A. Pendahuluan
Kajian wacana sebetulnya telah lama dimulai berabad-abad yang lalu dengan nama seni berbicara atau retorika. Bidang kajian ini mencapai kejayaannya pada abad pertengahan. Pada abad-abad selanjutnya, bidang kajian ini telah memudar dari perhatian orang terutama pada awal abad XX. Pada awal itu, orang memusatkan perhatiannya pada analisis kalimat atau unsur-unsur yang lebih kecil. Kalimat dipandang sentral dan otonom sehingga analisisnya terlepas dari konteks. Kajian wacana mencapai perkembangan dalam menentukan bentuk dan arah sekitar awal tahun 1970-an.
Berbicara mengenai wacana khususnya wacana lisan akan sangat erat kaitannya dengan pragmatik. Seperti kita ketahui dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud ‘menyuruh’ orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif, kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif. Dengan demikian, pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik berbeda dengan semantik, pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik menelaah makna satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya berupa arti atau makna.
Kajian pragmatik lebih menitikberatkan pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya ujaran (maksud dan fungsi tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat adanya fungsi ujaran, yang ada barulah makna kata/kalimat yang diujarkan.
Berbagai tindak tutur yang terjadi di masyarakat, baik tindak tutur representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan deklaratif, tindak tutur langsung dan tidak langsung, maupun tindak tutur harafiah dan tidak harafiah, atau kombinasi dari dua/lebih tindak tutur tersebut, merupakan bahan sekaligus fenomena yang sangat menarik untuk dikaji secara pragmatis. Karena itu pada makalah ini kami akan membahasnya, namun kami batasi hanya mengenai situasi tutur, tindak tutur, tuturan performatif dan konstatif, serta jenis-jenis tindak tutur.
Dalam kehidupan bersosialisasi, saat menjalin hubungan antar sesama manusia dan ketika berinteraksi, manusia memerlukan alat perantara untuk memperkuat jalinan sosialisasi, yaitu dengan jalan membentuk dan memeilihara komunikasi antara sesamanya, karena komunikasi itu berfungsi sebagai alat menyampaikan informasi yang dapat berupa pikiran, gagasan, maksud, perasaan, pesan maupun emosi secara langsung dari penutur kepada lawan tutur, maka sudah tentu memerlukan alat perantara, yaitu alat komunikasi. Di antara berbagai alat komunikasi yang ada dari yang sederhana hingga yang canggih sekalipun, bahasa adalah alat komunikasi yang terbaik. Namun, apabila dalam menggunakan bahasa itu sebagai alat komunikasi tidak tepat sasaran, atau tidak sesuai dengan hakikat maupun aturannya, proses komunikasi menjadi terhambat. Oleh karena itu, sangat diperlukan pengetahuan pemahaman, serta pengalaman dalam komunikasi berbahasa.
Secara sederhana komunikasi dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pertukaran informasi antara penutur dan lawan tutur melalui suatu sistem simbol, lambang atau tanda maupun tingkah laku. Memerhatikan defenisi tersebut, terlihat bahwa proses komunikasi setidak-tidaknya dibangun oleh tiga komponen, yakni : (1) partisipan, (2) hal yang akan diinformasikan, dan (3) alat. Pada partisipan terlihat ada pihak pemberi informasi dan ada pihak penerima informasi. Dalam hal yang diinformasikan, tentunya banyak ide, gagasan atau pemikiran mengenai sesuatu hal. Sementara itu komponen ketiga, yakni alat, adalah sarana yang digunakan untuk menyampaikan informasi. Sarana tersebut bisa berupa lambang atau kode yang berfungsi sebagai pengganti bahasa.
Bahasa sebagai alat komunikasi terdiri atas dua aspek, yakni aspek linguistik dan aspek paralinguistik. Kedua aspek ini bekerja sama dalam membangun komunikasi bahasa. Aspek linguistik mencakup tataran fonologi, morfologi dan sintaksis. Ketiga tataran ini mendukung terbentuknya semantik. Aspek para linguistik mencakup kualitas ujaran, unsur supra segmental seperti tekanan, nada, dan intonasi; jarak dan gerak-gerik tubuh, rabaan yang berkenaan dengan indra perasa (kulit). Aspek linguistik dan para linguistik ini berfungsi sebagai alat komunikasi yang secara bersama-sama dengan konteks situasi membangun situasi tertentu dalam proses komunikasi (Chaer dan Leonie Agustine, 1995). Dalam proses komunikasi itu, bahasa sebagai alat, baik aspek linguistik maupun aspek paralinguistik, informasi yang disampaikan, serta pihak partisipan sebagai pemberi informasi dan penerima informasi; secara bersama-sama membentuk apa yang disebut dengan situasi tutur dan peristiwa tutur dalam suatu tindak tutur.
Berkenaan dengan situasi tutur dan peristiwa tutur dalam suatu tindak tutur, merupakan tiga aspek dalam komunikasi berbahasa yang sering disalahartikan. Memang hal itu bisa terjadi mengingat antara ketiga hal itu ada kesamaan. Oleh karena itu, sering terjadi tumpang tindih pengertian satu dengan yang lainnya. Padahal, antara ketiga hal itu memiliki perbedaan serta konteks yang berbeda-beda pula. Secara sederhana tindak tutur adalah segala tindak yang dilakukan seseorang pada saat berbicara, sedangkan peristiwa tutur adalah suatu kegiatan yang terkontrol oleh sejumlah kaidah maupun norma yang digunakan dalam berbicara.
Berbeda dengan tindak dan peristiwa tutur, situasi tutur adalah kegiatan yang tidak terkontrol secara keseluruhan oleh kaidah-kaidah yang tetap, seperti pembicaraan pada saat perkelahian, pembunuhan, makan dan pesta (Hymes, 1972 dalam Richard (1995). Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa sebagai pembicara dituntut untuk memahami situasi, peristiwa, dan tindak tutur yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam konteks berbahasa.
.
B. Konteks Tutur, Situasi Tutur, Peristiwa Tutur, dan Tindak Tutur
1. Konteks Tutur
Pragmatik memandang konteks sebagai pengetahuan bersama antara pembicara dan pendengar dan pengetahuan tersebut mengarah pada interpretasi suatu tuturan. Pengetahuan atau konteks tertentu dapat mengakibatkan manusia mengidentifikasi jenis-jenis tindak tutur yang berbeda.
Bahasa selalu diungkapkan dalam konteks. Di dalam dunia bunyi dan makna, terdapat konteks yang mempengaruhi keserasian sistem suatu bahasa. Menurut Rustono (1999:20) konteks adalah sesuatu yang menjadi sarana penjelas suatu maksud. Sarana itu meliputi dua macam, yang pertama berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud dan yang kedua berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian. Konteks yang berupa bagian ekpresi yang dapat mendukung kejelasan maksud itu disebut ko-teks (co-teks). Sementara itu, konteks yang berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian lazim disebut konteks (context) saja.
