf mati, semua perubahan huruf, juga diajarkan tentang titimangsa, sengkalan, perincian hari, tengah bulan, perhitungan bulan, tahun Saka, hari enam, hari lima, hari tujuh, hari tiga, hari dua, hari sembilan, dan nama-nama wuku. Ken Angrok dan Tuan Tita keduanya memiliki kepandaian yang sama dalam pengetahuan sastra yang diajarkan oleh guru.
Hana ta tatanemanira Janggan upacaraning natar, witing jambu olihira ananem. Antyanta denipun awoh, tuhuning atub anedeng, pininghit tan ananing wineh angunduha, nora hana wani ameta wohing jambu punika. Lingira Janggan, “Lamun rateng jambu iku unduhen.” Dahat denira Ken Angrok kapengin tumon ing wohing jambu punika, maha kacitta wohing jambu punkia. Tekaning saratri, masa sireping wong aturu, sira Ken Angrok sira aturu, mangke tang lalawah metu saking wunwunanira Ken Angrok adulurdulur tanpapegatan, sawengi amangan wohing jambunira Janggan. Tumuli ring eñjang katinghalan agelar wohing jambu punika ring natar, pinupu dening pepedekira Janggan. Sira Janggan tumon wohing jambu rusak agelar ing natar, çoka sira Janggan.
Ada suatu tanaman Sang Guru yang dijadikan sebagai hiasan di halaman rumah berupa pohon jambu yang ditanam sendiri oleh Sang Guru. Buahnya sangat lebat tampak sungguh ranum karena sedang musimnya. Buah jambu itu dijaga dengan baik dan tidak ada satupun muridnya yang diizinkan untuk memetik buahnya. Oleh karena itu tidak ada yang berani mengambil buah jambu itu. Sang Guru berkata, “Jika jambu itu sudah masak, maka unduhlah.” Ken Angrok sangat ingin mengetahui bagaimana rasanya buah jambu itu. Ken Angrok sangat membayangkan betapa nikmatnya makan buah jambu tadi. Setelah malam tiba, ketika orang-orang sedang tidur nyenyak-nyenyaknya, di saat Ken Angrok tidur, keluarlah kelelawar berduyun-duyun tidak ada putusnya dari ubun-ubun Ken Angrok. Semalaman rombongan kelawar itu memakan buah jambu Sang Guru. Pada waktu paginya buah jambu tampak berserakan di halaman. Jambu itu diambil oleh pendamping Sang Guru. Ketika Sang Guru melihat buah jambu yang rusak berserakan di halaman itu, Sang Guru rnendjadi sedih.
Lingira Janggan ing parajaka, “Paran sangkane rusak jambu iku.” Sumahur pepedekira Janggan, “Pukulun rusak denin tampaking lalawah amangan jambu puniki.” Dadi ta sira Janggan angambil rwining pañjalin nggenira ñerung jambu punika tur deniratunggu sawengi. Sira Ken Angrok malih aturu ring salu kidul, asandi(ng) kakawunganing alalang ring pernahira Janggan kadang amelit.
Berkatalah Sang Guru kepada murid-muridnya, “Apakah yang menjadi penyebabnya sehingga jambu itu rusak?” Menjawablah pendamping Sang Guru, “Tuanku, jambu yang rusaklah itu karena jambu itu bekas dimakan oleh kelelawar.” Kemudian guru mengambil rotan berduri untuk membungkus buah jambunya dan ditungguinyai jambu itu semalaman. Ken Angrok kembali tidur di atas balai-balai sebelah selatan dekat tempat daun ilalang kering, Di tempat inilah Sang Guru kadang-kadang menganyam welit (atap yang terbuat dari ilalang atau daun bambu kering).
Satinghalira Janggan mulat ing lalawah abebelek pangdudulur, metu saking wunwunanira Ken Angrok, pada amangan wohing jambunira Janggan, apeseh twasira Janggan, kawalahan anggetak lalawah akeh amangan wohing jambunira, serngen Janggan, tinundung sira Ken Angrok denira Janggan, akara madhyaning ratri patundungira Janggan. Kaget sira Ken Angrok atangi pupungun sira, anuli metu, aturu ring palangalanganing jaba,
Sepenglihatannya, Sang Guru melihat kelelawar penuh sesak berbondong-bondong keluar dari ubun-ubun Ken Angrok. Semua kelelawar itu makan buah jambu Sang Guru. Melihat itu, hati Sang Guru menjadi bingung, Sang Guru merasa kewalahan tidak berdaya untuk mengusir kelelawar yang banyak dan memakan jambunya, maka marahlah guru itu. Ken Angrok pun diusir oleh Sang Guru. Kira-kira pada waktu tengah malam guru rnengusirnya. Ken Angrok terperanjat dan bangun sambil terhuyung-huyung, kemudian pergi keluar dan tidur di tempat tumpukan ilalang di luar.
wineton denira Janggan maring jaba katinghalan hana murub ing tengahing alalang, kaget sira Janggan angidepaken katunon, pinariksa kang katon murub, kapanggih Ken Angrok kang murub ika, tinangi kinen mantuka ingajak aturua ring umah manih, tutut sira Ken Angrok aturu ring patetengahan manih. Eñjang kinen angambila wohing jambu denira Janggan, suka sira Ken Angrok, lingira, “Lah malar isun dadia wong, isun anahura hutang ring sira Janggan.”
Ketika guru menengok keluar halaman, ia melihat ada benda yang menyala di tengah tumpukan ilalang. Sang Guru terperanjat mengira telah terjadi kebakaran. Setelah diperiksa yang tampak menyala itu adalah Ken Angrok. Ken Angrok disuruh bangun dan diajak kembali pulang untuk tidur di bagian tengah rumah lagi. Ken Angrok menuruti ajakan gurunya dan pergi tidur di ruang tengah lagi. Pagi-paginya Ken Angrok disuruh mengambil buah jambu oleh Sang Guru, Ken Angrok merasa senang. Ken Agrok berkata, “Aku berharap semoga kelak aku menjadi orang. Aku akan membalas hutang budi kepadamu, Sang Guru.”
Agung sakalawonlawon sira Ken Angrok, angon ta kalawan sira Tuwan Tita, agawe ta sira dukuh, kapernah wetaning Sagenggöng, tegal ing Sañja, pinakanggenira angadangadanga wong malintang hawan lawan sira Tuwan Tita rowangira
Lama-kelamaan Ken Angrok telah tumbuh menjadi dewasa. Ken Angrok menggembala dengan Tuwan Tita. Kemudian membuat pemondokan bertempat di sebelah timur Sagenggeng di ladang Sanja. Tempat itu digunakan sebagai lokasi untuk menghadang orang-orang yang melintas di jalan. Penghadangan itu dilakukan oleh Ken Angrok berdua bersama Tuan Tita.
Hana ta wong amahat ano ring alasing wong Kapundungan, anakanak wadon ahayu, milu maring alas, teka ginamelan denira Ken Angrok rinowang asanggama ring alas, ya ta ring Adiyuga ngaraning alas. Mangkin mersah sira Ken Angrok, wekasan sira analawa wong malintang hawan, ya ta kawerta tekeng nagareng Daha denira Ken Angrok angrusuh, ya ta ingilangaken saking Tumapel denira sang akuwu aran Tunggul Ametung. Sah sira Ken Angrok saking Sagenggeng, angungsi ta sira maring Rabut gorontol. “Mogah ta kabebeng ring bañu kang angilangaken”, sotira Ken Angrok, “mogah ta bañu metua saking tanhana, samangkana dadi kang tahun, tan hana keweh ring Jawa.” Mangkana lingira Ken Angrok. Sah sira saking Rabut gorontol, angungsi sira ring Wayang, tegal ing Sukamanggala.
Ada seorang penyadap pohon enau di tengah hutan Kapundungan. Ia mempunyai seorang anak perempuan cantik yang ikut serta pergi ke hutan untuk ikut menyadap enau. Perempuan cantik itu dipegang oleh Ken Angrok. Perempuan itu disetubuhi oleh Ken Angrok di dalam hutan. Hutan itu bernama Adiyuga. Semakin lama Ken Angrok semakin berbuat kerusuhan. Akhirnya ia merampok orang yang melintasi jalan. Tersiarlah kabar beritanya sampai di negeri Daha bahwa yang membuat kerusuhan adalah Ken Angrok. Maka, Ken Angrok harus diberi tindakan untuk dilenyapkan. Yang memberi perintah adalah penguasa wilayah Daha berpangkat akuwu yang bernama Tunggul Ametung. Ken Angrok mengetahui dirinya diburu, oleh karena itu ia pergi dari Sagenggêng mengungsi ke tempat keramat yang bernama Rabut Gorontol. “Semoga tertahan oleh air orang-orang yang ingin melenyapkan saya.” kutuk Ken Angrok. “Semoga air dapat keluar dari yang tidak ada. Semoga jadilah hasil tanaman (padi) dalam tahun ini, dan tidak ada bencana di Pulau Jawa.” Demikianlah kata-kata Ken Angrok. Ia pergi dari Rabut Gorontol, mengungsi ke wilayah Wayang, yaitu di ladang Sukamanggala.
Hana ta papikatan perit, irika ta sira anawala wong asedahan manuk, anuli sira maring Rabut katu. Kapihanan sira tumon ing katu sawaringin gönge, irika nggenira mesat angungsi ta sira ring Jun watu, mandalaning wong sampurna, angungsi ta sira mareng Lulumbang, angher ing wong amaradeça, wijiling wong ajurit, aran sira Gagak Inget. Alawas angher irika anawala wong malintang hawan. Sah sira maring Kapundungan, amamaling sira ring Pamalantenan, kawruhan ta sira, binuru kakepang, tan wruh ta parananira angungsi, amamanek ta sira ring witing tal, ring pinggiring kali, karahinan ta sira, kawruhan yen amamanek ing tal, tinunggu dening wong Kapundungan ing sor, tinabuhan kajar.
Ada seorang pemikat burung pitpit. Ken Angrok merampok orang yang sedang rnemanggil-manggil burung itu. Kemudian ia menuju ke tempat keramat yang bernama Rabut Katu. Ia terheran-heran ketika melihat pohon katu tumbuh sebesar pohon beringin. Dari situ Ken Angrok lari mengungsi ke Jun Watu, suatu wilayah tempat kediaman orang yang sempurna (para pendeta). Kemudian mengungsi lagi ke Lulumbang. Di sana ia tinggal pada orang yang berasal dari luar desa. Ia merupakan keturunan dari keluarga prajurit yang bernana Gagak Inget. Cukup lama Ken Angrok tinggal di situ. Ken Angrok merampas harta orang yang sedang melintas di jalan. Lalu Ken Angrok pergi ke Kapundungan. Ia melakukan pencurian di Pamalantenan. Ketika ketahuan, ia dikejar dan dikepung. Ken Angrok tidak tahu kemana harus mengungsi. Untuk menyelamatkan diri, Ken Angrok pun memanjat pohon tal yang berada di tepi sungai. Setelah siang barulah ketahuan bahwa Ken Angrok memanjat pohon tal itu. Di bawah pohon itu, orang-orang Kepundungan sudah menunggu sambil beramai-ramai memukul canang,
Tal punika winadung dening amburu ring sira. Samangka ta sira anangis, asasambat ing kang ayaçadharma ring sira, dadi sira amiresep çabda ring awangawang, kinon sira ameranga roning tal pinaka helaranira kiwa tengen margahanira anglayanga maring sabrang wetan, masa sira matia muwah, dadi amerang sira ron tal antuk kakalih, pinakahelarira kiwa tengen, angalayang sira mareng sabrang wetan, malayu angungsi ring Nagamasa, tinut sira binuru, angungsi ta sira maring mandaleng Oran, tinut binuru, malayu angungsi ring mandaleng Kapundungan, katemu atanem siramandala, ingalingan sira ingaku weka deniramandala, sira Ken Angrok. Anakiramandala pada atanem, kehipun nenem. Katuju lungha atatawu kang tunggal, kari lilima, kang lungha ginanten atanema denira Ken Angrok,
Pohon tal itu pun ditebang oleh orang-orang yang memburunya. Saat itu Ken Angrok menangis sambil menyebut-nyebut Sang Ayaçadharma (pencipta kebaikan) atas dirinya. Kemudian Ken Angrok mendengar sabda dari angkasa. Ken Angrok disuruh memotong dua helai daun tal untuk didjadikan sayap kiri dan kanan supaya dapat melayang ke seberang timur. Dengan demikian, tidak mungkin ia akan mati. Kemudian Ken Angrok memotong dua helai daun tal. Daun itu dijadikan sayap di kiri kanannya. Ia pun melayang ke seberang timur dan mengungsi ke Nagamasa. Namun demikian, Ken Angrok tetap diikuti dan dikejar sehingga ia mengungsi ke wilayah Oran. Namun masih juga dikejar dan diburu. Ken Angrok pun lari mengungsi ke wilayah Kapundungan. Ken Angrok menemui penghulu Kapundungan yang sedang bercocok tanam. Ken Angrok dilindungi oleh penghulu Kepundungan dengan cara diakui sebagai anak oleh penghulu desa itu. Secara kebetulan, anak-anak penghulu desa itu juga sedang bercocok tanam. Banyaknya anak penghulu desa itu enam orang. Secara kebetulan pula, salah seorang anaknya sedang pergi mengeringkan empangan sehingga tinggal lima orang saja. Orang yang sedang pergi itulah yang digantikan oleh Ken Angrok untuk bercocok tanam.
Teka kang amburu ring sira, tur angucap ring siramandala, “E kaki mandala, hana wong arusuh isun-buru, angungsi ingkene mahu.” Sumahur siramandala, “Kaki dayakanira tan tuhu aliñok ingsun kaki, yen norengkene, hana nakingsun nenem, iki atanem genep nenem, wilangen uga denira, manawa lewih saking nenem, iki atanem genep nenem, wilangen uga denira, manawa lewih saking nenem, tuhu hana wong len ingkene.” Ujaring amburu, “Tuhu yen anakira mandala nenem, apan kang atanem iku nenem.” Les lungha kang amburu
Datanglah orang-orang yang memburu dan mengejarnya seraya berkata kepada penghulu desa, “Wahai, tuan penghulu desa, ada seorang perusuh yang kami kejar, dan tadi kami melihat ia mengungsi kemari.” Menjawablah penghulu desa itu, “Tuan-tuan, sungguh kami tidak bohong. Ia tidak ada di sini. Anak kami enam orang, dan yang sedang bertanam ini juga genap enam orang, Hitunglah sendiri, jika lebih dari enam orang tentunya ada orang lain di sini.” Kata orang-orang yang mengejar, “Memang benar, anak penghulu desa ini enam orang. Betul juga yang bercocok tanam itu ada enam orang.” Maka, segera pergilah orang-orang yang mengejar itu.
Lingira mandala ring Ken Angrok, “Lungha ta sira kaki, manawa mangsul kang amburu ring sira, manawa hanamicara çabdaningsun, tanpantuk denira anungsi iringsun, lungha sira angungsi alas.” Ndan lingira Ken Angrok, “Angher manih kang amburua.” Ya ta sangkane angalas Ken Angrok, ring Patangtangan araning alas. Anuli sira Ken Angrok angungsi ring Ano. Sah sira ring alas ing Terwag. Mangkin sangsaya mersah sira.
Kata penghulu desa kepada Ken Angrok, “Pergilah kamu, Nak. Barangkali orang yang mengejar kamu tadi akan kembali lagi kesini. Barangkali ada yang membicarakan kata-kataku tadi, maka akan sia-sia kamu berlindung kepadaku. Pergilah mengungsi ke hutan.” Maka Ken Angrok berkata, “Semoga berhenti lagilah yang mengejarku itu.” Itulah sebabnya maka Ken Angrok bersembunyi di dalam hutan. Patangtangan adalah nama hutan itu. Selanjutnya Ken Angrok mengungsi ke Enau, menuju ke hutan Terwag. Di sana ia semakin berbuat kerusuhan.
Hana ta sira mandaleng Luki, angarepi welahan, mangkat sira amaluku pagagan, akarya pakacangan ambhakta sekuling rare angon mahisanira mandala, densalahaken ing undungundung denwadahi kele, katungkul sira mandala pijer amaluku pakacangan, ingundukundukan ingambil denira Ken Angrok pinet sekule, nangken dina sira mangkana, kepwan sira mandala dening baryan dina kelangan seganing pangon, pangucapiramandala, “Paran sangkane hilang sekul iki.” Mangkin ta inginte sisingidan seganing pangonira mandala ring welahan, pangone denkon amulukua, tando dateng sira Ken Angrok saking jero alas paksanira Ken Angrok angambila sekul punika. Sinapa deniramandala, “Kalingane sira kapo kaki ngamet segane pangoningsun iku nangken dina.”
Ada seorang kepala lingkungan di wilayah Luki. Rumahnya berada di depan tempat penyeberangan. Kepala lingkungan itu akan berangkat membajak tanah. Berangkatlah ia membajak ladang. Ia mempesiapkan tanahnya untuk ditanami kacang-kacangan, sambil membawa sebungkus nasi untuk anak yang menggembala kerbau kepala lingkungan itu. Nasi itu dimasukan kedalam tabung bambu dan diletakkan di atas tanah yang agak tinggi. Kepala lingkungan itu sangat asyik membajak ladang kacang, Saking asyiknya membajak ladang kacang, maka Ken Angrok berjingkat sambil mencari-cari cara untuk mengambil nasinya. Hal demikian itu berlangsung setiap hari. Kepala lingkungan pun menjadi bingung karena setiap hari kehilangan nasi untuk anak gembalanya. Kata kepala lingkungan, “Apakah sebabnya maka nasi itu selalu hilang?” Sejak saat itu nasi anak gembala kepala lingkungan di tempat membajak itu diintai oleh kepala lingkungan dengan bersembunyi sedangkan anak gembalanya disuruh membajak ladang. Tidak lama kemudian Ken Angrok datang dari dalam hutan. Maksud Ken Angrok akan mengambil nasi namun ditegur oleh kepala lingkungan. “Jadi jelaslah sekarang, Nak. Kamulah yang selalu mengambil nasi anak gembalaku setiap hari itu.”
Sumahur Ken Angrok, “Singgih kaki mandala, ingsun amet segane pangonira nangken dina wetning lapa-ingsun tanpamangan.” Lingira mandala, “Lah kaki datenga ring açramaningsun sira yen hana luwe, amalampaha sekul nangken dina, apan ingsun pratidina angadangadang tekahaning tatamu.” Teher ingajak sira Ken Angrok dateng ing Batur denira mandala, sinwagatan sireng sekul ulam. Lingira mandala ring istrinira, “Nini bhatari ingsun amemekas ing sira, lamun Ken Angrok maririkia, mon ingsun tan hana ring umah tuwi, kukurenen tumuli, amelasaken.” Ya ta Ken Angrok katutur nangken dina teka, lunghanira saking rika ntapada Lulumbang ring banjar Kocapet,
Menjawablah Ken Angrok, “Benar tuan kepala lingkungan. Saya inilah yang mengambil nasi anak gembala tuan setiap hari karena saya lapar. Tidak ada yang dapat kumakan.” Kata kepala lingkungan, “Nah, anakku. Datanglah ke asramaku. Kalau kamu lapar, mintalah nasi setiap hari. Memang setiap hari saya berharap ada tamu yang datang.” Lalu Ken Angrok diajak pergi ke rumah tempat tinggal kepala lingkungan itu dan dijamu dengan nasi dan lauk pauk. Kata kepala lingkungan kepada isterinya, “Dinda Batari, saya berpesan kepadamu. Kalau Ken Angrok datang kemari meskipun saya sedang tidak ada di rumah, lekas-lekas terima sebagai keluarga. Kasihanilah ia.” Diceriterakan, Ken Angrok setiap hari datang ke rumah kepala lingkungan. Seperginya dari situ Ken Angrok menuju ke Lulumbang, yaitu ke Banjar Kocapet.
Hana ta sira mandaleng Turyantapada mulih sira mareng Kabalon, parabira sira Mpu Palot, among dharmakañcana, aguru ta sira ring hyang buyut ing Kabalon, pangawaking dharmakañasiddhi, siddhisanidya, mantuk ta sira Mpu Palot saking Kabalon amawa ta sira lakar, awrat limang tahil, areren ing Lulumbang, awedi sira Mpu Palot muliha dewek mareng Turyantapada, rehing wonten wong kawerta anawala ring marga aran sira Ken Angrok. Sira Mpu Palot tan wruh ring patutunggalaning wong, ya ta katemu sira Ken Angrok ring parerenan.
Ada seorang kepala lingkungan di wilayah Turyantapada. Ia baru saja pulang dari Kabalon, julukannya adalah Mpu Palot. Ia memiliki kepandaian sebagai tukang emas. Ia berguru kepada sesepuh di Desa Kabalon yang seakan-akan sudah berbadankan kepandaian membuat perhiasan emas dengan sesempurna-sempurnanya. Sungguh ia telah sempurna dan tidak bercacat dalam membuat perhiasan emas. Mpu Palot pulang dari Kabalon sambil membawa beban seberat lima tahil. Mpu Palot berhenti sejenak di Lulumbang. Mpu Palot ketakutan untuk pulang sendirian ke Turyantapada karena dikabarkan ada orang yang bernama Ken Angrok melakukan perampokan di jalan. Mpu Palot tidak mengenali satupun orang di sekitarnya. Ia berjumpa dengan Ken Angrok di tempat pemberhentian.
Lingira sira Ken Angrok ring sira Mpu Palot, “Uduh dateng ing punendi rakaki pukulun.” Lingira mpu, sumahur, “alulungha ingsun kaki saking Kabalon, ayun mantuka mareng Turyantapada, awedi ingsun ring marga, anengghu hana wong anawala aran ki Angrok.” Mesem sira Ken Angrok, lingira Ken Angrok, “Lah pukulun, ranakira ya ngatera mantuk i rakaki, raputunira mene anglawana yen kapanggih wong aran Ken Angrok puniku, lumaris ugi sira kaki mantuk mareng Turyantapada, sampun walang hati.” Kapihutangan sira mpu ring Turyantapada angrungu sanggupira Ken Angrok. Satekanireng Turyantapada, ya ta winarahan dharmakañcana
Kata Ken Angrok kepada Mpu Palot, “Wahai Ki Sanak, hendak pergi kemanakah tuanku ini?” Berkata Mpu Palot menjawab, “Saya habis bepergian dari Kabalon, Nak. Saya akan pulang ke Turyantapada, namun saya takut di jalan. Saya memikir-mikir untuk pulang karena ada orang yang melakukan perampokan di jalan. Perampok itu bernama Ken Angrok.” Mendengar perkataan itu, tersenyumlah Ken Angrok, “Nah Tuan, ananda ini yang akan menghantarkan tuan pulang. Ananda nanti yang akan melawan kalau sampai tuan berjumpa dengan orang yang bernama Ken Angrok itu. Lanjutkan sajalah tuan pulang ke Turyantapada, jangan khawatir.” Mpu Tuyantapada merasa berhutang budi mendengar kesiapan Ken Angrok. Setelah datang di Turyantapada, Ken Angrok diajari ilmu kepandaian membuat perhiasan emas.
Sira Ken Angrok, enggal bisa, tan hana sor timbangana ring kaçaktinira Mpu Palot. Neher ingaku weka sira Ken Angrok denira Mpu Palot, sangkaning açrameng Turyantapada ingaran ing mandaleng Bapa. Mangke polahira Ken Angrok angaku bapa ring Mpu Palot, hana po deni(ng) kakuranganira Mpu Palot, ya ta karananira Ken Angrok kinon marang Kabalon denira Mpu Palot, kinonira amutusakena dharmakañcana, ring hyang buyut ing Kabalon, anguwusakena lakar katunanira mandaleng Bapa. Mangkat sira Ken Angrok dateng ring Kabalon, tan kapihandel sira Ken Angrok denira sang apalinggih ring Kabalon. Samangka ta serngen sira Ken Angrok, “mogah hana embang ring panapen.”
Ken Angrok cepat pandai membuat perhiasan emas. Keahliannya tidak kalah kalau dibandingkan dengan Mpu Palot. Selanjutnya Ken Angrok diaku sebagai anak oleh Mpu Palot. itulah sebabnya asrama Turyantapada dinamakan wilayah Bapa. Demikian pula Ken Angrok mengaku ayah kepada Mpu Palot. Karena dalam diri Ken Angrok masih ada yang dirasakan kurang oleh Mpu Palot, maka Ken Angrok disuruh berangkat ke Kabalon oleh Mpu Palot. Ken Angrok disuruh memperdalam kepandaiaannya dalam membuat perhiasan emas pada sesepuh di Kabalon. Sebelumnya Ken Angrok diminta agar dapat menghabiskan sisa bahan emas yang yang ada di wilayah Bapa. Ken Angrok berangkat menuju ke Kabalon namun Ken Angrok tidak dipercaya oleh penduduk Kabalon. Pada saat itu Ken Angrok marah, “Semoga ada bunga di perapian,”
Sinduk denira Ken Angrok malayu angungsi ring hyang buyut ing Kabalon, ingatagaken sira parakategan sahaneng Kabalon paraguru hyang tekaning kapuntan, sama medal amawa palugangça, amburu ring sira Ken Angrok samamukul ing palugangça paksanira sang tyaga aminonanayun amatenana ring sira Ken Angrok. Mogha angrugu ujaring akaça, “Hayo denirapateni wong iku, sang tyaga, yugamami rare iku, tangeh gawene ring madhyapada.” Mangkana çabda akaça karungu denira sang tyaga. Ya ta tinulung Ken Angrok anglilir kadi pralagi. Teher Ken Angrok angenaken upata, lingira, “Tan hanaha tega ring wetaning Kawi tan siddhaning dharmakañcana.” Sah sira Ken Angrok saking Kabalon, angungsi Turyantapada, sira mandaleng Bapa, siddha ring dharmakañcana.
Ken Angrok bermaksud menikamkan keris kepada penduduk desa namun penduduk desa itu lari berlari kepada sesepuh di Desa Kabalon. Semua petapa yang sedang berada di Kabalon dipanggil dan dikumpuikan, begitu pula para guru Hyang, sampai pada para punta. Semuanya keluar sambil membawa alat pukul perunggu. Mereka bersama-sama memburu dan memukul Ken Angrok dengan pukulan perunggu itu. Maksud para petapa itu hendak memperlihatkan kehendaknya untuk membunuh Ken Angrok. Namun sebelum membunuh Ken Angrok, tiba-tiba mereka mendengar suara dari angkasa, “Jangan kamu bunuh orang itu, wahai para petapa. Anak itu adalah anakku, masih banyak tugas yang diembannya di alam tengah ini.” Demikanlah suara dari angkasa. Suara itu terdengar oleh para petapa. Maka Ken Angrok ditolong dan bangun seperti sediakala. Ken Angrok lalu menjatuhkan kutukan, “Semoga tidak ada petapa di sebelah timur Kawi yang tidak sempurna kepandaianya dalam membuat perhiasan emas.” Ken Angrok pergi dari Kabalon, mengungsi ke Turyantapada, ke wilayah Bapa. Dengan demikian, sempurnalah kepandaian petapa tentang pembuatan perhiasan emas.
