A. Pendahuluan
Pendidikan adalah suatu bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama (Marimba, 1998: 9). Pendidikan juga berarti sebagai semua perbuatan dan usaha dari generasi yang lebih tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya, serta keterampilannya (orang menamakan hal ini juga mengalihkan kebudayaan) kepada generasi muda, sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.
Dapat pula dikatakan bahwa pendidikan itu adalah usaha secara sengaja dari orang dewasa untuk dengan pengaruhnya meningkatkan si anak ke kedewasaan yang selalu diartikan mampu memikul tanggung jawab moril dari segala perbuatannya (Zuhairini, dkk. 1992: 120). Harapan dari bimbingan yang diberikan guru ini adalah perubahan pada diri anak didik. Pembentukan kepribadian merupakan hasil dari perubahan dalam proses pendidikan tersebut.
Kepribadian menjadi tujuan utama pendidikan Islam yang selalu mengutamakan nilai ajaran Islam. Namun kenyataan sekarang ini kualitas pendidikan semakin turun, sebab pendidikan belum mencapai tujuan yang sebenarnya. Bahkan pendidikan sekarang ini dijadikan sebagai alat untuk mencapai kemasyhuran, kedudukan dan materi semata. Karena itu, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang belum tentu ia semakin baik kepribadiannya.
Dengan demikian, guru sebagai salah satu faktor pendidikan harus profesional dalam melaksanakan kegiatan mengajarnya, karena gurulah yang memberikan pengaruh besar kepada muridnya, sehingga guru dituntut untuk bisa memberikan arah yang baik sesuai dengan tujuan pendidikan yaitu membentuk kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan demikian keberhasilan proses belajar mengajar akan tercapai.
Keberhasilan dan kegagalan suatu proses belajar mengajar secara umum dapat dinilai dari output-nya, yakni orang yang sebagai produk pendidikan. Bila pendidikan menghasilkan orang-orang yang dapat bertanggung jawab atas tugas kemanusiaan dan ketuhanan, bertindak lebih bermafaat baik diri sendiri maupun orang lain, pendidikan tersebut dikatakan berhasil. Sebaliknya, bila output-nya adalah orang-orang yang tidak mampu melaksanakan tugas hidupnya, pendidikan tersebut mengalami kegagalan (Rusn, 1998: 123).
Keberhasilan pendidikan dalam mengahasilkan output sebagian besar dipegang oleh guru, karena guru adalah salah satu komponen dalam proses belajar mengajar yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan (Sardiman, 1990: 123). Guru dalam memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik bukan hanya dilakukan di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga dilaksanakan di masjid, di rumah, dan sebagainya, sebagaimana pandangan masyarakat terhadap guru (Isa, 1994: 79) sebagaimana yang dikatakan oleh Syaiful Bahri Djamarah bahwa:
……
Guru adalah spiritual father atau bapak rohani bagi seorang anak didik. Dia yang memberikan santapan jiwa dan ilmu, pendidikan akhlak dan membenarkannya. Maka menghormati guru berarti menghormati kita, penghargaan guru berarti penghargaan terhadap anak-anak kita. Dengan guru itulah mereka hidup dan berkembang (2000: 42).
.
Uraian di atas menunjukkan bahwa tugas dan tangung jawab guru begitu besar, maka guru dituntut untuk mempunyai kemampuan. Dewasa ini menjadi guru tidak semudah yang dibayangkan. Guru haruslah bersifat profesional, artinya guru haruslah memiliki kepribadian, kapabilitas, dan kualitas sumber daya manusia yang memadai serta didukung oleh sumber daya manusia yang memadai pula. Hal ini tidak lain hanyalah untuk mencapai tujuan pendidikan yang diinginkan, dan juga pada dasarnya tugas guru tak ubahnya tugas dokter yang tidak dapat diserahkan pada sembarang orang (Gordon, 1986: 1). Jika tugas tersebut diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.
Di samping itu menurut Dr. Muhaimin M.A, dalam bukunya Wacana Pengembangan Pendidikan Islam mengatakan bahwa:
……
Profesionalisme guru harus didukung oleh beberapa faktor antara lain: 1) skap dedikasi yang tinggi terhadap tugasnya, 2) sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja serta 3) sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbaharui metode-metode kerjanya, sesuai dengan tuntutan zaman yang didasari oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup di zaman masa depan (2003: 209).
.
Disadari atau tidak pada dasarnya tanggung jawab pendidikan seorang anak adalah bertumpu pada kedua orang tuanya dengan alasan orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anak, yakni sukses anak adalah sukses orang tua dan karena kodrat Allah SWT, kemudian karena berbagai kesibukan dan faktor lain yang tidak memungkinkan orang tua mendidik anaknya, maka di sinilah tugas seorang guru (Nata, 1999: 62).
.
B. Guru
1. Pengertian Guru
Secara etimologi (secara bahasa atau lughat) kata guru berasal dari bahasa Indonesia yang diartikan orang yang mengajar (pengajar, pendidik, ahli didik) (Nata, 2001: 42). Dalam bahasa jawa, sering kita mendengar kata guru diistilahkan dengan digugu lan ditiru. Kata digugu berarti diikuti nasihat-nasihatnya. Sedangkan ditiru diartikan dengan diteladani tindakannya (Tu’u, 2004: 127). Guru dijadikan figur teladan bagi anak didik khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya. Guru juga bisa disebut Murabbi.
Kata Murabbi sering juga digunakan untuk menyebut seorang guru. Murabbi sendiri ditafsirkan sebagai orang-orang yang memiliki sifat-sifat rabbani yaitu bijaksana, bertanggung jawab dan kasih sayang terhadap peserta didik (Thoha, 1996: 11). Guru juga disebut dengan mursid, kata tersebut juga sering dipakai untuk menyebut sang guru dalam thariqah-thariqah. Guru juga sering disebut dengan istilah mudarris, yaitu orang yang memberi pelajaran, dan juga muaddib yakni orang mengajar khusus di istana (al-Abrasyi, 2003: 150). Ada lagi sebutan untuk guru, yakni professor (muallim) yang dimaknai dengan orang yang mengusai ilmu teoritik, mempunyai kreativitas dan amaliah (Muhaimin, 2003: 29).
Secara terminologi (istilah), guru atau pendidik yaitu orang yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik, dengan kata lain, guru adalah orang yang bertanggung jawab dalam mengupayakan perkembangan potensi anak didik, baik kognitif, afektif ataupun psikomotor sampai ke tingkat setinggi mungkin sesuai dengan ajaran Islam (Tafsir, 2004: 74). Dalam hal ini pada dasarnya orang yang paling bertanggung jawab adalah orang tua. Tanggung jawab itu disebabkan oleh adanya beberapa hal, antara lain:
a. Kodrat; yaitu orang tua yang ditakdirkan menjadi orang tua anaknya, dan karena itu ia diwajibkan pula bertanggung jawab mendidik anaknya.
b. Kepentingan kedua orang tua, yaitu orang tua berkepentingan terhadap kemajuan perkembangan anaknya, maka kesuksesan yang diraih oleh anak merupakan kesuksesan orang tuanya juga.
.
Dalam literatur lain dikatakan bahwa guru adalah pendidik yaitu orang yang melaksanakan tugas mendidik atau orang yang memberikan pendidikan dan pengajaran baik secara formal atau non formal (Aziz, 2003: 51). Pendidikan tidak dibatasi ruang dan waktu, kapan saja dan di mana saja. Pendidik utama dan pertama di dunia ini adalah Allah SWT sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Alaq ayat 4-5: yang artinya Yang mengajar manusia dengan perantaraan Qolam, Dia mengajarkan manusia apa yang tidak dia ketahui. (Q.S. Al Alaq : 4-5) (Soenarjo, 1994: 1079).
Dari ayat tersebut dapat ditafsirkan bahwa Allah SWT adalah pendidik sejati, atau pendidik al-Haq (Aziz, 2003: 52). Tidak hanya pendidik manusia, namun pendidik seluruh alam (rabbul alamin). Hal ini terlihat ketika Allah SWT menciptakan manusia pertama kali agar dapat berperan sebagai khalifah di bumi dan menjalani kehidupan dengan baik. Allah mengajari dan memberikan pengetahuan tentang benda-benda di bumi sebagai persiapan pengelolaannya.
Pada awalnya tugas mendidik adalah tugas murni kedua orang tua (Tafsir, 2004: 65), yaitu yang menyebabkan anak lahir di dunia dan juga yang berhubungan langsung dengannya (Al-Ghazali, t.t.: 69). Anak dilahirkan sesuai fitrahnya, tidak tahu apa-apa dan juga tidak membawa apapun kecuali sebuah perangkat yang difasilitasi oleh Allah pada setiap manusia yang terlahir di dunia. Oleh karena itulah peran pendidikan menjadi sangat penting. Kecuali itu juga mereka membutuhkan kasih sayang demi perkembangan dan pertumbuhan anak tersebut, seperti apa yang telah difirmankan: dalam satu ayat yang artinya: Dan Allah SWT mengeluarkan kamu dari perut ibumu tanpa mengetahui suatu apapun… (QS. Al-Nahl : 78) (Soenarjo, 1994: 413).
Berangkat dari ayat tersebut jelas bahwa orang tua sebagai wakil dari Allah yang berkewajiban mendidik anaknya, sebagaimana pernyataan al-Ghazali, bibit apel tiada artinya sebelum ditanam oleh karena itu, di sini posisi orang tua sebagai pendidik pertama bagi anak. Akan tetapi karena perkembangan pengetahuan, keterampilan, sikap, serta kebutuhan hidup yang semakin dalam, luas dan rumit, maka orang tua merasa berat dan perlu melaksanakan kewajiban pendidikan tersebut (al-Abrasyi, 2003: 37). Agar pelaksanaan pendidikan tersebut dapat berjalan efektif dan efisien, maka diperlukan pendidik, guru dan lembaga-lembaga pendidikan.
Sebagai pendidik yang mengambil alih tugas orang tua sebagai tugas yang mulia, oleh karena itu diharapkan seorang guru senatiasa bersikap jujur, tanpa pamrih dan hanya mengharapkan ridha Allah semata. Sikap itu akan teraplikasi ke dalam proses belajar mengajar sehingga akan menghasilkan generasi yang berkualitas (Aziz, 2003: 74). Zakiah Darajat menyatakan bahwa
……
Guru merupakan pendidik profesional. Oleh karena itu, secara implisit mereka telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan sejak orang tua menyerahkan anaknya ke sekolah, secara tidak langsung mereka melimpahkan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru di sekolah tersebut. Mereka berharap anaknya mendapat ilmu sebagai bekal demi kesuksesan di masa yang akan datang, dengan demikian kebahagiaan hidup anaknya dapat lebih baik dalam hal ini secara tidak langsung orang tua juga turut merasakannya (1996: 39).
.
Lebih lanjut, tidak semua orang dapat menjabat sebagai guru artinya bahwa guru bukan hanya bertugas sebagai pengajar (menyampaikan materi di depan kelas), akan tetapi, mereka mampu menempatkan dirinya sebagai pendidik yang bertanggung jawab atas perkembangan anak didiknya, baik di sekolah atau luar sekolah) (Djamarah, 2000: 32).
Guru merupakan unsur pendidikan yang sangat berpengaruh terhadap proses pendidikan. Dalam perspektif pendidikan islam, keberadaan, peranan dan fungsi guru merupakan keharusan yang tidak dapat diingkari. Tidak ada pendidikan tanpa kehadiran guru. Guru merupakan penentu arah dan sistematika pembelajaran mulai dari kurikulum, sarana, bentuk pola sampai kepada usaha bagaimana anak didik seharusnya belajar dengan baik dan benar dalam rangka mengakses diri akan pengetahuan dan nilai-nilai hidup.
.
2. Tugas Guru
Guru adalah figur seorang pemimpin, dia juga sebagai sosok arsitek yang dapat membentuk jiwa dan watak anak didik, dengan cara membantu anak didik mengubah perilakunya sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan (Poerwati dkk, 2002: 7). Guru mempunyai kekuasaan untuk membentuk dan membangun kepribadian anak didik menjadi seorang yang berguna bagi agama, nusa dan bangsa. Guru bertugas mempersiapkan manusia susila yang cakap yang diharapkan mampu membangun dirinya, bangsa dan negara. John Dewey mengemukakan bahwa tugas guru adalah sebagai berikut.
……
The educator’s part in the enterprise of education is to furnish the environment which stimulates responses and directs the learner’s course. All that the educator can do is modify stimuli so that response will as surely as is possible result in the formation of desirable intellectual and emotional dispositions (2004: 174).
.
Tugas guru dalam usaha pendidikan adalah untuk melayani masyarakat yang mana memberi semangat dan menunjukkan jalan bagi peserta didik. Guru dapat melakukan suatu perubahan sehingga sangat mungkin sekali untuk meraih watak emosi dan intelektual yang dicitacitakan. Pada hakikatnya, tugas guru adalah mendidik yang sebagian besar tercermin dalam kehidupan di dalam rumah tangga dengan cara memberi keteladanan, memberi contoh yang baik, pujian dorongan dan lain sebagainya yang diharapkan dapat menghasilkan pengaruh positif bagi pendewasaan anak (Paraba, 1999: 10).
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka mengajar merupakan sebagian dari mendidik. Dalam arti yang lebih sempit tugas guru adalah mengajar sebagai upaya transfer of knowlwdge yang dituntut untuk mengusai materi apa yang akan disampaikan, penggunaan metode yang tepat dan pemahaman tentang berbagai karakteristik yang dimiliki anak.