Konteks adalah seperangkat asumsi yang dibangun secara psikologis oleh penutur dan pendengar sesuai dengan pengetahuannya tentang dunia. Konteks ini tidak hanya terbatas pada ujaran saat ini dan ujaran sebelumya, tetapi menyangkut semua yang dapat terlibat dalam interpretasi, seperti harapan masa depan, hipotesis ilmiah, kepercayaan terhadap keagamaan, kenangan lucu, asumsi tentang kebudayaan (faktor sosial, norma sosial, dan sebagainya) dan kepercayaan terhadap penutur atau sebaliknya (Sperber dan Wilson, 1998:15). Konteks ini mempengaruhi interpretasi pendengar terhadap ujaran (wacana).
Mengutip Alwi et.al dalam Rustono (1999:21) koteks terdiri atas unsur-unsur seperti situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan sarana. Sementara itu, unsur konteks yang berupa sarana adalah wahana komunikasi yang dapat berwujud pembicaraan bersemuka atau melalui telepon, surat, dan televisi.
Dengan pijakan ilmu kebahasaan yang sudah ada, para ahli semakin lama semakin menyadari bahwa sebenarnya konteks tidak hanya terikat pada waktu, tempat, situasi, topik, partisipan, dan saluran percakapan saja, tetapi lebih meluas lagi dengan konteks-konteks yang jauh di luar pembicara dan pendengar yang terlibat dalam suatu komuniaksi antarpersona. Mereka telah mulai menjelajahi bahasa secara lebih khusus dan mendalam ke dalam kehidupan manusia yang menggunakannya. Manusia menggunakan bahasa bersama dengan perkembangan sosial budaya; manusia menggunakan bahasa dalam politik, ekonomi, agama, pendidikan, sains dan teknologi. Maka konteks bahasa tidak lagi hanya konteks pembicara-pendengar pada tempat, waktu, situasi, dan saluran tertentu, tetapi telah meluas ke dalam segala segi kehidupan manusia.
Menurut Hymes dalam Rustono (1999:21-22) di dalam peristiwa tutur ada sejumlah faktor yang menandai keberadaan peristiwa itu, yakni: (1) setting atau scene yaitu tempat dan suasana peristiwa tutur; (2) participant, yaitu penutur, mitra tutur, atau pihak lain; (3) end atau tujuan; (4) act, yaitu tindakan yang dilakukan penutur di dalam peristiwa tutur; (5) key, yaitu nada suara dan ragam bahasa yang digunakan di dalam mengekspresikan tuturan dan ciri mengekspresikannya; (6) instrument, yaitu alat atau tulis, melalui telepon atau bersemuka; (7) norm atau norma, yaitu aturan permainan yang harus ditaati oleh setiap peserta tutur dan (8) genre, yaitu jenis kegiatan seperti wawancara, diskusi, kampanye, dan sebagainya. Konfigurasi fonem awal nama kedelapan faktor itu membentuk kata speaking. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa ciri-ciri konteks itu mencakup delapan hal. Kedelapan ciri-ciri konteks yang relevan itu adalah penutur, mitra tutur, topik tuturan, waktu dan tempat bertutur, saluran atau media, kode (dialek atau gaya), amanat atau pesan, dan peristiwa atau kejadian.
a. Konteks sebagai Pengetahuan
Schiffrin (1994:365) menjelaskan bahwa teori tindak tutur dan pragmatik memandang konteks dalam kaitannya dengan pengetahuan, apa yang dapat diasumsikan oleh para Pn (penutur) dan para Mt (mitra tutur) untuk mengetahui sesuatu misalnya, tentang lembaga-lembaga sosial, keinginan dan kebutuhan orang lain, sifat rasionalitas manusia, dan bagaimana pengetahuan itu dapat memberikan panduan dalam penggunaan bahasa dan interpretasi terhadap tuturan. Meskipun kaidah-kaidah tersebut menetapkan kondisi-kondisi tekstual maupun kontekstual yang mendasari penggunaan bahasa, namun tujuan utama teori tindak tutur adalah untuk karakterisasi pengetahuan kita tentang kaidah-kaidah tersebut. Artinya, pengetahuan yang abstrak tentang teks dan konteks akan memberikan panduan untuk mengidentifikasi berbagai tipe tindak tutur yang berbeda pada tingkat umum maupun dalam tingkat yang khusus.
Konteks bagi para ahli teori tindak tutur diartikan sebagai jenis khusus latar belakang pengetahuan yang disebut kaidah-kaidah konstitutif, yakni, pengetahuan tentang kondisi-kondisi yang diperlukan oleh Pn dan Mt untuk memahami sebuah tuturan yang selalu dipandang sebagai sesuatu yang khusus namun berbeda dengan tuturan yang lain (Shiffrin, 1994: 367). Konteks adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh Pn dan Mt yang memungkinkan Mt untuk memperhitungkan implikasi (yang tersirat di dalam) tuturan untuk memaknai arti tuturan Pn. Hal ini didasari adanya prinsip kerja sama yang menunjukkan bahwa Pn dan Mt sudah saling mengetahui. Untuk memahami keberadaan suatu tuturan, Mt harus mencuri data yang berupa makna konvensional kata-kata yang digunakan beserta referensinya, prinsip kerja sama dan maksim-maksimnya, konteks linguistik, hal-hal yang berkaitan dengan latar pengetahuan, dan kenyataan adanya kesamaan dari keempat macam bentuk partisipan sehingga keduanya dapat saling mengerti (Grice, 1975:50).
Konteks adalah seperangkat asumsi yang dibangun secara psikologis oleh penutur dan pendengar tentang dunia. Konteks ini tidak hanya terbatas pada ujaran saat ini dan ujaran sebelumnya, tetapi menyangkut semua yang dapat terlibat dalam interpretasi, seperti harapan masa depan, hipotesis ilmiah, kepercayaan terhadap keagamaan, kenangan lucu, asumsi tentang kebudayaan (faktor sosial, norma sosial, dan sebagainya), dan kepercayaan terhadap penutur dan pendengar (Sperber dan Wilson, 1998:15). Konteks mempengaruhi interpretasi penutur dan pendengar terhadap ujaran (wacana).
b. Konteks sebagai Suatu Situasi Interaksi Sosial
Konteks di sini cenderung dimaksudkan sebagai sesuatu yang riil, bukan sebagi sesuatu yang ada dalam pikiran atau pengetahuan. Duranti (1997) menjelaskan bahwa bahasa dan konteks saling mendukung satu sama lain. Bahasa membutuhkan konteks dalam pemakaiannya. Begitu pun sebaliknya, konteks baru memiliki makna jika di dalamnya terdapat tindak bahasa sehingga bahasa tidak hanya berfungsi dalam interaksi-interaksi yang diciptakan, tetapi bahasa juga membentuk dan menyediakan interaksi-interaksi yang sedang terjadi sebagai konteks.