Sah sira Ken Angrok saking mandaleng Bapa maring pradeçeng Tugaran. Nora ta wilasa sira buyuting Tugaran, rinusuhan wong Tugaran denira Ken Angrok, ya ta ingemban ta gopala sinalahaken ing mandaleng Bapa, dadi kapanggih anakira buyuting Tugaran, ananem kacang ing pagagan. Mangke ta ikang rara rinowang asanggama denira Ken Angrok, alalama kacang kakampilan, sangkaning kacang Tugaran wijne akulimis agung agurih. Sah sira saking Tugaran, mulih sira maring mandaleng Bapa muwah. LingiraKen Angrok, “Yen ingsun dadi wong adanaha pirak ring kaki mandaleng Bapa.”
Ken Angrok pergi dari wilayah Bapa menuju ke wilayah perdesaan di Tugaran namun sesepuh di Tugaran tidak menaruh belas kasihan kepadanya, maka diganggulah orang-orang Tugaran oleh Ken Angrok. Arca penjaga pintu gerbangnya diangkat dan diletakkan di wilayah lingkungan Bapa. Kemudian dijumpainya anak perempuan sesepuh di Tugaran itu sedang menanam kacang di ladang kering. Gadis ini lalu disetubuhi oleh Ken Angrok. Lama kelamaan tanaman kacang si gadis hasilnya berkampil-kampil. Oleh karena itulah maka kacang Tugaran benihnya mengkilat, besar, dan rasanya gurih. Ken Angrok pergi dari Tugaran pulang kembali ke wilayah Bapa. Kata Ken Angrok, “Kalau saja kelak menjadi orang, saya akan memberi perak kepada sesepuh di wilayah Bapa ini
Kawerta sira Ken Angrok ring nagareng Daha, yen arusuh asenetan ring Turyantapada, ingilangaken saking Daha, rinuruh dening wong saking Daha, lungha saking mandaleng Bapa, angungsi sira maring gunung Pustaka. Sah sira saking rika, angungsi ring Limbehan, wilasa sira buyuting Limbehan, inungsi sira Ken Angrok, wekasan ananakti sira Ken Angrok maring Rabut Kedung Panitikan. Katurunan sira widhi, kinon mara ring Rabut Gunung Lejar, ring dina Buddha hireng ing Warigadyan, sira paradewa ahum akukumpul, mangkana lingira nini ring Panitikan, “Mami angrowangana asenetana kita bapa, tan hananing wruha, mami ta ananapua ring gunung Lejar sedenging dewa ahum kabeh.” Mangkana lingira nini Panitikan. Ya ta mara sira Ken Angrok ring Gunung Lejar.
Tersiarlah kabar sampai ke Negeri Daha bahwa Ken Angrok melakukan kerusuhan dan bersembunyi di Turyantapada, maka, akan dilakukan tindakan untuk melenyapkan Ken Angrok dari Negeri Daha. Ia dicari oleh prajurit-prajurit dari Daha. Mendengar dirinya sedang diburu, Ken Angrok pergi dari wilayah Bapa menuju ke Gunung Pustaka. Tidak lama kemudian Ken Angrok pergi dari Gunung Pustaka mengungsi ke Limbehan. Sesepuh di Limbehan menaruh belas kasihan ketika dimintai perlindungan oleh Ken Angrok. Akhirnya Ken Angrok berzarah ke tempat keramat Rabut Kedung Panitikan. Kepadanya turun petunjuk dari dewa. Ken Angrok disuruh pergi ke Rabut Gunung Lejar pada hari Rabu Wage, minggu Wariga pertama pada saat para dewa sedang kumpul bermusyawarah. Demikian ucapan seorang nenek kebayan di Panitikan, “Saya akan membantu menyembunyikan dirimu, Nak. Agar supaya tidak ada yang tahu, maka saya akan menyapu di Gunung Lejar pada waktu semua dewa sedang bermusyawarah.” Demikian kata nenek kebayan di Panitikan itu. Ken Angrok lari menuju ke Gunung Lejar.
Katekan pwa Buddha hireng ing Warigadyan, mara pwa sira ring paheman. Ya ta sira asenetan ing pawuhan ingurungan suket denira ranini Panitikan. Teher muni kang saptaswara genter pater lindu ketug kilat halisyus haliwawar, hudan salah masa, tanpantara teja wangkawa, ndan samangkana sira angrengö çabda tanpantara, humwang gumuruh, rasaning ahumaning watek hyang, “Ikang angukuhana ring nusa Jawa, yaya tandi mandala.” Mangkana ling sang watek dewata kabeh sama asalanggapan ujar, “Ndi kang yogya prabhua ring nusa Jawa”, patakoning watek hyang kabeh. Sumahur hyang Guru, “Wruhanta kabeh watek dewata, hana si yugamami, manusa wijiling wong Pangkur, ika angukuhi bhumi Jawa.” Samangka metu ta sira Ken Angrok saking pawuhan, katinghalan sira dening watek hyang, sama kayogyan sang watek dewata, ya ta inastwaken sira bhiseka Bhatara Guru, mangkana kastwanira de sang watek dewata, asurak asanggaruhan. Winidhyan sira Ken Angrok angangkena bapa ring sang brahmana makanama sira Danghyang Lohgawe, wahu teka saking Jambudwipa kinen apanggiha ring Taloka, samangkana mulaning brahmana hana ring wetaning Kawi.
Tibalah hari Rabu Wage minggu Wariga pertama. Ken Angrok pergi ke tempat dewa bermusyawarah kemudian bersembunyi di tempat sampah dan ditimbuni dengan rerumputan oleh nenek kebayan Panitikan. Lalu berbunyilah tujuh suara, guntur, petir, gempa, guruh, kilat, topan, angin ribut, dan hujan bukan pada masanya. Tidak ada selanya sinar dan cahaya. Maka demikian itu ia mendengar suara tidak ada hentinya, berdengung-dengung bergemuruh. Adapun inti musyawarah para dewa, “Siapapun yang rnemperkokoh Nusa Jawa, adalah dia yang akan mengikat daerah ini.” Demikianlah kata para dewa saling berebut mengemukakan pembicaraan, “Siapakah yang pantas menjadi raja di Pulau Jawa,” Demikian pertanyaan para dewa semua. Menjawablah Bhatara Guru, “Ketahuilah dewa-dewa semua, yang pantas menjadi raja di Pulau Jawa adalah anakku, seorang anak manusia yang lahir dari orang Pangkur. Dialah yang akan memperkokoh Bumi Jawa.” Saat itu keluarlah Ken Angrok dari tempat sampah. Munculnya Ken Angrok dilihat oleh para dewa. Semua dewa menjetujui. Ia direstui oleh para dewa dengan nama nobat Bhatara Guru. Demikian itu pujian dari dewa-dewa sambil bersorak-sorai riuh rendah. Ken Angrok diberi petunjuk agar mengaku ayah kepada seorang brahmana yang bernama Sang Hyang Lohgawe. Brahmana ini baru saja datang dari India. Ken Angrok disuruh menemui brahmana itu di Taloka. Itulah asal mulanya ada brahmana di sebelah timur Kawi.
Duk maring Jawa tanpahawan parahu, atampakan roning kakatang telung tugel, mentas sira anuju pradeça ring Taloka, mider sira Danghyang Lohgawe angulati sira Ken Angrok. Lingira Danghyang Lohgawe, “Hana rare adawa tangane, aliwat ing dekunge, tulise tangane tengen cakra, kang kiwa çangka, aran Ken Angrok, katon ing pujamami, kadadinira Bhatara Wisnu, pawarahira nguni duk ing Jambudwipa, eh Danghyang Lohgawe wus mono denta muja ring Wisnuarccha, mami tan hana ring kene, ngong angjanma manusa maring Jawa, kita tumutureng mami, aran ingong Ken Angrok, ulatana mami ring kabotohan.” Tando sira Ken Angrok kapanggih ring kabotohan, winaspadaken singgih kang katon ing puja denira Danghyang Lohgawe. Tumuli sira tinañan, lingira Danghyang Lohgawe, “Iya sira kaki, aran Ken Angrok, sangkaningsun wruh ing sira, katon ing puja deningsun.” Sumahur Ken Angrok, “Singgih pukulun, ranakira aran Ken Angrok.” Rinangkul sira denira sang brahmana. Lingira Danghyang Lohgawe, “Ingsunaku anak sira kaki, ingsun-rowanng duk anastapa, ingsun-wong saparanira.”
Pada waktu menuju ke Jawa, Dang Hyang Lohgawe tidak naik perahu namun hanya menginjak tiga potong daun rumput kakatang. Setelah mendarat dari air, Ia menuju ke perdesaan Taloka. Dang Hyang Lohgawe berkeliling mencari Ken Angrok. Kata Dang Hyang Lohgawe, “Ada seorang anak, tangannya panjang melampaui lutut, di tangan sebelah kanannya ada gambar roda dan yang sebelah kiri ada gambar kerang. Ia bernana Ken Angrok. Ia terlihat pada waktu aku memuja. Ia adalah penjelmaan Dewa Wisnu. Aku diberi tahu tentang hal itu dahulu ketika aku masih berada di India. Beginilah pemberitahuannya, “Wahai Dang Hyang Lohgawe, berhentilah kamu memuja arca Wisnu karena sesungguhnya aku telah tidak berada di sini. Aku telah menjelma pada seseorang di Jawa dan hendaknya kamu mencari aku di tempat perjudian.” Tidak lama kemudian Ken Angrok didapati di tempat perjudian. Dang Hyang Lohgawe mengamat-amati Ken Angrok dengan baik-baik. Betul, ia adalah orang yang tampak oleh Dang Hyang Lohgawe sewaktu ia memuja. Maka ia ditanyai. Kata Dang Hyang Lohgawe, “Tentu buyunglah yang bernama Ken Angrok. Adapun sebabnya aku mengetahui dirimu karena kamu tampak olehku pada waktu aku dalam pemujaan.” Menjawablah Ken Angrok, “Betul tuan, ananda bernama Ken Angrok.” Maka dipeluklah Ken Angrok oleh brahmana itu. Kata Dang Hyang Lohgawe, “Kamu saya akui sebagai anak, buyung. Kutemani engkau pada waktu engkau kesusahan dan kuasuh kemanapun kamu pergi.”
Sah sira Ken Angrok saking Talokah, mara sira ring Tumapel, milu sira brahmana. Satekanira ring Tumapel kapanggih kaladeça, ati sira asesebana ring sang akuwu ring Tumapel, aran sira Tunggul Ametung. Kapanggih sira sineba. Lingira Tunggul Ametung, “Bhageya pukulun sang brahmana, saking punendi sira hañar katinghalan.” Sumahur sira Danghyang Lohgawe, “Eh kaki sang akuwu, hañar saking sabrang ingsun, ati ingsun asewakaha maring sang akuwu ingsun kaki, lawan akonakoningsun anak puniki ayun sumewakaha ring sang akuwu.” Sumahur sira Tunggul Ametung, “Lah suka ingsun sira danghyang yen sira santosa wontena ring siranakira.” Mangkana lingira Tunggul Ametung. Alawas sira Ken Angrok amaraseba ring sira Tunggul Ametung, sang akuwu ring Tumapel.
Ken Angrok pergi dari Taloka menuju ke Tumapel mengikuti brahmana itu. Setelah ia datang di Tumapel, tibalah saat yang sangat tepat. Ia sangat ingin mengabdikan diri pada akuwu selaku kepala wilayah di Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Dijumpainya Tunggul Ametung itu sedang dihadap oleh para abdinya. Melihat kedatangan Dang Hyang Lohgawe, Tunggul Ametung berkata, “Selamatlah tuanku brahmana, dari mana tempat asal tuan? Saya baru kali ini melihat tuan.” Menjawablah Dang Hyang Lohgawe, “Tuan Sang Akuwu, saya baru saja datang dari seberang, saya sangat ingin menghadap tuanku, dan anak angkatku ini ingin mengabdi kepada sang akuwu.” Menjawablah Tunggul Ametung, “Wah, senanglah saya, kalau tuan Dang Hyang dapat menetap dengan tenteram bersama anak tuanku ini.” Demikianlah kata Tunggul Ametung. Lamalah sudah Ken Angrok mengabdi kepada Tunggul Ametung sang akuwu di Tumapel,
Dadi hana bhujangga boddhasthapaka ring Panawijen, lumaku mahayana, atapa ring setraning wong Panawijen, apuspata sira Mpu Purwa. Sira ta anakputrinira, aran Ken Dedes. Sir ata kawerta yen hayu, tan hana amadani rupanira yen sawetaning Kawi kasub tekeng Tumapel. Karungu denira Tunggul Ametung, tumuli sira Tunggul Ametung dateng ing Panawijen, añjujug maring dukuhira Mpu Purwa, kapanggih sira Ken Dedes, atyanta garjitanira Tunggul Ametung tumon ing rara hayu.
Kemudian ada seorang pujangga pemeluk agama Buddha yang menganut aliran Mahayana sedang bertapa di ladang Panawijen. Pujangga tersebut bernama Mpu Purwa. Pada waktu ia belum menjadi pendeta Buddha Mahayana. Ia mempunyai anak tunggal seorang perempuan. Anak perempuan itu luar biasa cantik moleknya bernama Ken Dedes. Dikabarkan bahwa kecantikan Ken Dedes tidak ada yang menyamai. Kecantikannya itu termasyur dari di sebelah timur Kawi sampai Tumapel. Tunggul Ametung mendengar kabar itu, lalu datang ke Panawijen langsung menuju ke dukuh Mpu Purwa dan bertemu dengan Ken Dedes. Tunggul Ametung sangat senang hatinya melihat gadis cantik itu.
Katuju sira Mpu Purwa tan hana ring patapanira, samangka ta Ken Dedes sinahasa pinalayoken denira Tunggul Ametung. Saulihira sira Mpu Purwa saking paran tan katemu sirabakira, sampun pinalayoken denira sang akuwu ring Tumapel, tan wruh ring kalinganira, ya ta sira Mpu Purwa anibaken samaya tan rahaju, lingira, “Lah kang amalayoken anakingsun mogha tan tutuga pamuktine matia binahud angeris, mangkana wong Panawijen asata pangangsone, mogha tan metua bañune bejine iki, dosane nora awarah iringsun yen anakingsun denwalating wong.” Mangkana lingira Mpu Purwa. “Kalawan ta anakingsun marajaken karma amamadangi, anghing sotmami ring anakmami mogha anemwa rahayu denagung bhagyane.” Mangkana sotira mahayana ring Panawijen.
Secara kebetulan saat itu Mpu Purwa sedang tidak berada di pertapaannya. Saat itu Ken Dedes sekonyong-konyong dilarikan oleh Tunggul Ametung. Setelah Mpu Purwa pulang dari bepergian, ia tidak rnenjumpai anak gadisnya. Anak gadisnya sudah dilarikan oleh akuwu Tumapel. Ia tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya. Maka Mpu Purwa menjatuhkan kutukan yang tidak baik, “Wahai, yang melarikan anakku semoga engkau tidak berlanjut dalam mengenyam kenikmatan. Semoga ia mati ditusuk keris dan isterinya diambil. Demikian pula orang-orang Panawijen ini. Semoga menjadi kering tempat mereka mengambil air. Semoga kolamnya ini tidak keluar air akibat dosa mereka yang tidak mau memberitahu bahwa anakku dilarikan orang dengan paksa.” Demikian kata Mpu Purwa, “Adapun anakku yang menyebabkan gairat dan bercahaya terang, kutukanku kepada anakku hanya semoga ia mendapat keselamatan dan dibesarkan kebahagiaannya.” Demikianlah kutukan pendeta Mahayana Panawijen.
Satekanira Ken Dedes ring Tumapel rinowang sapaturon denira Tunggul Ametung, tan sipi sihira Tunggul Ametung, wahu ngidam sira Ken Dedes, dadi sira Tunggul Ametung akasukan, acangkrama somahan maring Taman Boboji. Sira Ken Dedes anunggang gilingan. Satekanira ring taman sira Ken Dedes tumurun saking padati, katuwon pagawening widhi, kengis wetisira, kengkab tekeng rahasyanira, neher katon murub denira Ken Angrok, kawengan sira tuminghal, pituwi dening hayunira anulus, tan hanamadani ring listu-hayunira, kasmaran sira Ken Angrok tan wruh ring tingkahanira.
Sesampainya di Tumapel, Ken Dedes berdua seperaduan dengan Tunggul Ametung. Tidak terhingga cinta kasih Tunggul Ametung kepada Ken Dedes. Tidak lama kemudian Ken Dedes menampakkan gejala-gejala mengandung. Tunggul Ametung pergi bersenang-senang, bercengkerama berserta isterinya di taman Boboji. Ken Dedes turun dari kereta kebetulan disebabkan karena kehendak Sang Widhi tersingkaplah kainnya sehingga betisnya terbuka sampai bagian rahasianya. Kemudian bagian rahasianya kelihatan memancarkan cahaya oleh Ken Angrok. Terpesonalah Ken Angrok melihat bagian rahasia Ken Dedes yang bersinar ditambah pula dengan kecantikannya yang memang sempurna, tidak ada yang menyamai kecantikannya itu. Maka. jatuh cintalah Ken Angrok. Ia tidak tahu apa yang akan dilakukan.
Saulihira Tunggul Ametung saking pacangkrama, sira Ken Angrok awarah ing sira Danghyang Lohgawe, lingira, “Bapa danghyang, hana wong istri murub rahasyane, punapa laksananing stri lamun mangkana, yen hala rika yen ayu rika laksananipun.” Sumahur sira danghyang, “Sapa iku kaki.” Lingira Ken Angrok, “Wonten, bapa, wong wadon katinghalan rahasyanipun deningsun.” Lingira Danghyang Lohgawe, “Yen hana istri mangkana, kaki, iku stri nariçwari arane, adimukyaning istri iku, kaki, yadyan wong papa angalapa ring wong wadon iku, dadi ratu añakrawarti.” Meneng sira Ken Angrok, ri wekasan angling, “Bapa danghyang, kang murub rahasyanipun puniku rabinira sang akuwu ring Tumapel, lamun mangkana manira bahud angeris sirakuwu, kapasti mati de mami, lamun pakanira angadyani.” Sahurira danghyang, “Mati, bapa kaki, Tunggul Ametung denira, anghing ta ingsun ta yogya yan angadyanana ring kaharepira, tan ulahaning pandita, ahingan sakaharepira.” Lingira Ken Angrok, “Lamun mangkana, bapa, ingsun amit ing sira.” Sumahur sang brahmana, “Maring punendi ta sira kaki.” Sumahur Ken Angrok, “Ingsun dateng ing Karuman wonten bobotoh angangken weka iringsun, aran sira Bango Samparan, asih iringsun, punika ingsuntarinipun kadi angyogyanana.” Lingira danghyang, “Rahayu yan mangkana, sampun ta, kaki, sira alawas ing Karuman.” Lingira Ken Angrok, “Punapa karyaningsun alawasa.” Sah sira Ken Angrok saking Tumapel.
Sepulangnya Tunggul Ametung dari bercengkerama itu, Ken Angrok memberitahu peristiwa itu kepada Dang Hyang Lohgawe. Ken Angrok berkata, “Bapa Danghyang, ada seorang perempuan yang tampak menyala bagian rahasianya. Tanda perempuan seperti apakah yang demikian itu? Tanda buruk atau tanda baikkah itu?” Dang Hyang menjawab, “Siapakah itu, Buyung?” Kata Ken Angrok, “Bapa, memang ada seorang perempuan, yang kelihatan bagian rahasianya oleh hamba.” Kata Dang Hyang, “Jika ada perempuan yang demikian, Buyung. Perempuan itu namanya stri nariswari, Ia adalah perempuan yang paling utama, Buyung. Meskipun orang berdosa dan hina, namun jika ia memperisteri perempuan itu, maka ia akan menjadi maharaja.” Ken Angrok terdiam. Akhirnya berkata, “Bapa Dang Hyang, perempuan yang menyala bagian rahasianya itu adalah isteri sang akuwu Tumapel. Jika demikian saya akan membunuh akuwu dan saya ambil isterinya, tentu ia akan mati. Itu pun kalau tuan mengizinkan.” Jawab Dang Hyang, “Ya, tentu matilah Tunggul Ametung olehmu, Buyung. Hanya saja aku tidak pantas untuk memberikan izin itu kepadamu. Itu bukanlah tindakan seorang pendeta. Adapun batasnya adalah kehendakmu sendiri.” Kata Ken Angrok, “Jika memang demikian, Bapa, hamba memohon diri kepada tuan.” Sang Brahmana menjawab, “Akan kemana kamu, Buyung?” Ken Angrok menjawab, “Hamba akan berangkat ke Karuman. Di sana ada seorang penjudi yang mengaku anak kepada hamba bernama Bango Samparan. Ia sangat menyayangi hamba. Beliaulah yang akan hamba mintai pendapatnya dan mungkin beliau akan menyetujuinya.” Kata Dang Hyang, “Baiklah kalau demikian. Namun kamu jangan tinggal terlalu lama di Karuman, Buyung.” Kata Ken Angrok, “Apakah perlunya bagi hamba untuk berlama-lama tinggal di sana.” Ken Angrok pun pergi dari Tumapel.
Teka sireng Karuman, kapanggih sira Bango Samparan. “Saking endi kawetunira, alawas tan mareringsun, kadi ring swapna ingsun atetemu lawan sira, alawas temen denira lungha.” Sumahur Ken Angrok, “ Wonten ing Tumapel ingsun bapa, amaraseba ring sirakuwu. Sangkaningsun maring sira, hana rabinirakuwu, tumurun saking padati, kasingkab rahasyane, katon murub deningsun. Hana ta brahmana hañar angajawa, puspatanira Danghyang Lohgawe, sirangaku weka ring ingsun, ingsun-takoni, punapa araning stri yen murub rahasyanipun. Lingira sang brahmana, uttama dahating stri yen mangkana, arane iku kang sinangguh stri ardhanariçwari ika, sulaksana temen, pan iku asing aderwe rabi, katekan dadi ratu añakrawarti. Ingsun ta, bapa Bango, kapening dadi ratu, harepingsun ki Tunggul Ametung ingsunpatenana, rabine ingsunalape, malar bapa, ranakira dadi ratu, amalaku ingsun pangadyanira bapa danghyang. Ujarira danghyang, kaki Angrok tan kawaça ring brahmana yan angajengana ring wong angalap rabining arabi, hingan sakaharepira piambek.
Sedatangnya di Karuman, Ken Angrok bertemu dengan Bango Samparan. “Kamu ini baru keluar dari mana. Sudah lama tidak datang kepadaku. Seperti berada di dalam mimpi saja aku bertemu dengan kamu ini. Lama betul kamu pergi.” Ken Angrok menjawab, “Hamba berada di Tumapel, Bapa. Mengabdikan diri kepada sang akuwu. Adapun sebabnya hamba datang kepada tuan, adalah seorang isteri akuwu turun dari kereta, tersingkap kainnya sampai ke bagian rahasianya dan kelihatan menyala oleh hamba. Ada seorang brahmana yang baru saja datang di Jawa bernama Dang Hyang Lohgawe. Ia mengaku anak kepada hamba. Hamba bertanya kepadanya, “Apakah nama seorang perempuan yang menyala rahasianya itu.” Kata Sang Brahmana, “Itu yang disebut seorang stri ardhanariçwari. Katanya sungguh baik pertanda itu karena siapa saja yang memperisterinya akan dapat menjadi maharaja. Bapa Bango Samparan, hamba ingin menjadi raja. Tunggul Ametung akan hamba bunuh dan isterinya akan hamba ambil agar supaya ananda menjadi raja. Hamba minta persetujuan Bapa Dang Hyang,” Kata Dang Hyang, “Buyung Angrok, tidak dapat seorang brahmana memberi persetujuan kepada orang yang mengambil isteri orang lain. Adapun batasnya kehendakmu sendiri.”
“Punika karananingsun maring bapa Bango, malaku adyanadyanira bapa ingsun-cidrane sirakuwu ring Tumapel, wyakti mati sirakuwu deningsun.” Sumahur sira Bango Samparan, “Rahayu yen mangkana. Ingsun, kaki, angadyani, yen siraharep ambahud angeris ring sira Tunggul Ametung, anghing ta sira kaki Angrok, sirakuwu teguh, manawi nora tedas yen derasuduka ring keris kurang yoninya. Hana mitraningsun pande ring Lulumbang, aran Pu Gandring, yoni olih agawe keris, norana wong ateguh dene pagawene, tan amingroni yen sinudukaken, ika konen akarya duhung. Yen huwus dadikeris, nggenirañidra ring ki Tunggul Ametung.” Mangkana wekasira Bango Samparan ring Ken Angrok.
“Itulah sebabnya hamba pergi ke Bapa Bango untuk meminta izin kepada bapa. Sang akuwu akan hamba bunuh dengan diam-diam. Tentu akuwu mati oleh hamba.” Menjawablah Bango Samparan, “Wah, baiklah. kalau begitu saya memberi izin. Kamu akan menusukkan keris kepada Tunggul Ametung dan mengambil isterinya itu. Tetapi hanya saja, Buyung Angrok, Akuwu itu orang yang sakti. Mungkin tidak dapat dilukai jika kamu menusuknya dengan keris yang kurang bertuah. Saya mempunyai teman seorang pandai keris di Lulumbang yang bernama Mpu Gandring. Keris buatannya sangat bertuah. Tidak ada orang sakti yang sanggup menahan keampuhan terhadap keris buatannya sehingga tidak perlu sampai dua kali ditusukkan. Hendaknya kamu menyuruh dia untuk membuatkan keris. Seandainya keris ini sudah selesai, dengan itulah hendaknya kamu membunuh Tunggul Ametung secara diam-diam.” Demikian pesan Bango Samparan kepada Ken Angrok.
Lingira Ken Angrok, “Amit ingsun, bapa, maring Lulumbang.” Sah sira saking Karuman, nuli maring Lulumbang, katemu sira Gandring anambut karya ring gusali, teka Ken Angrok tur atakon, “Iya sira baya aran Gandring. Lah reko ingsun papawekena keris huwusa limang wulan, agatana gawene deningsun.” Lingira Mpu Gandring, “Sampun limang wulan punika, lamun sira ayun denapened, manawi satahun huwus, enak rateng papalonipun.” Lingira Ken Angrok, “Lah sarupane gugurindane, anghing den-huwus limang wulanâ. Sah Ken Angrok saking Lulumbang, maring Tumapel, kapanggih sira Danghyang Lohgawe, atakon ing Ken Angrok, “Paran sangkanira alawas ing Karuman.” Sumahur Ken Angrok, “Sumelang manira, bapa, ring Lulumbang.” Samangka ta Ken Angrok alawas apanganti ring Tumapel. Huwusing genep limang wulan, enget ing samayanira yen aken anggawe keris ring sira Mpu Gandring.