Dalam proses belajar mengajar, guru mempunyai tugas untuk mendorong, membimbing, dan memberi fasilitas belajar bagi siswa untuk mencapai tujuan. Guru mempunyai tanggung jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi dalam sistem pendidikan untuk membantu proses perkembangan siswa. Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa:
……
Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (Tim Redaksi 2005: 38).
.
Pemahaman tentang berjalannya proses belajar mengajar sangat diperlukan agar apa yang disampaikan oleh seorang guru sesuai apa yang dimiliki anak. Disamping itu guru juga dituntut untuk membuat persiapan mengajar, mengevaluasi tugas belajar anak dan melakukan tugas lainya yang berkaitan dengan tujuan pengajaran. Menurut Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif menyatakan bahwa jabatan guru memiliki banyak tugas baik terikat dalam dinas maupun di luar dinas, dalam bentuk pengabdian tugastugas itu antara lain:
a. Tugas guru sebagai profesi yaitu suatu tugas yang menuntut profesionalitas diri sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tugas tersebut direalisasikan dalam sistem pembelajaran yang dapat memberikan bimbingan anak didik menemukan nilai-nilai kehidupan. Tugas guru sebagai pengajar juga dapat diartikan meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Sementara tugas sebagai pelatih diartikan mengembangkan keterampilan dan menerapkan dalam kehidupan demi masa depan anak didik.
b. Tugas guru sebagai tugas kemanusiaan berarti guru terlibat dalam interaksi sosial di masyarakat. Guru harus mampu menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik agar anak didik punya kesetiakawanan sosial.
c. Tugas guru sebagai tugas kemasyarakatan berarti guru harus mendidik dan mengajar masyarakat untuk menjadi warga negara yang berakhlak dan bermoral. Dalam hal ini dapat diumpamakan bahwa mendidik anak sama halnya dengan mencerdaskan bangsa (Djamarah, 2000: 37).
.
Oleh karena itu, untuk mengemban tugas dan tanggung jawab sebagaimana diatas, maka menurut Zakiah Darajat, agar dapat menjadi guru yang dapat mempengaruhi anak didik ke arah kebahagian dunia dan akhirat, ia harus memenuhi syarat-syarat antara lain: bertaqwa kepada Allah SWT, berilmu, sehat jasmani dan rohaninya, baik akhlaknya dan bertanggung jawab serta berjiwa nasional (Purwanto, 1995: 137).
.
3. Kedudukan Guru
Guru termasuk manusia yang berjiwa besar di dunia ini, ia berusaha menyiapkan generasi penerus yang berkualitas, mentransferkan ilmu pengetahuan dan juga memiliki posisi sebagai pewaris nabi. Oleh karena itu Islam memberikan penghargaan sangat tinggi terhadap guru. Ia adalah salah satu pemilik ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan memiliki peran penting, dengan ilmu, manusia akan sanggup menaklukkan dunia dan dengan ilmu pula orang akan menemukan jalan kebahagiaan hidup baik di alam dunia fana dan akhirat kelak, bahkan keberadaan ilmu merupakan salah satu syarat akan datangnya hari kiamat, Islam sebagai agama penyempurna, menghendaki kebaikan kehidupan manusia di dunia sekaligus di akhirat. Dan juga memberikan kedudukan yang sangat tinggi kepada guru setingkat dibawah para Nabi dan Rasul (Tafsir, 2004: 76).
Tingginya kedudukan guru dalam Islam, menurut Ahmad Tafsir, tak bisa dilepaskan dari pandangan bahwa semua ilmu pengetahuan bersumber pada Allah, sebagaimana disebutkan dalam Surat al-Baqarah ayat 32 yang artinya: Mereka menjawab, Mahasuci Engkau, tidak ada pengetahuan bagi kami selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui (lagi) Maha Bijaksana (Shihab, 2003: 143).
Tanpa guru, sulit rasanya peserta didik bisa memperoleh ilmu secara baik dan benar. Itulah sebabnya, kedudukan guru sangat istimewa dalam Islam. Bahkan dalam tradisi tasawuf/tarekat, dikenal ungkapan, “siapa yang belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan”. Al-Ghazali menggambarkan kedudukan guru agama sebagai :
……
Makhluk di atas bumi yang paling utama adalah manusia, bagian manusia yang paling utama adalah hatinya. Seorang guru sibuk menyempurnakan, memperbaiki, membersihkan dan mengarahkannya agar dekat kepada Allah azza wajalla. Maka mengajarkan ilmu merupakan ibadah dan merupakan pemenuhan tugas dengan khalifah Allah. Bahkan merupakan tugas kekhalifahan Allah yang paling utama. Sebab Allah telah membukakan untuk hati seorang alim suatu pengetahuan, sifat-Nya yang paling istimewa. Ia bagaikan gudang bagi benda-benda yang paling berharga. Kemudian ia diberi izin untuk memberikan kepada orang yang membutuhkan. Maka derajat mana yang lebih tinggi dari seorang hamba yang menjadi perantara antara Tuhan dengan makhluk-Nya dalam mendekatkan mereka kepada Allah dan menggiring mereka menuju surga tempat peristirahatan abadi (Sulaiman, 1990: 41-42).
.
Kedudukan itu akan tampak jelas ketika seorang guru mengamalkan ilmunya dalam arti mengajarkan kepada orang lain, dalam hal ini guru adalah bagaikan matahari yang menerangi alam dan juga bagaikan minyak wangi yang mengharumi orang lain karena ia memang wangi (Al-Ghazali, t,t. 62).
Tingginya kedudukan guru dalam Islam masih dapat disaksikan secara nyata pada masa sekarang ini, terutama di pesantren-pesantren Indonesia, santri tidak berani menatap sinar mata Kyai, membungkukkan badan sebagai tanda hormat kepada sang Kyai tatkala menghadap ataupun berpapasan, tawadu’ dan sifat baik lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya kewibawaan atau kharisma yang dimiliki oleh kyai. Keyakinan santri akan kebaikan atau keberkahan dari seorang kyai masih sangat kental hingga merasuk ke dalam sikap dan tingkah lakunya dalam kehidupan sehari-hari (Nasution, 1999: 94).
Di samping itu, untuk memanifestasikan kedudukan guru yang sangat mulia dan terhormat ini dan juga membangun relasi antara guru dan murid maka guru harus memberikan peran yang dibutuhkan oleh murid dan juga oleh masyarakat, antara lain:
a. Sebagai korektor/evaluator; guru bisa membedakan mana nilai yang buruk dan nilai yang baik.
b. Sebagai informator; guru harus dapat memberikan informasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, selain bahan pelajaran yang telah diprogramkan dalam mata pelajaran dalam kurikulum.
c. Sebagai inspirator; guru harus memberikan ilham (petunjuk) yang baik atas kemajuan anak didik.
d. Sebagai organisator; guru harus mampu mengorganisasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan proses belajar mengajar demi tercapainya efektivitas dan efisiensi dalam belajar pada diri anak didik.
e. Sebagai motivator; guru harus mampu mendorong anak didiknya agar bergairah dan aktif dalam belajar.
f. Sebagai inisiator; guru harus mampu menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam pendidikan dan pengajaran.
g. Sebagai fasilitator; guru hendaknya dapat menyediakan fasilitas yang memudahkan belajar anak didik.
h. Sebagai pembimbing; guru hendaknya mengarahkan peserta didik terhadap potensinya sehingga mereka menjadi manusia dewasa yang sempurna, baik ilmu dan akhlaknya.
i. Supervisor; guru hendaknya dapat membantu dan memperbaiki serta menilai terhadap proses pengajaran secara kritis. Dan juga peranan lain yang dapat mendukung dan mewujudkan kedudukan guru sebagai manusia terhormat dan mulia (Djamarah, 2000: 43-48).
.
Kedudukan guru akan tampak jelas ketika guru dapat memberikan perannya sebagaimana di atas, minimal peranan sebagai pendidik dan pembimbing yang pada dasarnya peranan guru itu tidak terlepas dengan kepribadianya dalam arti tidak hanya menyampaikan bahan-bahan mata pelajaran dan juga tidak hanya dalam interaksi formal tetapi juga informal, tidak hanya diajarkan tetapi juga ditularkan (Sukmadinata, 2003: 251). Serta tidak hanya diucapkan tetapi harus diamalkan, dengan kata lain ilmiah yang amaliah.
.
4. Profesionalisme Guru
Profesionalisme berasal dari kata profesi (profession) yang dapat diartikan sebagai jenis pekerjaan yang khas atau pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan, atau dapat juga berarti beberapa keahlian atau ilmu pengetahuan yang digunakan dalam aplikasi untuk berhubungan dengan orang lain. Instansi atau sebuah lembaga profesional adalah seseorang yang memiliki perangkat pengetahuan atau keahlihan yang khas dari profesinya.
……
Profesionalitas merupakan kepemilikan seperangkat keahlian atau kepakaran dibidang tertentu yang dilegalkan dengan sebuah sertifikat oleh sebuah lembaga. Seorang yang profesional berhak memperoleh reward yang layak dan wajar yang menjadi pendukung utama dalam merintis karirnya ke depan (Muhtar, 2003: 79).
.
Dalam kesempatan lain, berkaitan dengan profesionalitas guru, Zakiah Darajat dalam sebuah bukunya mengatakan bahwa:
……
Guru adalah pendidik profesional, karena secara implisit ia telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan yang terpikul di pundak para orang tua. Mereka ini, tatkala menyerahkan anaknya ke sekolah, sekaligus berarti pelimpahan sebagian tanggung jawab pendidikan anaknya kepada guru, hal ini berarti bahwa orang tua tidak mungkin menyerahkan anaknya kepada sembarang guru, sebab tidak sembarang orang dapat menjabat sebagai guru (1996: 39).
.
Profesional adalah cara individu melihat keluar dari dunianya. Sesuatu yang berhubungan dengan apa yang mereka lakukan dengan terhadap organisasi dan profesi yang mereka emban. Bagi guru secara sederhana dapat diwujudkan dalam sebuah karya ilmiah, seperti buku yang mereka tulis atau pembelajaran yang mereka lakukan sesuai kebutuhan. Oleh karena itu dalam profesi digunakan teknik dan prosedur intelektual yang harus dipelajari secara sengaja sehingga dapat diterapkan untuk kemaslahatan orang lain. Suatu pekerjaan akan dikatakan sebagai profesi apabila memenuhi kriteria sebagai berikut.
a. Panggilan hidup yang sepenuh waktu; bahwa profesi ini adalah pekerjaan yang menjadi panggilan hidup seseorang yang dilakukan sepenuhnya serta berlangsung untuk jangka waktu lama bahkan seumur hidup.
b. Pengetahuan serta kecakapan keahlian; profesi adalah pekerjaan yang dilakukan atas dasar pengetahuan dan kecakapan/keahlian yang khusus dipelajari.
c. Kebakuan Universal; profesi adalah pekerjaan yang dilakukan menurut teori prinsip, prosedur dan anggapan dasar yang baku secara umum universal.
d. Pengabdian; profesi adalah pekerjaan terutama sebagai pengabdian pada masyarakat bukan untuk mencari keuntungan secara material/ finansial bagi diri sendiri.
e. Kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif. Profesi adalah pekerjaan yang mengandung unsur-unsur kecakapan diagnostik dan kompetensi aplikatif terhadap orang dan lembaga yang melayani.
f. Otonomi. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan secara otonomi atas dasar prinsip-prinsip dan norma-norma yang ketetapannya dapat diuji atau dinilai oleh orang lain.
g. Kode Etik Profesi adalah pekerjaan yang mempunyai kode etik yaitu norma-norma tertentu sebagai pegangan atau pedoman yang diakui dan dihargai oleh masyarakat.
h. Klien. Profesi adalah pekerjaan yang dilakukan untuk melayani mereka yang membutuhkan pelayanan (klien) yang pasti dan jelas subyeknya (Nurdin, 2003: 16).
.
Dari kriteria tersebut di atas dapat dipahami bahwa memang guru merupakan suatu pekerjaan profesional, karena kebanyakan guru berkomitmen dengan panggilan nurani, tanggung jawab moral, sosial dan keilmuan (Muhtar, 2003: 85). Oleh karena itu ia berhak mendapatkan penghargaan dan penghidupan yang layak sesuai dengan profesionalnya dalam mengemban tugas sebagai pendidik (Nata, 2001: 97).
.
C. Konsep Guru dalam Perspektif Pemikir Islam
1. Kriteria Guru dalam Serat Wulangreh
Kanjeng Susuhunan Paku Buwono IV dilahirkan pada hari Kamis Wage jam sepuluh malam, tanggal 18 Rabi’ul Akhir, Wuku Watu Gunung, Windu Sengara tahun Je 1694, atau tanggal 2 September 1768. Pada usia muda bernama Raden Mas Gusti Subadiyo, setelah dewasa bernama Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara Sudibyarajaputra Narendra Mataram. Beliau dinobatkan sebagai raja pada hari Senin Paing, tanggal 28 Besar tahun Jimakir 1714, atau tanggal 18 September 1788, terkenal dengan nama Ingkang Sinuwun Bagus (Kanjeng Susuhunan Paku Buwono IV, 1994: 3).
Beliau juga membangun dalem Purwadiningratan yang terletak di lingkungan dalam Keraton, Baluwarti dan merupakan bangunan dalem yang terluas, terbesar dan pagar tertinggi di lingkungan itu (90m x 100m atau sekitar satu halaman. Beliau menyelesaikan dalam penulisan Serat Wulangreh pada tanggal 19 Besar, hari Ahad Kliwon tahun Dal, 1735, Mangsa kedelapan, Windu Sancaya, Wuku Sungsang. Kurang lebih 12 tahun sebelum beliau meninggal dunia.