Seorang pakar sosioliguistik, Cooley (dalam Shiffrin, 1994) berpandangan bahwa jika seseorang mendefinisikan situasi sebagai sesuatu yang riil, maka konsekuensinya situasi harus riil juga. Salah satu ciri utama pendekatan sosiolinguitik interaksional adalah bahwa ia dapat memberikan susunan pandangan tentang interaksi sosial dan situasi sosial, termasuk di dalamnya kerangka kerja partisipasi yang dibangun dari interaksi yang situasional (Rusminto, 2005:85). Oleh karena itu, konteks-konteks kognitif yang dibahas oleh para ahli sosiolinguistik interaksional (Goffman, 1974; Tannen, 1979) juga memiliki landasan sosial, pengetahuan tentang keadaan-keadaan sosial atau harapan-harapan tentang perbuatan sosial. Seperti yang dilakukan Goffman dalam salah satu penelitian sosiologisnya yang memfokuskan perhatian pada tatanan interaksi yang mendasari berbagai kesempatan sosial, situasi sosial, dan pertemuan sosial.
Ada dua peran penting konteks di dalam tindak tutur. Pertama, sebagai pengetahuan abstrak yang mendasari bentuk tindak tutur. Kedua, suatu bentuk lingkungan sosial di mana tuturan-tuturan dapat dihasilkan dan diinterpretasikan dalam realitas yang nyata (Sciffrin, 1994:371). Pada sisi lain, Halliday dan Hasan (1992: 16:62) membagi konteks situasi menjadi tiga; yaitu (1) sebagai medan wacana, (2) sebagai pelibat wacana, dan (3) sebagai sarana wacana. Medan wacana menunjuk pada sesuatu yang sedang terjadi pada sifat (keformalan) tindakan sosial yang sedang berlangsung. Medan wacana menunjuk kepada orang yang mengambil bagian dalam peristiwa tutur, sedangkan sarana tutur menunjuk kepada bagian yang diperankan oleh bahasa seperti, organisasi teks, kedudukan dan fungsi yang dimiliki, saluran yang digunakan, serta model retorikanya.
Oleh karena itu, bahasa hanya memiliki makna jika berada dalam suatu konteks situasi. Makna sebuah ujaran diinterpretasikan melalui sebuah ujaran dengan memperhatikan konteks, sebab konteks yang akan menentukan makna sebuah ujaran berdasarkan situasi. Artinya, konteks situasi sangat berpengaruh dalam berinteraksi. Pilihan bahasa seseorang dapat berubah dari ragam baku menjadi ragam tidak baku atau sebaliknya jika situasi yang melatarinya berubah. Perubahan bentuk bahasa yang digunakan dalam interaksi dipengaruhi oleh berubahnya konteks situasi akibat pengetahuan Pn akan keneradaan Mt.
Berdasarkan uraian tersebut, peranan konteks sebagai situasi dan pengetahuan memiliki peran tertentu. Konteks sebagai situasi sangat berperan bagi Pn dan Mt untuk memahami situasi sosial budaya sebagai pengetahuan sehingga karakteristik wujud tutur, prinsip penyampaian tutur, dan pemroduksian tutur mempunyai peranan dalam mengidentifikasi ekspresi tutur.
.
2. Situasi Tutur
Sebagai salah satu cabang ilmu bahasa yang berkaitan langsung dengan peristiwa komunikasi, maka pragmatik tidak dapat dipisahkan dari konsep situasi tutur. Dengan menggunakan analisis pragmatis, maksud atau tujuan dari sebuah peristiwa tutur dapat diidentifikasikan dengan mengamati situasi tutur yang menyertainya. Rustono (1999:26) menyatakan bahwa situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Hal tersebut berkaitan dengan adanya pendapat yang menyatakan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi merupakan penyebab terjadinya tuturan.
Sebuah peristiwa tutur dapat terjadi karena adanya situasi yang mendorong terjadinya peristiwa tutur tersebut. Situasi tutur sangat penting dalam kajian pragmatik, karena dengan adanya situasi tutur, maksud dari sebuah tuturan dapat diidentifikasikan dan dipahami oleh mitra tuturnya. Sebuah tuturan dapat digunakan dengan tujuan untuk menyampaikan beberapa maksud atau sebaliknya. Hal tersebut dipengaruhi oleh situasi yang melingkupi tuturan tersebut. Keanekaragaman maksud yang mungkin disampaikan oleh penutur dalam sebuah peristiwa tutur, Leech (1993) mengungkapkan sejumlah aspek yang harus dipertimbangkan, aspek tersebut antara lain penutur dan mitra tutur, konteks, tujuan tuturan, tindak tutur sebagai bentuk aktivitas dan tuturan sebagai produk tindakan verbal.
Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Di dalam komunikasi, tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur merupakan sebabnya. Di dalam sebuah tuturan tidak senantiasa merupakan representasi langsung elemen makna unsur-unsurnya. Pada kenyataannya terjadi bermacam-macam maksud dapat diekspresi dengan sebuah tuturan, atau sebaliknya, bermacam-macam tuturan dapat mengungkapkan sebuah maksud. Sehubungan dengan bermacam-macamnya maksud yang mungkin dikomunikasikan oleh penuturan sebuah tuturan.
Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Pernyataan ini sejalan dengan pandangan bahwa tuturan merupakan akibat, sedangkan situasi tutur merupakan sebabnya. Dalam komunikasi tidak ada tuturan tanpa situasi tutur. Dengan kata lain maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya. Dapat pula dikatakan bahwa sebuah tuturan tidak senantiasa merupakan representasi langsung elemen makna unsur-unsurnya (Sperber & Wilson, 1989). Leech (1983) mengemukakan sejumlah aspek yang senantiasa harus dipertimbangkan dalam berkomunikasi. Aspek- aspek tersebut adalah sebagai berikut.
a. Penutur dan Lawan Tutur
Aspek yang bersangkutan dengan penutur dan lawan tutur adalah usia, latar belakang sosial ekonomi, jenis kelamin, dan tingkat keakraban. Konsep penutur dan lawan tutur ini juga mencakup penulis dan pembaca bila tuturan bersangkutan dikomunikasikan dengan media tulisan. Aspek-aspek yang berkaitan dengan penutur dan lawan tutur ini adalah usia, latar belakang, sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat keakraban, dan sebagainya.
Penutur adalah orang yang bertutur, sementara mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran atau kawan penutur. Peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti, penutur pada tahap tutur berikutnya dapat menjadi mitra tutur, begitu pula sebaliknya sehingga terwujud interaksi dalam komunikasi. Konsep tersebut juga mencakup penulis dan pembaca apabila tuturan tersebut dikomunikasikan dalam bentuk tulisan. Aspek-aspek yang terkait dengan penutur dan mitra tutur tersebut antara lain aspek usia, latar belakang sosial, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat keakraban. Aspek-aspek tersebut mempengaruhi daya tangkap mitra tutur, produksi tuturan serta pengungkapan maksud. Penutur dan mitra tutur dapat saling memahami maksud tuturan apabila keduanya mengetahui aspek-aspek tersebut. Berikut adalah contoh dalam percakapan.
