A. Pengertian
Model pembelajaran konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif. Konflik kognitif ini hanya dapat diatasi melalui pengetahuan akan dibangun sendiri oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interaksi dengan lingkungannya. Konstruktivisme merupakan pandangan filsafat yang pertama kali dikemukakan oleh Giambatista Vico tahun 1710, ia adalah seorang sejarawan Italia yang mengungkapkan filsafatnya dengan berkata ”Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan”. Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu”. Ini berarti bahwa seseorang baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu (Suparno, 1997:24).
Filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia melalui interaksi dengan objek, fenomena pengalaman dan lingkungan mereka. Hal ini sesuai dengan pendapat Poedjiadi (2005 :70) bahwa “konstruktivisme bertitik tolak dari pembentukan pengetahuan, dan rekonstruksi pengetahuan adalah mengubah pengetahuan yang dimiliki seseorang yang telah dibangun atau dikonstruk sebelumnya dan perubahan itu sebagai akibat dari interaksi dengan lingkungannya”. Menegaskan pendapat tersebut, Karli (2003:2) menyatakan konstruktivisme adalah salah satu pandangan tentang proses pembelajaran yang menyatakan bahwa dalam proses belajar (perolehan pengetahuan) diawali dengan terjadinya konflik kognitif yang hanya dapat diatasi melalui pengetahuan diri dan pada akhir proses belajar pengetahuan akan dibangun oleh anak melalui pengalamannya dari hasil interkasi dengan lingkungannya. Konflik kognitif tersebut terjadi saat interaksi antara konsepsi awal yang telah dimiliki siswa dengan fenomena baru yang dapat diintegrasikan begitu saja, sehingga diperlukan perubahan/modifikasi struktur kognitif untuk mencapai keseimbangan, peristiwa ini akan terjadi secara berkelanjutan, selama siswa menerima pengetahuan baru.
Perolehan pengetahuan siswa diawali dengan diadopsinya hal baru sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya, kemudian hal baru tersebut dibandingkan dengan konsepsi awal yang telah dimiliki sebelumnya. Jika hal baru tersebut tidak sesuai dengan konsepsi awal siswa, maka akan terjadi konflik kognitif yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan dalam struktur kognisinya. Pada kondisi ini diperlukan alternatif strategi lain untuk mengatasinya.
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model konstruktivisme dalam pembelajaran adalah suatu proses belajar mengajar dimana siswa sendiri aktif secara mental, membangun pengetahuannya, yang dilandasi oleh struktur kognitif yang dimilikinya. Guru lebih berperan sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran. Penekanan tentang belajar dan mengajar lebih berfokus terhadap suksesnya siswa mengorganisasi pengalaman mereka. Menurut Werrington (dalam Suherman, 2003:75), menyatakan bahwa dalam kelas konstruktivis seorang guru tidak mengajarkan kepada anak bagaimana menyelesaikan persoalan, namun mempresentasikan masalah dan mendorong siswa untuk menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan permasalahan. Ketika siswa memberikan jawaban, guru mencoba untuk tidak mengatakan bahwa jawabannya benar atau tidak benar. Namun guru mendorong siswa untuk setuju atau tidak setuju kepada ide seseorang dan saling tukar menukar ide sampai persetujuan dicapai tentang apa yang dapat masuk akal siswa.
Di dalam kelas konstruktivis, para siswa diberdayakan oleh pengetahuannya yang berada dalam diri mereka. Mereka berbagi strategi dan penyelesaian, debat antara satu dengan lainnya, berfikir secara kritis tentang cara terbaik untuk menyelesaikan setiap masalah. Beberapa prinsip pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis diantaranya bahwa observasi dan mendengar aktivitas dan pembicaraan matematika siswa adalah sumber yang kuat dan petunjuk untuk mengajar, untuk kurikulum, untuk cara-cara dimana pertumbuhan pengetahuan siswa dapat dievaluasi.
Lebih jauh dikatakan bahwa dalam konstruktivis aktivitas matematika mungkin diwujudkan melalui tantangan masalah, kerja dalam kelompok kecil, dan diskusi kelas menggunakan apa yang ’biasa’ muncul dalam materi kurikulum kelas ’biasa’. Dalam konstruktivis proses pembelajaran senantiasa ”problem centered approach” dimana guru dan siswa terikat dalam pembicaraan yang memiliki makna matematika. Beberapa ciri itulah yang akan mendasari pembelajaran dengan pendekatan konstruktivis.