Berkatalah Ken Angrok, “Hamba memohon diri, Bapa. Hamba akan pergi ke Lulumbang.” Ia pergi dari Karuman lalu ke Lulumbang kemudian bertemu dengan Mpu Gandring yang sedang bekerja di tempat membuat keris. Ken Angrok datang lalu bertanya, “Tuankah barangkali yang bernama Mpu Gandring itu? Hendaknya hamba dibuatkan sebilah keris yang dapat selesai dalam waktu lima bulan karena akan ada keperluan yang harus hamba lakukan.” Kata Mpu Gandring, “Jangan lima bulan, kalau kamu menginginkan yang baik, kira–kira setahun baru selesai. Akan baik dan matang tempaannya,” Ken Angrok berkata, “Wah, terserah bagaimana cara menempanya. Hanya saja hendaknya selesai dalam lima bulan.” Ken Angrok pergi dari Lulumbang ke Tumapel. Ia bertemu dengan Dang Hyang Lohgawe yang bertanya kepada Ken Angrok, “Apakah sebabnya kamu lama di Tumapel itu.” Mendjawablah Ken Angrok, “Saya juga singgah di Lulumbang, Ayah.” Waktu itu, Ken Angrok memang cukup lama menunggu di Tumapel. Sesudah genap lima bulan, ia ingat kepada perjanjiannya bahwa ia menyuruh membuatkan keris kepada Mpu Gandring.
Mara sira ring Lulumbang, katemu sira Mpu Gandring anggugurinda, aninigasi papalampahanira Ken Angrok keris. Lingira Ken Angrok, “Endi kenkenaningsun ring kaki Gandring.” Sumahur sira Gandring, “Singgih kang ingsun-gurinda puniki, kaki Angrok.” Pinalaku tininghalan pungan keris denira Ken Angrok. Lingira asemu brndu, “Ah tanpolih deningsun akonkon ring sira ki Gandring, apan durung huwus gugurindane keris iki, lagi asebel, iki kapo rupane kang dera-lawas limang wulan lawase.” Apanas twasira Ken Angrok, dadi sinudukaken ing sira Gandring keris antukira Gandring agawe ika. Anuli pinerangaken ing lumpang çela pambebekan gurinda, belah aparo, pinerangaken ing paronira Gandring, belah apalih. Samangka sira Gandring angucap, “Ki Angrok, kang amateni ring tembe keris iku, anak-putunira mati dene kris iku, olih ratu pipitu tembe keris iku amateni. Wusira Gandring angucap mangkana, mati sira Gandring. Samangka ta arupa analahasa sira Ken Angrok patinira Gandring. Lingira Ken Angrok, “Lamun ingsun dadi wong tumusa ring anakputune apande ring Lulumbang.” Teher mantuk sira Ken Angrok maring Tumapel.
Pergilah Ken Angrok ke Desa Lulumbang. Di sana Ken Angrok bertemu dengan Mpu Gandring yang sedang mengasah dan memotong-motong keris yang dipesan oleh Ken Angrok. Ken Angrok berkata, “Manakah keris pesanan hamba kepada tuan Mpu Gandring.” Menjawablah Mpu Gandring itu, “Yang sedang saya asah ini kerismu, Buyung Angrok.” Keris itu diminta untuk dilihat oleh Ken Angrok. Katanya dengan agak marah, “Ah, tidak ada gunanya aku menyuruh tuan Mpu Gandring ini untuk membuat keris bertuah. Bukankah belum selesai diasah keris ini? Memang celaka. Inikah rupanya yang tuan kerjakan selama lima bulan itu.” Ken Angrok menjadi panas hati. Akhirnya keris buatan Mpu Gandring itu ditusukkan kepada Mpu Gandring. Lalu ketika keris itu ditebaskan pada lumpang batu tempat air asahan, lumpang terbelah menjadi dua, ditebaskan pada landasan penempa juga ini terbelah menjadi dua. Mpu Gandring berkata, “Buyung Angrok, kelak di kemudian hari kamu akan mati oleh keris itu. Begitu pula dengan anak cucumu akan mati karena keris itu juga. Tujuh orang raja akan mati karena keris itu.” Sesudah berkata demikian lalu Mpu Gandring meninggal. Ken Angrok tampak menyesal karena Mpu Gandring meninggal itu. Kata Ken Angrok, “Kalau aku menjadi orang, semoga kemulianku melimpah juga kepada anak cucu pandai keris di Lulumbang.” Lalu pulanglah Ken Angrok ke Tumapel.
Hana kakasihira Tunggul Ametung, aran Kebo hijo, apawong sanak asihsihan lawan Ken Angrok. Satinghalira Kebo hijo ring sira Ken Angrok anungkelang duhung hañar, adanganañ cangkring katut rinipun tanpagagala wungkul, aremen sira Kebo hijo mulat. Angucap ing Ken Angrok, “He, kaka, sunsilihe kerisira iku.” Sinungaken denira Ken Angrok, ingangge denira Kebo hijo tumuli, wetning resepira tumon, alawas ingangge denira Kebo hijo duhung saking Ken Angrok punika, nora hana wong Tumapel tan sapeksaha yen sira Kebo hijo anungkelang duhung hañar. Mogha ta mangke duhung punika minaling denira Ken Angrok, kena dening amalingi. Teher Ken Angrok kala ratri anuli maring dalem pakuwon, duweg sireping wong, katuwon denira dinuluraning widhi, anuli mareng paturonira Tunggul ameung, tan kawara lakunira, sinuduk sira Tunggul Ametung denira Ken Angrok, terus prananira Tunggul Ametung mati kapisanan. Keris antukira Gandring agawe kinatutaken minaha. Mangke huwus rahina kawaswasan duhung tumanem ing jajanira Tunggul Ametung, tinenger dening wong kang wruh kerisira Kebo hijo, kang inganggo sabran dina. Pangucaping wong Tumapel kabeh, “Ki Kebo hijo kalingane kang añidra ring sira Tunggul Ametung, apan sawyakti kerise katut ing jajanira sang akuwu ring Tumapel.” Samangka sira Kebo hijo sinikep dening kadangwargganira Tunggul Ametung, tinewek ing keris antukira Gandring akarya punika, mati ki Kebo hijo.
Ada seorang abdi yang sangat disayangi oleh Tunggul Ametung bernama Kebo Ijo. Ia bersahabat karib dengan Ken Angrok. Mereka saling menyayangi. Pada waktu Kebo Ijo melihat bahwa Ken Angrok menyisipkan keris baru, berhulu kayu cangkring yang masih berduri dan belum diberi perekat dengan damar sehingga terlihat masih kasar. Senanglah Kebo Ijo melihat itu. Ia berkata kepada Ken Angrok, “Wahai kakanda, bolehkah saya pinjam keris itu?” Keris itupun diberikan oleh Ken Angrok. Keris itu terus dicengkelang oleh Kebo Ijo karena senang memakai itu. Lamalah keris Ken Angrok dipakai oleh Kebo Ijo. Tidak ada seorangpun penduduk Tumapel yang tidak pernah melihat Kebo Ijo menyengkelang keris baru dipinggangnya. Tidak lama kemudian keris itu dicuri oleh Ken Angrok. Keris itupun dapat dicuri. Selanjutnya Ken Angrok pada waktu malam hari pergi ke dalam rumah akuwu. Setelah dirasakan tepat saatnya, suasana sedang sunyi dan orang-orang sudah tidur. Secara kebetulan juga atau disertai kehendak Sanghyang Widhi, Ken Angrok menuju ke peraduan Tunggul Ametung. Tidak terhalang perjalanannya. Ditusuklah Tunggul Ametung oleh Ken Angrok menembus jantungnya. Tunggul Ametung mati seketika itu juga. Keris buatan Mpu Gandring ditinggalkan dengan sengaja. Ketika hari sudah pagi keris yang tertancap di dada Tunggul Ametung diamat-amati orang, dan oleh orang yang mengetahui keris itu, ia mengenali bahwa keris itu milik Kebo Ijo yang biasa dipakai setiap hari kerja. Kata orang Tumapel semua, “Jelas Kebo Ijolah yang membunuh Tunggul Ametung secara diam-diam karena memang nyata kerisnya masih tertancap di dada sang akuwu Tumapel. Kebo Ijo ditangkap oleh sanak keluarga Tunggul Ametung. Kebo Ijo ditusuk dengan keris buatan Mpu Gandring, meninggallah Kebo Ijo.
Hana ta anakira Kebo hijo, aran Mahisa randi, alara patining bapa, ya ta winilasan kinatik denira Ken Angrok, atyanta welasira ring Mahisa randi. Mogha hyang dewa sirandandani, tuhu yan kramanira Ken Angrok ring sira Ken Dedes, alama akakarepan, tan hananing wong Tumapel wani angucapa satingkah-polahira Ken Angrok, mangkana sakadang-warganira Tunggul Ametung meneng tan hana wenang angucapa, ya ta apanggih Ken Angrok lawan Ken Dedes. Sampun ta sira abobot tigang lek katinggal denira Tunggul Ametung, kaworan denira Ken Angrok, atyanta denira silihasih sira Ken Angrok lawan Ken Dedes, alawas papanggihira. Genep leking rare mijil anakira Ken Dedes lanang, patutanira Tunggul Ametung, ingaranan sang Anusapati, papañjinira Sang Apañjinira Sang Apañjy Anengah.
Kebo Ijo mempunyai seorang anak bernama Mahisa Randi. Ia sangat sedih karena kematian ayahnya. Ken Angrok menaruh belas kasihan kepadanya. Kemana-mana anak ini dibawa karena Ken Angrok kasih sayangnya yang luar biasa terhadap Mahisa Randi. Semoga Dewa memang telah menghendaki bahwasanya Ken Angrok memang sungguh-sungguh menjadi jodoh Ken Dedes. Sudah lama mereka saling menghendaki, tidak ada seorangpun penduduk Tumapel yang berani membicarakan semua tingkah laku Ken Angrok. Demikian juga keluarga Tunggul Ametung semua diam, tidak ada satupun yang berani mengatakan apa-apa. Akhirnya Ken Angrok menikah dengan Ken Dedes. Pada waktu ditinggalkan oleh Tunggul Ametung, Ken Dedes sedang mengandung tiga bulan. Lalu dicampuri oleh Ken Angrok. Ken Angrok dan Ken Dedes sangat sayang menyayangi. Setelah lama pernikahannya. Setelah genap usia bulannya Ken Dedes melahirkan seorang anak laki-laki yang lahir dari ayah Tunggul Ametung. Anak yang baru lahir itu diberi nama Sang Anusapati dan nama panjang kepanjiannya adalah Sang Apanji Anengah.
Alama sira papanggih Ken Angrok kalawan Ken Dedes, malih aputra Ken Dedes lawan Ken Angrok, mijil lanang, aran sira Mahisa Wonga Teleng, mwah ari denira Mahisa Wonga Teleng lanang aran Sang Apañji Saprang, aranira Pañji Saprang lanang aran sira Agnibhaya, arinira Agnibhaya wadon aran sira Dewi Rimbu, papat patutanira Ken Angrok lawan Ken Dedes. Hana ta binihajinira Ken Angrok anom, aran sira Ken Umang, sira ta apatutan lanang ta binihajinira Ken Angrok anom, aran sira Ken Umang, sira ta apatutan lanang aran sira Pañji Tohjaya, arinira Pañji Tohjaya lanang aran sira Pañji Sudhatu, arine Pañji Sudhatu lanang aran sira Twan Wregola, arine Twan Wregola istri aranira Dewi Rambi.
Setelah lama usia pernikahan antara Ken Angrok dengan Ken Dedes itu, maka Ken Dedes melahirkan seorang anak laki-laki dari perkawinannya dengan Ken Angrok. Anak tersebut diberi nama Mahisa Wonga Teleng, dan adik Mahisa Wonga Teleng bernama Sang Apanji Saprang, adik Panji Saprang juga laki-laki bernama Agnibaya. Adik Agnibaya seorang perempuan bernama Dewi Rimbu. Dengan demikian, Ken Angrok dan Ken Dedes mempunyai empat orang anak. Di samping Ken Dedes, Ken Angrok juga mempunyai isteri muda bernama Ken Umang. Ken Umang melahirkan anak laki-laki bernama Panji Tohjaya, adik panji Tohjaya seorang laki-laki bernama Panji Sudhatu, adik Panji Sudhatu seorang laki-laki namanya Tuan Pergola. Adapun adik Tuan Pergola seorang perempuan bernama Dewi Rambi.
Kwehing putra 9, lanang 7 wadon 2. Telas purwa wetaning Kawi, kaputer sawetaning Kawi, sama awedi ring sira Ken Angrok, mahu ariwariwa ayun angadega ratu, wong Tumapel sama suka yen Ken Angrok angadega ratu
Banyaknya anak Ken Arok semuanya ada sembilan orang. Laki-laki tujuh orang dan perempuan dua orang. Setelah menjadi akuwu Tumapel, maka sudah dikuasailah Tumapel berawal dari timur Kawi. Sekeliling timur Kawi bahkan seluruh wilayah sebelah timur Kawi itu semua takut terhadap Ken Angrok. Mulailah Ken Angrok menampakkan keinginannya untuk menjadi raja. Orang-orang Tumapel semua senang kalau Ken Angrok menjadi raja.
Katuwon panduluring widhi sang ratu ring Daha siraji Dangdang Gendis angandika ring parabhujangga sahaneng Daha, lingira, “E, ki parabhujannga çewasogata, paran sangkanira nora anembah ring ingsun, apan ingsun saksat Bhatara Guru.” Sumahur parabhujangga sakapasuking nagareng Kadiri, “Pukulun tan wonten ing kinakina bhujangga anembahi ratu.” Mangkana lingira bhujangga kabeh. Lingiraji Dangdang Gendis, “Lah manawa kang ring kuna nora anembah, kang mangko ta ingsun sembahen denira, manawa sira tan wruh ring kaçaktiningsun mangko sunwehi pangawyakti.” Mangke ta siraji Dangdang Gendis angadegaken tumbak, landeyanipun tinañcebaken ring lemah, sira ta alinggih, ring pucuking tumbak, tur angandika, “Lah parabhujangga delengen kaçaktiningsun.” Sir ata katon acaturbhuja, atrinayana, saksat Bhatara Guru rupanira, winidhi anembaha parabhujangga sakapasuking Daha, sama tan harep anembaha tur mersah pada angungsi maring Tumapel asewaka ring Ken Angrok. Samangka mulaning Tumapel tan ahidep ing nagareng Daha.
Secara kebetulan dan disertai oleh kehendak sang widhi, raja Daha yaitu Raja Dangdang Gendis (Kertajaya) berkata kepada para bujangga yang berada di seluruh wilayah Daha. Katanya, “Wahai, tuan-tuan bujangga pemeluk agama Siwa dan agama Buddha. Apakah sebabnya tuan-tuan tidak menyembah kepadaku? Bukanlah aku ini semata-mata laksana Bhatara Guru.” Menjawablah para bujangga di seluruh wilayah negara Daha termasuk negeri Kediri, “Tuanku, semenjak jaman dahulu kala sampai saat ini tidak ada seorangpun bujangga yang menyembah raja.” Demikianlah kata semua bujangga. Kata Raja Dandhang Gendis, “Nah, jika semenjak dahulu kala tidak ada bujangga yang menyembah raja, maka mulai dari sekarang ini hendaknya aku disembah oleh tuan-tuan. Jika tuan-tuan belum mengetahui kesaktianku, maka lihatlah. Sekarang aku akan menunjukkan buktinya.” Sekarang Raja Dandhang Gendis mendirikan tombak. Batang tombak itu ditancapkan ke dalam tanah. Raja Dandhang Gendis duduk di pucuk tombak seraya berkata, “Nah, tuan-tuan bujangga, lihatlah kesaktianku ini.” Ia tampak berlengan empat dan bermata tiga laksana perwujudan Bhatara Guru. Para bujangga di seluruh wilayah Daha diperintahkan untuk menyembah, namun semuanya tidak ada yang mau menyembah. Bahkan mereka menentang dan mengungsi untuk mencari perlindungan ke Tumapel dan mengabdi kepada Ken Angrok. Mulai saat itulah asal mulanya para bujangga di Tumapel tidak ada yang mau mengabdi terhadap negeri Daha (Kediri).
Tumuli sira Ken Angrok inastwaken prabhu ring Tumapel, araning nagara ring Singasari, abhisekanira çri Rajasa, bhatara sang Amurwabhumi, ingastryan dening bhujangga sewa-sogata kang saking Daha, makadi sira dangyang Lohgawe sira asangkapani, kuneng kang asih awelas ring sira Ken Angrok ing kina duk sira sedeng kasyasih, pada ingundang kabeh, tinulung denira winales pawilasane, makadi sira Bango Samparan, tan ucapen siramandaleng Turyantapada, lawan anaking apande wesi ring Lulumbang, aran pu Gandring, satuse apande ring Lulumbang luputeng saarik purih, satampaking wulukune wadung-pacule. Hana anake ki Kebo hijo denpada kawewenangane lawan anake pu Gandring. Hana anakira bapa danghyang (Lohgawe) aran wangbang Sadang, patutanira lawan wong Wisnu, temokena kalawan anakira bapa Bango kang aran Cucupuranti, mangkana rasaning andika sang Amurwabhumi. Atyanta kretaning nagaraning Singhasari, paripurna nirwighna.
Kemudian tidak lama sesudah itu Ken Angrok direstui menjadi raja di Tumapel. Negaranya bernama Singasari, dengan nama nobat Sri Ranggah Rajasa Bhatara Sang Amurwabumi disaksikan oleh para bujangga pemeluk agama Siwa dan Buddha yang berasal dari Daha terutama Dang Hyang Lohgawe. Dang Hyang Lohgawe diangkat menjadi pendeta istana. Adapun mereka yang menaruh belas kasihan kepada Ken Angrok dahulu sewaktu ia sedang menderita semuanya dipanggil dan diberi perlindungan, kemudian diberi balasan atas budi jasanya. Misalnya Bango Samparan. Tidak perlu dikatakan tentang kepala lingkungan Turyantapada itu. Dan begitu pula dengan anak-anak pandai besi Lulumbang yang bernama Mpu Gandring. Seratus pandai besi di Lulumbang itu diberi hak istimewa di dalam lingkungan sepanjang batas jejak bajak, beliung, dan cangkulnya. Adapun anak Kebo Ijo yang bernama Mahisa Rani disamakan haknya dengan anak Mpu Gandring. Anak laki-laki Dang Hyang Lohgawe bernama Wangbang Sadang yang lahir dari ibu pemeluk agama Wisnu dinikahkan dengan anak Bapa Bango Samparan yang bernama Cucu Puranti. Demikianlah inti keutamaan Sang Amurwabumi. Sangat makmur dan sejahteralah negara Singasari, sempurna tidak ada halangan.
Alawas karengö wertanira Ken Angrok yan huwus pangadeg ratu, kahatur ing siraji Dandang gendis yen sang Amurwabhumi harep amerepa maring Daha. Andikaniraji Dandang gendis, “Sapa ta angalahakena ring nagaraningsun iki, manawa kalah lamun Bhatara Guru tumurun saking akaça, sugyan kalaha.” Ingaturan sira Ken Angrok, yan siraji Dangdang Gendis angandika mangkana. Lingira sang Amurwabhumi, “E parabhujangga sewasogata kabeh, astokena ingsun abhiseka Bhatara Guru.” Samangka ta mulanirabhiseka Bhatara Guru, ingastwaning bhujangga brahmana resi. Tur sira anuli anglurug maring Daha. Karenge deniraji Dangdang Gendis yen sang Amurwabhumi ring Tumapel anekani andon maring Daha. Lingiraji Dangdang Gendis, “Alah ingsun sedenge ki Angrok winonging hyang.” Samangka ta sañjata-ing Tumapel acucuh lawan sañjata Daha, aprang loring Ganter, apagut sama prawira, anglongi linongan, katitihan sañjata Daha.
Telah lama terdengar kabar bahwa Ken Angrok sudah menjadi raja Singasari. Raja Dandhang Gendis diberitahu bahwa Ken Angrok bermaksud akan menyerang Daha. Kata Raja Dandhang Gendis, “Siapakah yang akan bisa mengalahkan negaraku ini. Negeri ini barangkali baru bisa dikalahkan kalau Bhatara Guru turun dari angkasa, mungkin baru kalah.” Diberitahulah Ken Angrok bahwa raja Dandhang Gedis berkata demikian. Kata Sang Amurwabumi, “Wahai para bujangga, brahmana, resi, serta pemeluk Siwa dan Buddha, restuilah aku mengambil nama penobatan Bhatara Guru.” Demikianlah asal mulanya ia bernama nobat Bhatara Guru. Nama nobat itu direstui oleh bujangga, brahmana, dan resi. Selanjutnya ia lalu berangkat menyerang Daha. Raja Dandhang Gendis mendengar bahwa Sang Amurwabumi di Tumapel datang menyerang Daha. Dandhang Gendis berkata, “Kami akan kalah karena Ken Angrok sedang dilindungi Dewa.” Saat itu tentara Tumapel bertempur sengit melawan tentara Daha. Mereka berperang di sebelah utara Ganter, bertemu sama-sama berani, bunuh membunuh, terdesaklah tentara Daha.
Ariniraji Dangdang Gendis moktah bamakreti ksatriya raden Mahisa walungan, lawan mantrinira prawira aran Gubar baleman, moktahning arinira Dangdang Gendis mwah wadwa pinakatihati sira Gubar baleman kalih karebat dening wado Tumapel, amah gunung denipun aprang. Samangka ta wado Daha kapalayu, apan kang pinakadining prang sampu kawenang. Irika ta sañjata Daha bubar tawon, pungkur wedus, dahut payung, tan hana pulih manih.
Adik Raja Dandhang Gendis yang bernama Mahisa Walungan gugur sebagai pahlawan bersama-sama dengan menterinya yang perwira yang bernama Gubar Baleman. Adapun sebab gugurnya adik Dangdang Gendis dan Gubar Baleman karena diserang secara bersama-sama oleh tentara Tumapel yang berperang laksana banjir dari gunung. Saat itu tentara Daha terpaksa lari karena Mahisa Walungan dan Gubar Baleman yang menjadi inti kekuatan perang telah kalah, maka tentara Daha bubar seperti lebah, lari terbirit-birit meninggalkan musuh seperti kambing. Mereka mencabut semua payung-payungnya dan tidak ada yang mengadakan perlawanan lagi.
Samangka ta siraji Dangdang Gendis murud saking paprangan, angungsi maring dewalaya, gumantung ing awangawang, tekaning undakan, pakatik, juru payung lawan amawa tadah sedah, tadah toya, panglante, sama milu angawangawang. Prasiddha kalah ring Daha denira Ken Angrok. Lawan sira rayinira (sang Dangdang Gendis) dewi Amisani, dewi Hasin, dewi Paja, mangkin sama katuran yan siraji Dangdang Gendis alah aprang, karengö wonten ing dewalaya gumantung ing awangawang, mangke ta sira twan dewi katiga muksah lawan kadaton pisan. Irika ta sira Ken Angrok huwus ing jayasatru, mulih maring Tumapel, kaputer bhumi Jawa denira. Sakala pañjenengira huwus kalah ing Daha 1144.
Saat itu Raja Dandhang Gendis mundur dari pertempuran dan mengungsi ke alam dewa. Mereka bergelantungan di angkasa sampai di atas bukit. Pengiring kuda, pembawa payung, dan pembawa tempat sirih, tempat air minum, tikar, semuanya ikit naik ke angkasa. Daha benar-benar dikalahkan oleh Ken Angrok. Dan adik-adik Sang Dandhang Gendis yaitu Dewi Amisam, Dewi Hasin, dan Dewi Paja diberi tahu bahwa raja Dandhang Gendis kalah berperang dan terdengar bahwa ia telah berada di alam dewa, tergantung-gantung di angkasa. Maka ketiga tuan dewi itu menghilang bersama-sama dengan istananya juga. Sesudah Ken Angrok menang terhadap musuh, lalu pulang ke Tumapel. Dengan demikian, maka dikuasailah sekeliling tanah Jawa olehnya. Ia sebagai raja telah berhasil mengalahkan Daha pada tahun saka 1144.
Alawas hana werta sang Anusapati, anakira Tunggul Ametung, ataken sira ring pamongmong, “Awedi manira dening sira rama-pakanira”, aturing pamongmong, “aron pakanira matura ring sira ibu pakanira.” Tan suddhanira Nusapati ataken ing siebunira, “Ibu ingsun ataken ing sira punapa kalinganira bapa yen tuminghal ing isun, pahe tinghalira kalawan sanakingsun kabeh, tan ucapen lawan putranira ibu anom, mangkin pahe tinghalira bapa.” Tuhu yan samasanira sang Amurwabhumi. Sahurira Ken Dedes, “Kaya dudu kang angandeli, yen sira kaki ayun wruha, sira Tunggul Ametung arane ramanira, katinggal ingsun tigang çaçih, ya ta ingsun ingalap denira sang Amurwabhumi.” Lingira Nusapati, “Kalingane, ibu, dudu bapaningsun sang Amurwabhumi, punapa ta ibu pademira bapa.” “Sang Amurwabhumi, kaki, amateni.” Meneng sira Ken Dedes, arupa kaluputan dening awerta sajati ring siranakira. Lingira Nusapati, “Ibu, woten duhungira bapa antukipun Gandring akarya, ingsun-tedanipun ibu.” Sinungaken denira Ken Dedes. Sang Anusapati amit mantuk maring kamegetanira.
Setelah lama terdengar kabar bahwa Sang Anusapati anak tunggal Tunggul Ametung bertanya kepada pengasuhnya. “Hamba takut terhadap ayah tuan”, demikian kata pengasuh itu, “Lebih baik tuan berbicara dengan ibu tuan.” Karena tidak mendapat keterangan, lalu Anusapati bertanya kepada ibunya, “Ibu, hamba bertanya kepadamu. Bagaimanakah jelasnya ini. Kalau ayah melihatku berbeda pandangannya dengan kalau ia melihat anak-anak ibu muda. Semakin lama semakin berbeda pandangan ayah itu.” Sungguh sudah datang saatnya bagi Sang Amurwabumi. Jawab Ken Dedes, “Seperti ada rasa tidak percaya. Nah, kalau buyung ingin tahu, ayahmu itu bernama Tunggul Ametung. Pada waktu ia meninggal, saya sedang mengandung dirimu tiga bulan, lalu saya diambil oleh Sang Amurwabumi. Kata Anusapati, “Jadi terangnya ibu, Sang Amurwabumi itu bukan ayah hamba. Lalu bagaimana tentang meninggalnya ayahku itu?” “Sang Amurwabumilah yang membunuh ayahmu, Buyung.” Ken Dedes terdiam. Ia tampak merasa telah membuat kesalahan karena memberi tahu masalah yang sebenarnya kepada anaknya. Kata Anusapati, “Ibu, ayah mempunyai keris buatan Mpu Gandring. Itu hamba pinta, ibu.” Maka diberikanlah oleh Ken Dedes keris itu kepada Anusapati. Sang Anusapati memohon diri pulang ke tempat tinggalnya.