1) Konteks : Andi Bertanya kepada Tatang mengenai hasil pertandingan sepak bola Indonesia melawan Korea Selatan
Andi : Tang, kemarin lihat bola gak, gimana Indonesia menang nggak?
Tatang : Wah, kacau Ndi. Indonesia kalah 0-1.
Andi dalam tuturan tersebut berlaku sebagai penutur sedangkan Tatang sebagai orang yang diajak bicara oleh Andi sebagai mitra tutur yang mendengarkan tuturan Andi, disamping itu Tatang dalam peristiwa tutur tersebut juga berperan sebagai penutur, yaitu dengan mengungkapkan jawaban atas pertanyaan Andi yang menanyakan hasil pertandingan sepak bola AFC, Indonesia melawan Korea Selatan yang dimenangkan oleh Korea Selatan 1-0.
b. Konteks Tuturan
Kontek tuturan penelitian linguistik adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks yang bersifat fisik lazim disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial disebut konteks. Konteks tuturan linguistic adalah konteks dalam semua aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks tuturan mencakupi aspek fisik atau latar sosial yang relevan dengan tuturan yang bersangkutan. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud disebut dengan ko-teks. Sementara itu, konteks yang berupa situasi yang berhubunagn dengan suatu kejadian disebut konteks.
Pada hakikatnya konteks dalam pragmatic merupakan semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama antara penutur dengan mitra tuturnya.
2) Konteks : Rintan bertemu dengan Rizal saat menunggu angkutan
Rizal : Hai, Rintan!, mau kemana nih, kok sendirian aja?
Rintan : Eh, Rizal, mau kuliah. Biasanya juga sendirian. (agak malu)
Konteks yang ditampilkan dalam peristiwa tutur yang terjadi antara Rintan dan Rizal tersebut adalah Rizal bertanya kepada Rintan sedangkan koteks ditunjukkan pada raut wajah Rintan yang agak malu menjawab pertanyaan Rizal.
c. Tujuan Tuturan
Tujuan tuturan merupakan hal yang yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan tutur. Tujuan tuturan merupakan hal yang melatarbelakngi tuturan dan semua tuturan orang normal memiliki tujuan. Bentuk- bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatar belakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan ini bentuk-bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan maksud yang sama. Atau sebaliknya, berbagai macam maksud dapat diutarakan dengan tuturan yang sama.
Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Semua tuturan memiliki tujuan, hal tersebut memiliki arti bahwa tidak ada tuturan yang tidak mengungkapkan suatu tujuan. Bentuk-bentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur selalu dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tuturan. Dalam hubungan tersebut, bentuk tuturan yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan satu maksud dan sebaliknya satu tuturan dapat menyatakan berbagai macam maksud.
3) Konteks : Adi datang berkunjung ke rumah Bu Nori untuk meminjam buku catatan
Adi : Kemarin aku gak sempat nyatet kuliahnya Pak Tomo nih.
Bu Nori : Nah, kamu pasti mau pinjam buku catatanku lagi kan?
Berdasarkan peristiwa tutur tersebut dapat diungkapkan bahwa penutur dalam hal ini Adi memiliki tujuan dalam menuturkan tuturan ‘Kemarin aku gak sempat nyatet kuliahnya Pak Arifin nih.’ Tujuan dari tuturan tersebut adalah bahwa Adi bermaksud meminjam buku catatan Bu Nori, karena kemarin dia tidak sempat mencatat materi kuliah yang disampaikan Pak Arifin.
d. Tuturan Sebagai Bentuk Tindakan atau Aktivitas
Yang dimaksud dari tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas yaitu tindak tutur itu merupakan tindakan juga. Menuturkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan (act) (Austin, 1962, Gunarwan, 1994, dan Kaswanti Purwo, 1990). Di sini tuturan bukan merpakan entitas abstrak seperti tata bahasa, di sini tuturan adalah sebagai entitas yang kongkret jelas penutur dan lawan tuturnya, serta waktu dan tempat pengutaraanya.
Tuturan sebagai tindakan atau aktivitas memiliki maksud bahwa tindak tutur merupakan sebuah tindakan. Menuturkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan. Tuturan dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan atau aktivitas karena dalam peristiwa tutur, tuturan dapat menimbulkan efek sebagaimana tindakan yang dilakukan oleh tangan atau bagian tubuh lain yang dapat menyakiti orang lain atau mengekspresikan tindakan.
4) Konteks : seorang ibu berkata kepada anaknya
Ibu : Wah, terasnya kotor sekali ya?.
Anak : (segera mengambil sapu dan menyapu teras tersebut)
Berdasarkan peristiwa tutur tersebut tuturan yang dilakukan oleh Ibu merupakan tindakan menyuruh atau mendorong Anak untuk membersihkan teras yang terlihat kotor. Tuturan tersebut menimbulkan efek pada mitra tutur yang mendengarkan tuturan tersebut seperti halnya didorong atau dipukul dengan menggunakan tangan. Dalam perilaku yang dilakukan oleh anak yang segera mengambil sapu dan menyapu teras merupakan efek dari ucapan Ibu tersebut.
e. Tuturan Sebagai Produk Tindak Verbal
Tindakan manusia dibedakan menjadi 2, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Memukul atau berjalan merupakan contoh dari tindakan nonverbal. Sementara berbicara merupakan tindakan verbal. Tindak verbal adalah tindak mengekspresikan kata-kata atau bahasa.
Tuturan merupakan hasil dari suatu tindakan. Tindakan manusia ada dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan tersebut merupakan produk tindak verbal yang merupakan tindakan mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Tuturan sebagai produk tindakan verbal akan terlihat dalam setiap percakapan lisan maupun tertulis antara penutur dan mitra tutur, seperti yang tampak pada tuturan berikut.
5) Konteks : seorang ibu berpesan pada anaknya
Ibu : Ris, nanti kalau ada tamu bilang Ibu sedang arisan ya!
Risa : Iya, Bu.
Tuturan tersebut merupakan hasil dari tindakan verbal bertutur kepada mitra tuturnya, dalam hal ini Risa yang diberi pesan Ibunya, bahwa kalau ada tamu Risa harus mengatakan bahwa Ibunya sedang arisan. Kelima aspek situasi tutur tersebut tentu tidak terlepas dari unsur waktu dan tempat di mana tuturan tersebut diproduksi, karena tuturan yang sama apabila diucapkan pada waktu dan tempat berbeda, tentu memiliki maksud yang berbeda pula. Sehingga unsur waktu dan tempat tidak dapat dipisahkan dari situasi tutur.