Serat Wulangreh adalah hasil karya Paku Buwono IV yang terkenal hingga sekarang dimana serat tersebut banyak mengungkap tentang ajaran-ajaran moral dan nilai-nilai luhur serta budi pekerti utama yang dijadikan sebagai pedoman hidup untuk membina kepribadian yang bukan hanya relevan bagi pedoman pendidikan para pejabat, pegawai maupun abdi kerajaan pada waktu itu, namun jika digali dan dipelajari secara mendalam nilai luhurnya tetap aktual sampai sekarang lebih-lebih ditinjau dari pendidikan Islam.
Serat Wulangreh sampai saat ini sangat populer di lingkungan kebudayaan Jawa. Orang Jawa sangat memperhatikan ajaran-ajaran dalam Serat Wulangreh itu untuk dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Ketajaman moral dan intelektual diperlukan agar manusia tepat dalam meniti karier hidup (Munarsih, 2005: 9). Paku Buwono IV memberi petunjuk orang yang mencari ilmu dalam Serat Wulangreh sebagai berikut:
Sasmitaning ngaurip puniki,
yekti ewuh yen ora weruha,
tan jumeneng ing uripe,
sekeh kang ngaku-ngaku,
pangrasane pan wus utami,
tur durung weruh ing rasa,
rasa kang satuhu,
rasaning rasa punika,
upayanen darapon, sampurning dhiri,
ing kauripanira.
.
Jroning Qur’an nggoning rasa jati,
nanging pilih wong kang uninga,
anjaba lawan tuduhe,
nora kena binawur,
ing satemah nora pinanggih,
mundak katalanjukan, temah sasar susur,
yen sira ayun waskitha,
kasampurnaning badanira puniki,
sira aggegurua,
(Pupuh Dhandhanggula)
.
Terjemahan:
.
Makna kehidupan itu
sungguh sayang bila tak tahu
tidak kokoh hidupnya
banyak orang mengaku
perasaannya sudah utama,
padahal belum tahu rasa,
rasa yang sesungguhnya,
hakikat rasa itu adalah,
usahakan agar diri sempurna,
dalam kehidupan,
.
Dalam Qur’an tempat rasa jati,
tapi jarang orang tahu,
keluar dari petunjuk,
tak dapat asal-asalan,
akhirnya tidak ketemu,
malahan terjerumus,
akhirnya kesasar,
kalau kamu ingin peka,
agar hidupmu sempurna,
maka bergurulah.
.
Dari syair diatas memberikan penjelasan bahwa orang yang hidup harus tahu makna kehidupan itu sendiri, agar hidupnya senantiasa bisa sempurna maka seseorang harus berpegang pada petunjuk yang sejati yaitu Kalamullah atau al-Qur’an, dengan harapan hidupnya tidak terjerumus ke lembah kesesatan. Disamping itu agar hidup seseorang sempurna maka dia harus berguru yang dalam hal ini adalah guru yang berkompeten atau profesional dalam bidangnya.
Jikalau mencari guru yang tidak berkompeten di bidangnya maka dapat dipastikan hidupnya akan hancur. Dalam ajaran Serat Wulangreh karya Paku Buwono IV, yang arti harfiahnya pengajaran dan perintah secara tersirat ingin menunjukkan kedalaman makna wahyu al-Qur’an. Pada dua baris pertama tembang Dhandanggula itu, Sri Sunan yang terkenal sebagai seorang pujangga menuturkan tentang pentingnya penghayatan al-Qur’an dan orang-orang yang terpilih yang memahaminya.ungkapan itulah yang mengilhami masyarakat Jawa dalam menghayati al-Qur’an, serta keyakinan adanya misteri anugrah Allah SWT yang turun di malam lailatul kadar.
Serat Wulangreh juga berbicara tentang keharusan-keharusan menghayati dan mengamalkan etika-etika kekeratonan sebagaimana yang ada dalam lembaga. Dalam serat ini pula diwejangkan tentang etika kepada guru, etika pergaulan, etika kewaspadaan (keprayitan), kebaktian, hubungan-hubungan keluarga, tentang keutamaan budi baik. Ini merupakan pelajaran orang-orang dahulu (nenek moyang) bahwa kehidupan merupakan sebuah proses yang cukup panjang untuk dijalani, tetapi sangat cepat untuk dinanti.
Dalam menghadapi memerlukan kesiapan-kesiapan. Dalam menemukan kesiapan memerlukan latihan baik fisik maupun mental spiritual. Seperti misalnya mengurangi makan, tidur, meningkat menjadi berpuasa, belajar atau berlatih berprihatin, dalam bersuka ria, atau bersuka dalam prihatin, bersakit dalam sehat atau bersehat dalam sakit, sampai pada memati diri (mati raga), mati dalam hidup/hidup dalam mati. Tetapi sebelumnya harus bersikap sopan santun beradab susila baik dalam lingkungan keluarga maupun dalam masyarakat (Arifin, 2006: 31).
Menurut D. Zawawi bahwa Serat Wulangreh kaya akan ajaran demokrasi dan kepemimpinan. Serat yang ditulis Paku Buwono IV ini banyak memberikan wejangan soal moralitas pemimpin dan rakyat yang dipimpin. Pada pupuh Dandanggula, disinggung pentingnya dengan ilmu pengetahuan. Rakyat negeri ini harus melek, harus pintar, karena demokrasi tidak bisa dilakukan oleh orang-orang yang bodoh. Pada bab pupuh Gambuh, mengingatkan pemimpin agar menghindari perbuatanperbuatan buruk yang merugikan banyak orang. Sedangkan pada bab pupuh Maskumambang disebut-sebut bahwa pujian hanyalah diberikan kepada orang yang pantas dipuji.
Serat Wulangreh adalah Sastra Adiluhung yang di dalamnya tersirat ajaran menjadi orang terhormat. Menurut Wulangreh, menjadi orang terhormat tidak mudah karena mesti jauh dari sifat adigang, adigung, dan adiguna atau membanggakan kelebihan yang dimilikinya. Wulangreh juga momot aturan tingkah laku yang utama. Dalam ajaran Islam bahwa manusia tidak sombong terhadap sesama, karena yang berhak atau yang pantas meyandang sombong adalah Allah SWT.
Kriteria guru yang baik dalam Serat Wulangreh disampaikan oleh Kanjeng Susuhunan Paku Buwono IV khususnya dalam pupuh Dhandanggula:
Nanging siro yen nggeguru kaki
amiliha manungsa kang nyata
ingkang becik martabate
sarta kang wruh ing kukum
kang ngibadah lan kang wirangi
sokur oleh wong tapa
ingkang wus amungkul
tan mikir pawewehing liyan
iku pantes sira guronana kaki
sartane kawruhana
.
Lamun ana wong micoreng ngelmi
tan mupakat ing patang perkara
aja sira age-age
anganggep nyatanipun
saringana dipun baresih
limbangen lan kang patang
prakara rumuhun
dalil kadis lan ijemak
lan kiyase papat iku salah siji
ana kang mupakat
.
Ana uga kena den antepi
yen ucula kang patang prakara
ora enak legatane
tan wurung tinggal wektu
panganggepe wes angengkoki
aja kudu sembahyang
wus salat katanggung
banjure buwang sarengat
batal karam nora ngango den rawati
mbubrah sagehing tata.
.
Terjemahannya:
.
Jika anda belajar, anakku
pilihlah orang yang benar
yang baik martabatnya
serta yang tahu akan hukum
yang beribadah dan saleh
apalagi bila orang yang suka bertapa
yang telah mencapai tujuan
tak memikirkan pemberian orang lain
itu pantas kau belajar kepadanya
serta ketahuilah
.
Jika ada orang yang membicarakan ilmu
tak sepakat kepada empat hal
jangan engkau tergesa-gesa
menganggap kenyataannya
saringlah sampai bersih
pilihlah dengan yang empat
perkara yang lalu
dalil hadits dan ijmak
dan empat kiyas itu salah satu
usahakan ada yang sepakat
.
Ada juga yang mantap
kalau tepat empat perkara
sungguh tidak tepat
hanya meninggalkan waktu
menganggap sudah tepat
hendak tidak salat
hanya bikin tanggung
lalu membuang syari’at
batal haram tak peduli
lalu bikin kacau
.
Dari beberapa bait di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kriteria guru yang baik (yang pantas untuk dijadikan sebagai guru) menurut Kanjeng Susuhunan Paku Buwono IV adalah sebagai berikut.
a. Guru yang nyata atau benar
Dalam Serat Wulangreh di jelaskan bahwa salah satu kriteria guru yang baik adalah seorang guru yang nyata atau benar. Nyata atau benar dalam arti mempunyai pengetahuan dan mampu mengamalkannya dalam bentuk proses pembelajaran dan pengajaran (Arifin, 2006: 56). Sinuwun Paku Buwono IV merasa perlu mengemukakan syarat untuk dijadikan guru yaitu seorang guru yang nyata, sebab pada masa itu banyak orang yang mengaku-aku sebagai orang yang telah mumpuni dengan cara yang sombong ia minta diakui umum sebagai guru sejati yang berkompeten, artinya, seorang guru jelas mempunyai kemampuan atau sehingga dia patut untuk mengajar.
Guru dituntut untuk berkompeten dalam bidang pembelajaran dan mampu melaksanakan pembelajaran tersebut. Sebelum melaksanakan pembelajaran seorang guru harus mempersiapkan materi apa yang akan diajarkan dan metode apa yang akan digunakan dalam pembelajaran tersebut, sehingga pembelajaran yang dilakukan dapat tepat guna, efektif dan efisien, karena itu terkait dengan tugas dan peranan seorang guru.
Tugas dan peranan guru antara lain: menguasai dan mengembangkan materi pelajaran, merencanakan dan mempersiapkan pelajaran sehari-hari, mengontrol dan mengevaluasi siswa. Tugas guru dalam proses belajar mengajar meliputi tugas paedagogis dan tugas administrasi. Tugas paedagogis adalah tugas membantu, membimbing dan memimpin. Rifa’i sebagaimana dikutip oleh Suryosubroto yang mengatakan bahwa:
……
Dalam situasi pengajaran, gurulah yang memimpin dan bertanggung jawab penuh atas kepemimpinan yang dilakukan itu. Ia tidak melakukan instruksi-instruksi dan tidak berdiri dibawah instruksi manusia lain kecuali dirinya sendiri, setelah masuk dalam situasi kelas (1997: 4).
.
Jadi, setelah masuk kelas tugas guru adalah sebagai pemimpin dan bukan semata-mata mengontrol atau mengritik (Suryosubroto, 1997: 4). Ditinjau dari kompetensinya, guru yang nyata atau benar menurut Paku Buwono IV merupakan kompetensi pedagogik, personal, profesional, dan sosial. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa guru harus dari orang yang nyata memiliki keempat kompetensi untuk mengajarkan ilmu yang dimilikinya dalam proses pembelajaran, dengan harapan tujuan pembelajaran dapat tercapai serta pergaulan sosial seorang guru dengan masyarakat berlangsung dengan baik.
b. Baik martabatnya
Kata martabat berasal dari bahasa arab martabatun. Di dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa martabat artinya tingkat harkat kemanusiaan atau harga diri. Martabat juga diartikan kebesaran, kemuliaan, harga diri (Munandir dan Imam Hanafi, 2005: 38). Jadi, martabat guru adalah kemuliaan, kebesaran, dan harga diri yang dimiliki oleh seorang guru.
Mengacu pada pemikiran Kanjeng Susuhunan Paku Buwno IV mengapa guru harus mempunyai martabat yang baik karena guru menjadi panutan atau contoh bagi peserta didik bahkan masyarakat. Bagaimana seorang peserta didik mau mengikuti apa yang guru ajarkan kalau dia sendiri tidak bisa menjaga martabatnya. Mereka tentunya akan selalu menganggap bahwa guru tersebut tidak pantas untuk dijadikan sebagai guru. Bahkan guru tersebut akan dicoret dari daftar seorang guru, karena dia memang tidak layak atau tidak pantas menjadi guru.
Ditinjau dari kompetensinya bahwa mempunya martabat yang baik atau bermartabat merupakan kompetensi personal (kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik) yang harus dimiliki oleh seorang guru. Tingkah laku personal dan hubungan sosial seorang guru sangat diperhatikan oleh peserta didik khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Ada beberapa hal yang dilakukan oleh seorang guru untuk menjaga martabat dan hal ini juga merupakan karakteristik seorang pendidik yang mengikuti Rasulullah diantaranya : jujur dan amanah, komitmen dalam ucapan dan tindakan, adil dan egaliter, berakhlak karimah, rendah hati, baik dalam tutur kata dan tidak egois.
1) Jujur dan amanah adalah mahkota seorang guru. Jika tidak ada kejujuran dan amanah padanya, maka tidak ada pula kepercayaan manusia terhadap ilmu yang dimilki, serta apa-apa yang ada pada dirinya, seorang murid wajar jika ia menerima apa saja yang diucapkan oleh gurunya, sehingga apabila seorang murid mengetahui akan kebohongan seorang guru, maka bisa jadi kepercayaan murid langsung berbalik arah (tidak percaya lagi), atau bisa jadi kebohongan itu dapat menjatuhkan prestise seorang guru dimata muridnya. Hal ini juga yang menentukan martabat seorang guru.
2) Guru juga harus komitmen dalam ucapan dan tindakan, termasuk karakter yang tidak terpuji adalah seorang guru yang ucapan dan tindakannya tidak kompatibel. Ucapan dan tindakan seorang guru yang tidak kompatibel membuat murid menjadi bingung serta menjadikan ia seorang yang labil.
3) Adil dan egaliter juga karater yang harus dimiliki seorang guru, urgensi merealisasikan keadilan dan egaliter terhadap murid, agar dapat tersebar rasa kecintaan dan kasih sayang diantara mereka. Menegakan keadilan merupakan cara untuk mendapat kualitas dan derajat yang baik.