Wonten ta pangalasanira ring Batil, inundang denira Nusapati kinon amatenana Ken Angrok, sinung duhung antukipun Gandring akrya, nggenipun amatenana ring sang Amurwabhumi, ingebang wong Batil denira Nusapati. Mangkat wong Batil maring dalem kadaton, kapanggih sang Amurwabhumi sedengira anadah, teher sinuduk sira deing wong Batil. Duk sira kacurna Werhaspati Pon ing Landep, masanira anadah sande jabung, sambun surup prabangkara amasang sanda. Sambuning lina sang Amurwabhumi, malayu wong Batil, angungsi sang Anusapati, matur wong Batil, “Sampun moktah sira rama-pakanira den-manira.” Neher sinuduk wong Batil denira Nusapati. Ujaring wong Tumapel, “Ah bhatara sirengamuk dening pangalasaning Batil, sira Nusapati angembari amuk.” Ri linanira sang Amurwabhumi i çaka 1169. Sira dhinarmeng Kagenengan.
Adalah seorang pengalasan di Batil. Ia dipanggil oleh Anusapati disuruh untuk membunuh Ken Angrok. Ia diberi sebilah keris buatan Mpu Gandring agar digunakan untuk membunuh Sang Amurwabumi. Orang dari Batil itu menyanggupi dan akan diberi upah oleh Anusapati. Berangkatlah orang Batil itu masuk ke dalam istana dan dijumpainya Sang Amurwabumi sedang bersantap. Sang Amurwabumi ditusuk dengan cepat oleh orang Batil. Waktu ia diciderai, ialah pada hari Kamis Pon minggu Landhep saat Sang Amurwabumi sedang makan pada waktu senjakala dan matahari telah terbenam sehingga orang telah menyiapkan pelita pada tempatnya. Sesudah memastikan Sang Amurwabumi meninggal, maka larilah orang Batil itu mencari perlindungan pada Sang Anusapati. Kata prajurit Batil, “Sudah wafatlah ayah tuan oleh hamba.” Segera prajurit Batil ditusuk oleh Anusapati. Kata prajurit Tumapel, “Ah, Bhatara diamuk oleh pengalasan di Batil. Sang Amurwabumi wafat pada tahun saka 1168 dan dipusarakan di Kagenengan.
II
Sampun mangkana sang Anusapati anggantyani añjeneng ratu, duk sang Anusapati angadeg ratu I çaka 1170. Alama kawerta ring raden Tohjaya, sira anakira Ken Angrok saking rabi anom, nama Sang Apañji Tohjaya, ya ta angrengö sapolahira nusapati angupahaken ing sang Amurwabhumi, moktah dening wong Batil. Sang Apañji Tohjaya tan suka moktahning sira ramanira, akirakira amet pamales, margahaning kapatinira sang Anusapati. Wruh sang Anusapati yan kinire denirapañji Tohjaya, yatna sang Anusapati, pagulinganira binalungbang, ring pamengkang wong angayengi, pikandel atata. Huwus alama marek Sang Apañji Tohjaya amawa sawung sira, mareng Bhatara Nusapati. Lingira Panji Tohjaya, “Kaka, wonten kerisira bapa, antukipun Gandring akarya, ingsun-tedanipun ing sira.” Tuhu yan samasanira Bhatara Nusapati. Sinungaken duhung antukipun Gandring akarya denira sang Anusapati, tinanggapan denirapañji Tohjaya, sinungkelang, tumuli duhungria kang ingangge ringuni, sinungakning wongira. Lingirapañji Tohjaya, “Duweg, kaka, ta bongbong.”
Sesudah demikian, sang Anusapati menggantikan Sang Amurwabumi menduduki tahta kerajaan. Ia menjadi raja pada tahun Saka 1170. Lama kelamaan terberitakan kepada Raden Tohjaya, anak Ken Angrok dari isteri muda, sehingga ia mendengar segala tindakan Anusapati yang mengupah pembunuhan Sang Amurwabumi kepada orang Batil. Sang Apanji Tohjaya tidak senang tentang kabar kematian ayahnya itu. Apanji Tohjaya berpikir mencari cara untuk membalas agar ia dapat membunuh Anusapati. Anusapati tahu bahwasanya kematiannya sedang direncanakan oleh Panji Tohjaya. Setelah mengetahui hal tersebut, Sang Anusapati semakin berhati-hati. Tempat tidurnya dikelilingi kolam dan pintunya selalu dijaga prajurit secara teratur. Setelah lama kemudian Sang Apanji Tohjaya datang menghadap dengan membawa ayam jantan pada Bhatara Anuspati. Kata Apanji Tohjaya, “Kanda, masih adakah keris ayah buatan Mpu Gandring? Itu hamba pinta dari kanda.” Sungguh sudah tiba saatnya bagi Bhatara Anuspati. Diberikannya keris buatan Mpu Gandring itu oleh Sang Anusapati kemudian diterima oleh Apanji Tohjaya. Keris itu disisipkan dipinggangnya, lalu kerisnya yang dipakai semula diberikan kepada hambanya. Kata Apanji Tohjaya, “Baiklah, kanda mari kita menyiapkan ayam jantan untuk segera kita ajukan di gelanggang.”
Sumahur sang Anusapati, “Lah, yayi.” Tumuli aken angambila sawung ring juru kurung. Lingiranusapati, “Lah, yayi, ta-adunipun pisan.” “Singgih”, lingirapañji Tohjaya. Sama anajeni dawak, sama akembar, katungkul sang Anusapati. Tuhu yan sedeng antakanira, kemper pijer angadoken sawungira, sinuduk denirapañji Tohjaya. Lina sang Anusapati i çaka 1171. Dhinarma sira ring Kidal. Gumanti sirapañji Tohjaya añjeneng ratu ring Tumapel.
Menjawablah Sang Adipati, “Baiklah, Dinda.” Selanjutnya ia menyuruh kepada hamba pemelihara ayam mengambil ayam jantan. Kata Anusapati, “Nah, dinda mari kita segera bersabung.” “Baiklah.” kata Apanji Tohjaya. Mereka bersama-sama memasang taji sendiri-sendiri. Tidak lama kemudian taji itu telah sebanding. Sang Anusapati asyik sekali. Sungguh telah datang saat berakhirnya. Anusapati lupa diri karena terlalu asyik menyabung ayamnya. Anusapati ditusuk keris oleh Apanji Tohjaya. Sang Anusapati wafat pada tahun Saka 1171 dan dipusarakan di Candi Kidal. Bergantilah Apanji Tohjaya menjadi raja di Tumapel.
III
Hana ta putranira sang Anusapati, aran sira Rangga wuni, kapernah kaponakan denirapañji Tohjaya. Sira Mahisa Wonga Teleng, sanakirapañji Tohjaya tunggaling bapa saos ibu, aputra ring sira Mahisa Campaka, kapernah pahulunan denirapañji Tohjaya. Duwegirapañji Tohjaya ingastren, pinareking mantri samadaya, makanguni sira Pranaraja. Marek sira Rangga wuni adulur lawan sira Kebo Campaka. Lingirapañji Tohjaya, “E mantri samadaya, makadi Pranaraja, delengen iki kaponakaningong, kamakara rupane lawan pangadege. Paran rupane musuhingong ring Nusantara, dene wong roro iki, angapa denira, Pranaraja.” Asahur sembah sira Pranaraja matur, “Singgih, pukulun, andika, paduka bhatara, apekikpekik ing rupa, sama wani sira kalih, anghing pukulun, upamanira kadi wuwudun munggwing nabhi, tan wurung sira amatyani ri puhara.” Meneng talampakanira bhatara, sangçaya karasa aturia Pranaraja runtik Sang Apañji Tohjaya. Teher angundang ing sira Lembu Ampal, kinon anghilangakena ring raden kalih. Andikanirapañji Tohjaya ring sira Lembu Ampal, “Mon luput denira angilangaken ing ksatriya roro iku, ko ndak ilangaken.” Duk sirapañji Tohjaya akon angilangaken ring raden kalih ring sira Lembu Ampal, wonten sang brahmana sedeng anangkapaneni ring sirapañji Tohjaya, denira danghyang angrengö yan raden kalih kinen ilangakena. Awelas sang brahmana ring raden kalih, awarah “yan sira Lembu Ampal kang kinon angilangakena, yen luputa kalih, kaki, sira puniki denipun Lembu Ampal, pun Lembu Ampal gumanti ingilangaken denira çri maharaja.” Lingira rahaden kalih, “Sira danghyang tambonten ta wonten dosaningsun.”
Ada seorang anak laki-laki Sang Anusapati yang bernama Ranggawuni. Hubungan keluarga antara Ranggawuni dengan Apanji Tohjaya adalah kemenakan. Mahisa Wonga Teleng saudara Apanji Tohjaya, sama ayah lain ibu juga mempunyai seorang anak laki-laki, yaitu Mahisa Campaka. Hubungan keluarganya dengan Apanji Tohjaya adalah kemenakan juga. Pada waktu Apanji Tohjaya duduk di atas tahta kerajaan disaksikan oleh orang banyak dan dihadap oleh semua menteri terutama Pranaraja, Ranggawuni beserta Kebo Campaka juga datang menghadap. Kata Apanji Tohjaya, “Wahai para menteri semua, terutama Pranaraja. Lihatlah kedua kemenakanku ini luar biasa tampan dan bagus badannya. Bagaimanakah rupanya musuhku di Nusantara ini kalau dibandingkan dengan dua orang ini? Bagaimanakah mereka, wahai Pranaraja?” Pranaraja menjawab sambil menyembah, “Betul tuanku seperti titah tuanku Bhatara. Bagus rupanya dan mereka berdua sama-sama pemberani. Hanya saja tuanku, mereka dapat diumpamakan sebagai bisul di pusat perut yang akhirnya tidak urung akan menyebabkan kematian.” Mendengar jawaban Pranaraja paduka bhatara itu lalu diam. Sembah Pranaraja makin terasa. Apanji Tohjaya menjadi marah, kemudian ia memanggil Lembu Ampal dan diberi perintah untuk melenyapkan kedua raden itu. Kata Apanji Tohjaya kepada Lembu Ampal, “Jika kamu tidak berhasil melenyapkan dua orang ksatria itu, maka kamulah yang akan kulenyapkan.” Pada waktu Apanji Tohjaya, memberi perintah kepada Lembu Ampal untuk melenyapkan dua raden itu, ada seorang brahmana yang sedang melakukan upacara agama sebagai pendeta istana untuk Apanji Tohjaya. Dang Hyang itu mendengar bahwa kedua raden itu disuruh untuk dilenyapkan. Sang Brahmana menaruh belas kasihan kepada kedua raden itu. Kemudian Sang Brahmana itu memberi tahu kedua raden itu, “Lembu Ampal diberi perintah untuk melenyapkan tuan berdua. Kalau kalian dapat lepas dari Lembu Ampal ini, maka Lembu Ampallah yang akan dilenyapkan oleh Sri Maharaja.” Kedua raden itu berkata, “Wahai Dang Hyang, bukankah kami berdua ini tidak berdosa.”
Sahurira sang brahmana, “Aron ta sira kaki asenetana rumuhun.” Pinariringaken manawi brahmananira adwa, ya ta rahaden sama maring sirapañji Patipati. Andikanira raden, “Pañji Patipati ingsun asenetan ring umahira, anengguh ingsun harep ilangakena bhatara, yen ingsun atut harep ilangakena, nora dosaningsun.” Pinarurungoken denirapañji Patipati, “Rahaden atut, yen pakanira ingilangaken pun Lembu Ampal sinalahan.” Mangkin enak denirasenetan kalih, rinuruh sira rahaden kalih tan kampanggih. Pinarurungoken tan kaparungon panarira. Ya ta sinenggeh sira Lembu Ampal sakarayita lawan raden kalih denira bhatara. Samangka sira Lembu Ampal ingilangaken, malayu tasenetan ing tatangganirapañji Patipati. Angrungu sira Lembu Ampal yen raden kalih hana ring sirapañji Patipati. Ya ta sira Lembu Ampal marek ing raden kalih, aturira Lembu Ampal ing raden kalih, “Manira angungsi ring pakanira pukulun, dosa-manira kinen angilangakena ring pakanira denira bhatara. Mangkin ta manira aneda cinoran manawi manira tan kandel den pakanira, enakan manira angawula ring jeng pakanira.”
Sang Brahmana menjawab, “Lebih baik tuan berdua bersembunyi dahulu.” Karena kedua bangsawan itu masih bimbang kalau-kalau brahmana itu bohong, maka kedua bangsawan itu pergi ke Apanji Patipati. Kata bangsawan itu, “Panji Patipati, izinkan kami bersembunyi di dalam rumahmu. Kami mengira bahwa kami akan dilenyapkan oleh Bhatara. Kalau memang akan terjadi kami dilenyapkan itu, padahal kami tidak mempunyai dosa.” Setelah itu maka Apanji Patipati mencoba mendengarkan, “Raden memang benar. Tuan akan dilenyapkan. Lembu Ampallah yang mendapat tugas.” Keduanya mencari cara yang lebih baik untuk bersembunyi. Mereka berdua dicari namun keduanya tidak dapat ditemukan. Kemana gerangan mereka pergi juga tidak juga dapat terdengar. Maka Lembu Ampal didakwa bersekutu dengan kedua bangsawan itu oleh Bhatara. Sekarang Lembu Ampal ditindak untuk dilenyapkan. Larilah Lembu Ampal bersembunyi di dalam rumah tetangga Apanji Patipati. Lembu Ampal mendengar bahwa kedua bangsawan itu berada di tempat tinggal Apanji Patipati. Lembu Ampal pergi menghadap kedua bangsawan. Kata Lembu Ampal kepada kedua bangsawan itu, “Hamba berlindung kepada tuan hamba atas dosa hamba. Hamba disuruh melenyapkan tuan oleh Bhatara. Kalau tuan tidak percaya sekarang hamba minta disumpah agar supaya hamba dapat mengabdi kepada paduka dengan tenang.
Sampune cinoran awatara kalih dina, sira Lembu Ampal marek ing raden kalih, matur ing raden, “Punapa wekas pakanira rahaden, tan wonten puharanirasenetan, manira anuduka wong Rajasa mene, sedengipun ababañu.” Tatkala sore, anuduk wong Rajasa sira Lembu Ampal, ingaloken malayu maring Sinelir. Ujaring wong Rajasa, “Wong Sinelir anuduk wong Rajasa.” Watara kalih dina wong Sinelir sinuduk dening Lembu Ampal, binuru malayu maring Rajasa. Ujaring wong Sinelir, “Wong Rajasa anuduk ing wong Sinelir.” Wekasan atutukaran wong Rajasa lawan pangalasaning Sinelir, rame alolongan, sinapih saking dalem tan ahidep. Runtik sirapañji Tohjaya, ingilangaken kalih batur pisan. Angrungu sira Lembu Ampal yen wong kalih batur ingilangaken, mara sireng wong Rajasa sira Lembu Ampal. Lingira Lembu Ampal, “Yen sira ingilangaken angungsia ring raden kalih sira, apan sama hana rahaden.” Sangguping wong Rajasa, “Parekakena ugi, ki Lembu Ampal, wong batur puniki.” Bhinakta pinituhaning wong Rajasa, marek ing raden kalih. Aturing wong Rasaja, “Pukulun pakanira sakitaha kawula ing Rajasa, sahandika-pakanira, pakanira-corana, manawi tan tuhu pangawulanipun, pahea rika denipun angawula.” Mangkana wong Sinelir, sama ingundang pinituhanipun, tunggal sanggupipun lawan wong Rasaja, tur pinatut kalih batur sampun kacoran, winekas, “Mene sore pada merenea, tur amawaha sahayanira sowang sowang, pada ambarananga maring kadaton.” Sama amit mantuk wong Sinelir lawan wong Rajasa.
Setelah disumpah, dua hari kemudian Lembu Ampal menghadap kepada kedua bangsawan itu. Lembu Ampal berkata, “Bagaimanakah akhirnya tuan, tidak ada habis-habisnya kalau pangeran berdua terus menerus bersembunyi di sini. Mungkin lebih baik jika nanti hamba menusuk prajurit Rajasa kalau mereka sedang pergi ke sungai.” Pada waktu sore hari, Lembu Ampal menusuk prajurit Rajasa. Seketika orang berteriak. Ia lari kepada prajurit Sinelir. Kata prajurit Rajasa, “Prajurit Sinelir menusuk prajurit Rajasa. Kata orang Sinelir, “Prajurit Rajasa menusuk prajurit Sinelir.” Akhirnya prajurit Rajasa dan prajurit Sinelir itu berkelahi, saling membunuh sangat ramainya. Mereka dipisah oleh orang dari istana namun tidak mau memperhatikan. Apanji Tohjaya marah. Dari kedua golongan ada yang dihukum mati. Lembu Ampal mendengar bahwa dari kedua belah pihak ada yang dilenyapkan. Maka Lembu Ampal pergi ke prajurit Rajasa. Kata Lembu Ampal, “Kalau kamu ada yang akan dilenyapkan hendaknya kamu mengungsi kepada kedua bangsawan karena kedua bangsawan itu masih ada.” Prajurit Rajasa menyatakan kesiapannya, “Nah, bawalah kami para abdi ini menghadapnya, wahai Lembu Ampal.” Maka pemimpin prajurit Rajasa itu dibawa menghadap kepada kedua bangsawan. Kata prajurit Rajasa itu, “Tuanku, hendaknya tuan melindungi para abdi Rajasa ini. Kami siap melaksanakan apa saja yang menjadi titah tuan. Namun hendaknya hamba tuan sumpah terlebih dahulu. Kalau-kalau kami ini tidak sungguh-sungguh dalam mengabdi atau kalau tidak jujur dalam pengabdian kami ini.” Demikian pula prajurit Sinelir, dipanggilah pemimpinnya. Prajurit Sinelir sama kesiapannya dengan prajurit Rajasa. Selanjutnya kedua belah pihak telah didamaikan dan telah disumpah semua lalu dipesan, “Nanti sore hendaknya kamu datang kemari, dan bawalah temanmu masing-masing. Hendaknya kamu memberontak saling melukai di dalam istana.” Prajurit Sinelir dan prajurit Rajasa bersama-sama memohon diri.
Katekan sore masa sama rawuh kalih batur amawa sahaya, sama marek ing ayunira rahaden kalih, sama wano, anuli mangkat ambaranang mareng jero kadaton. Mogha kagyat sirapañji Tohjaya, malajeng kapisah, tinumbak tan kapisanan. Marining geger, rinuruh dening kawulanira, pinikul pinalayoken maring Katang lumbang. Kang amikul kasingse gadage, katon pamungkure. Lingirapañji Tohjaya ri kang amikul, “Beciki gadagta katon pamungkure.” Sangkaning tan awet ratu dene silit iku. Rawuhireng Lumbang katang, mokta sira. Anuli dhinarmeng Katang lumbang. Linanira i çaka 1172.
Setelah sore hari, orang-orang dari kedua belah pihak datang membawa teman-temannya bersama-sama menghadap kepada kedua bangsawan. Mereka berdua saling mengucapkan selamat datang lalu berangkat menyerbu ke dalam istana. Apanji Tohjaya sangat terperanjat, lari secara terpisah, sekaligus kena tombak. Sesudah huru-hara berhenti, ia dicari oleh para abdinya. Panji Tohjaya diusung dan dibawa lari ke Katanglumbang. Orang yang mengusung itu terlepas cawatnya, tampaklah bagian pantatnya. Kata Apanji Tohjaya kepada orang yang memikul itu, “Perbaikilah cawatmu, karena tampak pantatmu.” Itulah sebabnya Apanji Tohjaya tidak lama menjadi raja karena pantat itu. Setelah datang di Katanglumbang, Apanji Tohjaya wafat lalu dipusarakan di Katanglumbang. Ia wafat pada tahun Saka 1172.
IV
Tumuli sira Rangga wuni angadeg ratu. Kadi naga roro saleng lawan sira Mahisa Campaka. Sira Rangga wuni abhiseka Wisnuwarddhana karatunira, sira Mahisa Campaka dadi ratu angabhaya, abhiseka bhatâa Narasinga. Atyanta patutira, tan hana wiwal. Bhatâra Wisnuwardhana angadegaken kuta ring Canggu lor, i çaka 1193. Mangkat sira amerep ing Mahibit, angilangaken Sang Lingganing Pati. Sangkaning Mahibit alah, linebon wong aran sira Mahisa Bungalan. Pañjenengira çrî Rangga wuni ratu tahun 14, moktanira 1194, dhinarma sira ring Jajagu. Sira Mahisa Campaka mokta, dhinarma ring Kumeper, pamelesatanira ring Wudi Kuñcir.
Kemudian Ranggawuni menjadi raja. Ranggawuni dengan Mahisa Campaka dapat diumpamakan seperti dua ular naga dalam satu lubang. Ranggawuni dengan nama nobat Wisnuwarddhana demikanlah gelarnya sebagai raja sedangkan Mahisa Campaka menjadi Raja Angabhaya dengan nama nobat Bhatara Narasinga. Mereka berdua sangat rukun dan tidak pernah berpisah. Bhatara Wisnuwarddhana mendirikan benteng di sebelah utara Canggu pada tahun Saka 1193. Ia berangkat menyerang Mahibit untuk melenyapkan Sang Lingganing Pati. Adapun penyebab kekalahan Mahibit adalah karena disusupi orang yang bernama Mahisa Bungalan. Sri Ranggawuni menjadi raja lamanya empat belas tahun. Ia wafat pada tahun Saka 1194 dan dipusarakan di Candi Jago. Mahisa Campaka wafat dipusarakan di Kumeper dan sebagian abunya dipusarakan di Wudi Kuncir.
V
Çri Rangga wuni atinggal putra lanang, aran çri Kertanagara, sira Mahisa Campaka atinggal putra lanang, aran Raden Wijaya. Siraji Kertanagara sira añjeneng prabhu, abhiseka Bhatara Çiwabuddha.
Sri Ranggawuni meninggalkan seorang anak laki-laki bernama Sri Kertanegara sedangkan Mahisa Campaka meninggalkan seorang anak laki-laki juga, namanya Raden Wijaya. Kertanegara menjadi Raja dengan nama nobat Bhatara Siwabuddha.
Hana ta wongira, babatanganira buyuting Nangka, aran Bañak Wide, sinungan pasenggahan Arya Wiraraja, arupa tan kandel denira, dinohaken, kinon adhipatia ring Sungeneb, anger ing Madura wetan. Hana ta patihira nduk mahu añjeneng prabhu, puspapata sira Mpu Raganatha, nityasa angaturi rahayuaning tuhan, tan kedep denira çri Kertanagara, sangkanira Mpu Raganatha asalah linggih mantu apatih, ginanten denira Kebo Tengah sang apañjy Aragani. Sira Mpu Raganatha gumanti dadi adhyaksa ri Tumapel.
Ada seorang abdi keturunan sesepuh Nangka bernama Banyak Wide dengan sebutan Arya Wiraraja. Rupa-rupanya Arya Wiraraja ini tidak dipercaya oleh raja sehingga dijatuhi hukuman dengan diberi jabatan menjadi Adipati di Sumenep bertempat tinggal di Madura sebelah timur. Ada Patihnya pada waktu Arya Wiraraja baru saja naik tahta kerajaan bernama Mpu Raganatha. Mpu Raganatha ini selalu memberi nasihat untuk keselamatan raja namun tidak dihiraukan oleh Sri Kertanegara. Karenanya itu Mpu Raganatha lalu meletakkan jabatan dan tidak lagi menjadi Patih. Kedudukannya digantikan oleh Kebo Tengah Sang Apanji Aragani. Jabatan Mpu Raganatha diganti menjadi adyaksa di Tumapel.
Sanpañjeneng çri Kertanagara angilangaken kalana aran Bhaya. Huwusing kalana mati, angutus ing kawulanira, andona maring Malayu. Samangka akedik kari wong Tumapel, akeh kang katuduh maring Malayu. Sirapañjy Aragani angateraken, mangsul ing Tuban, teka ring Tumapel sang apañjy Aragani angaturi tadahan pratidina, akasukan siraji Kertanagara. Hana ta pasawalanira lawan siraji Jayakatwang ratu ring Daha, pinakamusuhira siraji Kertanagara, kemper pangaladeçaning çatru, tan enget yan dosanira.
Sepanjang pemerintahan Sri Kertanegara, Mpu Raganatha telah memerintahkan untuk melenyapkan seorang kelana bernama Baya. Sesudah kelana itu mati, ia memberi perintah kepada abdinya untuk menyerang Melayu. Pada waktu itu banyak prajurit Tumapel yang terbunuh oleh prajurit Melayu. Apanji Aragani mengantarkan pulang sampai ke Tuban. Ketika sampai di Tumapel Sang Apanji Aragani menyediakan makanan setiap hari, Raja Kertanegara merasa senang. Ada perselisihan antara Raja Kertanegara dengan raja Jayakatwang. Raja Daha ini menjadi musuh Kertanegara karena lengah terhadap usaha musuh yang sedang mencari kesempatan dan ketepatan waktu, ia tidak memikir kesalahannya.
Sira Bañak Wide atuwuh patang puluh tiga duk pamalaya, amitra lawan siraji Jayakatwang, asurawean akenkenan saking Madura sira Bañak Wide apasenggahan Arya Wiraraja, mangkana siraji Jayakatwang autusan maring Madura. Sira Wiraraja akirim surat dateng i siraji Jayakatwang. Unining sawalan, “Pukulun, patik aji matur ing paduka aji anenggeh paduka aji ayun abuburu maring tegal lama, mangke ta paduka aji abuburua, duweg kaladeçanipun tambonten wonten baya, tambonten macanipun, tambonten bantengipun, muwah ulanipun, rinipun, wonten macanipun anging guguh.” Sang apatih tuha sira Mpu Raganatha kang ingaran macan guguh, apan sampun atuha.
Banyak Wide berusia empat puluh tahun pada peristiwa Ekspedisi Pamalayu itu. Ia berteman dengan raja Jayakatwang. Banyak Wide yang bergelar Arya Wiraraja itu berasal dari Madura mengadakan hubungan dengan saling berkirim utusan. Demikian juga raja Jayakatwang berkirim utusan ke Madura. Wiraraja berkirim surat kepada raja Jayakatwang, bunyi surat, “Tuanku, patik baginda bersembah kepada paduka raja. Jika paduka raja bermaksud akan berburu di tanah lapang lama, hendaknya paduka raja sekarang pergi berburu. Ketepatan dan kesempatan saat ini adalah baik sekali, tidak ada bahaya yang mengancam karena tidak ada harimau, tidak ada banteng, dan tidak ada ularnya begitupun tumbuhan berdurinya. Memang ada harimau tetapi tidak bergigi.” Biarkan Patih tua Raganatha (Ramapati) itu yang dinamakan harimau tidak bergigi karena sudah tua.”
Samangka siraji Jayakatwang mangkat amerep ing Tumapel. Sañjata kang saka loring Tumapel wong Daha kang alaala, tunggul kalawan tatabuhan penuh, rusak deça saka loring Tumapel, akeh atawan kanin kang amamerangaken. Sañjata Daha kang amarga lor mandeg ing Memeling.