.
3. Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu (Chaer dan Agustina, 1995: 61). Jadi interaksi yang berlangsung antara seorang pedagang dan pembeli di pasar pada waktu tertentu dengan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasinya adalah sebuah peristiwa tutur. Peristiwa serupa kita dapati juga dalam acara diskusi di ruang kuliah, rapat dinas di kantor, sidang di pengadilan, dan sebagainya.
Bagaimana dengan percakapan di bus kota atau di kereta api yang terjadi di antara penumpang yang tidak saling kenal, pada mulanya dengan topik yang tidak menentu, tanpa tujuan, dengan ragam bahasa yang berganti-ganti, apakah dapat juga disebut dengan sebuah peristiwa tutur? Secara sosiolingiustik percakapan tersebut tidak dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur sebab pokok percakapannya tidak menentu (berganti-ganti menurut situasi), tanpa tujuan, dilakukan oleh orang-orang yang tidak sengaja untuk bercakap-cakap, dan menggunakan ragam bahasa yang berganti-ganti.
Sebuah percakapan baru dapat disebut sebagai sebuah peristiwa tutur apabila memenuhi syarat-syarat seperti yang disebutkan di atas, atau seperti dikatakan Dell Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 1995:62), seorang pakar sosiolinguistik terkenal, bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamannya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING. Kedelapan komponen itu adalah sebagai berikut.
S : (setting and Scene)
P : (participants)
E : (ends: purpose and goal)
A : (Act sequences)
K : (key: tone or spirit of act)
I : ( instrumentalities)
N : (norms of interaction and interpretation)
G : (genres)
Setting and scene. Di sini setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi, tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tuturan yang berbeda dapat menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda juga. Berbicara di lapangan sepak bola pada waktu ada pertandingan sepak bola dalam situasi yang ramai tentu berbeda dengan pembicaraan di ruang perpustakaan pada waktu banyak orang membaca dan dalam keadaan sunyi. Di lapangan sepak bola kita bisa berbicara dengan keras tapi di ruang perpustakaan harus bicara seperlahan mungkin.
Participant adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima pesan. Dua orang yang bercakap-cakap dapat berganti peran sebagai pembicara atau pendengar, tetapi dalam khotbah masjid, khotib sebagai pembicara dan jemaah sebagai pendengar tidak dapat bertukar peran. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan. Misalnya, seorang anak akan menggunakan ragam atau gaya bahasa yang berbeda bila berbicara dengan orang tuanya atau gurunya bila dibandingkan kalau dia berbicara dengan teman-teman sebayanya.
End, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. Peristiwa tutur yang terjadi di ruang pengadilan bermaksud untuk menyelesaikan suatu kasus perkara; namun para partisipan di dalam peristiwa tutur itu mempunyai tujuan yang berbeda. Jaksa ingin membuktikan kesalahan si terdakwa, pembela berusaha membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah, sedangkan hakim berusaha memberikan keputusan yang adil.
Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran . Bentuk ujaran dan isi ujaran ini berkenaan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dan topik pembicaraan. Bentuk ujaran dalam kuliah umum, dalam percakapan biasa, dan dalam pesta adalah berbeda. Begitu juga dengan isi yang dibicarakan.
Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya. Hal ini dapat juga ditunjukkan dengan gerak tubuh dan isyarat. Instrumentalities, mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan, tertulis, melalui telegraf atau telepon. Instrumentalities ini juga mengacu pada kode ujaran yang digunakan, seperti bahasa, dialeg ragam atau register.
Norm of Interaction and Interpretation, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Misalnya, yang berhubungan dengan cara berinterupsi, bertanya, dan sebagainya. Juga mengacu pada norma penafsiran terhadap ujaran dari lawan bicara. Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa dan sebagainya. Dari uraian yang dikemukakan Hymes itu dapat kita lihat betapa kompleksnya terjadinya peristiwa tutur yang kita lihat, atau kita alami sendiri dalam kehidupan sehari-hari.
Sebelumnya Hymes menyatakan bahwa suatu peristiwa tutur itu memiliki 16 komponen tutur yang dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut.
a. Bentuk Pesan (Message Form)
Bentuk pesan merupakan hal yang mendasar dan merupakan salah satu pusat tindak tutur, di samping isi pesan. Bentuk pesan menyangkut cara bagaimana sesuatu itu (topik) dikatakan atau diberitakan.
b. Isi Pesan (Message Content)
Bentuk pesan dan isi pesan merupakan pusat tindak tutur. Isi pesan berkaitan dengan persoalan apa yang dikatakan, menyangkut topik dan perubahan topik. Untuk membedakan bentuk pesan dan isi pesan, kita sebaiknya melihat contoh kalimat langsung dan tak langsung. Kalau seseorang berujar, “Dia berdoa agar Tuhan melindungi keluarganya”. Orang itu hanya melaporkan isi pesan saja. Kalau orang itu mengatakan, “Dia berdoa,Tuhan lindungilah keluarga saya!” Orang itu melaporkan isi pesan, yaitu tentang dia yang berdoa, dan sekaligus mengutip bentuk pesan yaitu bagian kalimat Tuhan lindungilah keluarga saya. Isi pesannya adalah apa doanya itu. Bentuk pesannya adalah bagaimana ia berdoa.
c. Latar (Setting)
Latar mengacu kepada waktu dan tempat terjadinya tindak tutur, dan biasanya mengacu kepada keadaan fisik.
d. Suasana (Scene)
Berbeda dengan latar, suasana mengacu kepada latar psikologis atau batasan budaya tentang suatu kejadian sebagai suatu jenis usaha tertentu. Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang dalam latar yang sama mungkin mengubah suasana, misalnya dari formal menjadi informal, dari serius menjadi santai.
e. Penutur (Speaker, Sender)
Adalah pihak yang menyampaikan tuturan atau pesan secara lisan, bisa individu atau kelompok.
f. Pengirim (Addressor)
Adalah pihak yang mengirimkan tuturan atau pesan, bisa individu atau kelompok.
g. Pendengar (Hearer, Receiver, Audience)
Adalah pihak yang menerima tuturan atau pesan secara lisan, bisa individu atau kelompok.
h. Penerima (Addresse)
Adalah pihak yang menerima tuturan atau pesan, bisa individu atau kelompok.
i. Maksud-Hasil (Purpose-Outcome)
Mengacu pada hasil yang diharapkan dengan cara menggunakan ragam bahasa yang tertentu.
j. Maksud-Tujuan (Purpose-Goal)
Sulit membedakan komponen ini dengan komponen ke-9. Keduanya adalah aspek maksud, yang membedakan justru istilah outcome dan goal. Hymes menyebut keduanya menjadi end, mencakup tujuan dalam angan dan sebagai hasil.
k. Kunci (Key)
Kunci mengacu kepada cara, nada, atau jiwa (semangat) tindak tutur dilakukan.