4) Berakhlak karimah, berakhlak karimah merupakan suatu kelayakan bagi seorang guru, begitu juga mendorong muridnya untuk berbuat demikian. Tutur kata yang halus serta wajah yang sumringah merupakan sebab yang dapat menghilangkan kecanggungan antara guru dan murid.
5) Rendah hati (tawadlu’), dapat menghilangkan kecanggungan murid kepada guru. Rendah hati merupakan alat yang mulia untuk menghantarkan empunya kepada kemuliaan dan keagungan.
6) Baik dalam tutur kata, berkata baik merupakan sesuatu yang terpuji dan memberikan dampak positif bagi orang lain. Sedangkan mengolok-olok berarti menghina orang lain, merendahkannya, dan mengundang permusuhan serta kebencian. Lantas apa jadinya bila sorang guru terbiasa berbuat demikian.
7) Tidak egois, egois merupakan perbuatan yang hanya mementingkan diri sendiri. Musyawarah merupakan bentuk menjauhi sifat egois, musyawarah harus dilakukan oleh seorang guru, jika ia mengahadapi suatu persoalan dan permasalan yang sulit (asy-Syalhub, 2005: 11).
.
c. Tahu akan hukum
Tahu akan hukum dapat dimaknai dua yaitu pertama, mengetahui hukum syari’at agama Islam. Kedua, mengetahui hukum-hukum pengajaran atau pendidikan karena ini kaitannya dengan orang yang menuntut ilmu, bahkan Kanjeng Sunan Paku Buwono IV memerintahkan untuk mencari guru yang benar-benar mengetahui hukum syari’at Islam serta hukum-hukum pendidikan atau pengajaran (Harsono, 2005: 15).
Ditinjau dari kompetensinya, bahwa pemikiran Paku Buwono IV yaitu tahu akan hukum merupakan kompetensi profesional (kemampuan menguasai materi secara luas dan mendalam) yang harus dimiliki oleh guru, di antaranya: menguasai bahan pengajaran, menguasai program kerja, menguasai pengelolaan kelas, mampu menggunakan media, menguasai landasan-landasan kependidikan, mampu mengelola interaksi belajar mengajar, menilai prestasi peserta didik untuk kependidikan dan pengajaran di sekolah, mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil-hasil penelitian pendidikan guna keperluan pengajaran. Artinya seorang guru harus profesional dalam bidangnya.
d. Beribadah
Beribadah kata dasarnya adalah ibadah, ibadah berasal dari akar kata abada yang berarti menyembah. Orang yang menyembah disebut abdun (mufrad) atau ibaadun (jamak). Dengan kata lain orang yang menyembah adalah abdun atau ibaadun, bentuk pekerjaannya disebut ibadah. Kata ibaadun bisa berarti orang yang beribadah, pengabdi atau pelayan. Menurut Paku Buwono IV seorang guru harus taat beribadah dalam arti melaksanakan semua perintah syari’at, misalnya shalat lima waktu tidak boleh ditinggalkan, siapa yang meninggalkan akan merugi.
Kaitannya dengan seorang guru, beliau Paku Buwono IV mempunyai pemikiran bahwa salah satu kriteria guru yang baik adalah guru yang beribadah, baik ibadah mahdlah maupun ibadah ghairu mahdlah. Ibadah mahdlah misalnya shalat, haji dan lain-lain, sedangkan ibadah ghairu mahdlah misalnya menolong sesama dan termasuk pengabdiannya kepada sesama yaitu mengajar dan mendidik kepada peserta didik. Guru harus bisa menyeimbangkan antara pengabdiannya kepada Allah maupun pengabdian kepada sesama.
e. Wira’i
Menurut Paku Buwono IV seorang guru harus senantiasa wira’i (Harsono, 2005: 39). Wira’i atau wara’ dalam kitab Ta’limul Muta’allim ditafsirkan guru harus dapat menjaga kredibelitas status sehingga bisa menjaga diri dari perbuatan yang dilarang oleh agama serta menjaga diri dari nafsu amarah (az-Zarnuji, t.t. 13). Wira’i juga berarti selalu menghindari perbuatan-perbuatan yang mengarah pada dosa dan maksiat (menjaga diri). Seorang guru harus bisa menjaga diri jangan sampai terjerumus ke jurang kemaksiatan yang pada akhirnya akan menjatuhkan martabat dan kewibawaannya sebagai guru.
Ditinjau dari komptensinya, wira’i merupakan kompetensi personal (kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik), karena wira’i adalah sifat yang dimiliki seseorang secara personal, secara sosialnya mereka dalam bergaul dengan masyarakat harus senantiasa wira’i.
Guru yang wira’i senantiasa selalu menjaga dirinya dan penuh hati-hati disetiap tindakannya, dan mereka takut ketika bertindak yang tidak sesuai dengan syari’at-syari’at Islam. Wira’i sangat terkait dengan kehidupan sosial masyarakat. Dan ini merupakan kompetensi personal seorang guru yang berat untuk dilaksanakan. Walaupun berat tapi sifat wira’i yang dimiliki akan senantiasa menjaga kedudukan atau martabatnya.
f. Bertapa (berpuasa)
Paku Buwono IV mengajarkan bahwa bertapa merupakan salah satu kriteria guru yang baik. Makna secara bahasa bertapa adalah berpuasa. Puasa dapat diartikan menahan untuk tidak mudah marah (sabar), dan juga menahan atau mengekang hawa nafsu (asy-Syalhub, 2005: 30). Paku Buwono memerintahkan supaya mengurangi makan (berpuasa) dan tidur, agar berkuranglah nafsu yang merajalela sehingga batin akan terasa tenang. Batin yang tenang bisa menumbuhkan sifat sabar.
Sabar dalam etimologi berarti “mengekang”, ia merupakan posisi yang tinggi, yang tidak dapat diraih kecuali oleh orang-orang yang berhati mulia dan berjiwa suci. Amarah yaitu gejolak dalam jiwa yang membuat sang pelakunya buta, tidak dapat membedakan mana yang benar dan yang salah. Amarah merupakan suatu tindakan yang tidak terpuji kecuali marah demi menegakkan agama Allah. Seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah, beliau adalah sosok orang yang tidak pernah marah terhadap dirinya sendiri sehingga tidak ada sesuatu apa pun (nafsu) yang menang. Tetapi beliau akan marah jika kehormatan Allah dirusak dan diinjak-injak oleh manusia (Harsono, 2005: 39).
g. Ikhlas (tak memikirkan pemberian orang lain)
Menurut Paku Buwono IV keikhlasan seorang guru merupakan salah satu kriteria guru yang baik (Harsono, 2005: 16). Tugas guru dalam mengajar tidak bisa disamakan dengan mencari pangkat ataupun prioritas, karena memang dalam tugas tersebut, seorang guru adalah lebih mulia dan lebih luhur dari pada yang lain, sehingga ketika suatu keilmuan semakin mulia dan memberikan banyak kemanfaatan bagi manusia, maka hal itu dapatlah mengangkat derajat seorang guru menjadi mulia dan tinggi (asy-Syalhub, 2005: ix).
Jika seorang guru ikhlas beramal semata untuk Allah dan niat mengamalkan ilmunya untuk kemanfaatan manusia, mengajarkan kebaikan, serta memberantas kebodohan, maka semua itu dapat memperbanyak amal kebaikannya, juga menambah ganjarannya, seperti sabda nabi Muhammad yang artinya semua amal tergantung dengan niat (Harsono, 2005: 16).
Kriteria ikhlas itu sendiri bukan hanya bersih dari tujuan lain selain Allah yang bersifat lahir seperti mengajar untuk mendapatkan upah atau gaji, misalnya. Lebih dari itu, ikhlas berhubungan dengan niat yang letaknya dalam hati, dan itu merupakan proses panjang, sepanjang usia manusia dalam usahanya menjadikan dirinya menjadi manusia yang sempurna (Rusn, 1998: 69).
h. Berlandaskan dalil, hadits, ijma’ dan qiyas
Kanjeng Susuhunan Paku Buwono IV dalam Serat Wulangreh juga mengajarkan bahwa orang yang mengajarkan ilmu (guru) hendaknya juga berlandaskan dalil (al-Qur’an), Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Hal ini tentunya sesuai dengan tradisi yang diajarkan oleh pendidikan agama Islam. Kalau tidak ada kaitannya dengan keempat landasan tersebut, maka pengetahuan yang diajarkan itu bisa terjerumus ke jurang kesesatan (Munarsih. 2005: 14).
Ditinjau dari kompetensi guru yang berpegang kepada keempat dasar di atas merupakan kompetensi personal, yaitu memiliki kemampuan kepribadian yang mantap. Dalam setiap tindakan atau tingkah lakunya secara personal harus sesuai dengan keempat dasar tersebut (al-Qur’an, Hadits, Ijma’, dan Qiyas). Jika seorang guru meninggalkan salah satunya, maka mereka akan tersesat yang berakibat pada dirinya sendiri bahkan paserta didiknya. Karena guru adalah panutan atau teladan perilaku keberagamaan peserta didik maupun masyarakat. Keempat dasar di atas adalah dasar atau petunjuk dalam kehidupan. Tanpa dasar tersebut maka ibarat berjalan di medan yang gelap gelita tanpa adanya penerangan atau lampu. Petunjuk diibaratkan sebuah lampu yang menunjukkan mana jalan yang baik dan mana jalan yang jelek.
Dengan petunjuk manusia akan tahu mana yang khaq dan mana yang batal. Menurut hemat penulis setelah meninjau beberapa kriteria guru yang baik menurut Paku Buwono IV dalam Serat Wulangreh dari kompetensi guru terkesan bahwa kriteria guru tersebut hanya termasuk kompetensi pedagogik, personal, dan profesional. Tetapi kriteria tersebut akan berpengaruh pada kompetensi sosial seorang guru.
Jika seorang guru bisa mempunyai kriteria guru yang nyata, baik martabatnya, berpengetahuan, beribadah, wira’i, bertapa, ikhlas, dan berlandaskan Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, tentu sangat perpengaruh sekali pada kehidupan sosial seorang guru, dengan kata lain hubungan sosialnya dengan peserta didik, orang tua wali, sesama guru dan masyarakat sekitar terjalin dengan baik, efektif dan efisien. Oleh karena itu dari kriteria guru menurut Paku Buwono IV ada muatan kompetensi sosial.
.
2. Adab Terhadap Guru Menurut Imam Al Ghazali
Imam Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di kota Thus yang merupakan kota kedua di Khurasan setelah Naysabur. Beliau berasal dari keluarga Muslim dengan anggota keluarganya sebagai pemintal wol. Imam Al-Ghazali selanjutnya dikenal sebagai seorang filsuf, teolog, ahli hukum, dan Sufi. Imam Al-Ghazali wafat di Thus pada hari senin, 14 Jumada al-Akhir 505 H/1111 M dalam usia 55 tahun. Al-Hujjah al-Islam Zaynuddin al-Thusi Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al- Ghazali di kuburkan di Zhahir al-Thabiran, ibu kota Thus (Al-Ghazali, 2003: 18).
Al-Ghazali juga aktif menulis dalam berbagai bidang ilmu dengan susunan dan metode yang sangat bagus. Ada sebuah riwayat, bahwa ketika Al-Ghazali menulis bukunya Al-Mankhul dan memaparkan kepada gurunya untuk meminta pendapatnya tentang karyanya itu, Imamul Haramain mendesah ketika membacanya dengan sungguh-sungguh: “Wahai, engkau telah memudarkan ketenaranku sebagai seorang penulis, sampai-sampai aku berasa telah mati.” Pada saat kematiannya, Imam Haramain meninggalkan beberapa karya terkemuka dan empat ratus ulama istimewa sebagai murid-muridnya, tetapi Al-Ghazali melampaui mereka semua (Qayyum, 1985: 6).
Al-Ghazali memiliki watak semangat untuk mengetahui hakekat kebenaran. Namun semangat ini terkalahkan oleh kedudukannya di masa muda. Akan tetapi, setelah mendalami beberapa ilmu tersebut dan ketika hasratnya pada kedudukan dan jabatan hilang, semangatnya untuk mencari hakekat kebenaran semakin kuat. Berkaitan dengan hal ini, Al-Ghazali menyatakan:
……
Sekarang aku tidak seperti dahulu. Jika dahulu aku masih mencari kedudukan. Sekarang tujuanku memperbaiki pribadiku dan juga orang lain. Aku mengajak menuju ilmu yang bisa untuk meninggalkan kedudukan duniawi dan untuk mengetahui rendahnya mencari kedudukan. Bukan aku yang menggerakkan, tetapi Allah yang memperjalankan aku. Segala sesuatu yang aku kerjakan ini semata-mata ikhlas karena Allah SWT (Al-Ghazali, 2008: 19).
.
Al-Ghazali meninggal dengan husnul khatimah pada hari senin tanggal 14 juamadil akhir tahun 505 H (1111 M) di Thusia. Jenazahnya dikebumikan di samping makam Al-Firdausi, seorang ahli syair yang termasyhur. Sebelum meninggal Al-Ghazali pernah mengucapkan kata-kata yang di ucapkan pula oleh Francis Bacon seorang filsuf Inggris, yaitu: Kuletakkan arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir umat manusia di masa depan (Al-Ghazali, 1994: 25). Ia meninggalkan pusaka yang tidak dapat dilupakan oleh umat muslimin pada khususnya dan dunia pada umumnya dengan karangan-karangannya yang berjumlah hampir seratus buah banyaknya.
Kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali ditulis pada abad ke-5 Hijriyah tahun 489 H. Kitab ini ditulis dalam masa pengembaraan beliau dalam mencari hakikat kebenaran, tepatnya pada masa perjalanan beliau pulang dari ibadah haji menuju Damaskus dan Baitul Maqdis. Sampai beliau menetap dan tinggal di Damaskus, tepatnya di sebelah barat Masjid Jami’ Al-Umawi, di suatu sudut yang terkenal sampai sekarang dengan nama “Al-Ghazaliyah”. Nama sudut tersebut diambil dari nama Al-Ghazali, dan pada masa itulah ia mulai mengarang kitab Ihya’ Ulumuddin. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Fadhalalla Haeri, bahwa,
……
Imam Al-Ghazali’s book called Revival of the Religious Sciences is considered to be his greatest work. It is the spiritual experience. This made him one of the most influential theologians in the Muslim world, as well as making the orthodox religious scholars take sufi movements seriously (Haeri, 1990: 99).
.
Kitab Imam Al-Ghazali yang disebut dengan Ihya’ Ulumiddin, merupakan hasil karyanya yang terbesar. Kitab ini merupakan hasil dari pengalaman spiritual. Karyanya yang satu ini sangat berpengaruh terhadap para teologi di dunia Islam, sebagaimana menjadikan pelajar-pelajar Kristen dengan pergerakan sufi secara serius.
Al-Ghazali merupakan seorang ulama Sufi yang banyak mengulas masalah keguruan, dan menempatkan posisi guru sebagai profesi yang sangat mulia. Hal ini berawal dari perhatiannya yang sangat mendalam tentang ilmu dan pendidikan. Berkaitan dengan ilmu pengetahuannya, manusia mencakup empat macam keadaan, antara lain: Pertama, dalam keadaan mencari. Kedua, dalam keadaan berusaha. Ketiga, dalam keadaan menghasilkan yang tidak perlu lagi kepada bertanya dan Keempat dalam keadaan meneliti, yaitu berpikir mencari yang baru dan mengambil faedah darinya (Al-Ghazali, 1994: 212).
Karena kemuliaan tersebut, bagi orang yang berilmu, baramal dan mengajar, disebut orang yang besar dalam alam malakut tinggi. Ia laksana matahari yang menyinarkan cahayanya kepada lainnya dan menyinarkan pula kepada dirinya sendiri. Ia laksana kasturi yang membawa keharuman kepada lainnya dan ia sendiripun harum.
Berkaitan dengan orang yang berilmu namun tidak beramal menurut ilmunya, Al-Ghazali memberikan beberapa perumpamaan, antara lain: manusia seumpama suatu daftar yang memberi faedah kepada yang lainnya, akan tetapi ia sendiri kosong dari ilmu pengetahuan. Seumpama batu pengasah yang menajamkan lainnya akan tetapi ia sendiri tidak dapat memotong. Seumpama jarum penjahit yang dapat menyediakan pakaian untuk lainnya akan tetapi ia sendiri telanjang. Seumpama sumbu lampu yang dapat menerangi lainnya akan tetapi ia sendiri terbakar. Hal ini sebagaimana kata pantun:
……..
Dia hanyalah laksana sumbu yang menyala menerangi manusia. Ia terbakar jadi abu dan orang lain yang mendapatkan sinarnya (Adnan 1993: 19).
.
Dari beberapa perumpamaan di atas, maka dapat dipahami bahwa profesi guru merupakan profesi yang paling mulia dan paling agung dibandingkan dengan profesi yang lain. Dengan profesinya tersebut, seorang guru menjadi perantara antara manusia dalam hal ini murid, dengan penciptanya yaitu Allah SWT. Dengan demikian, maka seorang guru telah mengemban pekerjaan yang sangat penting. Sehingga guru dianggap sebagai bapak kerohanian, yaitu seseorang yang mempunyai tugas sangat tinggi dalam dunia ini. Ia memberikan ilmu sebagai makanannya, sebagai kebutuhan manusia yang tinggi, disamping ia sebagai alat untuk sampai kepada Tuhan.
Menurut Al-Ghazali, guru adalah seseorang yang bertugas untuk menyempurnakan, mensucikan dan menjernihkan serta membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana pernyataan Al-Ghazali, yang juga menggambarkan ketinggian derajat dan kedudukan seorang guru, bahwa
……..
Guru itu berpengurusan dalam hati dan jiwa manusia. Yang termulia di atas bumi, ialah jenis manusia. Yang termulia dari bagian tubuh manusia ialah hatinya. Guru itu bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekati Allah ‘Azza wa Jalla. Mengajarkan ilmu itu dari satu segi adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dan dari segi yang lain adalah menjadi khalifah Allah Ta’ala. Dan itu adalah yang termulia menjadi khalifah Allah. Bahwa Allah telah membuka pada hati orang berilmu, akan pengetahuan yang menjadi sifat-Nya yang teristimewa, maka dia adalah seperti penjaga gudang terhadap barang gudangnya yang termulia. Kemudian diizinkan berbelanja dengan barang itu untuk siapa saja yang membutuhkannya (Al-Ghazali, 1994: 77).
.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka orang yang berilmu diwajibkan untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Adapun seorang guru tidak hanya sebatas mengamalkan ilmunya saja, akan tetapi mengamalkan harus dilandasi dengan keikhlasan dalam mendidik dan mengajarkan ilmunya kepada anak didik mereka. Karena ikhlas merupakan amal hati yang menjadi syarat diterimanya amal-amal seseorang. Sehingga tiada sempurna sebuah amal tanpa dilandasi keikhlasan.
Seorang guru berperan penting dalam melepaskan murid-muridnya dari api neraka akhirat, yakni dengan ilmu yang diajarkan kepadanya. Sementara ibu bapaknya, hanya melepaskan anaknya dari neraka dunia. Oleh sebab itu, hak seorang guru lebih besar daripada hak ibu bapaknya. Adapun guru yang dimaksud di sini adalah guru yang memberikan kegunaan hidup akhirat yang abadi. Yakni guru yang mengajar ilmu akhirat ataupun ilmu pengetahuan duniawi, tetapi dengan tujuan akhirat, bukan untuk tujuan dunia (Al-Ghazali, 1994: 212-213).
Berkaitan dengan masalah upah atau imbalan, Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa seorang guru harus mengikuti jejak Rasulullah SAW. Ia tidak mencari upah, balasan dan juga ucapan terimakasih dengan mengajar itu. Tetapi seorang guru mengajar karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun seorang guru diperbolehkan untuk memandang bahwa dirinya telah berbuat suatu perbuatan yang baik, dengan menanamkan ilmu pengetahuan dan mendidik jiwa para muridnya. Hal ini agar hatinya senantiasa dekat dengan Allah SWT (Al-Ghazali, 1994: 214).
Al-Ghazali membuat perumpamaan tentang posisi guru dan murid dengan seorang yang meminjamkan sebidang tanah untuk ditanami didalamnya tanam-tanaman yang hasilnya untuk peminjam tersebut. Maka faedah atau manfaat yang diperoleh dari peminjam tanah melebihi faedah yang diperoleh dari pemilik tanah itu. Dengan demikian, maka seorang guru tidak perlu menyebut jasa-jasanya sebab mengajar. Karena pada hakikatnya pahala yang diperoleh guru dari mengajar tersebut, ada pada Allah Ta’ala lebih banyak dari pahala yang diperoleh murid. Akan tetapi keberadaan murid juga sangat penting, karena jika tidak ada murid yang belajar, maka guru pun tidak akan memperoleh pahala tersebut. Selain itu, proses pembelajaran pun tidak akan berjalan. Sehingga hubungan guru dan murid pun harus senantiasa terpelihara dengan baik (Al-Ghazali, 1994: 214-215).
Dalam pengamalan ilmu juga dibutuhkan keikhlasan agar mampu menjadi jembatan amal perbuatannya, sehingga amalnya dapat diterima oleh Allah SWT. Orang yang berilmu akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada orang yang tidak berilmu. Hal ini sesuai dengan janji Allah dalam Al-Qur’an, yang artinya:
……..
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97).
.
Ayat tersebut, menegaskan kepada seluruh manusia bahwa Allah akan memberikan kehidupan yang jauh lebih baik bagi orang yang berilmu. Adapun yang ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman.
Seorang guru hendaknya tidak terkecoh oleh kesenangan duniawi, yang hanya akan membuatnya menjadi hina, baik dimata Allah maupun dimata manusia. Karena sejatinya Allah telah memberikan kelebihan dan kenikmatan bagi orang yang berilmu. Berkaitan dengan ini, Al-Ghazali mengatakan betapa kotornya orang berilmu, yang rela untuk dirinya kedudukan duniawi. Sementara ia berbohong dan menipu diri sendiri dengan tidak malu mengatakan: Maksudku dengan mengajar ialah menyiarkan ilmu pengetahuan, untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menolong agama-Nya (Al-Ghazali, 1994: 215).
Adapun mengenai seorang guru, Al-Ghazali menyatakan bahwa siapa yang menekuni sebagai tugas sebagai pengajar, berarti ia tengah menempuh suatu perkara yang sangat mulia. Oleh karena itu, ia harus senantiasa menjaga adab dan tugas yang menyertainya. Antara lain sebagai berikut.
a. Tugas dan Adab yang Pertama
Tugas dan adab yang pertama adalah mempunyai rasa belas-kasihan terhadap murid-muridnya dan memperlakukan mereka sebagai anak sendiri. Dalam hal ini seorang guru berperan untuk melepaskan murid-muridnya dari api neraka akhirat, yakni dengan ilmu yang diajarkannya. Hal ini lebih penting dari usaha kedua ibu bapak, melepaskan anaknya dari neraka dunia. Oleh karena itu, hak seorang guru lebih besar dari hak ibu bapaknya. Orang tua menjadi sebab lahirnya anak itu dan dapat hidup di dunia yang fana ini. Sedangkan guru menjadi sebab anak itu memperoleh hidup kekal. Jika tidak ada seorang guru, maka apa yang diperoleh anak dari orang tuanya, dapat membawa kepada kebinasaan yang terus menerus. Guru memberikan keagungan hidup akhirat yang abadi. Guru di sini yang mengajarkan ilmu akhirat ataupun ilmu pengetahuan duniawi, tetapi dengan tujuan akhirat, tidak dunia (Al-Ghazali, 1994: 212-213).
Adapun mengajar dengan tujuan dunia, maka akan binasa dan membinasakan. Sebagaimana hak anak-anak dari seorang ayah, saling mengasihi dan saling membantu dalam mencapai segala maksud, maka demikian juga dengan kewajiban murid-murid terhadap seorang guru, saling mengasihi dan menyayangi. Semua itu akan terwujud, bila tujuan guru dan murid adalah akhirat. Namun jika tujuannya dunia, maka yang ada hanyalah saling mendengki dan saling bermusuh-musuhan.
b. Tugas dan Adab yang Kedua
Tugas dan adab yang kedua adalah mengikuti jejak Rasul SAW. Dalam hal ini tidak mencari upah, balasan dan juga ucapan terimakasih dengan mengajar itu. Tetapi seorang guru mengajar karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Ia tidak melihat, bahwa dirinya telah menanam budi baik kepada murid-muridnya Itu. Akan tetapi, guru itu harus memandang bahwa dia telah berbuat suatu perbuatan yang baik, karena telah mendidik jiwa anak-anak itu. Supaya hatinya dekat dengan Allah Ta’ala dengan menanamkan ilmu pengetahuan kepadanya (Al-Ghazali, 1994: 214-215).
c. Tugas dan Adab yang Ketiga
Tugas dan adab yang ketiga, tidak meninggalkan nasehat sedikitpun kepada yang demikian itu, ialah dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat, sebelum berhak pada tingkat itu. Belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang. Kemudian menjelaskan kepadanya bahwa maksud dengan menuntut ilmu itu, ialah mendekatkan diri kepada Allah. Bukan karena keinginan menjadi kepala, kemegahan dan perlombaan (Al-Ghazali, 1994: 215-216).
d. Tugas dan Adab yang Keempat
Tugas dan adab yang keempat, seorang guru harus bersikap lemah lembut dalam mengajar, ketika guru menghardik muridnya dari berperangai jahat, maka dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak dengan cara terus terang. Dengan cara kasih sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab, kalau dengan cara terus terang, menghilangkan rasa takut murid kepada guru. Selain itu, mengakibatkan murid berani menentang dan suka meneruskan sifat yang tidak baik tersebut (Al-Ghazali, 1994: 217-218).
e. Tugas dan Adab yang Kelima
Tugas dan adab yang kelima, seorang guru yang bertanggung jawab pada salah satu mata pelajaran, tidak boleh melecehkan mata pelajaran yang lain dihadapan muridnya. Sebaliknya, yang wajar hendaklah seorang guru yang bertanggung jawab sesuatu mata pelajaran, membuka jalan seluas-luasnya kepada muridnya untuk mempelajari mata pelajaran yang lain. Apabila seorang guru bertanggung jawab untuk dalam beberapa ilmu pengetahuan, maka hendaklah menjaga kemajuan si murid dari setingkat ke tingkat (Al-Ghazali, 1994: 217-218).
f. Tugas dan Adab yang Keenam
Tugas dan adab yang keenam, guru harus menyingkatkan pelajaran menurut tenaga pemahaman si murid. Jangan di ajarkan pelajaran yang belum sampai otaknya kesana. Setelah murid memahaminya barulah guru mengembangkan pengetahuan tersebut secara mendalam (Al-Ghazali, 1994: 217-218).
g. Tugas dan Adab yang Ketujuh
Tugas dan adab yang ketujuh, kepada seorang pelajar yang singkat paham, hendaklah diberikan pelajaran yang jelas, yang layak baginya. Janganlah disebutkan kepadanya, bahwa di balik yang diterangkan ini, ada lagi pembahasan yang mendalam yang disimpan, tidak dijelaskan. Karena yang demikian itu, mengakibatkan kurang keinginannya pada pelajaran yang jelas itu dan mengacaukan pikirannya. Sebab menimbulkan dugaan kepada pelajar itu nanti, seolah-olah gurunya kikir, tak mau memberikan ilmu itu kepadanya (Al-Ghazali, 1994: 221).
h. Tugas dan Adab yang Kedelapan
Tugas dan adab yang kedelapan, seorang guru harus mengamalkan ilmunya sepanjang masa. Ia harus menjaga perkataannya agar sesuai dengan perbuatannya. Karena ilmu dilihat dengan mata hati dan amal dilihat dengan mata kepala. Apabila amal tidak sesuai dengan ilmu, maka akan tersesat dan menyesatkan. Seperti perumpamaan guru yang mursyid dengan para muridnya, ialah seumpama ukiran dari abu tanah dan bayang-bayang dari kayu. Bagaimanakah abu tanah itu terukir sendiri tanpa benda pengukir dan kapankah bayang-bayang itu lurus sedang kayunya bengkok? Hal ini sebagaimana pantun berikut:
……..