Waktu itu raja Jayakatwang berangkat hendak menyerang Tumapel. Tentaranya yang berasal dari sebelah utara Tumapel terdiri dari prajurit-prajurit yang kurang terlatih. Umbul-umbul dan bunyi-bunyian penuh, rusaklah wilayah yang berada di sebelah utara Tumapel. Mereka yang berusaha melawan banyak yang tertangkap dan menderita luka. Tentara Daha yang melalui jalan utara itu berhenti di Memeling.
Sira Bhatara Çiwabuddha pijer anadah sajöng, ingaturan yan pinerep saking Daha, apahido sira, lagi amijilaken andika, “Kadi pira siraji Jayakatwang mongkonoa ring isun, apan sira huwus apakenak lawan isun.” Duk angaturaken kang atawan kanin, samangka sira mintuhu. Samangka Raden Wijaya tinuduh amaguta sañjata kang saka loring Tumapel ingiring denira arya dikara sira Bañak Kapuk, sira Rangga Lawe, sira Pedang, sira Sora, sira Dangdi, sira Gajah Pagon, anakira Wiraraja aran sira Nambi, sira Peteng, sira Wirot, sañjata abecikbecik, kang anangkis sañjata Daha bubuhan lor, sama amuk, rampak, kapalayu wong Daha kang metu saka lor, tinut binuru denira Raden Wijaya. Dadi tumedun sañjata agung saking Daha kang saking pinggir Aksa anujw ing Lawor, tan wineh humunga, tan amawa tunggul nguniweh tatabuhan, teka ring Siddhabhawana añjugjug ring Singhasari pisan. Patih ring Daha sira Kebo Mundarang, sira Pudot, sira Bowong pinakadining sañjata Daha saka kidul. Sedengira Bhatara Çiwabuddha anadah sajöng lawan apatih, nduk sira kaparajaya sama sira angemasi, sira Kebo Tengah apulih, mati ring Manguntur.
Bhatara Syiwa Buddha senantiasa meminum minuman keras. Beliau diberi tahu bahwa kerajaan akan diserang oleh Daha namun ia tidak percaya. Bhatara Syiwa Buddha selalu mengucapkan kata, “Bagaimana bisa raja Jayakatwang berbuat demikian terhadap kami? Bukankah ia telah baik dengan kami.” Setelah orang membawa beberapa prajurit yang terluka, barulah ia percaya. Sekarang Raden Wijaya ditugaskan untuk berperang melawan tentara Daha yang datang dari sebelah utara Tumapel disertai oleh para arya terkemuka seperti Banyak Kapuk, Rangga Lawe, Pedang Sora, Dangdi, Gajah Pangon, anak Wiraraja yang bernama Nambi, Peteng, dan Wirot, mereka semua tergolong prajurit yang baik. Mereka melawan tentara Daha di bagian utara, dikejar dan diburu oleh Raden Wijaya. Kemudian turunlah tentara secara besar-besaran dari Daha yang datang dari tepi sungai Aksa menuju ke Lawor. Mereka tidak diperbolehkan membuat gaduh, tidak boleh membawa bendera, apalagi bunyi-bunyian. Sedatangnya di Sidabawana langsung menuju Singasari. Yang menjadi prajurit utama dari tentara Daha sebelah selatan ini adalah Patih Daha yang bernama Kebo Mundarang, Pudot, dan Bowong. Ketika Bhatara Syiwa Buddha sedang minum-minuman keras bersama-sama dengan patih, pada waktu itulah ia dapat dikalahkan. Semuanya gugur, Kebo Tengah yang melakukan pembalasan tewas di Manguntur.
VI
Raden Wijaya sira tinuturaken magalor, ingaturan yan Bhatara Çiwabuddha mokta dening sañjata Daha anduni saka kidul, pun patih tuha sampun angemasi, sama umiringi talampakanira bhatara. Samangka Raden Wijaya mangsul, sakawulanira sama apapalayon maring Tumapel. Tekanira ring Tumapel amapulihaken tanpantuk, gumanti sira kabalik, binuru tinut denipun Kebo Mundarang, sumengka Raden Wijaya angungsi ri sawah miring, paksanipun Kebo Mundarang anduka ring Buntal. Raden Wijaya amañcal sisingkalaning amuluku, dadanipun Kebo Mundarang tekeng mukanipun kebek enduk, mundur tur angucap, “Aduh tuhu yan dewa si pakanira raden.” Samangka Raden Wijaya adum lañcingan giringsing ring kawulanira sawiji sowang, ayun sira angamuka. Kang dinuman sira Sora, sira Rangga Lawe, sira Pedang, sira Dangdi, sira Gajah. Sira Sora anempuh, akeh longing wong Daha. Aturira Sora, “Mangke pangeran pakanira anempuha, kaladeçanipun mangke.”
Raden Wijaya yang diceritakan sedang bertugas menghadang pasukan dari sebelah utara tersebut diberi tahu bahwa Bhatara Syiwa Buddha wafat karena serbuan tentara Daha dari selatan. Patih tua Raganatha juga telah gugur, semua mengikuti jejak bhatara. Segera Raden Wijaya kembali beserta para abdinya yang setia melarikan diri ke Tumapel. Raden Wijaya melakukan pembalasan namun tidak berhasil bahkan terbalik dikejar dan diburu oleh Kebo Mundarang. Raden Wijaya naik ke atas mengungsi di Sawah Miring. Maksud Kebo Mundarang akan menusuknya dengan tombak. Raden Wijaya menyepak tanah bekas bajakan, dada Kebo Mundarang sampai wajahnya penuh lumpur. Kebo Mundarang mundur sambil berkata, “Aduh, benar-benar dewalah tuanku ini.” Sekarang Raden Wijaya membagi-bagi cawat, kain ikat berwarna merah, diberikan kepada para abdinya, setiap orang mendapat satu helai. Raden Wijaya bertekad untuk mengamuk. Yang mendapat bagian ialah Lembu Sora, Rangga Lawe, Pedang, Dangdi, dan Gajah Sora, Dengan cepat mereka menyerang. Banyak prajurit Daha yang mati dalam penyerangan itu. Kata Lembu Sora, “Sekarang ini, tuan hendaknya menyerang. Sekaranglah kesempatan dan saat yang baik.”
Anempuh Raden Wijaya. Mangkin akeh longing wong Daha, tur mundur kalangan wengi, tumuli akuwu. Sedeng sireping wong tinut ingamuk manih denira Raden Wijaya, samangka bubar wong Daha, akeh wong kena ring tumbaking samarowangipun aridu wong palajenging wong Daha.
Raden Wijaya dengan cepat menyerang, maka semakin banyak prajurit Daha yang mati. Mereka lalu mundur terhalang gelapnya malam, akhirnya mendirikan kemah. Pada waktu sunyi dan orang telah tidur, mereka dikejar dan diamuk lagi oleh Raden Wijaya. Saat itu prajurit Daha bubar, bahkan banyak yang tertusuk oleh tombak temannya sendiri. Prajurit Daha itu berlari kerepotan.
Wonten ta putrinira Bhatara Çiwabuddha sama istri kalih siki, jaga panggihakena lawan Raden Wijaya denira Bhatara Çiwabuddha, kalih sira kajarah dening wong Daha, rahaden istri sira sang anom apisah lawan sira sang panuha tan tunggal paranira malajeng. Weting Daha ta ridu dening pangamukira Raden Wijaya.
Bhatara Syiwa Buddha mempunyai dua orang anak perempuan, mereka akan dinikahkan dengan Raden Wijaya. Demikianlah maksud Bhatara Syiwa Buddha itu namun keduanya ditawan oleh prajurit Daha. Puteri yang muda terpisah dengan puteri yang tua, pelarian mereka tidak menjadi satu arah sehubungan dengan kerepotan prajurit Daha yang disebabkan oleh amukan Raden Wijaya.
Kalaning wengi, wonten ta balemaning wong Daha murub ageng urubipun. Kapanggih raden istri panuwa irika, katinghalan sira denira Raden Wijaya, enget yen raden yayistri panuha. Mangkin ta denira sambut denira Raden Wijaya, tur angandika ring sira Sora, “Sora, lah ta”, angungsed, “angamuk maneh, malar katemua yayi sira sang anom.” Matur sira Sora, “Sampun dewa, apan si(ra) rayi pakanira panuha sampun kapanggih, pira si katahing kawula-pakanira puniki.” Sahuring Raden Wijaya, “Iya denira iku.” Samangka sira Sora matur maneh, “Duweg, pukulun pakanira mundura, apan yan amaksakena angamuk sirantuka, leheng, lamun sira rayipakanira anom kapanggih, yen tan kapanggih kadi lalaron anggepok damar.” Samangka sira mundur, raden yayistri sira ingemban, saratri sira lumaku mangalor, esuk sira tinututan dening wong Daha, katututan sira kiduling Talaga pager. Wongira sama aganti angareni aprang angandeng ing wong Daha.
Pada waktu malam hari, ada api unggun prajurit Daha yang menyala dengan besar. Bertemulah mereka dengan istri yang tua dan terlihatlah oleh Raden Wijaya. Raden Wijaya mengenali bahwa wanita itu adalah puteri yang tua. Mereka segera disambut oleh Raden Wijaya, lalu berkata, “Nah, Lembu Sora. Marilah mendesak dan mengamuk lagi agar dapat bertemu dengan puteri muda.” Lembu Sora berkata, “Jangan dulu paduka, bukankah adik paduka yang tua sudah tuan temukan. Berapakah jumlah abdi paduka sekarang ini.” Jawab Raden Wijaya, “Justru karena itu.” Maka Lembu Sora berkata lagi, “Lebih baik paduka mundur saja karena kalau memaksa mengamuk dan seandainya berhasil itu baik kalau adik paduka yang muda dapat ditemukan, namun kalau tidak dapat ditemukan, kita akan seperti laron menyentuh pelita.” Sekarang mereka mundur, puteri bangsawan itu dipondong. Semalaman mereka berjalan ke arah utara. Keesokan harinya mereka dikejar oleh prajurit Daha akhirnya terkejar disebelah selatan Talaga Pager. Prajurit-prajuritnya silih berganti yang tinggal di belakang berperang untuk menghentikan prajurit Daha.
Sira Gajah Pagon katumbak pupune trus, anghing kawasa lumaku. Andikanira Raden Wijaya, “Gajah Pagon kawaça sira lumaku, lamun tan kawaça, lah pada angamuk.” “Kawaça manira, pangeran, anging alonlonan.” Wong Daha tan patya denipun anut ing sira, awekasan mangsul ing Talaga Pager. Raden Wijaya angayam alas lawan kawulanira sakehing angiring, sama aganti angemban ing raden yayistri, wekasan kawulanira abhawarasa, anggunita tingkahanira Raden Wijaya. Sampun putusing çabda, sama akembalan atur, “Pukulun, aturing kawula-pakanira samadaya, punapa ta wekas-pakanira puniki, kang angayam alas, kahayuning kawula-pakanira samadaya apened yan pakanira datenga ring Madura wetan, pakanira angungsia ri pun Wiraraja, malar kenaha pakanira-paraçraya, kadi pira tanpawilasaha, apan marganipun agung denira sira rama-pakanira sira sang moktah.”
Gajah Pagon terkena tombak menembus pahanya namun masih dapat berjalan. Kata Raden Wijaya, “Gajah Pagon, masih dapatkah kamu berjalan. Kalau tidak dapat, mari kita bersama-sama mengamuk.” “Masih dapatlah hamba, paduka. Hanya saja hendaknya perlahan-lahan.” Prajurit-prajurit Daha kurang begitu semangat mengejarnya. Kemudian mereka kembali di Talaga Pager. Raden Wijaya masuk belukar keluar belukar seperti ayam hutan sedangkan para abdinya mengiring semua secara bergantian mendukung puteri bangsawan. Akhirnya para abdinya bermusyawarah membicarakan tentang keadaan Raden Wijaya. Setelah putus pembicaraannya, semuanya bersama-sama berkata, “Paduka, sembah para abdi paduka semua. Bagaimana akhir paduka yang masuk belukar dan keluar belukar seperti ayam hutan itu. Pendapat hamba semua, lebih baik paduka pergi ke Madura Timur. Hendaknya paduka mengungsi kepada Arya Wiraraja dengan harapan ia dapat dimintai bantuan. Tidak mungkin Arya Wiraraja tidak menaruh belas kasihan kepada paduka. Bukankah ia dapat menjadi besar itu karena ayah paduka almarhum yang menjadi lantarannya.”
Lingira raden, “Iya iku lamun awilaça, mon tan awilaça, akeh deningsun awirang.” Sahurira Sora, sira Rangga Lawe, sira Nambi, sama akedö sahur manuk, “Pukulun, kadi pira pun Wiraraja palingaha pangeran.” Ya ta sangkanira raden ahidep ing aturing kawulanira. Sah sira saking jero alas, teka ring Pandakan, maring buyuting Pandakan aran Macan kuping.
Kata Raden Wijaya, “Iya, hal itu baik kalau beliau menaruh belas kasihan kepadaku. Namun kalau tidak menaruh belas kasihan, maka saya akan banyak mendapat malu.” Jawab Lembu Sora, Rangga Lawe, dan Nambi serentak dengan suara serentak, “Bagaimana dapat Wiraraja berpaling terhadap paduka.” Itulah sebabnya Raden Wijaya menurut kata-kata abdinya. Mereka keluar dari dalam hutan. Sesampainya di Pandakan, mereka menuju ke sesepuh di Pandakan, bernama Macan Kuping.
Rahaden Wijaya sira amalampah ingaturan sedengan, ingaturan tinadah toyanipun, duk bineñcah esi sekul putih. Agawok kang tumon. Ujaring wong, “Pelang dahat, apan tan hana duwegan a-isi sekul.” Sira Gajah Pagon tan kawaça lumaku, andikanira Raden Wijaya, “Buyuting Pandakan, ingsun atuwawa wong sawiji, Gajah Pagon tan bisa lumaku, didine ring sira.” Ujaring wong Pandakan, “Duh gawe ala si pukulun, yen kapanggiha iriki pun Gajah Pagon, masa wontena kawula samering Pandakan, kahayuning kawula didinipun wonten ing kubon alas, pangaritaritan alalang, binengang ing tengah, pinakaryaken gubug, asepi tan wonten kawula sapeksa, kawula Pandakan asunga tedanipun nangken dina.” Kantun sira Gajah Pagon. Raden Wijaya anuli maring Datar amemengi. Tekeng Datar anulumpak ing parahu. Sañjata Daha mantuk. Raden yayistri sira sang anom tulus kajarah maring Daha, katur ing siraji Jayakatwang. Suka ingaturan moktanira Bhatara Çiwabuddha. Raden Wijaya anabrang mangalor, tumurun sira saking parahu, kawengen ing tengahing sawah ring deça paminggiring Sungeneb. Angrereb ing sawah lalahan mentas ginaru, galengipun anipis. Samangka ta sira Sora aturu kumureb, lininggihan denira Raden Wijaya lawan raden yayistri.
Raden Wijaya berjalan dan meminta diberi kelapa muda untuk diminum airnya. Ketika kelapa itu dibelah ternyata berisi nasi putih. Heranlah yang melihat itu. Kata prajurit, “Benar-benar ajaib. Bukankah belum pernah ada kelapa muda berisi nasi putih.” Mereka berniat melanjutkan perjalanan, namun Gajah Pagon tidak dapat berjalan lagi. Kata Raden Wijaya, “Sesepuh Pandakan, saya menitipkan satu orang. Gajah Pagon ini tidak dapat berjalan. Hendaknya ia tinggal di tempatmu.” Kata orang Pandakan, “Aduh, paduka. Itu akan tidak baik kalau sampai Gajah Pagon ditemukan berada di sini. Tidak mungkin ada abdi Pandakan yang menyetujui kehendak hamba ini. Biarlah ia berada di dalam pondok di hutan saja atau di tengah ladang tempat orang menyabit ilalang. Setelah ladang itu dibersihkan lalu dibuatkan sebuah dangau. Keadaannya sunyi, tidak ada seorang abdi pun yang mengetahui. Abdi di Pandakan nanti yang akan memberi makan setiap hari.” Gajah Pagon lalu ditinggalkan. Raden Wijaya selanjutnya menuju ke Datar pada waktu malam hari. Sesampainya di Datar lalu naik perahu. Tentara Daha lalu kembali pulang. Puteri yang muda masih terus ditawan dan dibawa ke Daha untuk dipersembahkan kepada raja Jayakatwang. Ia senang diberi tahu tentang wafatnya Bhatara Syiwa Buddha. Raden Wijaya menyeberang ke Utara. Setelah turun dari perahu mereka berjalan ke tengah sawah di sebuah desa di perbatasan Sumenep. Mereka bermalam di tengah sawah yang baru saja habis dipanen sehingga pematangnya tipis. Lembu Sora lalu berbaring menelungkup dan punggungnya diduduki oleh Raden Wijaya dan puteri bangsawan.
Ring eñjang sira lumaju maring Sungeneb, areren ing bale pañjang. Wongira kinen atitilika, yen wonten sira Wiraraja sineba. Mangsul kang atilik apan sira Wiraraja wonten sineba. Mangkat rahaden Wijaya maring pasebanira Wiraraja. Sadatengira raden ing paseban, sira Raden Wijaya tininghalan denira Wiraraja, kaget sira Wiraraja tumon ing rahaden, tumurun sira Wiraraja tur anuli mantuk, dateng ing pagerhan, aluwaran sineba. Kanggek twasira Raden Wijaya, angandika ring sira Sora, sira Rangga Lawe, “Lah paran si ujarisun, akeh denisun awirang, baya luhung isun angemasana pati duk angamuk ika.” Anuli sira dateng ing bale pañjang, wekasan dateng sira Wiraraja marek arantaban sagerha, makadi pinatihira, prasama anampa sedah woh. Aturira Rangga Lawe, “Pukulun, dede ta pun Wiraraja punika mangkin marek.” Samangka iccha twasira raden. Ken pinatih angaturi sedah ring raden yayistri, sira Wiraraja angaturi sedah ring raden lanang. Sira Wiraraja angaturi dumununga ring gerha kadipaten. Raden yayistri anitihi gilingan, rabinira Wiraraja kabeh sami adarat, angiring ing raden istri, sira Wiraraja angiring ing Raden Wijaya. Teka ring kadipaten anuli miñjero, dinunungaken ing paturonira Wiraraja. Raden Wiraraja pinarek ing wijil pingrwa denira Wiraraja sambi atutur kamoktanira bhatara sang lumah ring panadahan sajeng, malih atutur pangamukira ring wong Daha.
Pagi harinya mereka melanjutkan perjalanannya ke Sumenep dan beristirahat di sebuah balai panjang. Para abdi disuruh mengamati, barangkali Arya Wiraraja sedang duduk dihadap para abdinya. Kembalilah mereka yang disuruh itu. Memang Wiraraja sedang dihadap. Berangkatlah Raden Wijaya menuju tempat Wiraraja dihadap oleh abdinya. Wiraraja terperanjat melihat kedatangan Raden Wijaya lalu turun dan masuk ke dalam rumah, maka bubarlah yang menghadap. Terhenti hati Raden Wijaya berkata kepada Lembu Sora dan Ranggalawe, “Nah, apa aku bilang. Saya sangat malu, lebih baik aku mati pada waktu aku mengamuk dahulu itu.” Maka ia kembali ke balai panjang, sesaat kemudian Arya Wiraraja datang menghadap berduyun-duyun bersama seisi rumah terutama isterinya. Mereka menghadap secara bersama-sama membawa sirih dan pinang. Kata Ranggalawe, “Nah, tuanku. Bukankah itu Arya Wiraraja yang datang menghadap kemari.” Maka senanglah hati Raden Wijaya. Isteri Adipati mempersembahkan sirih kepada Raden Wijaya. Arya Wiraraja mempersilakan agar Raden Wijaya masuk ke tempat tinggal adipati. Sang puteri bangsawan naik kereta sedangkan isteri Arya Wiraraja semua berjalan kaki mengiring puteri bangsawan itu dan Arya Wiraraja mengiring Raden Wijaya. Setelah datang di rumah adipati kemudian masuk ditunjukkannya tempat tidur Arya Wiraraja. Raden Wijaya menghadap di dalam balai nomor dua sebelah luar, Wiraraja menceriterakan bagaimana riwayat kematian Sang Bhatara Siwa Buddha di saat tengah minum-minuman keras. Wiraraja juga menceriterakan bagaimana ia mengamuk prajurit Daha.
Matur sira Wiraraja, “Mangke si rahaden punapa kayun-pakanira.” Sumahur sira rahaden Wijaya, “Isun amalaku sinakuta ring sira, yen hana pawilaçanira.” Aturira Wiraraja, “Sampun pakanira walang ati, anghing depun-alon ugi.” Tur sira Wiraraja angaturi lumajua mantuk maring dalem. Samangka sira Wiraraja angaturi wastra sabuk siñjang, sama tinampa dening rabinira, makadi ken pinatih. Andikanira raden, “Bapa Wiraraja, tan sipi gunge hutangisun ing sira, mun katekan sadhyanisun, isun-parone tembe bhumi Jawa, sira amuktia sapalih, isun kang sapalih.” Aturira Wiraraja, “Sawadinipun, pukulun, lamun pakanira jumenenga ugi.” Mangkana samayanira raden kalawan sira Wiraraja. Atyanta pangupakaranira Wiraraja ring raden, pratidina angaturi tadah, tan ucapakena denira angaturi tadah sajeng.
Berkatalah Arya Wiraraja, “Sekarang, apakah yang menjadi kehendak raden?” Raden Wijaya menjawab, “Saya hanya minta persekutuanmu. Jika sekiranya ada belas kasihanmu.” Sembah Arya Wiraraja, “Janganlah tuanku khawatir, namun hendaknya paduka bertindak perlahan-lahan.” Selanjutnya Arya Wiraraja mempersilakan kembali masuk. Sekarang Arya Wiraraja mempersembahkan kain, sabuk dan sinjang semuanya dibawa oleh isterinya, terutama isteri pertamanya. Kata Raden, “Bapa Wiraraja, tidak berkurang hutangku kepadamu, jika tercapailah tujuanku, tanah Jawa nanti akan kubagi menjadi dua. Hendaknya kamu memperoleh setengah dan saya setengah.” Kata Arya Wiraraja, “Bagaimana tuanku saja, asal tuanku dapat menjadi raja saja.” Demikianlah janji Raden Wijaya kepada Arya Wiraraja. Luar biasa pelayanan Arya Wiraraja terhadap Raden Wijaya. Setiap hari mempersembahkan makanan, tidak perlu dikatakan bagaiman ia mempersembahkan minuman keras.
Alama Raden Wijaya haneng Sungeneb. Irika ta sang Arya Wiraraja matur, “Pangeran, manira angambil upaya, pakanira sewakaha ugi ring siraji Jayakatwang, pakanira apiapia aneda ingapura, abhasa anungkul, lamun ugi siraji Jayakatwang ayun pakanira-sewaka, pakanira angera ring Daha sakarengan, lamun pakanira arupa ingandel, wonten ta alasing wong Trik pakanira-tedaha ring siraji Jayakatwang, pakanira-tarukaha, kawula Madura kang ababad anaruka, apedek parantunaning kawula Madura marek ing pakanira. Don-pakanira asewaka punika ta pakanira-ingetakena wongira siraji Jayakatwang kang tuhu, kang wani, kang jejerih, kang bisa makadi buddhinipun Kebo Mundarang, pakanira-kawruhana, sampun katepas kabeh, pakanira amita anghera ring antuking kawula Madura anaruka alasing wong Trik, pakantukipun ta manih manawi wonten kawula-pakanira kang saking Tumapel, mantuk manih marek ing pakanira, pakanira-tanggapana, yadyan kawula saking Daha ayun angungsi ring pakanira, pakanira kekehana, yan sampun kawawa sañjata Daha den-pakanira. Mangke manira akirim atur ing siraji Jayakatwang.”
Lama Raden Wijaya tinggal di Sumenep. Di suatu hari Arya Wiraraja berkata, “Pangeran, hamba akan mengambil muslihat. Hendaknya paduka pergi mengabdi kepada Raja Jayakatwang. Hendaknya tuan berpura-pura meminta maaf dengan kata-kata yang terkesan tunduk. Kalau raja Jayakatwang tidak berkeberatan tuan mengabdi kepadanya, hendaknya tuan segera pindah ke Daha. Kalau rupanya sudah dipercaya, hendaknya tuan minta hutan Terik kepada raja Jayakatwang. Hendaknya tuan membuat desa di situ. Para abdi Maduralah yang akan menebang hutan Terik untuk dijadikan desa. Tempat para abdi Madura yang menghadap tuanku jaraknya dekat. Adapun maksud tuanku mengabdi itu supaya paduka dapat mengamati siapa prajurit raja Jayakatwang yang setia, yang berani, yang penakut, dan yang pandai. Yang terutama, hendaknya paduka ketahui sifat-sifat Kebo Mundarang. Sesudah itu semua kekuatan mereka dapat diukur maka hendaknya tuanku mohon diri pindah ke hutan Terik yang sudah diubah menjadi desa oleh para abdi Madura itu. Masih ada perlunya lagi, yaitu, “Jika ada para abdi tuanku yang berasal dari Tumapel ingin kembali mengabdi lagi kepada tuan, hendaknya tuan terima begitu pula para abdi dari Daha. Jika mereka ingin mencari perlindungan kepada paduka, maka hendaknya paduka lindungi. Jika semua itu sudah berjalan, maka tentara Daha tentu terkuasai oleh paduka. Sekarang hamba akan berkirim surat kepada raja Jayakatwang.”
Mangkat kang kinon angaturakena sawalan, anabrang mangidul, tekeng Daha marek ing siraji Katong, angaturaken surat. Unining surat, “Pukulun, atur patik aji, denira sira potraka paduka aji, aneda ingapura, ayun anungkul ing paduka aji, punika ta depun-kawruhanandika paduka aji, yan suka lawan tan suka.” Andikaniraji Katong, “Paran tan sukahaningong yan kaki arsa Wijaya ahidepa iringong”, tur kinon muliha kang utusan, amawandikanira. Satekaning utusan asrah andika, sampun winaca ring ayunira raden, ring ayunira Wiraraja. Suka sira Wiraraja. Samangka Raden Wijaya mantuk maring Jawa, ingiring dening kawulanira, ingateraken dening wong Madura, sira Wiraraja angateraken mangsul ing Terung. Tekeng Daha enak denira asewaka ring siraji Katong, kinasihan.