l. Saluran (Channel)
Saluran mengacu kepada medium penyampaian tutur : lisan, tertulis, telegram, telepon. Dalam hal saluran, orang harus membedakan cara menggunakannya. Saluran lisan (oral) misalnya dipakai untuk bernyanyi, bersenandung, bersiul, mengujarkan tutur. Ragam lisan untuk tatap muka berbeda dengan untuk telepon. Ragam tulis telegram berbeda dengan ragam tulis surat.
m. Bentuk Tutur (Form of Speech)
Hymes mengemukakan bentuk tutur lebih mengarah kepada tatanan perabot kebahasaan yang berskala bahasa, dialek dan varietas yang dipakai secara luas. Bersama dengan saluran bentuk bahasa membentuk komponen instrumentalitas.
n. Norma Interaksi (Norm of Interaction)
Norma interaksi mengacu kepada perilaku khas dan sopan santun tutur yang berlaku dalam masyarakat tutur yang bersangkutan. Misalnya orang boleh menyela atau dilarang menyela dalam percakapan, suara normal tidak boleh dipakai dalam misa di Gereja atau sembahyang di Masjid, giliran berbicara terbatas waktunya.
o. Norma Interpretasi (Norm of Interpretation)
Norma interpretasi mengacu kepada cara (misal : dalam pertuturan, antara penutur dan lawan tutur saling bertatap muka, duduk lebih berdekatan, mata membelalak dan suara keras ) dan saat yang tepat dalam bertutur (misal : mengajukan permohonan, meminta).
p. Genre
Yang dimaksud dengan genre adalah kategori-kategori seperti narasi, pepatah, puisi. Menurut penelitian psikolinguistik, ingatan manusia itu paling baik bekerja untuk klasifikasi berjumlah tujuh, plus minus dua (jadi bisa 5, bisa 9) (dalam Sumarsono dan Partana 2002:326-335).
Berdasarkan hal tersebut Hymes mencoba menyingkat 16 komponen tutur dengan cara mengelompokkan dua, tiga komponen yang berdekatan menjadi satu istilah. Tiap istilah ini lalu digabungkan, disusun menjadi akronim dalam bahasa Inggris. Menurut Hymes (dalam Sumarsono dan Partana 2002:334) dalam bahasa Prancis SPEAKING dikenal dengan sebutan PARLANT, dengan penggolongan yang agak berbeda, yaitu :
P : Participant, hasil gabungan dari e, f, g, dan h
A : Actes, hasil gabungan dari a dan b
R : Raison, hasil gabungan dari i dan j
L : Locale, hasil gabungan dari c dan d
A : Agents , hasil gabungan dari l dan m
N : Normes, hasil gabungan dari n dan o
T : Types, p
.
4. Tindak Tutur
Tindak Ujaran merupakan aksi (tindakan) dengan menggunakan bahasa (Djajasudarma, 1994: 63). Bahasa digunakan pada hampir semua aktivitas. Kita menggunakan bahasa untuk menyatakan informasi (permohonan informasi, memerintah, mengajukan, permohonan, mengingatkan, bertaruh, menasihati, dan sebagainya). Kemudian tindak tutur (istilah kridalaksana penuturan atau speech act, speech event) adalah pengajaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui oleh pendengar (Kridalaksana, 1984: 154). Chaer (1995: 65), menyatakan bahwa tindak tutur merupakan gejala individu, bersifat psikolinguistik dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam mengahdapi situasi tertentu.
Searle di dalam bukunya Speech Acts: An Essay in The Philosophy of Language (dalam Wijana,1996: 17). Mengemukakan bahwa secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).
Tindak tutur merupakan aksi (tindakan) dengan menggunakan bahasa (Djajasudarma, 1994:63). Bahasa digunakan pada hampir semua aktivitas. Kita menggunakan bahasa untuk menyatakan informasi (permohonan informasi, memerintah, mengajukan, permohonan, mengingatkan, bertaruh, menasehati, dan sebagainya). Kemudian tindak tutur (istilah Kridalaksana penuturan atau speech act, speech event) adalah pengajaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara diketahui oleh pendengar (Kridalaksana, 1984:154). Richard (1995) mengemukakan bahwa tindak tutur (dalam arti yang sempit sekarang) adalah istilah minimal dari pemakaian situasi tutur/peristiwa tutur/tindak tutur.
Ketika kita berbicara, kita melakukan tindakan-tindakan seperti memberi laporan, membuat pernyataan-pernyataan, mengajukan pertanyaan, memberi peringatan, memberi janji, menyetujui, menyesal dan meminta maaf. Pada bagian lain ia juga mengemukakan bahwa tindak tutur dapat diberikan sebagai sesuatu yang sebenarnya kita lakukan ketika berbicara. Ketika kita terlihat dalam percakapan, kita melakukan beberapa tindakan seperti : melaporkan, menyatakan, memperingatkan, menjanjikan, mengusulkan, menyarankan, mengkritik, meminta dan lain-lain. Suatu tindak tutur dapat didefinisikan sebagai unit terkecil aktivitas berbicara yang dapat dikatakan memiliki fungsi.
Berkenaan dengan tindak tutur ini Chaer dan Leonie Agustine (1995) berpendapat bahwa tindak tutur merupakan gejala individual, bersifat psikologis, dan keberlangsungannya ditentukan oleh kemampuan bahasa si penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Dalam tindak tutur itu yang lebih dilihat adalah makna atau arti tindakan dalam tuturannya. Kemudian Sinclair dan Coulthard R. (1995) dalam Richard (1995) yang pernah mengadakan suatu pengamatan terhadap peristiwa sosial (pelajaran) dalam ruang belajar, dan peristiwa sosial (pelajaran) itu disebutnya sebagai kerangka analitis yang berada paling luas dan selanjutnya secara berturut-turut membagi urutan wacana hingga kebagian yang paling kecil yakni tindak. Tindak ini didefenisikan sebagai unit berbicara yang paling kecil yang bisa dikatakan mempunyai suatu fungsi. Berbagai tindak diberi nama yang disesuaikan dengan setiap fungsi wacana, seperti mencari keterangan, bertanya dan sebagainya.
Untuk memahami tindak tutur ini, lebih lanjut Richard (1995) mengutip pendapat seorang filsuf yang bernama Austin (1992) yang menyatakan bahwa ada ribuan kata kerja dalam bahasa Inggris seperti; ask (bertanya), request (meminta), direct (memimpin), require (membutuhkan), order (menyuruh), command (memerintah), suggest (menyarankan), beg (memohon), plead (menuntut), yang kesemuanya menandai tindak tutur. Tetapi tindak tutur itu tidak sekedar setara dengan kata kerja yang digunakan untuk menggambarkan tindak tutur itu.
Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa tindak tutur adalah kemampuan seorang individu melakukan tindak ujaran yang mempunyai maksud tertentu sesuai dengan situasi tertentu. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa tindak tutur yang lebih ditekankan ialah arti tindakan dalam tuturannya. Hal ini sesuai dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, yang bertujuan untuk merumuskan maksud dan melahirkan perasaan penutur. Selain itu, tindak tutur juga mencakup ekspresi psikologis (misalnya berterima kasih dan memohon maaf), dan tindak sosial seperti memengaruhi tingkah laku orang lain (misalnya mengingatkan dan memerintahkan) atau membuat kontrak (misalnya berjanji dan menamai).
Kajian Austin merinci tindak tutur menjadi beberapa kelompok. Di antaranya adalah sebagai berikut.
a. Representative (representatif): tindak tutur yang memeriksa suatu keadaan atau peristiwa: Pernyataan, dugaan, laporan, pemerian. Tindak tutur ini dapat saja benar atau salah. Misalnya: Ini namanya lumpia (padahal mestinya : risoles).
b. Commissive (komisif): tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melakukan sesuatu: janji, sumpah, ancaman. Misalnya: Siapa saja yang ketahuan nyontek,langsung saya kasih E.
c. Directive (direktif): tindak tutur yang dimaksudkan agar pendengarnya melakukan suatu tindakan. Seperti minta tolong, perintah, menantang, mengundang. Misalnya: Harap Tenang.
d. Declaration (deklarasi): tindak tutur yang dapat mendatangkan atau mengubah suatu keadaan. Seperti pembabtisan, pengukuhan, keputusan. Misalnya : Saudara kami nyatakan lulus menjadi doctor.
e. Expressive (ekspresif): tindak tutur yang menunjukkan keadaan psikologis atau sikap penuturnya. Seperti member salam,minta atau memberi maaf, ucapan selamat, ucapan bela sungkawa, memberi pujian. Misalnya: Maaf, pak, saya terlambat (Searle (1981).
Menurut tata bahasa tradisional ada tiga jenis kalimat, yaitu kalimat deklaratif, kalimat interogatif, dan kalimat imperatif. Austin (1962) membedakan kalimat deklaratif berdasarkan maknanya menjadi kalimat konstatif dan performatif. Yang dimaksud dengan kalimat konstatif adalah kalimat yang berisi pernyataan belaka. Sementara itu yang dimaksud dengan kalimat performatif adalah kalimat yang berisi perlakuan. Artinya apa yang diucapkan oleh si pengujar berisi apa yang dilakukannya.
Tindak tutur yang dilangsungkan dengan kalimat performatif oleh Austin (1962:100-102) dirumuskan sebagai tiga peristiwa tindakan yang berlangsung sekaligus, yaitu: Tindak Tutur
a. Tindak Lokusi
Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Tindak tutur ini disebut sebagai The Act of Saying Something.
Contoh:
Ikan paus adalah binatang menyusui
Kalimat di atas diutarakan oleh penuturnya semata-mata untuk menginformasikan sesuatu tanpa tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk memengaruhi lawan tuturnya. Informasi yang diutarakannya adalah termasuk jenis binatang apa paus itu. Bila diamati secara seksama konsep lokusi itu adalah konsep yang berkaitan dengan proposisi kalimat. Kalimat atau tuturan dalam hal ini dipandang sebagai satu satuan yang terdiri dari dua unsur, yakni subjek/ topik dan predikat/ coment (Nababan dalam Wijana, 1996:18). Lebih jauh tindak lokusi adalah tindak tutur yang relatif paling mudah untuk diidentifikasi karena pengidentifikasiannya cenderung dapat dilakukan tanpa menyertakan konteks tuturan yang tercakup dalam situasi tutur.
b. Tindak Ilokusi
Sebuah tuturan selain berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu dapat juga dipergunakan untuk melakukan sesuatu. Bila hal ini terjadi, tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur ilokusi. Tidak ilokusi disebut juga The Act of Doing Something.
Contoh:
Rambutmu sudah panjang
Kalimat di atas bila diucapkan oleh seorang laki-laki kepada pacarya, mungkin berfungsi untuk menyatakan kekaguman atau kegembiraan. Akan tetapi, bila diutarakan oleh seorang ibu kepada anak lelakinya, atau oleh seorang istri kepada suaminya, kalimat ini dimaksudkan untuk menyuruh atau memerintahkan anak atau suami tersebut untuk memotong rambutnya.
Dari uraian tersebut jelaslah bahwa tindak ilokusi sangat sukar diidentifikasi karena terlebih dahulu harus mempertimbangkan siapa penutur dan lawan tutur, kapan dan dimana tindak tutur itu terjadi, dan sebagainya. Dengan demikian tindak ilokusi merupakan bagian sentral untuk memahami tindak tutur.
c. Tindak Perlokusi
Sebuah tuturan yang diutarakan oleh seseorang sering kali mempunyai daya pengaruh (perlocituonary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk memengaruhi lawan tutur disebut dengan tindak perlokusi. Tindak ini disebut The Act of Affecting Someone.
Contoh:
Kemarin saya sangat sibuk
Kalimat di atas bila diutarakan oleh seseorang yang tidak dapat menghadiri undangan rapat kepada orang yang mengundangnya, kalimat ini merupakan tindak ilokusi untuk memohon maaf, dan perlokusinya (efek) yang diharapkan adalah orang yang mengundang dapat memakluminya.
.
4. Jenis-Jenis Tindak Tutur
Dilihat dari konteks situasinya, ada dua macam tindak tutur, yaitu tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung.
a. Tindak Tutur Langsung
Tindak tutur langsung mudah dipahami oleh pendengar karena ujaran-ujarannya berupa kalimat-kalimat dengan makna lugas.
Contoh:
Tempat : Halaman rumah
Bapak : Aisyah, tolong sapu halaman itu!
Aisyah : Baik Pak, segera saya sapu.
1) Tindak Tutur Langsung Literal
Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan maksud pengutaraannya. Maksud memerintah disampaikan dengan kalimat perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan dengan kalimat Tanya, dan sebagainya.
Contoh:
(a) Orang itu sangat pandai.
(b) Buka mulutmu!
(c) Jam berapa sekarang?
Tuturan (a), (b), dan (c) merupakan tindak tutur langsung literal bila secara berturut-turut dimaksudkan untuk memberitakan bahwa orang yang dibicarakan sangat pandai, menyuruh agar lawan bicara membuka mulut, dan menanyakan pukul berapa ketika itu. Maksud memberitakan dengan kalimat berita (a), maksud memerintah dengan kalimat perintah (b), dan maksud bertanya dengan kalimat Tanya (c).
2) Tindak Tutur Langsung Tidak Literal
Tindak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai dengan dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah diungkapkan dengan kalimat perintah, dan maksud menginformasikan dengan kalimat berita.
Contoh:
(a) Suaramu bagus, kok.
(b) Kalau makan biar kelihatan sopan, buka saja mulutmu!