Janganlah engkau melarang suatu pekerti, sedang engkau sendiri melakukannya. Malulah kepada diri sendiri, dilihat orang engkau mengerjakannya (Al-Ghazali, 1994: 222).
.
Pantun tersebut sesuai dengan sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an yang artinya, Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri. (QS. Al-Baqarah, ayat 44). Ayat ini mengandung pengertian, bahwa tujuan ayat ini bukan hanya mencela kepada para ulama karena menyuruh kepada amal ma’ruf sedang mereka sendiri meninggalkannya, namun karena para ulama meninggalkan amal ma’ruf itu, yang merupakan kewajiban bagi setiap individu yang mengetahuinya. Akan tetapi, hal yang wajib dan utama bagi seorang ulama ialah melakukan beramal ma’ruf dan memerintahkannya kepada orang lain, serta tidak menyalahi mereka.
Namun demikian, bukan berarti apabila seorang ulama melakukan kemungkaran (misalnya), kemudian ia tidak boleh melarang orang lain berbuat kemungkaran yang dilakukannya. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir, bahwa Sa’id bin Jubeir berkata, “Apabila seorang tidak menyuruh kepada amal ma’ruf dan tidak melarang kemungkaran hingga pada dirinya tidak ada perkara apapun, niscaya tidak akan ada seorang pun yang menyuruh kepada amal ma’ruf dan melarang dari kemungkaran”.
Hal ini menunjukkan, bahwa tidak ada seorang pun yang tidak pernah luput dari kesalahan, termasuk juga seorang ulama dan guru. Namun perlu diketahui, bahwa dosa orang yang berilmu mengerjakan perbuatan maksiat, lebih besar dari dosa orang bodoh. Karena dengan terperosoknya orang berilmu, maka akan terperosok pula orang-orang yang menjadi pengikutnya. Adapun bila dikaitkan dalam lingkungan pendidikan, maka seorang guru diwajibkan untuk menyampaikan apa yang diketahuinya mengenai suatu ilmu kepada muridnya, dan hendaknya perbuatan seorang guru harus sesuai dengan perkataannya. Karena segala sikap dan tingkah laku guru menjadi perhatian para muridnya.
Dari berbagai pemaparan di atas, maka keberhasilan seseorang tergantung pada niatnya, seorang guru akan berhasil dalam mengajar dan mendidik muridnya apabila dilandasi dengan niat yang lurus. Yakni ketika mengajar dan mendidik, guru senantiasa berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyebarkan ilmunya untuk kebaikan, menghilangkan kebatilan dan menghidupkan agama serta demi kemaslahatan umat. Hal ini yang menggambarkan sikap dan ketulusan seorang guru dalam mengajar dan mendidik murid-muridnya.
.
3. Memuliakan Guru Menurut Az-Zarnuji
Salah satu hal yang menarik dalam ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi. Mengapa demikian? Karena guru selalu terkait dengan ilmu pengetahuan, sedangkan Islam amat menghargai ilmu pengetahuan. Dalam kitab-kitab hadits kita menemukan banyak sekali hadits yang mengajarkan betapa tinggi kemuliaan orang yang berilmu pengetahuan, biasanya dihubungkan pula dengan mulianya menuntut ilmu (Tafsir, 2004: 76).
Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin al-Ghazali (dalam Zainuddin dkk, 1991: 50) menyebutkan bahwa apabila ilmu pengetahuan itu lebih utama dalam segala hal, maka mempelajarinya adalah mencari yang lebih mulia dan mengajarkannya adalah memberikan faedah bagi keutamaan itu.
Jadi mengajar dan mendidik adalah sangat mulia karena secara naluri orang yang berilmu itu dimuliakan dan dihormati oleh orang. Dan ilmu pengetahuan itu sendiri adalah mulia, maka mengajarkannya adalah memberikan kemuliaan. Pendidik adalah orang kedua yang harus dihormati dan dimuliakan setelah orang tua. Mereka menggantikan peran orang tua dalam mendidik anak-anak atau peserta didik ketika berada di lembaga pendidikan. Dengan demikian seharusnya kita menghargai dan memuliakannya. Para pendidik serta ulama seperti halnya memuliakan para orang tua kita (Muhtar, 2005: 25). Sejalan dengan itu al-Ghazali mengatakan bahwa
……..
Seseorang yang berilmu, kemudian dia mengamalkan ilmunya, maka orang itulah yang dinamakan orang yang berjasa besar di kolong langit ini. Orang tersebut bagaikan matahari yang menyinari orang lain dan menerangi pula dirinya sendiri ibarat minyak kestari yang baunya dinikmati orang lain dan dia sendiri pun harum. Siapa yang bekerja di bidang pendidikan maka sesungguhnya dia telah memilih pekerjaan yang terhormat dan sangat penting, maka hendaknya dia memelihara adab dan sopan santun dalam tugasnya itu (Al-Ghazali, t.t. 105-106).
.
Sebenarnya tingginya kedudukan guru dalam Islam merupakan realisasi ajaran Islam itu sendiri. Islam memuliakan pengetahuan, pengetahuan itu didapat dari belajar mengajar, dan yang mengajar adalah seorang guru. Karena itulah Islam memuliakan guru. Tak terbayangkan terjadinya perkembangan pengetahuan tanpa adanya orang yang belajar dan mengajar, tak terbayangkan adanya belajar dan mengajar tanpa adanya guru, karena Islam adalah agama. Maka pandangan tentang guru, kedudukan guru tidak terlepas dari nilai-nilai kelangitan. Jadi lengkaplah sudah syarat-syarat untuk menempatkan kedudukan tinggi bagi guru dalam Islam.
Untuk mengetahui konsep memuliakan guru menurut pemikiran al-Zarnuji, maka dapat diulas dari kitab Ta’lim al-Muta’allim, yang secara spesifik ditulis dalam bab IV, tentang Memuliakan Ilmu dan Ahli Ilmu. Dalam bab ini beliau membahas secara luas mengenai hubungan guru dengan murid, mencakup beberapa etika yang harus diperhatikan oleh seorang murid, terkait dengan hubungan sebagai sesama manusia dalam keseharian maupun hubungan dalam situasi formal sebagai seorang pengajar dan individu yang belajar. Akan tetapi dalam hal ini, bagaimana etika atau sikap guru terhadap murid hanya dibahas secara implisit, karena pada dasarnya kitab ini ditulis sebagai pedoman dan tuntunan bagi para penuntut ilmu atau para murid.
Belajar merupakan suatu usaha untuk memperoleh ilmu pengetahuan Dengan ilmu pengetahuan dapat mengantarkan seseorang menuju jalan yang terang dan derajat keluhuran. Dalam bukunya Clifford T Morgan, menyatakan bahwa, Learning is any relatively permanent change in behavior that is the result of past experience (Belajar adalah perubahan dalam tingkah laku yang relatif permanen sebagai hasil dari pengalaman masa lalu) (Morgan, 1961: 219).
Belajar bagi al-Zarnuji lebih dimaknai sebagai tindakan yang bernilai ibadah, yang dapat ikut menghantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (dalam Pimay, 1999: 55). Sebab diniati untuk mencari ridho Allah, pengembangan dan pelestarian Islam serta dalam rangka mensyukuri nikmat Tuhan dan menghilangkan kebodohan, serta bukan sekedar reorganisasi atau struktur kognitif dan bukan pula dalam arti perubahan yang relatif permanen yang terjadi karena adanya reinforcement.
Agama sangat menjunjung nilai-nilai moral dalam kehidupan, terlebih orang-orang yang berilmu. Orang yang mencari ilmu harus memperhatikan dasar-dasar etika agar dapat berhasil dengan baik dalam belajar, memperoleh manfaat dari ilmu yang dipelajari dan tidak menjadikannya sia-sia. Diantara beberapa etika tersebut dapat dipahami dari nasihat-nasihat al-Zarnuji, yang terkait dengan etika dalam menjaga hubungan antara guru dengan murid.
Dalam mengawali pembahasan ini, beliau memberi statement yang bernada suatu penegasan kepada orang yang belajar (murid), penegasan tersebut adalah : Ketahuilah sesunguhnya orang yang mencari ilmu itu tidak akan memperoleh ilmu dan kemanfaatannya, kecuali dengan memuliakan ilmu beserta ahlinya, dan memuliakan guru (dalam Ibrahim bin Isma’il, t.t: 16). Statement ini menjadi semangat yang mendasari adanya penghormatan murid terhadap guru, bahwa murid tidak akan bisa memperoleh ilmu yang manfaat tanpa adanya pengagungan terhadap ilmu dan orang yang mengajarnya. Jadi untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, membutuhkan jalan dan sarana yang tepat, yakni dengan mengagungkan ilmu yang termasuk dalam mengagungkan ilmu adalah penghormatan terhadap guru dan keluarganya.
Apabila kita membuka mata, betapa besar pengorbanan Guru yang berupaya keras mencerdaskan manusia dengan memberantas kebodohan, dengan sabar dan telaten membimbing, mengarahkan murid serta mentransfer ilmu yang dimiliki, sehingga melahirkan individu-individu yang memiliki nilai lebih dan derajat keluhuran baik di mata sesama makhluk maupun di hadapan Allah SWT.
Jadi penghormatan terhadap guru merupakan suatu hal yang wajar karena pada dasarnya guru tidak membutuhkan suatu penghormatan akan tetapi secara manusiawi guru biasanya menjadi tersinggung apabila muridnya bersikap merendahkan dan tidak menghargai. Dan sebagai wujud pemuliaan dan penghormatan kepada guru, Sebagai konsekuensi sikap moral atas pengagungan dan penghormatan terhadap guru al-Zarnuji memberikan saran dan penjelasan, bahwa penghormatan tersebut berbentuk sikap konkrit yang mengacu pada etika moral dan akhlak seorang murid terhadap gurunya dalam interaksi keseharian dan dalam bentuk materi.
Dalam kajian Awaluddin bahwa bentuk penghormatan ini, berkaitan dengan kewajiban orang tua murid dalam upaya menjalin suasana keakraban dengan seorang guru, sebagai ungkapan rasa terima kasih dan imbalan atas jasa serta waktu yang telah banyak dicurahkan untuk mendidik murid. Salah satu bentuknya adalah memberikan sebagian hartanya kepada pendidik atau guru (Pimay, 1999: 53).
Pemikiran al-Zarnuji mengenai keutamaan dalam menghormati dan memuliakan guru bukan merupakan sebuah teori semata akan tetapi lebih dari sebuah pemikiran yang mengandung alasan cukup mendasar bagi terbentuknya suatu hubungan yang etis humanitis antara guru dan murid. Alasan tersebut dikemukakan secara jelas oleh al-Zarnuji : Maka, sesungguhnya orang yang mengajar kamu satu huruf, yang hal itu masalah agama dan kamu perlukan maka dia termasuk (dihukumi) sebagai bapakmu dalam agama (Syeh Ibrahim bin Isma’il, t.t: 15).
.
4. Konsep Guru Menurut Ibnu Khaldun
Guru merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu pendidikan. Setiap usaha peningkatan mutu pendidikan, perlu memberikan perhatian besar kepada peningkatan guru, baik dalam segi kuantias (jumlah) maupun kualitasnya (mutu). Oleh karena itu, guru merupakan seorang figur yang menempati posisi dan memegang peran penting dalam pendidikan. Karena peranannya yang begitu besar, maka seorang guru disyaratkan mempunyai kompetensi paedagogik, professional, kepribadian, dan sosial.
Ibnu Khaldûn salah satu tokoh Islam yang terkenal. Sebagai bukti dari keterkenalannya itu, bisa dilihat dari berbagai karyanya, baik dalam berbagai sosiologi, ilmu sejarah, ilmu ekonomi, politik Islam, dan juga pakar dalam bidang pendidikan. Hampir seperempat sisa umurnya menjadi guru dan pengajar di berbagai madrasah dan universitas, ia memang tidak mempunyai buah karya khusus tentang pendidikan. Meskipun tidak banyak, Ibnu Khaldûn telah mengemukakan pemikiran-pemikiran dalam bidang pendidikan yang sangat progresif dan cemerlang, terutama berkenaan dengan guru.