Berangkatlah orang yang disuruh oleh Arya Wiraraja untuk mengantarkan surat. Ia menyeberang ke selatan. Sesampainya di Daha kemudian menghadap raja Jayakatwang dan menyampaikan surat itu. Adapun bunyi surat itu, “Tuanku, patik raja memberi tahu bahwa Raden Wijaya cucu paduka raja memohon ampun, ingin takluk kepada paduka raja. Hal itu hendaknya paduka raja maklumi. Terserah apakah diperkenankan atau tidak diperkenankan oleh paduka.” Kata Raja Jayakatwang, “Mengapa kami tidak senang kalau ananda Wijaya akan mengabdi kepadaku.” Selanjutnya disuruh kembalilah utusan itu untuk menyampaikan kata-katanya. Setelah utusan datang lalu berkata, “Surat telah dibaca di hadapan Raden Wijaya dan di hadapan Wiraraja. Wiraraja merasa senang. Secepatnya Raden Wijaya kembali ke Pulau Jawa diiring oleh para abdinya dan diantarkan oleh prajurit Madura. Wiraraja juga mengantarkan kembali ke Terung. Setelah sampai di Daha, ia dengan tenang dapat menghadap raja Jayakatwang yang sangat dicintai.
Datengira ring Daha amenangi Galungan, wongira kinon asasaramaha saking dalem, henti gawoking sang mantri ring Daha tumon, rehing sama abecikbecik, kang pinakadi sira Sora, sira Rangga Lawe, sira Nambi, sira Pedang, sira Dangdi, sama malayu ring pasasaramaning Manguntur ing Daha. Gumanti mantri ring Daha malayu, kang pinakadi prajurit aran sira Panglet, lawan sira Mahisa rubuh, sira patih Kebo Mundarang, katelu pada kasoran palayunipun denira Rangga Lawe lawan sira Sora. Alama siraji Katong angenaken susudukan, “Kaki Arsa Wijaya, lah reke sirasusudukana, isun ayun aniningalana, mantrinisun pinakalawanira.” Aturira raden, “Singgih pukulun.” Atangkep kang susudukan, antyanta ramening tatabuhan, kang aniningal penuh tanpaligaran, asri kapalajeng wongiraji Katong.
Ketika ia sampai di Daha, kebetulan tepat pada hari raya Galungan, para abdinya disuruh oleh raja untuk mengambil bagian dalam pertandingan. Menteri-menteri Daha sangat heran, karena prajurit-prajurit itu semuanya cakap dalam berperang, terutama Lembu Sora, Rangga Lawe, Nambi, Pedang, dan Dangdi, mereka bersama-sama berlari ke tempat pertandingan di Manguntur negara Daha. Bergantilah menteri-menteri Daha yang lari, di antaranya seorang prajurit yang bernama Panglet, Mahisa Rubuh, dan Patih Kebo Mundarang. Mereka ketiga-tiganya kalah cepat larinya dengan Rangga Lawe dan Lembu Sora. Setelah acara berlangsung lama, Raja Jayakatwang mengadakan pertandingan tusuk menusuk, “Puteraku Arsa Wijaya, hendaknya kamu ikut bermain tusuk menusuk, aku ingin melihat menteri-menteri kami yang menjadi lawanmu.” Jawab Raden Wijaya, “Baiklah tuanku.” Bertandinglah mereka tusuk menusuk, riuh rendah suara bunyi-bunyian, orang yang menonton pun penuh sesak tidak ada selanya, prajutit-prajutit raja Jayakatwang sering kali terpaksa lari.
Andikaniraji Katong, “Aturana kaki arsa Wijaya, aja milu, sapa ta wong wani alawan gustine.” Awusan sira rahaden, mangkin tapapak patangkeping susudukan amburu-binuru, wekasan sira Sora anuju ring sira patih Kebo Mundarang, sira Rangga Lawe anuju ring sira Panglet, sira Nambi anuju ring sira Mahisa Rubuh, wekasan kapalayu sang mantri Daha dening wongira Raden Wijaya, tan hananing apulih, anuli awusan. Samangka Raden Wijaya sapeksa yan kasoran mantri Daha dening wongira. Tumuli akirim andika ring sira Wiraraja, tumuli sira Wiraraja awekas atur akon anedaha alasing wong Trik. Suka siraji Katong. Ya ta mulaning anaruka alasing wong Trik.
Kata raja Jayakatwang, “Sampaikan kepada ananda Arsa Wijaya, agar jangan ikut serta dalam pertandingan. Siapakah yang akan berani melawan tuannya.” Raden Wijaya berhenti, kini sepadanlah pertandingan tusuk menusuk itu, kejar mengejar, kemudian Lembu Sora menuju ke arah Kebo Mundarang, Rangga Lawe menuju Panglet dan Nambi menuju ke Mahisa Rubuh. Akhirnya menteri-menteri Daha itu terpaksa lari menghadapi prajurit Raden Wijaya, tidak ada yang mengadakan pembalasan, lalu bubar. Sekarang Raden Wijaya telah melihat bahwa menteri-menteri Daha dikalahkan oleh prajurit-prajuritnya. Lalu ia berkirim surat kepada Wiraraja. Selanjutnya Wiraraja menyampaikan pesan agar Raden Wijaya memohon hutan Terik. Raja Jayakatwang memperkenankan. Inilah asal usul orang mendirikan desa di hutan Terik.
Duk mahu tinaruka dening Madura, hana wong alapa kurang sangunipun ababad, amangan maja, kapahiten, sama depun-buñcal antukipun aruru maja punika, kasub yan wonten wohing maja dahat apahit rasanipun, singgih ta ingaran ing Majapahit. Sampun kawilang satingkah-polahing Daha denira raden. Ring Majapahit sampun arupa deça.
Ketika desa sedang dibuat oleh prajurit-prajurit Madura, ada prajurit yang kelaparan karena kurang perbekalannya pada waktu ia membabat hutan. Ia makan buah maja, ternyata rasanya pahit, buah maja yang diambilnya itu semuanya dibuang. Terkenallah bahwa buah maja itu rasanya pahit. Tempat itu lalu diberi nama Majapahit. Raden Wijaya telah dapat memperhitungkan keadaan Daha. Majapahit telah berupa desa.
Wongira Wiraraja asurawean maring Daha, aparantunan ing Majhapahit. Sira Wiraraja awekas atur ing raden, polahira amita ring siraji Katong. Samangka Raden Wijaya amit anghera ring Majhapahit. Suka siraji Katong katungkul dening sih, lawan bisanira raden asewaka, kadi tuhu.
Pengikut Arya Wiraraja yang mengadakan hubungan dengan Daha beristirahat di Majapahit. Arya Wiraraja berkirim pesan kepada Raden Wijaya, bagaimana cara berpamitan kepada Raja Jayakatwang. Segera Raden Wijaya meminta izin untuk pindah ke Majapahit. Raja Jayakatwang memperkenankannya. Ia lengah karena rasa sayang dan karena kepandaian Raden Wijaya dalam mengabdi itu seperti sungguh-sungguh.
Sasampunira Raden Wijaya angher ing Majapahit, asung sapeksa ring sira Wiraraja yan sampun kawawa sang mantra ring Daha denira, dening sakawulanira. Raden Wijaya angajak ing sira Wiraraja amerepeng Daha. Sira Wiraraja anayuti, angucap ing utusan, “Aja geru, hana upayanisun manih, matura sira ki pangalasanira ring sira pangeran, isun amitra lawan sang ratu ring Tatar, isun tawanane rajaputri, sira ta kaki pangalasanira, muliha mangke iki maring Majhapahit. Sapungkurira sun akirim surat maring Tatar, apan parahu saking Tatar mangke hana adagang merene. Hana parahunisun, sun-kon milua maring Tatar, angajak amerep ing Daha, lamun huwus kalah sang ratu ring Daha, hana rajaputri ring Tumapel hayu, sanusa Jawa tan hanamadani, irika akua ring ratu Tatar, iku pangapusisun ing ratu Tatar. Aturanira ring sira pangeran, malar tututa milu angalahaken Daha.”
Setelah Raden Wijaya pindah ke Majapahit, lalu memberi tahu kepada Arya Wiraraja, bahwa menteri-menteri Daha dan para abdinya semua telah dapat dikuasai olehnya. Raden Wijaya mengajak Arya Wiraraja menyerang Daha namun Wiraraja menahan. Arya Wiraraja berkata kepada utusannya, “Jangan tergesa-gesa, masih ada muslihat saya lagi. hendaknya kamu bersembah kepada pangeranmu, wahai utusan. Saya ini berteman dengan raja Tartar. Raja Tartar itu akan kutawari puteri bangsawan, hendaknya kamu, pulang ke Majapahit sekarang, wahai utusan. Setelah kamu pergi, saya akan berkirim surat ke Tartar. Ada perahu dagang dari Tartar yang sekarang sedang menuju kemari, ada juga perahuku yang akan aku suruh untuk ikut serta menuju ke Tartar, agar supaya menyampaikan ajakan menyerang Daha. Jika raja Daha telah takluk. Sampaikan kepada Raja Tartar bahwa ada putri-putri bangsawan di Tumapel yang kecantikannya tidak ada yang menyamai di seluruh pulau Jawa ini. Putri itu nantinya dapat dimiliki oleh raja Tartar, demikian itu penipuanku terhadap raja Tartar. Hendaknya kamu memberi tahu kepada Sang Pangeran, bahwasanya ini agar supaya raja itu mau ikut serta mengalahkan Daha.”
Mulih pangalasanira maring Majhapahit. Raden Wijaya suka ingaturan sawewekasira Wiraraja. Sapungkuring pangalasan, sira Wiraraja akonkonan maring Tatar. Sira Wiraraja angalih maring Majhapahit sagerha anggawa paprang saking Madura, sakehing wong Madura kang abecikbecik ginawa saha sañjata.
Utusan pun pulang kembali ke Majapahit. Raden Wijaya merasa senang ketika diberi tahu semua pesan Arya Wiraraja itu. Sesudah utusan itu pulang, Arya Wiraraja kemudian mengirim utusan ke Tartar. Wiraraja pun pindah ke Majapahit membawa seisi rumah dan tentara beserta perlengkapan perang dari Madura. Semua prajurit Madura yang cakap berperang dibawa beserta senjatanya.
Satekaning utusan saking Tatar amerep ing Daha. Sañjata saking Tatar ametoni saka lor, sañjata saking Madura lawan kang saking Majapahit metu saka wetan. Epuh siraji Katong, tan wruh kang jaganen. Ya ta binotan saka lor dening wong Tatar. Sira Kebo Mundarang, sira Panglet, sira Mahisa Rubuh, ajaga sañjata kang saka wetan. Sira Panglet mati denira Sora, sira Kebo Rubuh mati denira Nambi, sira Kebo Mundarang apagut lawan sira Rangga Lawe, kapalayu sira Kebo Mundarang, katututan ing lurah Trinipanti, mati denira Rangga Lawe. Angucap sira Kebo Mundarang ring sira Rangga Lawe, “Ki Rangga Lawe, hana anakingsun wadon, den-alapa dene ki Sora, gañjarane wani.” Siraji Jayakatwang anempuh mangalor asikep dadap karebut dening wong Tatar, apuhara kasikep, sira kapañjara dening wong Tatar.
Setelah datang utusan dari Tartar lalu menyerang Daha. Tentara Tartar keluar dari sebelah utara, sedangkan tentara Madura dan Majapahit keluar dari timur. Jayakatwang bingung, tidak tahu mana yang harus dijaga. Daha diserang dengan hebat dari utara oleh tentara Tartar. Kebo Mundarang, Panglet, dan Mahisa Rubuh menjaga serbuan tentara dari timur. Panglet tewas oleh Lembu Sora, Kebo Rubuh tewas oleh Nambi, dan Kebo Mundarang bertemu dengan Rangga Lawe. Merasa tersisih, terpaksa larilah Kebo Mundarang namun dapat dikejar di lembah Trinipati. Akhirnya Kebo Mundarang tewas oleh Rangga Lawe. Sebelum meninggal, Kebo Mundarang berpesan kepada Rangga Lawe, “Wahai Rangga Lawe, saya mempunyai seorang anak perempuan, hendaknya putriku itu diambil oleh Ki Lembu Sora sebagai anugerah dariku atas keberaniannya.” Raja Jayakatwang yang bertempur di Utara, bersenjatakan perisai, diserang bersama-sama oleh prajurit-prajurit Tartar, akhirnya tertangkap dan dipenjara oleh prajurit Tartar.
Raden Wijaya agelis mañjing ing jero kadatoning Daha, amalayoken ing raden yayistri sira sang anom. Anuli bhinakta maring Majapahit, satekanira ring Majhapahit teka wong Tatar amalaku rajaputri, apan sanggupira Wiraraja, yan huwus kalah ring Daha, angaturakena putri kang saking Tumapel kalih pisan. Ya ta kemengan sang mantra kabeh, angulati sanggupa manih. Angucap sira Sora, “Lah isun uga si angamukana ring wong Tatar yen maririki.” Sumahur sang Arya Wiraraja, “Singgih, kaki Sora, hana upayanisun manih.” Mangkin ta angulati sanggupa. Punika kang pinagunemakening mantri. Sanggupira Sora, “Pira antukaning angamukana wong Tatar.”
Raden Wijaya cepat-cepat masuk kedalam istana Daha untuk melarikan puteri bangsawan yang muda, kemudian dibawa ke Majapahit. Sedatangnya di Majapahit prajurit-prajurit Tartar datang untuk meminta puteri-puteri bangsawan karena Wiraraja telah menyanggupkan tentang itu jika Daha telah terkalahkan maka akan memberikan dua orang puteri bangsawan yang berasal dari Tumapel, dua-duanya. Maka bingunglah semua para menteri mencari-cari kesanggupan lain Arya Wiraraja. Lembu Sora berkata, “Nah, saya sendiri yang akan mengamuk bilamana prajurit Tartar datang kemari.” Arya Wiraraja menjawab, “Sesungguhnya, wahai buyung Lembu Sora, masih ada satu muslihatku lagi.” Maka dicari-carilah kesiapan lainnya. Itulah yang dimusyawarahkan oleh menteri-menteri. Lembu Sora menyatakan kesiapannya, “Tak seberapa kalau saya mengamuk pada orang-orang Tartar.”
Ring sore masa yan lingsir kulon wong Tatar teka amalaku rajaputri. Sahurira Wiraraja, “Sawong Tatar, hayo uga sira age-age, sang rajaputri lagi prihatin, apan kawus tumon ing sañjata duk kalahing Tumapel, makadi duk kalahing Daha, awedi temen yen aninghali sarwa lalandep, embesuk ta sinrahaken ing sira, winadahan pasagi pinikul ingupacara ring wastra, ingateraken maring parahunira, sangkaning winadahan pasagi denira alumuh tumona ring lalandep, kalawan ta kang ananggapi ring sang rajaputri, aja wong Tatar kang alaalane, wong kang becike, ajamawa sahaya, apan sanggupira sang rajaputri yen tumona ring sarwa lalandep, yadyan tekaha ring parahu, alabuh er sira, nora ta para hilang denira atoh pati yan sang rajaputri alabuha toya.”
Pada waktu sore hari waktu matahari sudah condong ke barat, prajurit-prajurit Tartar datang meminta puteri-puteri bangsawan sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Arya Wiraraja. Arya Wiraraja menjawab, “Wahai, pajurit-prajurit Tartar semua, janganlah kamu sekalian tergesa-gesa, puteri-puteri raja itu sedang sedih, karena telah cemas melihat tentara-tentara pada waktu Tumapel dikalahkan, lebih-lebih ketika Daha kalah. Mereka sangat takut melihat segala benda-benda yang serba tajam. Besok pagi saja mereka akan diserahkan kepada kamu. Mereka akan ditempatkan di dalam kotak dan diusung, dihias dengan kain-kain kemudian diantarkan ke perahumu. Adapun sebabnya mereka ditempatkan di dalam peti itu karena mereka segan melihat barang-barang yang tajam. Dan yang menerima puteri-puteri bangsawan itu, hendaknya jangan orang Tartar yang jelek, tetapi orang-orang yang bagus dan jangan membawa teman karena janji puteri-puteri bangsawan itu, kalau sampai terjadi melihat benda yang serba tajam, meskipun sudah tiba di atas perahu, mereka akan terjun ke dalam air. Bukankah akan sia-sia saja bahwasanya kalian telah mempertaruhkan jiwa itu jika puteri-puteri bangsawan ini sampai terjadi terjun kedalam air.”
Ahidep wong Tatar ingapus. Ujaring wong Tatar, “Abener dahat sabdanira puniku.” Tekaning samaya aserah rajaputri, dateng agebagan kang wong Tatar amalaku rajaputri, sama tan amawa lalandep. Teka ring jeroning lawang Bhayangkara, wong Tatar ingineban lawang kinuñcen ing jaba ring jero. Krisira Sora den-wulang ing pupune. Samangka den-amuk wong Tatar, denira Sora, telas padem. Sira Rangga Lawe angamuki kang ing jabaning panangkilan, tinut tekeng dunungane malayu maring sohaning Canggu, tinut pinaten.
Percayalah pajurit-pajurit Tartar ditipu dengan ucapan itu. Kata salah seorang prajurit Tartar, “Sangat betul ucapan tuan.” Sesudah datang saat perjanjian menyerahkan puteri-puteri bangsawan itu, pajurit-pajurit Tartar datang berbondong-bondong meminta puteri-puteri bangsawan, semua tidak ada yang membawa senjata tajam. Setelah mereka masuk ke dalam pintu bayangkara, pajurit-prajurit Tartar itu pintu ditutup, dikunci dari luar dan dari dalam. Lembu Sora telah menyelipkan keris pada pahanya. Sekonyong-konyong pajurit-prajurit Tatar diamuk oleh Lembu Sora sampai habis, mati semua. Ranggalawe mengamuk kepada mereka yang berada di luar balai tempat orang menghadap. Prajurit Tatar yang melarikan diri tetap dikejar sampai ketempat kemana saja mereka lari sampai ke muara Canggu namun tetap diikuti dan dibunuh.
Akara sapuluh dina teka kang andon saking Malayu, olih putri roro, kang sawiji ginawe binihaji denira Raden Wijaya, aran raden Dara petak, kang atuha aran Dara jingga, alaki dewa apuputra ratu ring Malayu, aran tuhan Janaka, kasirkasir çri Marmadewa, bhiseka siraji Mantrolot. Tunggal pamalayu lan patumapel i çaka resi-sanga-samadhi, 1197. Pangadeg aji Katong ratu ring Daha i çaka naga-muka-dara-tunggal, 1198. Teka ring Jung galuh aji Katong angapus kidung Wukir polaman, wusing angapus kidung moksa.
Kira-kira sepuluh hari kemudian, mereka yang pergi berperang datang dari Malayu. Mereka memperoleh dua orang puteri, yang seorang dinikahi oleh Raden Wijaya, yaitu yang bernama Dara Pethak, adapun yang tua bernama Dara Jingga menikah dengan seorang Dewa. Dara Jingga melahirkan seorang anak laki-laki bernama Tuan Janaka dan menjadi raja di Malayu dengan nama abhiseka (nama nobat) Sri Warmadewa alias Aji Mantrolot. Peristiwa Ekspedisi Pamalayu dan Tumapel itu bersamaan waktunya pada tahun Saka resi sanga samadhi (pendeta sembilan bersamadi) atau tahun Saka 1197. Jayakatwang naik tahta kerajaan Daha pada tahun Saka naga muka dara tunggal (naga berwajah gadis satu) atau tahun Saka 1198. Setelah Jayakatwang datang di Ujung Galuh ia mengarang kidung Wukir Polaman, selesai mengarang kidung tersebut beliau wafat.
VII
Samangka Raden Wijaya añjeneng prabhu i çaka rasa-rupa-dwi-çitangçu, 1216. Wekasan patutan lawan raden Dara petak putra lanang, kaksatriyanira raden Kala gemet. Kuneng putranira bhatra Çiwabuddha stri kalih siki, kang cinayaken ing wong Tatar, ingalap kalih denira Raden Wijaya, sira sang atuha añjeneng ring Kahuripan, sira sang anom añjenenging Daha. Abhisakanira Raden Wijaya duk prabhu çri Kertarajasa. Tahun pañjenengira, oremira awihen. Mokta sira, dhinarma ring Antapura, moktanira i çaka 1257.
Raden Wijaya menjadi raja dengan nama nobat Sri Kertarajasa Jayawarddhana pada tahun Saka, rasa rupa dwi çitangçu (rasa rupa dua bulan) atau tahun Saka 1216. Kemudian ia mempunyai seorang anak laki-laki dari Dara Pethak. Nama ksatriannya Raden Kalagemet. Adapun Bhatara Syiwa Buddha mempunyai dua orang anak perempuan yang sangat dibayangkan oleh prajurit Tartar. Kedua putri itu dinikahi oleh Raden Wijaya. Yang tua menjadi ratu di Kahuripan dan yang muda menjadi ratu di Daha (Kediri). Nama nobat Raden Wijaya pada waktu menjadi raja adalah Sri Kertarajasa Jayawarddhana. Pada masa pemerintahannya Raden Wijaya mendapat penyakit bisul berbengkak. Raden Wijaya wafat dan didharmakan di Antapura pada tahun saka 1257.
VIII
Gumanti raden Kala gemet angadeg prabhu, abhiseka bhatara Jayanagara. Çri Çiwabuddha dhinarma ring Tumapel, bhisekaning dharma ring Purwapatapan. Helet pitu-welas tahun adeging dharma lawan paranggalawe. Sira Rangga Lawe arep adegakena patih wurung, margane andaga maring Tuban sira Rangga Lawe tur angapusi rorowang. Wus kapusan wong Tuban sagunung lor, samahidep ing sira Rangga Lawe. Araning kang ahidep pañji Marajaya, ra Jaran waha, ra arya Siddhi, ra Lintang, ra Tosan, ra Galatik, ra Tati rowangira Rangga Lawe andaga. Sangkaning lungha saking Majhapahit arebut lungguh, sira Mahapati amiçunaken aderwe dandan ujarira Rangga Lawe, “Aja kehing ucap, hana ring Parthayajña papaning jejerih.” Karungu ring Majhapahit yen sira Rangga Lawe andaga. Sira Mahapati angaturaken. Runtik siraji Jayanagara. Sarowangira Rangga Lawe andaga mati, anghing ra Galatik ahurip, kinon malika denira Mahapati. Paranggalawe i çaka kuda-bhumi-paksaning-wong, 1217.
Raden Kalagemet menggantikan ayahnya menjadi raja, nama nobatnya Bhatara Jayanagara bergelar Sri Maharaja Wiralandagopala Sundarapandya Dewa Adiswara. Sri Syiwa Buddha dipusarakan di Tumapel nama resmi candi adalah Purwa Patapan. Pendirian candi itu berselang 17 tahun dengan peristiwa pemberontakan Ranggalawe. Ranggalawe sebenarnya akan dijadikan patih tetapi urung. Itulah sebabnya maka ia mengadakan pemberontakan di Tuban dan mengadakan persekutuan dengan kawan-kawannya. Telah terjadi prajurit Tuban yang berada di gunung sebelah utara direkrut ke dalam persekutuannya. Mereka itu semua menaruh perhatian kepada Ranggalawe. Nama orang-orang yang menyetujuinya, yaitu, Panji Marajaya, Ra Jaran Waha, Ra Arya Sidi, Ra Lintang, Ra Tosan, Ra Galatik, Ra Tati, mereka itu teman-teman Ranggalawe pada waktu memberontak. Adapun sebabnya ia pergi dari Majapahit itu karena ingin merebut kedudukan. Mahapati menjalankan fitnah dengan bahan kata-kata Ranggalawe, “Jangan banyak bicara, di dalam kitab Partayadnya ada tempat untuk penakut-penakut.” Setelah terdengar bahwa Ranggalawe memberontak, Mahapatihlah yang memberi tahu hal itu, maka raja Jayanagara marah, semua teman-teman Ranggalawe di dalam pemberontakan itu mati, hanya Ra Gelatik yang masih hidup karena ia disuruh berbalik hati. Peristiwa Ranggalawe itu terjadi pada tahun saka, kuda bhumi paksaning wong (kuda bumi sayapnya orang) atau tahun saka 1217.
Sira Wiraraja amit angulihi ing Lamajang tigang juru, apan pasamayanira Raden Wijaya amalihana Jawa, kanugrahan lurah Lamajang lor kidul lawan tigang juru. Huwus alawas kabhukti denira Wirajaja. Sira Nambi kari apatih, sira Sora demung, sira Tipar tumenggung. Sor tumenggung dening demung samangka. Sira Wiraraja tan mulih maring Majhapahit, tan ayun angawolu. Helet tigang tahun paranggalawe lawan pasora. Pinisunaken sira Sora denira Mahapati, sira Sora ingilangaken mati denira Kebo anabrang, i çaka baba-tangan-wong, 1222.
Arya Wiraraja memohon diri untuk bertempat tinggal di Lamajang yang luas wilayahnya tiga juru karena Raden Wijaya telah berjanji akan membagi dua Pulau Jawa dan akan menganugerahkan wilayah lembah Lumajang sebelah selatan dan utara beserta wilayah seluas tiga juru. Telah lama wilayah itu dinikmati oleh Wiraraja. Pada saat itu Nambi masih menjadi patih, Lembu Sora menjadi Demung, dan Tipar menjadi Tumenggung. Kedudukan tumenggung pada waktu itu lebih rendah daripada Demung. Arya Wiraraja tidak kembali ke Majapahit karena ia tidak mau mengabdi lagi. Setelah berselang tiga tahun dari peristiwa pemberontakan Ranggalawe, maka terjadilah pemberontakan Lembu Sora. Lembu Sora difitnah oleh Mahapati, dan Lembu Sora ini dapat dilenyapkan, dibunuh oleh Kebo Mundarang pada tahun saka, baba tangan wong (baba tangan orang) atau tahun Saka 1222.
Sira Nambi pinisunaken denira Mahapati, tan kinatonaken perange, olih kaladeça, amit atilik ing sira Wiraraja agering alara. Çri Jayanagara suka, anghing tan sinung alawasa. Sira Nambi tan teka manih, meneng ring Lembah, agawe kuta atingkah sañjata. Sira Wiraraja mati. Siraji Jayanagara añjeneng prabhu rong tahun. Guntur palungge i çaka api-api-tangan-tunggal, 1233. Tumuli pajurudemung, helet rong tahu lan pasora. Patine juru demung i çaka arta-guna-paksaning-wong, 1235. Tumuli pagajahbiru i çaka rasa-guna-paksa-wong, 1236. Tumuli pamandana. Mangkat angawaki siraji Jayanagara angilangaken wong Mandana wulan karo. Anuli mangetan, sira Nambi ingilangaken. Winarah sira Nambi yen wus mati juru demung, patih emban, tumenggung Jaran Lejong, mantri parakrama, sampun samangemasi, maty anempuh.