Dengan tindak tutur langsung tidak literal penutur dalam (a) memaksudkan bahwa suara lawan tuturnya tidak bagus. Sementara itu dengan kalimat (b) penutur menyuruh lawan tuturnya yang mungkin dalam hal ini adalah anaknya atau adiknya untuk menutup mulut sewaktu makan agar terlihat sopan. Kalimat (a) dan (b), menunjukkan bahwa di dalam analisis tindak tutur bukanlah apa yang dikatakan yang penting, tetapi bagaimana cara mengatakannya.
Hal lain yang perlu diketahui adalah kalimat Tanya tidak dapat digunakan untuk mengutarakan tindak tutur langsung tidak literal.
b. Tindak Tutur Tidak Langsung
Tindak tutur yang tidak langsung hanya dapat dipahami oleh si pendengar yang sudah cukup terlatih dalam memahami kalimat-kalimat yang bermakna konteks situsional (menggunakan istilah maksud bukan makna).
Contoh :
Tempat : Halaman rumah
Bapak : Halaman rumah kita tampak kotor ya?
Aisyah : Baik Pak, segera saya sapu.
1) Tindak Tutur Tidak Langsung Literal
Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speevh act). Adalah tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penuturnya. Dalam tindak tutur ini maksud memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya.
Contoh:
(a) Lantainya kotor.
(b) Di mana handuknya?
Dalam konteks seorang ibu rumah tangga berbicara dengan pembantunya pada kalimat (a), tuturan ini tidak hanya informasi tetapi juga terkandung maksud memerintah yang diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat berita. Demikian pula dalam konteks suami bertutur dengan istrinya pada kalimat (b) maksud memerintah untuk mengambilkan handuk diungkapkan secara tidak langsung dengan kalimat Tanya.
2) Tindak Tutur Tidak Langsung Tidak Literal
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan.
Contoh:
(a) Lantainya bersih sekali.
(b) Radionya terlalu pelan, tidak kedengaran.
(c) Apakah radio yang pelan seperti itu dapat kau dengar?
Untuk menyuruh seorang pembantu menyapu lantai yang kotor, seorang majikan dapat saja mengutarakan kalimat (a). Demikian pula untuk menyuruh seorang teman mematikan atau mengecilkan volume radionya, penutur dapat mengutarakannya dengan kalimat berita (b) dan kalimat Tanya (c).
.
C. Penutup
Dalam komunikasi tidak ada tuturan tanpa situasi tutur dengan kata lain maksud tuturan yang sebenarnya hanya dapat diidentifikasi melalui situasi tutur yang mendukungnya. Situasi tutur adalah situasi yang melahirkan tuturan. Situasi tutur berbeda dengan peristiwa tutur. Peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
Dell Hymes, seorang pakar sosiolinguistik terkenal menyatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamannya dirangkaikan menjadi akronim SPEAKING (setting and scene, participants, ends: purpose and goal, act sequences, key: tone or spirit of act, instrumentalities, norms of interaction and interpretation, dan genres). Tindak tutur merupakan aksi (tindakan) dengan menggunakan bahasa. Dalam tindak tutur yang lebih ditekankan ialah arti tindakan dalam tuturannya. Hal ini sesuai dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, yang bertujuan untuk merumuskan maksud dan melahirkan perasaan penutur. Selain itu, tindak tutur juga mencakup ekspresi psikologis (misalnya berterima kasih dan memohon maaf), dan tindak sosial seperti memengaruhi tingkah laku orang lain (misalnya mengingatkan dan memerintahkan) atau membuat kontrak (misalnya berjanji dan menamai).
Peristiwa tutur (Inggris: speech event) adalah terjadinya atau berlangsungnya interaksi linguistik dalam satu bentuk ujaran atau lebih yang melibatkan dua pihak, yaitu penutur dan lawan tutur, dengan satu pokok tuturan, di dalam waktu, tempat, dan situasi tertentu.
Dell Hymes (dalam Chaer, 1995:62), seorang pakar sosiolinguistik terkenal, menyatakan bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang bila huruf-huruf pertamanya dirangkaikan menjadi akronim “Speaking”. Kedelapan komponen itu adalah S (setting and Scene), P (participants), E (ends: purpose and goal), A (Act sequences), K (key: tone or spirit of act), I (instrumentalities), N (norms of interaction and interpretation), G (genres).
Tindak tutur adalah kemampuan seorang individu melakukan tindak ujaran yang mempunyai maksud tertentu sesuai dengan situasi tertentu. Dari definisi tersebut dapat dilihat bahwa tindak tutur yang lebih ditekankan ialah arti tindakan dalam tuturannya. Hal ini sesuai dengan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi, yang bertujuan untuk merumuskan maksud dan melahirkan perasaan penutur. Selain itu, tindak tutur juga mencakup ekspresi psikologis (misalnya berterima kasih dan memohon maaf), dan tindak sosial seperti mempengaruhi tingkah laku orang lain (misalnya mengingatkan dan memerintahkan) atau membuat kontrak (misalnya berjanji dan menamai). secara pragmatis setidak-tidaknya ada tiga jenis tindakan yang dapat diwujudkan oleh seorang penutur, yaitu tindak lokusi (locutionary act), tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary act).
Tuturan performatif (performative utterance): tuturan yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu diselesaikan pada saat itu juga. sedangkanTuturan konstatif sering disebut juga tuturan deskriptif (constative utterance), tuturan yang digunakan untuk menggambarkan atau memeriakan peristiwa, proses, keadaan, dan sebagainya, dan sifatnya betul atau tidak betul.
Tindak tutur dalam bahasa Indonesia dapat dibagi atau dibedakan menjadi; (1) tindak tutur langsung, (2) tindak tutur tidak langsung, (3) tindak tutur literal, (4) tindak tutur tidak literal, (5) tindak tutur langsung literal, (6) tindak tutur langsung tidak literan, (7) tindak tutur tidak langsung literal, dan (8) tindak tutur tidak langsung tidak literal.
.
Daftar Pustaka
.
Austin, J.L. 192. How to do Thing With Words. Harvard University Press: Cambridge, Mass.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.
Djajasudarma, 1994. Pragmatik Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Hymes, Dell. 1972. Language in Culture and Society. New York: Harper and Row.
Kridalaksana, Harimurti. 1984. Fungsi Bahssa dan Sikap Bahasa. Bandung: Ganaco.
Kushartanti. 2007. Pesona Bahasa Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Martutik dan Bustanul Arifin. 2004. Analisis Wacana. Malang: Bayu Media Publishing.
Rustono. 1999. Pokok-pokok Pragmatik. Semarang: CV IKIP Semarang Press.
Sudaryat, Yayat. 2009. Makna dalam Wacana. Bandung: CV. Yrama Widya.
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: SABDA (Lembaga Studi Agama, Budaya dan Perdamaian).
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi.
referesni yang sangat membantu
Makasih..