Di antara pemikiran Ibnu Khaldun tentang guru, antara lain: 1) guru harus profesional , 2) tugas utama guru, 3) gaji dan penghasilan guru, dan 4) guru harus memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran; kelima, guru harus memperhatikan metode pembelajaran.
a. Guru Harus Profesional
Ibnu Khaldûn menegaskan bahwa seorang guru harus profesional atau ahli dalam bidangnya, sebagaimana iapun berpendapat bahwa, pengajaran ilmu (guru) merupakan salah satu keahlian. Di halaman yang lain dia berkata bahwa, baiknya suatu keahlian yang diperoleh dengan belajar tergantung kepada baiknya guru dan cara yang digunakan untuk mengajarkannya (Khaldûn, 2005: 476).
Lebih lanjut dia mengatakan bahwa, keterampilan dalam suatu ilmu pengetahuan dan aspeknya yang beragam serta penguasaan atasnya, merupakan akibat dari kebiasaan yang memberikan kemungkinan bagi pemiliknya untuk menguasai semua prinsip dasar dan kaidah-kaidahnya, serta untuk memahami problematikanya dan menguasai secara detail terhadap hal-hal yang bersifat prinsipil. Sejauh kebiasaan itu tidak didapatinya (baca: tidak ada), maka sejauh itu pula keterampilan dalam suatu disiplin khusus (profesional) tidak mungkin diperolehnya.
Guru profesional adalah seorang yang melaksanakan tugas pengajarannya dilakukan secara efisien dan efektif dengan tingkat keahlian yang tinggi dalam mencapai tujuan pekerjaan tersebut. Seseorang dikatakan guru profesional, bilamana pada dirinya melekat sikap dedikasi yang tinggi terhadap tugasnya, sikap komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, dan sikap continous improvement, yakni selalu berusaha memperbaiki dan memperbarui model-model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya, yang dilandasi oleh kesadaran yang tinggi bahwa tugas mendidik adalah tugas menyiapkan generasi penerus yang akan hidup pada zaman di masa depan (Muhaimin, 2003: 222).
Berdasarkan berbagai penelitian kualitas pendidikan ditentukan oleh 60% kualitas guru. Jika kualitas gurunya jelek, maka 60% jelek pula kualitas pendidikan. Sebaliknya jika kualitas gurunya baik, maka 60% kualitas pendidikan juga baik dan 40% lainnya dipengaruhi oleh berbagai faktor lainnya. Artinya jika pendidikan ingin maju, maka harus dimulai dulu dari gurunya. Guru memang benar-benar faktor kunci kalau ingin memajukan pendidikan).
Untuk menjadi guru yang profesional tidaklah mudah, karena dia harus memiliki kompetensi-kompetensi keguruan. Di antaranya kompetensi-kompetensi yang harus dimiliki oleh guru profesional adalah: 1) Penguasaan materi al-Islam yang komprehensif serta wawasan dan pengayaan, terutama pada bidang yang menjadi tugasnya; 2) Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode, dan teknik) pendidikan Islam, termasuk kemampuan evaluasinya; 3) Penguasaan ilmu dan wawasan pendidikan; 4) Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan pada umumnya guna keperluan pengembangan pendidikan Islam; dan 5) Memiliki kepekaan terhadap informasi secara langsung ataupun tidak langsung yang mendukung kepentingan tugasnya (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 172).
Sedangkan menurut Ibnu Khaldûn, indikator dari guru profesional adalah 1) memiliki ilmu pengetahuan yang beragam dan penguasaan atasnya; 2) menguasai semua prinsip dasar dan kaidah-kaidah tentang ilmu pengetahuan; dan 3) memahami problematikanya dan menguasai secara detail terhadap hal-hal yang bersifat prinsipil dalam pembelajaran.
b. Tugas Utama Guru adalah Memanusiakan Manusia
Alasan yang sangat mendasar, seorang guru harus profesional, adalah karena dalam proses pembelajaran guru bertugas, kalau mengambil istilah filosof Yunani, untuk memanusiakan manusia. Karena sebelum mendapatkan pendidikan, manusia layaknya binatang. Tapi dalam diri manusia, terdapat potensi untuk berpikir (al-Hayawan al-Nathiq). Potensi berpikir itulah, pada akhirnya yang menjadi pembeda sangat prinsipil antara manusia dengan binatang. Hal ini senada dengan pernyataan Ibnu Khaldûn (2005: 532) bahwa ”manusia termasuk jenis binatang dan bahwa Allah telah membedakannya dengan binatang kerena kemampuan manusia untuk berpikir yang Dia ciptakan untuknya”.
Lebih lanjut Ibnu Khaldûn (2005: 533-534) menyatakan bahwa manusia dikelompokkan pada semua hewan dalam kebinatangannya, baik dalam hal indera, gerak, makan, tempat berlindung, dan lain sebagainya. Manusia berbeda dengan hewan-hewan, karena kemampuannya untuk berpikir. Sementara pertukangan (kerajinan) dan ilmu pengetahuan adalah hasil dari kemampuan manusia untuk berpikir, aspek yang membedakannya dengan binatang (Ibnu Khaldûn, 2005: 477).
Itulah tugas guru yang paling utama, yang membantu dan membimbing serta mengarahkan siswanya untuk memaksimalkan potensi pikirnya. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Guru dan Dosen (2003: 2), guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Khaldûn, agar manusia menjadi manusia, manusia (baca: siswa) tersebut harus berpengetahuan atau mencari orang-orang yang mempunyai ilmu, seperti guru. Sebagaimana kata Ibnu Khaldûn, Lalu manusia itu berpulang pada orang yang lebih dahulu memiliki ilmu, atau yang punya kelebihan dalam suatu pengetahuan, atau mengambil dari para nabi yang telah mendahuluinya (2005: 534).
Manusia minta bantuan para ahli ilmu pengetahuan supaya bisa mencapai kesempurnaan dalam dirinya, kemampuan untuk bisa membedakan (tamyiz), memiliki pengetahuan. Manusia akan mencari orang dewasa guna membimbing dan mengarahkannya untuk mencapai ketiga hal tersebut. Dari sinilah timbul yang dinamakan dengan proses pendidikan dan pengajaran. Sebab tanpa proses pendidikan dan pengajaran, ketiga hal tersebut, tidak akan dapat tercapai.
Pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia baik dalam bentuk formal maupun informal. Salah bentuk dari proses tersebut adalah pengajaran, yakni proses transfer of knowledge atau usaha mengembangkan dan mengeluarkan potensi intelektualitas dari dalam diri manusia. Intelektualitas dan pengetahuan itupun belum sepenuhnya mewakili diri manusia. Oleh karena itu, pendidikan bukan hanya sekedar transfer of knowledge atau peralihan ilmu pengetahuan semata, akan tetapi dengan adanya pendidikan diharapkan peserta didik mampu mengetahui dan memahami eksistensi dan potensi yang mereka miliki.
Di sinilah akhir dari tujuan pendidikan, yakni melakukan proses humanisasi (memanusiakan manusia) yang berujung pada proses pembebasan. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial mengalami dehumanisasi karena eksploitasi kelas, dominasi gender maupun hegemoni budaya lain. Oleh karena itu, pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran dalam mengembalikan kemanusiaan manusia, dan dalam kaitan ini, pendidikan berperan untuk membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan.
Jadi, yang dimaksud bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia adalah pendidikan bisa mengantarkan peserta didik menuju kematangan dan kedewasaan rohani dan jasmani sehingga peserta didik dapat menjadi manusia yang benar-benar sempurna (manusia seutuhnya), baik dari aspek kecerdasan, emosional, spiritual, sikap, dan lain sebagainya.
c. Guru Berhak untuk Mendapatkan Gaji dan Penghasilan
Kalau predikat guru sudah profesional dan sudah melaksanakan tugas utama dari pendidikan, maka sangat wajar kalau guru tersebut menuntut dan berhak untuk memperoleh gaji dan penghasilan. Hal ini ditegaskan dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pasal 14, dalam melaksanakan tugasnya, seorang guru berhak memperoleh gaji dan penghasilan. Gaji adalah hak yang diterima oleh guru atas pekerjaannya, sedangkan penghasilan adalah sesuatu hak yang diterima oleh guru sebagai imbalan melaksanakan tugas keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru sebagai pendidik profesional.
Sebagaimana Ibnu Khaldûn (2005: 465) mengatakan ”orang-orang yang bertugas mengurusi agama, seperti guru di antaranya, adalah orang yang memberikan keuntungan”. Lebih lanjut dia berkata (Ibnu Khaldûn, 2005: 480) bahwa ”orang tidak akan memberikan pikiran dan tenaganya tanpa upah, sebab pikiran dan tenaganya adalah sumber kehidupan dan keuntungan, bahkan satu-satunya sumber keuntungan selama hidupnya”. Dia berpegangan pada yang dikatakan oleh Ali ra, ”nilai setiap orang terletak pada keahliannya”.
Dalam memandang guru, Ibnu Khaldûn berpendapat bahwa tugas guru adalah pekerja dalam pekerjaan mendidik, atau menurut istilahnya ”industri pendidikan”. Dia memandang bahwa tuntutan mereka (baca: guru-guru) akan upah mengajar merupakan suatu keniscayaan dan pekerjaan wajar yang tidak akan menjadi aib bagi mereka. Karena industri merupakan satu sarana untuk mencari dan memperoleh rezeki (Sulaeman, 1987: 72).
Pandangan di atas, secara sepintas menyebutkan bahwa tugas guru itu hanya bersifat pragmatis realistis. Tapi menurut hemat penulis, justru dengan diperhatikan kesejahteraan (dalam hal ini adalah gaji) guru, akan sangat menunjang terhadap keberhasilannya dalam proses pendidikan. Sebagaimana yang sering disampaikan oleh para guru-guru dan para praktisi pendidikan serta pakar pendidikan. Sebab ketika kesejahteraan guru sudah tercukupi, maka konsentrasi guru terhadap proses belajar mengajar pun akan semakin bersemangat dan fokus terhadap profesinya.
Walaupun memang tidak adanya jaminan akan seratus persen bahwa adanya korelasi linear antara besarnya kesejahteraan guru dengan keberhasilan dan meningkatnya mutu pendidikan. Tapi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Supriadi (1998: 42-45), bahwa pengalaman di negara-negara lain menyatakan bahwa salah satu penentu prestasi kerja adalah besar kecilnya imbalan. Makin tingginya imbalan, makin tinggi kesungguhan, komitmen, dan produktivitas kerja, serta makin kecil tindakan indisipliner.
Lebih lanjut Dedi (1998: 42-45) menyatakan bahwa sedikitnya ada 4 hubungan antara kesejahteraan (baca: gaji) guru dengan kinerjanya, yaitu: pertama, peningkatan gaji tanpa diikuti oleh peningkatan kinerja pegawai adalah pemborosan. Kedua, kenaikan gaji PNS selalu diikuti oleh meningkatnya harga dan menjadi penyebab inflasi. Ketiga, jika gaji PNS tidak ditingkatkan, maka PNS akan mencari penghasilan tambahan di luar gaji resminya yang malah mengakibatkan tugas utamanya terabaikan. Keempat, dengan besar gaji seperti itu pun, anggaran belanja negara yang dialokasikan untuk gaji sudah lebih dari sepertiga (37%) dari anggaran rutin.
Ibnu Khaldûn menyatakan bahwa para pengajar tidak mendapatkan gaji yang layak dengan profesinya, ini merupakan suatu ketidakadilan. Padahal pekerjaan mereka itu, sebagai mediasi untuk mendapatkan pekerjaan yang lain. Jadi, sangat wajarlah, jika guru mendapatkan gaji yang layak (A. Tafsir, 2000: 106). Sebagaimana firman Allah QS. al-Zalzalah: 7-8 ”Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan mendapat balasannya”. Artinya bahwa sangat logis, apabila guru yang melaksanakan tugas sebagai seorang pendidik mendapatkan gaji dan penghasilan, sesuai dengan profesinya. Karena Allah juga membalas kepada seseorang yang apabila mengerjakan kebaikan, maka orang tersebut akan dibalas dengan kebaikan pula.
Maka sangatlah wajar, ketika realitas hari ini, menunjukkan bahwa profesi guru tidak menjadi idaman atau panggilan bagi kebanyakan pemuda, walaupun tugas itu mulia. Hal ini didasarkan pada anggapan profesi guru kurang menjanjikan di dalam profitnya. Walaupun gaji guru tidak lebih rendah dari gaji resmi pegawai-pegawai lain, namun pendapatan pada umumnya rendah. Secara finansial jabatan guru tidak akan membuat seseorang menjadi kaya (Nasution, 1983: 108).
Lebih lanjut Nasution (1983: 108-109) menjelaskan bahwa guru-guru pada umumnya tidak begitu melibatkan diri dalam usaha mencari uang, namun menginginkan adanya jaminan ekonomi agar dapat menutupi biaya hidup sehari-hari menurut keperluan sewajarnya. Untuk jaminan itu guru sering mencari sumber-sumber finansial lainnya di luar profesinya sebagai pendidik.
Penulis sangat mendukung terhadap pandangan Ibnu Khaldûn yang begitu memperhatikan kondisi guru melalui imbalan gaji yang harus diberikannya kepada seorang guru. Walaupun ada sedikit perbedaan persepsi dengan pandangan al-Ghazali mengenai upah gaji guru ini. Al-Ghazali melarang tentang gaji guru. Sebagaimana al-Ghazali mengatakan bahwa guru itu tidak layak menuntut honorarium sebagai jasa tugas mengajar dan tidak patut menunggu-nunggu datangnya pujian, ucapan terima kasih atau balas jasa dari muridnya. Yang demikian itu karena dia melaksanakan kewajiban yang dibebankan kepadanya.