Juga Patih Nambi difitnah oleh Mahapati, jasa-jasa perangnya tidak diperhatikan. Pada waktu ia melihat saat yang tepat dan baik, ia memohon diri untuk menengok Arya Wiraraja yang sedang menderita sakit. Sri Jayanagara memberi izin, hanya saja tidak diperkenankan pergi lama-lama. Nambi tidak pulang kembali dan tetap tinggal di Lembah dan mendirikan benteng sambil menyiapkan tentara. Arya Wiraraja meninggal dunia. Sri Jayanagara menjadi raja lamanya dua tahun. Ada peristiwa gunung meletus, yaitu gunung Lungge pada tahun saka, api-api tangan tunggal (api api tangan satu) atau tahun Saka 1233. Selanjutnya terjadi pemberontakan Juru Demung berselang dua tahun dengan pemberontakan Lembu Sora. Juru Demung mati pada tahun saka arta guna paksaning wong (keinginan sifat sayap orang) atau tahun Saka 1235. Lalu terjadi pemberontakan Gajah Biru pada tahun saka, rasa guna paksa wong (rasa sifat sayap orang) atau tahun Saka 1236. Selanjutnya terjadi pemberontakan Mandana. Jayanagara berangkat sendiri untuk melenyapkan Mandana di bulan kedua. Sesudah itu ia pergi ke timur untuk melenyapkan Nambi. Nambi diberi tahu, bahwa Juru Demung sudah mati, demikian pula patih pengasuh Tumenggung Jaran Lejong, menteri-menteri pemberani semuanya sudah mati. Mereka gugur di medan perang.
Angucap sira Nambi, “Kang Samara, ki Derpana, ki Tenguh, pamañ Jaran Bangkal, ki Wirot, Ra Windan, Ra Jangkung, yen tandingen nora sor wong wetan iki, mali wus rusak, sapa si galihe kulon, Jabung Terewes, Lembu Peteng, Ikalikalan Bang, nora ingsun awedi, donsalakseng harep ing wuri, kongsi uga denisun saksat aprang ing Bubat.”
Patih Nambi berkata, “Kakanda Samara, Ki Derpana, Ki Teguh, Paman Jaran Bangkal, Demang Wirot, Ra Windan, dan Ra Jangkung. Jika dibandingkan prajurit timur ini tidak akan kalah. Apalagi setelah mereka rusak, siapa lagi yang menjadi inti prajurit sebelah barat. Apakah Jabung Terewes, Lembu Peteng, atau Ikal Ikalan Bang, saya tidak akan gentar biar sepuluh ribu prajurit semacam itu di depan dan di belakang, akan kuhadapi pula seperti perang di Bubat.”
Tekane wong Majapahit, pangidulira Nambi, rusaking Ganding, kajarah praçastine, sira Nambi tinut sinelesek, tumandang sira Derpana, sira Samara, sira Wirot, sira Made, sira Windan, sira Jangkung, sira Teguh, makadi sang Arya Nambi adining anempuh, dahut wong Majapahit, noranapulih. Sira Jabung Terewes, Lembu Peteng, Ikalikalan Bang sama amagut ing sira Nambi mati, sarowangira Namby anempuh angemasi, Rabut buhayabang tikel, dahut payung wong wetan, kalah deça Lamajang i çaka naganahut-wulan, 1238. Tunggal pawagal lan pamandana. Helet rong tahun pawagal lan palasem. Sira Semi ingilangaken mati i soring rangdu i çaka nora-weda-paksa-wong, 1240. Tumuli rakuti.
Setelah prajurit Majapahit datang, dan Nambi pergi ke selatan. Penyerbuan itu menyebabkan Ganding rusak, prasastinya dapat dirampas. Patih Nambi dikejar-kejar dan terdesak, Derpana, Samara, Wirot, Made, Windan, dan Jangkung mulai bertindak, terutama Patih Nambi. Ia mengadakan serangan pertama. Prajurit Majapahit seakan-akan tercabut dari akarnya. Tidak ada satupun yang mengadakan perlawanan. Jabung Terewes, Lembu Peteng, dan Ikalikalan Bang lalu bersama-sama menyerang Patih Nambi. Patih Nambi gugur. Demikian pula teman-teman Nambi yang menyerang tadi semuanya gugur. Patahlah perlawanan Majapahit di Rabut Buhayabang. Prajurit yang berada di sebelah timur itu mencabut payung kebesaran Majapahit, wilayah Lumajang kalah pada tahun saka naga nahut wulan (ular mengigigt bulan) atau tahun Saka 1238. Pemberontakan Wagal dan Mandana itu bersamaan waktunya. Berselang dua tahun antara pemberontakan Wagal dengan pemberontakan Lasem. Ra Semi dibunuh, ia mati di bawah pohon kapuk, pada tahun saka, nora weda paksa wong (bukan kitab suci sayap orang) atau tahun Saka 1240. Sesudah itu terjadilah pemberontakan Ra Kuti.
Hana dharmaputra aji, pangalasan wineh suka, wong 7, aran Kuti. Ra Pangça, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tañca, Ra Bañak, Ra Kuti lawan Ra Semi mati ingilangaken, pinisunaken denira Mahapati. Samangka kawaspadan sira Mahapati yan rajapisuna, ya tan sinikep, winunuh cinelengceleng, dosane angadu pisuna. Duk durung mati Ra Kuti, harep angawaken abhatara maring Badander. Sah ring wengi tan ananing wruh, anghing wong Bhayangkara angiring, sakehe kang katuju akemit duk abhatara lungha, hana wong lima welas. Sira Gajah Mada ambekel ing Bhayangkara samangka, katuju kemitane, sangkane angiring bhatara duk mimba. Alawas sira haneng Badander. Hana pangalasan amit mulih, tan winehan denira Gajah Mada, polahing kawula angiring akedik, amaksaken mulih. Sinuduk denira Gajah Mada, done manawa hana awawarah yen abhatara dumunung ring umahipun buyuting Badander, manawa Ra Kuti wruh. Akara sapasar amit sira Gajah Mada maring Majhapahit.
Ada dua golongan Darmaputra Raja. Mereka ini dahulunya adalah pejabat yang diberi anugerah raja. Banyaknya tujuh orang bernama Ra Kuti, Ra Pangsa, Ra Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tanca, dan Ra Banyak. Ra Kuti dan Ra Semi dibunuh karena difitnah oleh Mahapati, akhirnya Mahapati diketahui melakukan fitnahan. Ia ditangkap dan dibunuh seperti seekor babi hutan. Dosanya akan dibawa pergi sendiri ke dalam pusaranya di Bedander. Ia pergi pada waktu malam, tidak ada seorangpun yang tahu karena hanya prajurit bayangkara yang mengiringkannya. Semua yang kebetulan mendapat giliran jaga pada waktu raja pergi itu sebanyak 15 orang. Pada waktu itu Gajah Mada baru menjadi bekel bhayangkari (anggota pasukan pengawal raja) dan secara kebetulan juga sedang menerima giliran jaga. Itulah sebabnya ia mengiring raja pada waktu raja pergi dengan menyamar itu. Cukup lama raja tinggal di Bedander. Ada seorang pejabat yang memohon izin akan pulang ke rumahnya namun tidak diperbolehkan oleh Gajah Mada karena jumlah prajurit yang mengiring raja hanya sedikit. Ia memaksa akan pulang lalu ditusuk oleh Gajah Mada. Adapun maksud Gajah Mada menusuk prajurit itu karena Gajah Mada berpikir “jangan-jangan nanti prajurit itu memberi tahu, bahwa raja bertempat tinggal di rumah kepala desa Bedander sehingga Ra Kuti dapat mengetahuinya. Kira-kira lima hari kemudiannya Gajah Mada memohon izin untuk pergi ke Majapahit.
Teka ring Majhapahit, sira Gajah Mada tinakontakonan de sang amañcanagara ring pernahira bhatara, awarah yen huwus kasambut dening rowange Ra Kuti. Samanangis kang winarah. Angucap sira Gajah Mada, “Menenga, nora sira harep-harep apangerana ring Ra Kuti.” Sumahur kang inujaran, “Angapa ujarira iku, iya dudu pangeran dewek.” Wekasan sira Gajah Mada awarah yen abhatara haneng Badander. Samangka sira Gajah Mada ayom lawan sang mantri, sama asanggup amatenana ring Ra Kuti, ingilangaken mati Ra Kuti. Mantuk abhatara saking Badander, kari abuyut tur sub ing dangu. Saulihira bhatara sira Gajah Mada mari ambekel ing wong Bhayangkara, ring rong wulan amukti palapa, ingalihaken apatih ring Kahuripan, apatih rong tahun. Sang Arya Tilam apatih ring Daha mati, gumanti sira Gajah Mada, tinerapaken apatih ring Daha, atut sirapatih amangkubhumi sang Arya Tadah, kang angrojongi sira Gajah Mada patih ring Daha.
Sesampainya di Majapahit, Gajah Mada ditanyai oleh prajurit dari luar wilayah tentang tempat raja. Ia mengatakan bahwa raja telah diambil oleh teman-teman Ra Kuti. Prajurit yang diberi tahu semuanya menangis. Gajah Mada berkata, “Janganlah kalian menangis, apakah tuan-tuan tidak ingin mengabdi kepada Ra Kuti?” Menjawablah yang diajak berbicara itu, “Apa yang tuan katakan itu? Ra Kuti bukan tuan kami.” Akhirnya Gajah Mada memberi tahu yang sebenarnya bahwa raja berada di Bedander. Gajah Mada lalu mengadakan kesepakatan dengan para menteri. Mereka semua sanggup membunuh Ra Kuti, dan Ra Kuti mati dibunuh. Raja pulang dari Bedander, sesepuh desa ditinggalkan. Selanjutnya ia menjadi orang yang terkenal pada waktu itu. Sesudah raja pulang, maka Gajah Mada tidak lagi menjadi Kepala prajurit Bayangkara. Dua bulan lamanya Gajah Mada mendapat cuti dibebaskan dari kewajiban. Ia diangkat menjadi Patih di Kahuripan. Dua tahun lamanya Gajah Mada menjadi patih di Kahuripan. Sang Arya Tilam patih Daha meninggal dunia kemudian digantikan oleh Gajah Mada diangkat menjadi patih di Daha. Patih Mangkubumi Sang Arya Tadah menyetujui. Mangkubumi Arya Tadah lah yang mendukung pengangkatan Gajah Mada untuk menjadi patih di Daha itu.
Siraji Jayanagara asanak istri kakalih, saos ibu, sami tan sinung akramaha ri len, ayun alapen piyambek. Samangka ksatriya tan hana maring Majhapahit, sing katon ingilangaken, manawa harep ing arinira. Sira paraksatriya angekeb ahetetan.
Raja Jayanagara mempunyai dua orang saudara perempuan lain ibu. Mereka berdua tidak diperbolehkan menikah dengan orang lain karena akan dinikahii sendiri. Pada waktu itu seolah-olah tidak ada satu orangpun ksatria di Majapahit. Setiap ada ksatria yang menampakkan diri lalu dilenyapkan. Raja Jayanagara merasa khawatir karena jangan-jangan ada yang mengingini adiknya itu. Itulah sebabnya maka ksatria-ksatria bersembunyi tidak ada yang berani keluar.
Somahira Tañca aparungon ingalan denira bhatara, sira Tañca ingadoken denira Gajah Mada. Katuju bhatara Jayanagara bubuhen tan kawasa mijil. Sira Tañca kinon anajia, marek maring pagulingan. Tinaji denira Tañca pisan pingro tan tedas, den-aturi bhatara asalaha kemitan, asalaha kemitan sandingiraguling, tinaji denira Tañca tedas, linud sinuduk denira Tañca, mokta sira ring pagulingan.
Isteri Ra Tanca mendengar berita bahwa Ra Tanca tidak diperlakukan dengan baik oleh raja. Ra Tanca dituntut oleh Gajah Mada. Kebetulan raja Jayanagara sedang menderita sakit bisul berbengkak sehingga tidak dapat pergi keluar. Ra Tanca mendapat perintah untuk melakukan pembedahan dengan taji. Ia menghadap raja di dekat tempat tidur. Raja ditusuk oleh Tanca dengan taji satu kali sampai dua kali namun tidak mempan tajinya. Lalu raja diminta agar supaya meletakkan jimatnya. Raja meletakkan jimatnya di dekat tempat tidur. Maka raja itu ditusuk oleh Tanca, kali ini tajinya mempan. Ra Tanca terus menusukkan tajinya sehingga raja mati di atas tempat tidur.
Sira Tañca ginelis pinaten denira Gajah Mada, mati sira Tañca. Let sangang tahun pakuti lawan patantlideca, i çaka bhasmi-bhuta-nangani-ratu, 1250. Sira ta dhinarmeng Kapopongan, bhiseka ring Çrnggapura pratista ring Antawulan. Samangka sira paraksatriya angambah Majhapahit. Samangka raden Cakradhara kalaping swayambara pinakalakinira bhreng Kahuripan. Raden Kuda Merta angambil bhreng Daha. Raden Kuda Merta añjeneng ring Wengker, bhreng Pramiçwara ring Pamotan, bhiseka çri Wijayarajasa. Hana ta patutan raden Cakradhara añjeneng ring Tumapel, bhiseka Çri Kertawardhana
Ra Tanca segera dibunuh oleh Gajah Mada, matilah Ra Tanca. Berselang sembilan tahun dari peristiwa pemberontakan Ra Kuti dan pemberontakan Ra Tanca itu terjadi pada tahun saka bhasmi bhuta nangani ratu (abu raksasa memukul raja) atau tahun Saka 1250. Raja dipusarakan di Kapopongan. Nama resmi candi itu Srenggapura arcanya terdapat di Antawulan. Sejak saat itu para ksatria kembali berani menginjakkan kaki di Majapahit lagi. Raden Cakradara terpilih menjadi suami Bhre Kahuripan pada suatu sayembara. Raden Kuda Merta menikah dengan Bhre Daha. Raden Kuda Merta menjadi raja di Wengker. Sri Paduka Prameswara Pamotan dengan nama nobatan Sri Wijayarajasa adalah anak Raden Cakradara yang menjadi raja di Tumapel, dengan nama nobat Sri Kertawarddhana.
IX
Bhreng Kahuripan istri prabhu i çaka çunya-wisaya-paksa-bhumi, 1250. Bhreng Kahuripan aputra titiga, mijil bhatara prabhu, kasirkasirira çri Hayam Wuruk, Raden Tetep, jujulukira yen anapuk sira Dalang Tritaraju, lamun amadoni sira Pager Antimun, lamun awayang bañol sira Gagak Katawang, yan ring kaçewan sira Mpu Janeçwara, bhisekanira Çri Rajasanagara, kaprabhunira bhra sang Hyang Wekasing Sukha, arinira stri kalap denira Raden Larang, pangadeganira bhreng Matahun, tan apuputra, sira sang pamungsu bhreng Pajang ingalap denira Raden Sumana, pangadeganira bhreng Paguhan, amisan kalawan bhreng Kahuripan, stri bhra Gundal sang dhinarma ring Sajabung, dharmabhiseka ring Bajrajinaparimitapura.
Bhre Kahuripan menjadi raja pada tahun saka çunya wisaya paksa bhumi (sunyi keinginan sayap bumi) atau tahun Saka 1250. Bhre Kahuripan mempunyai tiga orang anak, yaitu Bhatara Prabu panggilannya Sri Hayam Wuruk. Raden Tetep adalah sebutan Sri Hayam Wuruk jika ia bermain topeng. Ketika sedang mendalang sebutannya adalah Dalang Tritaraju. Jika Sri Hayam Wuruk berperan menjadi perempuan sebutannya ialah Pager Antimun. Jika Sri Hayam Wuruk bermain wayang dan melawak sebutannya ialah Gagak Ketawang. Adapun di kalangan pemeluk agama Syiwa sebutan Sri Hayam Wuruk ialah Mpu Janeswara dengan nama nobat Sri Rajasanagara. Ketika sebagai Prabu bergelar Sri Baginda Sang Hyang Wekasing Suka. Adik Sri Hayam Wuruk yang perempuan menikah dengan Raden Larang yang juga disebut Bhre Matahun namun tidak mempunyai anak. Sedangkan adiknya yang bungsu yaitu Sri Ratu Pajang menikah dengan Raden Sumana yang juga disebut Bhre Paguhan. Bhre Paguhan ini adalah saudara sepupu Bhre Kahuripan. Isteri Bhre Gundal dipusarakan di Sajabung, nama resmi candi itu adalah Bajrajina Parimitapura.
Tumuli pasadeng. Sira Tadah patih amangkubhumi agering sakarengan tan kawaaça marek, anguswaken marek ring talampakanira bhatara asaha mangkubhumi, tan tinanggapan denira bhre Koripan, mantuk sang Arya Tadah, angundang ring sira Gajah Mada, ararasan ing made. Sira Gajah Mada kinen amatiha ring Majhapahit, tan mangkubhumi, “Isun angrojongi sadudunira.” Kecapira Gajah Mada, “Alemeh siranakira, yen apatiha mangke. Lamun sampun saking Sadeng agelem apatiha, lamun kahapuraha tiwas, bisaning ranakira.” “Lah kaki sakewuhira sunrojong, sadudunira.” Samangka agung hatinira Gajah Mada, angrungu sanggupira sang Arya Tadah. Mangkin mangkat maring Sadeng.
Selanjutnya terjadi pemberontakan Sadeng. Arya Tadah yang menjadi patih Mangkubumi saat itu sedang menderita sakit. Ia sering secara tiba-tiba tidak kuasa menghadap raja. Arya Tadah mengajukan permohonan ke hadapan Paduka Bhatara untuk diizinkan berhenti, namun permohonan Arya Tadah itu tidak dikabulkan oleh Bhre Kahuripan. Sang Arya Tadah pun kembali pulang. Ia memanggil Gajah Mada dan mengadakan pembicaraan di ruang tengah. Gajah Mada diminta untuk menjadi Patih di Majapahit meskipun belum berpangkat Mangkubumi. “Saya akan membantumu dalam menghadapi persoalan yang luar biasa.” Gajah Mada berkata, “Ananda tidak sanggup jika menjadi patih saat ini. Nanti jika sudah kembali dari Sadeng hamba mau menjadi patih. Itupun jika tuan sudi memaafkan atas segala kekurangan kemampuan ananda ini.” “Nah, buyung, saya akan membantumu dalam menghadapi segala kesukaran dan dalam persoalan yang luar biasa.” Saat itu besarlah hati Gajah Mada mendengar kesiapan sang Arya Tadah itu. Kini ia berangkat ke Sadeng.
Sang mantri araraman pinadaya, makadi sang apatih amangkubhumi pinadaya, yen sira Kembar angruhuni angepang ring Sadeng. Serngen sang amangkubhumi, apotusan ing sang mantri jaba, kang mangkat wong limang bekelan, anglilima sowang. Kapanggih sira Kembar ring alas, angadeg ing kayu rubuh, angandulandul, kayanunggang undakan tur anglimbeken cameti dateng kang dateng kang kinon amalinggiha sira Kembar. Wanten wekasira sang mantri samadaya, makadi kaki gusti apatih amangkubhumi, aken amalinggiha ring sira punareke sangkanira rumuhun angepang ing wong Sadeng. Deñ – cameti rahine kang kinon amalinggiha, Iuput alingan kayu, tur sira Kembar angucap, “Norana den – hidep dening si Kembar iki, yen ing paprangan norahidep ing pangeranmu iku”. Lungha kang kinon amalinggiha, awerta saujarira Kembar.
Para mantri araraman diperdaya, patih Mangkubumi juga kena tipu. Ternyata Ra Kembar telah lebih dahulu mengepung Sadeng. Mangkubumi marah kemudian memberi perintah kepada menteri luar. Prajurit yang berangkat lima satuan dikepalai oleh bekel. Masing-masing satuan terdiri dari lima orang. Kembar dijumpai di dalam hutan. Mereka tampak berdiri di atas pohon yang roboh. Mereka berayun-ayun seperti orang naik kuda sambil melambai-lambaikan cambuk kepada mereka yang menyuruh Ra Kembar untuk kembali dan tidak melanjutkan perjalanan. Bekel menyampaikan pesan dari para menteri terutama dari gusti Patih Mangkubumi yang menyuruh agar Ra Kembar kembali karena dikabarkan mendahului mengepung prajurit Sadeng. Wajah orang yang menyuruh kembali itu dicambuk namun tidak kena karena berlindung di balik pohon. Ra Kembar lalu berkata, “Tidak ada perintah orang yang akan diindahkan oleh Ra Kembar. Dalam perang saja Ra Kembar tidak mau mengindahkan perintah tuanmu itu.” Pergilah yang mendapat perintah untuk menyuruh kembali tadi, dan memberi tahu semua yang dikatakan oleh Ra Kembar.
Meneng sira Gajah Mada, teka winahonan kinepang wong Sadeng. Tuhan Wuruju dewaputra saking Pamelekahan, lamun añjeplakaken pepecut, karungu ring antariksa. Kaget wong Majhapahit. Kañcit teka sang sinuhun angalahaken Sadeng. [Helet tigang tahun] patañca lawan pasadeng i çaka kaya – bhuta – non – daging, 1253. Tumuli guntur pabañu – pindah i çaka 1256. Teka saking Sadeng sira Kembar ambekel ing mantry araraman, sira Gajah Mada angabehi, sira Jaran Bhaya, sira Jalu, sira Demang Bucang, sira Gagak Minge, sira Jenar, sirarya Rahu, sama antuk linggih, si Lembu Peteng tumenggung. Sira Gajah Mada patih amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada, “ Lamun huwus kalah Nusantara isun amukti palapa, amun kalah ring Gurun, ring Seran, Tañjung pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa.” Sira sang mantri samalungguh ring panangkilan pepek. Sira Kembar apameleh, ring sira Gajah Mada, anuli ingumanuman, sira Bañak kang amuluhi milu apameleh, sira Jabung Terewes, sira Lembu Peteng gumuyu. Tumurun sira Gajah Mada matur ing talampakan bhatara ring Koripan, runtik sira katadahan kabuluhan denira arya Tagah. Akweh dosanira Kembar, sira Warak ingilangaken, tan ucapen sira Kembar, sami mati.
Mendapat laporan tersebut, Gajah Mada terdiam. Ia merasa sangat diperolok-olok oleh Ra Kembar. Maka prajurit Sadeng dikepung. Tuan Waruju seorang Dewaputera dari Pamelekahan barangkali menyembunyikan Ra Kembar. Suara cambuk terdengar di ruang angkasa yang membuat terperanjat prajurit Majapahit. Segera Sang Rani Tribhuwana Tunggadewi datang sendiri membawa pasukan Majapahit dan mengalahkan Sadeng. Pemberontakan Ra Tanca dan Sadeng itu berselang tiga tahun pada tahun saka kaya bhuta non daging (seperti raksasa melihat daging) atau tahun Saka 1256. Setelah kembali dari Sadeng, lalu menjadi mantri araraman. Gajah Mada menjadi Angabehi, Jaran Baya, Jalu, Demang Bucang, Gagak Nunge, Jenar, dan Arya Rahu mendapat kenaikan pangkat. Lembu Peteng menjadi Tumenggung. Gajah Mada menjadi patih Mangkubumi bertekad untuk tidak mau mengambil istirahat. Gajah Mada berkata, “Jika sudah kukalahkan pulau-pulau di Nusantara, saya akan istirahat. Nanti kalau sudah kukalahkan Gurun, Seran, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, barulah saya menikmati masa istirahat.” Pada waktu itu para menteri sedang lengkap duduk menghadap di balai penghadapan. Ra Kembar memperolok olok Gajah Mada dengan menyebut kesalahan-kesalahan dan kekurangan Gajah Mada, dan menumpahkan telempak, Ra Banyak ikut serta menambahi dengan mengucapkan celaan-celaan. Jabung Terewes dan Lembu Peteng tertawa. Lalu Gajah Mada turun mengadukan soal itu ke hadapan Bhre Kahuripan, baginda marah. Kemarahan dan penghinaan ini disampaikan kepada Arya Tadah. Dosa Ra Kembar telah banyak, Warak dilenyapkan. Hal tersebut tidak diucapkan bagaimana Ra Kembar, mereka mati semua.
X
Tumuli pasunda bubat. Bhre prabhu ayun ing putri ring Sunda. Patih Madu ingutus angundangeng wong Sunda, ahidep wong Sunda yan awawarangana. Teka Ratu Sunda maring Majhapahit, sang ratu Maharaja, tanpangaturaken putri. Wong Sunda kudu awiramena, tingkah ing jurungen. Sira patihing Majhapahit tanpayun yen wiwahanen, reh sira rajaputri makaturatura. Wong Sunda tanpasung. Sira Gajah Mada matur polahing wong Sunda. Bhra prameçwareng Wengker sirasanggup, “Sampun walang ati, kakâji, ingsun-lawanane apagut.” Sira Gajah Mada matur polahing wong Sunda. Tumuli apangarah wong Majhapahit angepang wong Sunda. Wong Sunda harep angaturakena rajaputri, tan sinungan dening menak, asanggup matieng Bubat tan harep anungkul, manggetoha getih. Sangguping menak agawe pangrus, adining Sundanggergut, Larang Agung, Tuhan Sohan, Tuhan Gempong, Pañji Melong, urang sangkaring Tobong barang, Rangga Cahot, Tuhan Usus, Tuhan Sohan, urang pangulu, urang saya, Rangga Kaweni, urang siring, Satrajali, Jagat saya, sakwehing wado Sunda pareng asurak. Pinagut ing uni dening reyong, ghûrnitaning surak kadi guntur. Sang Prabhu Maharaja wus angemasi karuhun, mati lan Tuhan Usus.
Selanjutnya terjadi peristiwa yang berkaitan dengan Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat. Sri Baginda Prabu Hayam Wuruk menginginkan puteri Sunda menjadi permaisurinya. Patih Madhu yang mendapat perintah untuk mengundang Raja Sunda karena sangat baiklah seandainya Raja Sunda dijadikan besan. Raja Sunda tidak berkeberatan mengadakan pertalian pernikahan. Raja Sunda yaitu Maharaja Linggabuana pun datang ke Majapahit, tetapi ia tidak mau mempersembahkan puterinya yang bernama Dyah Pitaloka Citraresmi. Kerajaan Sunda bertekad untuk berperang, itulah sikap yang telah mendapat sepakat oleh petinggi Kerajaan Sunda kecuali Bunisora yang tidak menyetujui karena Patih Majapahit keberatan jika pernikahan dilakukan dengan perayaan resmi. Kehendaknya yaitu agar puteri Sunda itu dijadikan persembahan. Kerajaan Sunda tidak setuju. Gajah Mada melaporkan sikap orang-orang Sunda. Bhre Wengker menyatakan kesiapan, “Jangan khawatir, kakanda Baginda, saya yang akan melawan berperang.” Gajah Mada memberitahu tentang sikap Raja Sunda. Lalu orang Majapahit berkumpul mengepung pasukan Sunda. Orang Sunda akan mempersembahkan puteri raja tetapi tidak diperkenankan oleh bangsawan-bangsawannya. Mereka siap gugur di medan perang di Pesanggrahan Bubat, tidak akan menyerah dan akan mempertaruhkan darahnya. Kesiapan bangsawan-bangsawan itu mengalirkan darah, para terkemuka pada pihak Sunda yang bersemangat, yaitu, Larang Agung, Tuan Sohan, Tuan Gempong, Panji Melong dan pasukan dari Tobong Barang seperti Rangga Cahot, Tuan Usus, Tuan Sohan, prajurit Pangulu, prajurit Saja, Rangga Kaweni, prajurit Siring, Satrajali, Jagatsaja, semua rakyat Sunda bersorak bercampur dengan keriuhan bunyi bende, keriuhan sorak tadi seperti guruh. Pada peristiwa itu Sang Prabu Maharaja Linggabuana telah mendahului gugur, jatuh bersama-sama dengan Tuan Usus.
Bhra parameçwara sira maring Bubat, tan sapeksa yan wong Sunda akeh kari, tur adinya menak anempuh. Mangidul wong Sunda, rusak wong Majapahit. Kang anangkis sañjata amapulihaken sirarya Sentong, Patih Gowi, Patih Marga Lewih, Patih Teteg, Jaran Bhaya. Sakeh sang mantry araraman aprang saking kuda, katitihan wong Sunda, anempuh mangidul mangulon anuju, nggonira Gajah Mada, sing tekareping padati wong Sunda mati, kadi sagara getih gunung wangke, bhrasta wong Sunda tan hana kari, i çaka sanga-turangga-paksawani, 1279. Tunggalan padompo pasunda. Samangka sira Gajah Mada mukti palapa. Sawelas tahun amangkubhumi.
Seri Baginda Parameswara menuju ke Pesanggrahan Bubat, ia tidak tahu bahwa pasukan Sunda masih banyak yang belum gugur. Bangsawan-bangsawan mereka yang terkemuka lalu menyerang. Prajurit Majapahit rusak. Adapun yang mengadakan perlawanan dan melakukan pembalasan, yaitu, Arya Sentong, Patih Gowi, Patih Margaleuwih, Patih Teteg, dan Jaran Baya. Semua mantri araraman itu berperang dengan naik kuda, terdesaklah orang Sunda, lalu mengadakan serangan ke selatan dan ke barat, menuju tempat Gajah Mada. Masing-masing prajurit Sunda yang berada di depan kereta gugur. Darah seperti lautan dan mayat manusia seperti gunung. Hancurlah prajurit-prajurit Sunda tidak ada yang tersisa. Perang Bubat ini terjadi pada tahun saka sanga turangga paksawani (sembilan kuda sayap bumi) atau tahun Saka 1279. Peristiwa Sunda itu bersama-sama dengan peristiwa Dompo. Sekarang Gajah Mada menikmati masa istirahat, sebelas tahun ia menjadi Mangkubumi.
Patining putri Sunda bhatara prabhu angalap putri bhra Prameçwara, sira Paduka Çori, apatutan stri bhre Lasem sang ayu, putra lan rabihaji mijil bhre Wirabhumi, ingaku putra denira bhre Daha. Bhre Pajang apuputra titiga, mijil bhra Hyang Wiçesa, kaksatriyanira Raden Gagak Sali, karatunira aji Wikrama, sira sang angambil bhre Lasem sira sang ahayu, aputra mijil bhre Hyang Wekasing Suka, putra manih stri bhre Lasem sang alemu kalap denira bhre Wirabhumi, putra manih stri bhre Kahuripan. Hana putranira bhre Tumapel, duk ksatriya Raden Sotor, hino ring Koripan, angalih hinweng Daha, anuli hino ring Majhapahit, aputra sira mijil Raden Sumirat, angalap bhre Kahuripan, pangadegan bhre Pandan Salas..
Sehubungan dengan puteri Sunda itu meninggal, maka Bhatara Prabu Hayam Wuruk kemudian menikah dengan anak perempuan Bhra Prameswara yang bernama Paduka Sori, dari pernikahan itu lahirlah seorang anak perempuan Bhre Lasem yaitu Sang Ayu, dari pernikahannya dengan isteri lain, lahirlah Bhre Wirabumi, yang diambil menjadi anak angkat Bhre Daha. Bhre Pajang mempunyai tiga orang anak yaitu Sri Baginda Hyang Wisesa, nama ksatriannya Raden Gagak Sali, gelarnya sebagai Raja Aji Wikrama, menikah dengan putri Bhre Lasem yaitu, Sang Ayu, lalu mempunyai seorang anak, yaitu Sri Baginda Wekasing Suka, anak yaitu Bhre Lasem yang kedua seorang perempuan yaitu Sang Alemu. Ia menikah dengan Bhre Wirabumi, adapun anak yang ketiga juga perempuan, menjadi Bhre Kahuripan. Ada lagi anak Bhre Tumapel, nama ksatriannya Raden Sotor, menjadi mantri hino di Kahuripan, lalu pindah menjadi mantri hino di Daha, selanjutnya menjadi mantri hino di Majapahit. Raden Sotor ini mempunyai seorang anak laki-laki, yaitu, Raden Sumirat, menikah dengan putri Bhre Kahuripan dan menjadi raja dengan sebutan Bhre Pandan Salas.
Tumuli paçraddhanagung i çaka pat-ula-ro-tunggal, 1284. Sang apatih Gajah Mada atelasan i çaka gagana-muka-matendu, 1290. Telung tahun noranangganteny apatih. Sira Gajah Enggon apatih i çaka gunasanga-paksaning-wong, 1293. Bhre Daha mokta, dhinarmeng Adilangu, dharmabhiseka ring adri Purwawiçesa. Bhre Kahuripan mokta dhinarmeng Panggih dharmabhiseka ring giri Pantarapurwa.
Lalu terjadilah peristiwa upacara selamatan roh nenek moyang yang dinamakan Sraddha Agung, pada tahun saka pat ula ro tunggal (empat ular dua satu) atau tahun Saka 1284. Sang Patih Gajah Mada wafat pada tahun saka gagana muka matendu atau tahun Saka 1290. Tiga tahun lamanya tidak ada yang menggantikan kedudukannya menjadi patih. Gajah Enggon menjadi patih pada tahun saka gunasanga paksaning wong atau tahun Saka 1293. Bhre Daha wafat dan dipusarakan di Adilangu. Nama resmi candi itu Gunung Purwawisesa. Bhre kahuripan wafat, dipusarakan di Panggih, nama resmi candinya Gunung Pantarapura.
Tumuli hana gunung añar i çaka naga-leng-karnaning-wong, 1298. Tumuli guntur pamadasiha i çaka resi-çunya-guna-tunggal, 1307. Bhre Tumapel mokta sang mokta ring Çunyalaya i çaka matangga-çu-nya-kayeku, 1308, dhinarmeng Japan, dharmabhiseka ring Sarwajñapura. Bhra Hyang Wiçesapuputra mijil bhre Tumapel, putrestri mijil bhre prabhu stri, bhiseka Dewi Suhita, manih putra pamungsu jalu bhre Tumapel Çri Kertawijaya. Bhre Pandan Salas aputra mijil bhre Koripan, bhra Hyang Parameçwara, siraji Ratnapangkaja bhisekanira, angalap Bhra Prabhu Istri, tan apuputra sira, manih putranira mijil stri bhre Lasem, kalap denira bhre Tumapel, putra manih mijil bhre Daha, kambil denira bhre Tumapel, sama pamungsu. Bhre Wirabhumi aputra jalu mijil bhre Pakembangan, mokta nduking abuburon, putra manih stri bhre Mataram, kalap denira bhra Hyang Wiçesa, putra manih bhre Lasem, kalap denira bhre Tumapel, putra manih stri bhre Matahun.
Selanjutnya terjadi peristiwa di gunung baru pada tahun saka naga leng karnaning wong atau tahun Saka (ular liang telinga orang) atau tahun Saka 1208. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus pada minggu Madasia tahun saka resi çunya guna tunggal (pendeta sunyi sifat tunggal) atau tahun Saka 1307. Bhre Tumapel wafat. Ia wafat di Suniyalaya pada tahun saka matangga çunya kayeku (gajah sunyi tindakan ekor) atau tahun Saka 1308, dipusarakan di Japan, nama resmi candi itu Sarwa Jaya Purwa. Baginda Hyang Wisesa mempunyai anak Bhre Tumapel Perempuan yaitu Seri Ratu Prabu Stri, yang lalu mempunyai nama nobat Dewi Suhita. Bungsu laki-laki, yaitu Bhre Tumapel alias Sri Kerta Rajasa. Bhre Pandan Salas mempunyai anak. Bhre Koripan alias Baginda Hyang Prameswara dengan nama nobat Aji Ratna Pangkaja. Ia menikah dengan Seri Ratu Prabu-stri namun tidak berputera. Anak Perempuan Bhre Mataram yang menikah dengan Baginda Hyang Wisesa. Anak Perempuan Bhre Lasem yang menikah dengan Bhre Tumapel. Perempuan lagi Bhre Matahun.
Bhre Tumapel aputra jalu añjeneng ring Wengker angambil bhre ing Matahun, aputra manih bhre Paguhan, putra lan rabi anom bhre Jagaraga, kalap denira bhra Parameçwara tan apuputra, manih bhre Tañjung pura, kalap denira bhre Paguhan tan apuputra, manih bhre Pajang, kalap denira bhre Paguhan kâlapdo tan apuputra
Bhre Tumapel mempunyai anak laki-laki dan menjadi raja di Wengker. Ia menikah dengan Bhre Matahun, anak kedua menjadi raja di Paguhan, anak ketiga lahir dari isteri muda seorang perempuan, yaitu Bhre Jagaraga, menikah dengan Baginda Parameswara, tidak beranak. Dan anak kelima, yaitu Bhre Pajang, juga menikah dengan Bhre Paguhan, jadi dibayuh sama-sama saudara, tidak mempunyai anak.
bhre Keling angalap ring, bhreng Kembang Jenar. Bhre Wengker apuputra bhre Kahalan. Bhre Paguhan apuputra lawan rabi ksatriya mijil bhre Singapura, kambil denira bhre Pandan Salas. Bhra Prameçwara Pamotan i mokta i çaka gagana-rûpânahut-wulan, 1310, sira sang dhinarmeng Mañar, dharmabhiseka ring Wisnubhawanapura. Bhra Matahun mokta, dhinarma ring Tigawangi, dharmabhiseka ring Kusumapura. Sira Paduka Sori mokta. Bhreng Pajang mokta dhinarmeng Embul, dharmabhiseka ring Girindrapura. Bhre Paguhan mokta dhinarmeng Lo beñcal, dharmabhiseka ring Parwatigapura. Bhra Hyang wekasing suka mokta, i çaka medini-rûparameku, 1311.
Bhre Keling menikah dengan Bhre Kembang Jenar. Anak laki-laki Bhre Wengker yaitu Bhre Kabalan. Bhre Paguhan mempunyai anak perempuan dari isteri yang lahir dari golongan ksatria yaitu Bhre Singapura. Ia menikah dengan Bhre Pandan Salas. Baginda Prameswara di Pamotan wafat pada tahun saka gagana rûpânahut wulan (langit rupa menggigit bulan) atau tahun Saka 1310. Ia dipusarakan di Manyar. Nama resmi candinya Wisnu Bawana Pura. Bhre Matahun wafat dan dipusarakan di Tigawangi, nama resmi candi itu Kusuma Pura. Paduka Sori dan Bhre Pajang wafat. Mereka dipusarakan di Embul. Adapun nama resmi candinya Girindra Pura. Bhre Paguhan wafat dan dipusarakan di Lobencal, nama resmi candinya Parwa Tiga Pura. Baginda Hyang Wekasing Suka wafat pada tahun saka medini rûparameku (bumi rupa ayah ibu) atau tahun Saka 1311.
XI
Bhra Hyang Wiçesa prabhu. Tumuli guntur Prang bakat i çaka mukaning-wong-kaya-naga, 1317. Tumuli sira Gajah Enggon mati i çaka çunya-paksa-kaya-janma, 1320. Pitu likur tahun apatih. Bhra Hyang wekasing suka aken apatiha ing sira Gajah maguri. Bhra Hyang wekasing suka mokta, sang mokta ring Indrabhawana, i çaka janma-netragni-sitangsu, 1321, sang dhinarmeng Tajung, bhisekaning dharma ring Paramasukapura. Bhra Hyang Wiçesa sira bhagawan i çaka netra-paksagni-sitangsu 1322.
Bhre Hyang Wisesa dinobatkan menjadi raja. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Prangbakat, pada tahun saka mukaning wong kaya naga (wajah orang seperti naga) atau tahun Saka 1317. Selanjutnya Gajah Enggon meninggal dunia pada tahun saka çunya paksa kaya janma (senyap sayap seperti manusia)atau 1320. Ia menjadi patih dua puluh tujuh tahun lamanya. Baginda Hyang Wekasing Suka mengangkat Gajah Manguri menjadi patih. Baginda Hyang Wekasing Suka wafat. Ia wafat di Indra Bawana pada tahun saka janma netragni sitangsu (orang mata api bulan) atau tahun Saka 1321 dan dipusarakan di Tanjung, nama resmi candi Parama Suka Pura.Baginda Hyang Wisesa menjadi pendeta pada tahun saka netra paksagni sitangsu (mata sayap api bulan) atau tahun Saka 1322.
XII
Bhatarestri prabhu. Bhre Lasem mokta ring Kawidyadharen, dhinarmeng Pabangan, dharmabhiseka ring Laksmipura. Bhre Kahuripan mokta. Bhre Lasem sira sang alemu mokta. Bhre Pandan Salas mokta, dhinarmeng Jinggan, dharmabhiseka ring çri Wisnupura. Bhra Hyang Wiçesa apupurikan lawan bhra Wirabhumi. Dadi denira dampul, abelah mati siradampul i çaka 1323. Helet tigang tahun tumuli dadi manih kang paregreg. Sama apangarah, bhre Tumapel, bhra Hyang Parameçwara, sami ingaturan. “Sapa kang sun-ilonana.” Dadi kang yuddha, kalah kadaton kulon, kapesan bhra Hyang Wiçesa. Runtik sira ayun lungaha. Ingaturan bhre Tumapel, bhra Parameçwara, “Sampun age lungha, isun-lawanane.”
Seri Ratu Bhatarastri dinobatkan menjadi Raja. Bhre Lasem wafat di Kawidyadaren dipusarakan di Pabangan, nama resmi candinya Laksmi Pura. Bhre Kahuripan wafat. Bhre Lasem yaitu Sang Ratu Lemu wafat. Bhre Pandan Salas wafat dan dipusarakan di Jinggan, nama resmi candinya Sri Wisnu Pura. Bhre Hyang Wisesa bersengketa dengan Bhre Wirabumi. Mereka segan bersama-sama berbicara, saling diam mendiamkan, akhirnya berpisah sampai itu terjadi pada tahun saka 1323. Tiga tahun kemudian lalu terjadi lagi perang Paregreg. Keduanya mengumpulkan pasukannya. Bhre Tumapel dan baginda Hyang Prameswara diminta datang. “Kepada siapakah aku harus berpihak?” Karena tidak dapat ditengah-tengahi, maka terjadilah perang dan dapat dikalahkan di sebelah barat keraton. Sial bagi Sang Shyang Wisesa. Ia bertekad akan pergi mengundang Bhre Tumapel. Bhre Prameswara berkata, “Baginda jangan tergesa-gesa pergi, saya itu yang akan melawan.”
Suka bhra Hyang Wiçesa, apangarah ingadegan denira bhre Tumapel, denira bhre Parameçwara. Kalah kadaton wetan. Bhre Daha ingemban denira bhra Hyang Wiçesa, bhinakta mangilen. Bhra Wirabhumi lungha ring wengi, tumulumpak ing parahu, tinut denira Raden Gajah bhiseka Ratu Angabhaya, bhra Narapati. Katututan ing parahu, minoktan tur pinök bhinakta dateng ing Majapahit, dhinarma ta sira ring Lung, dharmabhiseka ring Goriçapura, i çaka duk Paregreg agung naga-laranahut-wulan, 1328. Patang tahun atelasan sira Gajah Manguri, i çaka paksa-guna-kaya-wong, 1332. Ro welas tahun sira Gajah Lembana patih. Tumuli guntur pajulung-pujut, i çaka kaya-weda-gunaning-wong, 1343. Atelasan sira Gajah Lembana i çaka pawanagni-kaya-bhumi, 1335. Tigang tahun apatih Tuhan Kanaka. Bhre Daha mokta. Bhre Matahun mokta. Bhre Mataram mokta. Tumuli palantaran agung i çaka liman-kayangambah-lemah, 1338. Tumuli pahilan agung i çaka naga-yuganahut-wong, 1348. Bhre Tumapel mokta i çaka sang-yuga-kaya-wong, 1349, dhinarmeng Lo Kerep, dharmabhiseka ring Amarasabha. Bhre Wengker mokta dhinarmeng Sumengka. Bhra Hyang Wiçesa mokta dhinarmeng Lalangon, bhisekaning dharma ring Paramawiçesapura. Bhra Prabhu Stri mokta i çaka rupanilagni-sitangçu, 1351.
Bhre Hyang Wisesa merasa senang dan menuruti kata-kata Bhre Prameswara. Bhre Prameswara bermaksud untuk mengambil jabatan Bhre Tumapel namun kalah di keraton sebelah timur. Bhre Wirabumi berangkat pada waktu malam hari naik perahu namun dikejar oleh Raden Gajah yang mempunyai nama nobat Ratu Angabaya. Bhre Narapati terkejar di dalam perahu. Ia dibunuh dan dipenggal kepalanya kemudian dibawa ke Majapahit dan dipusarakan di Lung, nama resmi candinya Gorisa pada tahun saka yang sama dengan perang besar Paregreg pada tahun saka naga laranahut wulan (ular sifat menggigit bulan) atau tahun Saka 1328. Pada tahun itu terjadi huruhara ini. Empat tahun berselang Gajah Manguri meninggal dunia pada tahun saka, paksa guna kaya wong (sayap sifat seperti orang) atau tahun Saka 1332. Gajah Lembaga menjadi patih, lamanya dua belas tahun. Selanjutnya terjadi peristiwa gunung meletus didalam minggu Julung Pujut, pada tahun saka, kaya weda gunaning wong (seperti kitab suci sifat orang), atau tahun Saka 1343. Gajah Lembana meninggal dunia pada tahun saka, pawanagni kaya bhumi atau tahun Saka 1335. Tuhan Kanaka menjadi patih lamanya tiga tahun. Bhre Daha wafat, Bhre Matahun wafat, Bhre Mataram wafat. Selanjutnya terjadi masa kekurangan pangan yang sangat lama pada tahun saka, naga yuganahut wong (ular jaman menggigit orang) atau tahun Saka 1348. Bhre Tumapel wafat pada tahun saka, sang yuga kaya wong (sembilan jaman tindakan orang) atau tahun Saka 1349, dipusarakan di Lokerep, nama candinya Asmarasaba. Bhre Wengker wafat, dipusarakan di Sumengka. Bhra Hyang Wisesa wafat dan dipusarakan di Lalangon, nama candinya Parama Wiaesa. Bhra Prabhustri wafat pada tahun Saka rupanilagni sitangçu (rupa api bulan) atau tahun Saka 1351.
XIII
Sira tuhan Kanaka atelasan i çaka paksawihat-gunaning-wong, 1363. Pitu welas tahun apatih. Bhre Lasem mokta ring Jinggan. Bhre Pandan Salas mokta. Raden Jagulu. Raden Gajah ingilangaken pinadosa ameki bhre Wirabumi i çaka bhutamanah-antelu-tunggal, 1355. Bhre Daha duk añjeneng ratu i çaka manawa-pañcagni-wulan, 1359. Bhre Parameçwara mokta, sang mokta ring Wisnubhawana i çaka nagaganagni-sitangçu, 1368, dhinarmeng Singhajaya. Bhre Keling mokta, dhinarmeng Apaapa. Bhre prabhu stri mokta i çaka nawa-rasagni-çitangçu, 1369, tunggal dhinarmeng Singhajaya.
Tuan Kanaka meninggal dunia pada tahun saka paksawihat gunaning wong (sayap luka sifat orang) atau tahun Saka 1363. Tujuh belas tahun lamanya menjadi patih. Bhre Lasem wafat di Jinggan. Bhre Pandan Salas wafat. Raden Jagulu, Raden Gajah dilenyapkan karena dianggap melakukan dosa yaitu memenggal kepala Bhre Wirabumi pada tahun saka bhutamanah antelu tunggal (raksasa memanah telur satu) atau tahun Saka 1355. Bhre Daha menjadi raja pada tahun saka manawa pañcagni wulan (sembilan lima api bulan) atau tahun Saka 1359. Bhre Parameswara wafat dan dipusarakan di Wisnu Bawana pada tahun saka nagaganagni sitangçu (naga golongan api bulan) atau tahun Saka 1368, dipusarakan di Singajaya. Baginda Keling wafat dan dipusarakan di Apaapa. Bhre Prabu-stri wafat pada tahun saka nawa rasagni çitangçu (sembilan rasa api bulan) atau tahun Saka 1369 dan dipusarakan di Singajaya.
XIV
Tumuli bhre Tumapel angganteni prabhu. Bhre Paguhan angilangaken, wong Tidunggalating, katur ing Majapahit. Tumuli palindu i çaka paksa-gananahut-wulan, 1362. Bhre Paguhan sira sang mokta ring Canggu dhinarmeng Sabyantara. Bhra Hyang mokta dhinarme Puri. Bhre Jagaraga mokta. Bhre Kabalan mokta dhinarmeng Sumengka tunggal dhinarma. Bhre Pajang mokta tunggal dhinarmeng Sabyantara. Tumuli guntur pakuningan i çaka welut-wiku-anahut-wulan, 1373. Bhre prabhu mokta i çaka bahni-parwata-kayeku, 1373, bhisekaning dharmma ring Kertawijayapura.
Kemudian Baginda Tumapel menggantikan raja Bhre Paguhan dan melenyapkan orang-orang di Tidung Galating, dan ini dilaporkan ke Majapahit. Lalu terjadi gempa bumi pada tahun saka, paksa gananahut wulan (sayap golongan menggigit bulan) atau tahun Saka 1372. Bhre Paguhan wafat di Cangku dan dipusarakan di Sabyantara. Bhre Hyang wafat dan dipusarakan di Puri. Bhre Jagaraga wafat. Bhre Kabalan wafat dan dipusarakan di Sumengka Tunggal. Bhre Pajang Wafat, dipusarakan menjadi satu di Sabyantara. Lalu terjadi gunung meletus didalam minggu Kuningan, pada tahun saka, welut wiku anahut wulan (belut wiku menggigit bulan atau tahun Saka 1373. Bhre Prabu wafat pada tahun saka bahni parwata kayeku (api gunung seperti ekor) atau tahun Saka 1373, nama resmi candinya Kertawijaya Pura.
XV
Bhre Pamotan añjeneng ing Keling, Kahuripan, abhisekanira çri Rajasawarddhana. Mokta sang Sinagara, dhinarma ring Sepang i çaka wisaya-kudanahut-wong, 1375
Bhre Pamotan menduduki tahta raja di Keling wilayah Kahuripan, dengan nama nobat Sri Rajasawarddhana wafatlah Sang Sinagara dan dipusarakan di Sepang pada tahun saka wisaya kudanahut wong (keinginan kuda menggigit orang) atau tahun Saka 1375.
XVI
Telung tahun tan hana prabhu.
Tiga tahun lamanya tidak ada raja.
XVII
Tumuli bhre Wengker prabhu, bhisekanira bhra Hyang purwawiçesa, i çaka brahmana-saptagnyanahut-wulan, 1378. Tumuli guntur palandep i çaka pat-ula-telung-wit, 1384. Bhre Daha mokta i çaka gana-brahmanagni-tunggal, 1386. Bhra Hyang purwawiçesa mokta, dhinarma ring Puri, i çaka brahmana-nagagni-çitangçu, 1388. Tumuli bhre Jagaraga mokta.
Kemudian Bhre Wengker menjadi raja dengan nama nobat Bhre Hyang Purwa Wisesa pada tahun saka brahmana saptagnyanahut wulan (pendeta tujuh menggigit bulan) atau tahun Saka 1378. Lalu terjadilah peristiwa gunung meletus di dalam minggu Landep, pada tahun saka, pat ula telung wit (empat naga tiga pohon) atau tahun Saka 1384. Bhre Daha wafat pada tahun saka gana brahmanagni tunggal (golongan pendeta api tunggal) atau tahun Saka 1386. Baginda Hyang Purwa Wisesa wafat, dipusarakan di Puri, pada tahun saka, brahmana nagagni çitangçu (brahmana naga api bulan) atau tahun Saka 1388. Lalu Bhre Jagaraga wafat.
XVIII
Bhre Pandan Salas añjeneng ing Tumapel, anuli prabhu i çaka brahmana-naga-kaya-tunggal, 1388, prabhu rong tahun. Tumuli sah saking kadaton. Putranira sang Sinagara, bhre Koripan, bhre Mataram, bhre Pamotan, pamungsu bhre Kertabhumi, kapernah paman, bhre prabhu sang mokta ring kadaton i çaka çunya-nora-yuganing-wong, 1400. Tumuli guntur pawatu-gunung i çaka kayambara-sagareku, 1403.
Bhre Pandan Salas menduduki tahta raja di Tumapel, lalu menjadi Prabu pada tahun saka brahmana-naga kaya tunggal (brahmana naga seperti tunggal) atau tahun Saka 1388. Ia menjadi Prabu dua tahun lamanya. Selanjutnya pergi dari istana. Anak-anak sang Sinaraga yaitu Bhre Kahuripan, Bhre Mataram, Bhre Pamotan dan yang bungsu yaitu Bhre Kertabumi, ini adalah paman baginda yang wafat didalam kedatuan pada tahun saka, çunya nora yuganing wong (sunyi tanpa jaman orang) atau tahun Saka, 1400. Lalu terjadi peristiwa gunung meletus, di dalam minggu Watu Gunung pada tahun saka, kayambara sagareku (seperti angkasa laut ekor) atau tahun Saka 1403.
Iti Pararaton. Telas sinurat ing Iccasada ring Çela penek, i çaka wisaya-guna-bayuning-wong, 1535. Ngkana kowusanira sinerat dina, Pa., Sa., Warigadyan, masa krysnapasa dwitiyaning karwa. Sampun tan kapaharjaha de sang çuddhamaca. Tunalewihing sastra durbhiksa tan open kwehaning naça, mapan olihing arddha punggung mahw asisinahu..
Inilah Pararaton, kitab tentang para datu. Selesai ditulis di Itcasada di desa Selapenek, pada tahun saka, wisaya guna bayuning wong (keinginan sifat angin orang) atau tahun Saka 1535. Kitab ini selesai ditulis pada hari Sabtu Pahing, minggu Warigadyan tanggal dua masa krysnapasa, bulan kedua. Semoga ini diterima baik oleh yang berkenan membaca. Banyak kekurangan dan kelebihan tulisannya sehingga sukar untuk dinikmati, tidak terkatakan berapa banyaknya tulisan yang memang rusak. Memang ini adalah hasil dari kebodohan yang meluap-luap berhubung baru saja belajar.
Om dirgghayur astu, tathastu, astu, om çubham astu kintu sang anurat
Semoga panjang umur, mudah mudahan demikian hendaknya, demikianlah, semoga selamat bahagia, juga si penulis ini.