Sebagaimana ia meniru Rasulullah Saw. demikianlah dia mengajarkan ilmunya semata-mata untuk mencari keridhaan Allah. Dengan cara ini seorang guru akan sangat dekat dengan Tuhannya dan besar pahalanya. Sebagaimana katanya: “Orang yang mencari harta kekayaan melalui ilmu agama tak ubahnya bagaikan orang yang hendak menyapu telapak kaki dengan wajahnya sendiri, dengan maksud membersihkannya” (al-Ghazali, 2003: 173 dan Sulaiman, 1993: 45).
Tapi kalau diperhatikan dengan seksama bahwa yang diharamkan oleh al-Ghazali mengenai gaji guru adalah apabila al-Quran (ilmu-ilmu yang lainnya) dijadikan sebagai alat untuk mencari rezeki, menumpuk kekayaan bahkan satu-satunya tujuan mengajar (dari seseorang guru) hanya untuk mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya (Zainuddin, 1991: 55).
d. Guru harus Memperhatikan Prinsip-prinsip Pembelajaran
Menurut Ibnu Khaldûn, dalam melaksanakan tugas, seorang guru harus memerhatikan dan memegang prinsip-prinsip pembelajaran, yaitu sebagai berikut.
Seorang guru harus menghindari hukum (punishment) yang bersifat keras. Dalam hal ini Ibnu Khaldûn (2005: 763) menyatakan bahwa kekerasan terhadap pelajar membahayakan mereka. Hukuman yang keras dalam pengajaran (ta’lim) berbahaya pada si murid, khususnya bagi anak-anak kecil. Karena itu termasuk tindakan yang dapat menyebabkan timbulnya kebiasaan buruk dan kekasaran dan kekerasan dalam pengajaran serta dapat mengakibatkan bahwa kekerasan itu sendiri akan menguasai jiwa dan mencegah perkembangan pribadi anak yang bersangkutan.
Kekerasan membuka jalan ke arah kemalasan dan keserongan, penipuan serta kelicikan. Ia juga mengingatkan agar seorang guru tidak mempermalukan siswanya dengan cara-cara kasar dan memberlakukan siswanya dengan cara paksaan (Khaldûn, 2005: 764). Ibnu Khaldûn menasihatkan kepada guru agar tidak bersifat otoriter dalam memperlakukan peserta didik yang masih kecil. Karena kekerasan yang dilakukan dalam pendidikan akan sangat membahayakan perkembangan jiwa peserta didik, khususnya mereka yang masih kecil. Dikatakannya bahwa perlakuan kasar di kelas terhadap anak-anak kecil akan menimbulkan kenakalan dan kemalasan serta membuat mereka berdusta.
Ibnu Khaldûn menghendaki agar para guru bersikap lemah lembut terhadap peserta didiknya. Tetapi sekali-kali dalam keadaan yang sangat terpaksa, perlu juga seorang guru bersikap keras. Namun jika akan dilakukan harus dipertimbangkan bebebepa hal, di antaranya: 1) jika perlu menghukum dengan pukulan, maka boleh memukul anak dengan pukulan ringan yang menimbulkan rasa sakit, itu pun setelah diberikan peringatan keras terhadapnya; 2) tidak memukul anak lebih dari seratus kali, dan sebaiknya hanya tiga kali pukulan; 3) jangan memukul kepala atau muka anak, karena membahayakan kesehatan otak dan merusak mata atau berbekas buruk pada muka (wajah), maka sebaiknya pukulan hukuman itu diberikan pada kedua kakinya; dan 4) jangan diberikan di depan orang lain. Tapi walaupun sudah banyak alternatif di atas, selagi masih bisa dihindari dari hukuman pukulan tersebut, maka hindarilah. Karena sikap keras, yakni memberikan hukuman dengan pukulan belum tentu merupakan alternatif yang tepat untuk diberikan kepada peserta didik.
Pendapat Ibnu Khaldûn dapat dipahami karena kekerasan dan sikap kasar dalam bergaul dengan anak-anak sangat membahayakan. Sikap keras dan otoriter bisa mengakibatkan penderitaan dan kenakalan mereka, serta bisa menimbulkan perilaku bohong, jahat, penipu, dan juga sikap berpura-pura, sehingga menjadi kebiasaannya untuk berperilaku seperti itu.
Menurutnya bahwa kekerasan terhadap anak akan mengakibatkan sempit hati, sikap yang melemahkan semangat bekerja dan menjadikan pemalas dan pada gilirannya menunbuhkan sikap berdusta serta menimbulkan kecenderungan untuk berbuat buruk. Akibat lain lebih lanjut, anak cenderung untuk menipu atau berbohong, maka hancurlah makna kemanusiaan yang berada di dalam dirinya (M. Arifin, 2000: 221).
Oleh karena itu, dalam mendidik dan mengajar anak-anak di sekolah hendaknya menggunakan cara yang bijak, halus dan berdasarkan kasih sayang. Demikianlah kita mendapatkan peringatan dari Ibnu Khaldûn sebagai guru untuk selalu mengetahui bagaimana cara mempelajari dan memperlakukan murid-muridnya di sekolah.
.
D. Penutup
Guru menurut bahasa memiliki arti orang yang mempunyai tugas mendidik. Guru bisa juga disebut pendidik. Sebelum kita memehami konsep guru yang lebih jelas kita bahas terlebih dahulu mengenai pendidikan, Apa sih pendidikan itu ? Pendidikan menurut Ahmad Tafsir adalah merupakan usaha menolong agar seseorang mampu menyelesaikan masalah yang di hadapinya. Jadi semua manusia itu masih menjalani pendidikan, sementara itu manusia tidak pernah tidak manghadapi masalah.J adi selama manusia itu menghadapi masalah, maka selama itu pula ia memerlukan pendidikan.
Pengertian pendidikan dalam arti kata ialah jalan. Maksudnya ialah jalan atau proses berjalannya hubungan pergaulan antara pendidik dan yang dididik, dan hubungan tersebut mempuyai tujuan tertentu, yang memungkinkan perubahan tingkah laku bagi si terdidik. Guru merupakan pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Dari pengertian di atas jelas bahwa guru itu memiliki peranan yang strategis dan merupakan kunci keberhasilan untuk mencapai tujuan kelembagaan sekolah, karena guru adalah pengelola KBM bagi para siswanya. Kegiatan belajar mengajar akan efektif apabila tersedia guru yang sesuai dengan kebutuhan sekolah baik jumlah, kualifikasi maupun bidang keahliannya.
Guru (dari Sanskerta: गुरू yang berarti guru, tetapi arti secara harfiahnya adalah “berat”) adalah seorang pengajar suatu ilmu. Dalam bahasa Indonesia, guru umumnya merujuk pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik. Sehingga pengertian pendidikan tersebut pada akhirnya menyangkut semua aspek kecerdasan. Dalam paradigma Jawa, pendidik diidentikan dengan (gu dan ru) yang berarti digugu dan ditiru. Dikatakan digugu (dipercaya) karena guru mempunyai seperangkat ilmu yang memadai, yang karenanya ia memiliki wawasan dan pandangan yang luas dalam melihat kehidupan ini. Dikatakan ditiru (di ikuti) karena guru mempunyai kepribadian yang utuh, yang karenanya segala tindak tanduknya patut dijadikan panutan dan suri tauladan oleh peserta didiknya.
Sesungguhnya seorang pendidik bukanlah bertugas memindahkan atau mentransfer ilmunya kepada orang lain atau kepada anak didiknya. Tetapi pendidik juga bertanggungjawab atas pengelolaan, pengarah fasilitator dan perencanaan. Guru adalah pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Guru-guru seperti ini harus mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru.
.
Daftar Pustaka
.
Adnan (ed). 1993. Gema Ruhani Imam Ghazali, terj. Saifuddin Mujtaba. Surabaya: Pustaka Progressif.
Afifuddin (ed.). 2006. Merespon Undang-Undang Guru dan Dosen dalam Upaya Peningkatan Mutu Pendidikan, Bandung: CV. Insan Mandiri.
Al-Abrasyi, Muhammad al Atiyyah. 2003. Prinsip-prinsip Dasar Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.
Al-Ghazali. 1994. Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Yakub. Jakarta: CV. Faizan.
Al-Ghazali. 2003. Mukasyafah al-Qulub. Cet. I, terj. Irwan Kurniawan. Bandung: Marja’.
Al-Ghazali. 2008. Mutiara Ihya’ Ulumuddin, terj. Iwan Kurniawan. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Al-Ghazali. t.t. Ihya Ulumuddin, Jilid I. Beirut: Dar Al-kitab Al-Islami.
Arifin, M. 2000. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
Arifin, Zainal. 2006. Konsep Guru Menurut Sunan Kalijaga dalam Serat Wulangreh, Skripsi Sarjana IAIN Walisongo Semarang, Semarang : Perpustakaan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang.
Asy-Syalhub, Fuad bin Abdul Aziz, 2005. Muhammad SAW Al Muallimul Aw-Wal (Mengajar EQ Cara Nabi, Konsep Belajar Mengajar Cara Rasulullah SAW. terjm Ikhwan Fauzi. Bandung : MQS Publishing,
Aziz, Erwati. 2003. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Az-Zarnuji, Asy-Syekh. t.t. Ta’limul Muta’alim. Maktabah Daru Ihya al-Kitab al-Arabiyah Indonesia,
Darajat, Zakiah. 1996. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Departemen Agama RI. 2000, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung : CV. Diponegoro.
Dewey, John. 2004. Demokrasi And Education. New York : Macmillan.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Djumhur, I., dan Danasuparta, 1976. Sejarah Pendidikan, Bandung: CV. Ilmu Bandung.
Gordon, Thomas. 1986. Guru Yang Efektif. Jakarta: Rajawali Pers.
Haeri, Fadhalalla. 1994. The Elements Of Sufism. Dorset: Elements Books Limited.
Hakim, Thursan. 2000. Belajar secara Efektif, Jakarta: Puspa Swara.
Harsono, Andi. 2005. Tafsir Ajaran Serat Wulangreh. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Ibrahim bin Isma’il,. t.t. Syarah Ta’lim al-Muta’allim. Indonesia : Karya Insan.
Isa, Kamal Muhammad. 1994. Manajemen Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Fikahati Aneska.
Kanjeng Susuhunan Paku Buwono IV. Terjemahan Serat Wulangreh. Semarang : Dahara Prize.
Madjidi, Busyairi. 1997. Konsep Kependidikan para Filosof Muslim, Yogyakarta: Al Amin Press.
Marimba, Ahmad D. 1998. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Cet. VIII. Bandung: al-Ma’arif.
Morgan, Clifford T. 1961. Introduction of Psychology. New York: MacGraw Hill Book Company.
Muhaimin dan Mujib, Abdul. 1993. Pemikiran Pendidikan Islam; Kajian Filosofis dan Kerangka Dasar Operasional, Bandung: Trigenda Karya.
Muhaimin. 2003. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Surabaya: Pustaka Pelajar.
Muhtar, Jauhari. 2005. Fiqih Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Muhtar. 2003. Desain Pembelajaran Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Mizaka Galiza.
Munandir dan Imam Hanafi. 2005. Kamus Kata Serapan Bahasa Indonesia. Malang: Univeritas Negeri Malang.
Munarsih. 2005. Serat Centhini Warisan Sastra Dunia. Yogyakarta : Gelombang Pasang.
Nasution, S. 1999. Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Nasution. 1983. Sosiologi Pendidikan, Bandung: Jemmars.
Nata, Abuddin. 1999. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Nata, Abudin. 2001. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nata, Abudin. 2001. Persepektif Islam tentang Pola Hubungan Guru-murid. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nurdin, Syafruddin. 2003. Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum. Jakarta: Ciputat Press.
Paraba, Hadirja. 1999. Wawasan Tugas Tenaga Guru dan Pembina Pendidikan Agama Islam. Jakarta: Friska Agung Insani.
Pimay, Awaluddin. 1999. Konsep Pendidik dalam Islam (Studi Komparatif atas Pandangan al- Ghazali dan Az-Zarnuji). Semarang: Perpustakaan Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang.
Poerwati, Endang dkk. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Malang; UMM Press.
Purwanto, Ngalim. 1995. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Qayyum. 1985. Surat-Surat Al-Ghazali. Cet. II. terj. Haidar Baqir. Bandung: Mizan.
Rusn, Abidin Ibnu. 1998. Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sardiman A M. 1990. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.
Shihab, Quraisy. 2003. Tafsir al-Misbah Volume 1. Jakarta : Lentera Hati.
Soenarjo. 1994. al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penterjemahan.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2003. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Sulaiman, Fathiyah Hasan. 1987. Pandangan Ibnu Khaldûn tentang Ilmu dan Pendidikan, Terj. Herry Noer Ali, Bandung: Diponegoro.
Sulaiman, Fathiyah Hasan. 1990. Konsep Pendidikan Al-Ghazali, terj. Ahmad Hakim dan Imam Azis. Jakarta : P3M.
Supriadi, Dedi. 1998. Mengangkat Citra dan Martabat Guru, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Suryosubroto, B. 1997. Poses Belajar Mengajar Di Sekolah. Jakarta : PT. Renika Cipta.
Syeh Ibrahim bin Isma’il, t.t. Syarah Ta’lim al-Muta’allim. Indonesia : Karya Insan
Tafsir, Ahmad. 2004. Ilmu Pendidikan dalam Persepektif Islam. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Thoha, Chabib. 1996. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2005. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Beserta Penjelasannya. Bandung : CV. Nuansa Aulia.
Tu’u, Tulus. 2004. Peran Disiplin Pada Prilaku dan Prestasi Siswa. Jakarta: Grasindo.
Zainuddin dkk,. 1991. Seluk Beluk Pendidikan dari al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara.
Zamroni. 2000. Paradigma Pendidikan Masa Depan, Yogyakarta: Adipura.
Zuhairini, dkk. 1992. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Bumi Aksara.
.
.