De Vries dan Kohlberg (Suparno,1997:70) mengikhtisarkan beberapa prinsip konstruktivisme Piaget yang perlu diperhatikan dalam mengajar.
- Struktur psikologis harus dikembangkan dulu sebelum persoalan bilangan diperkenalkan. Bila siswa mencoba menalarkan bilangan sebelum mereka menerima struktur logika matematis yang cocok dengan persoalannya, tidak akan jalan.
- Struktur psikologis (skemata) harus dikembangkan dulu sebelum simbol formal diajarkan. Simbol adalah bahasa matematis, suatu bilangan tetulis yang merupakan represenatasi suatu konsep, tapi bukan konsepnya sendiri.
- Murid harus mendapat kesempatan untuk menemukan (membentuk) relasi matematis sendiri, jangan hanya selalu dihadapkan kepada pemikiran orang dewasa yang sudah jadi.
B. Ciri-ciri Pembelajaran Konstruktivisme
Menurut Suparno (1997:49) secara garis besar prinsip-prinsip konstruktivisme yang diambil adalah (1) pengetahuan dibangun oleh siswa sendiri, baik secara personal maupun secara sosial; (2) pengetahuan tidak dipindahkan dari guru ke siswa, kecuali dengan keaktifan siswa sendiri untuk bernalar; (3) siswa aktif mengkonstruksi secara terus menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah; (4) guru berperan membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi siswa berjalan mulus.
Berikut ini akan dikemukakan ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis menurut beberapa literatur yaitu sebagai berikut.
- Pengetahuan dibangun berdasarkan pengalaman atau pengetahuan yang telah ada sebelumnya.
- Belajar adalah merupakan penafsiran personal tentang dunia.
- Belajar merupakan proses yang aktif dimana makna dikembangkan berdasarkan pengalaman.
- Pengetahuan tumbuh karena adanya perundingan (negosiasi) makna melalui berbagai informasi atau menyepakati suatu pandangan dalam berinteraksi atau bekerja sama dengan orang lain.
Sedangkan menurut Mahisa Alit dalam bukunya menuliskan bahwa ciri-ciri pembelajaran yang konstruktivis adalah sebagai berikut:
- menyediakan pengalaman belajar dengan mengkaitkan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sedemikian rupa sehingga belajar melalui proses pembentukan pengetahuan,
- menyediakan berbagai alternatif pengalaman belajar, tidak semua mengerjakan tugas yang sama, misalnya suatu masalah dapat diselesaikan dengan berbagai cara,
- mengintegrasikan pembelajaran dengan situasi yang realistik dan relevan dengan melibatkan pengalaman konkrit, misalnya untuk memahami suatu konsep melalui kenyataan kehidupan sehari-hari,
- mengintegrasikan pembelajaran sehingga memungkinkan terjadinya transmisi sosial yaitu terjadinya interaksi dan kerja sama seseorang dengan orang lain atau dengan lingkungannya, misalnya interaksi dan kerjasama antara siswa, guru, dan siswa-siswa,
- memanfaatkan berbagai media termasuk komunikasi lisan dan tertulis sehingga pembelajaran menjadi lebih efektif.
- Melibatkan siswa secara emosional dan sosial sehingga menjadi menarik dan siswa mau belajar (2004:37).
C. Macam-Macam Konstruktivisme
Konstruktivisme dibedakan dalam dua tradisi besar yaitu konstruktivisme psikologis (personal) dan sosial. Konstruktivisme psikologis bercabang dua, yaitu yang lebih personal (Piaget,1981:43) dan yang lebih sosial (Vygotsky); sedangkan konstruktivisme sosial berdiri sendiri (Kukla, 2003: 11-14).
1. Konstruktivisme Personal
Piaget (Fosnot (ed), 1996: 13-14) menyoroti bagaimana anak-anak pelan-pelan membentuk skema pengetahuan, pengembangan skema dan mengubah skema. Ia menekankan bagaimana anak secara individual mengkonstruksi pengetahuan dari berinteraksi dengan pengalaman dan objek yang dihadapinya. Ia menekankan bagaimana seorang anak mengadakan abstraksi, baik secara sederhana maupun secara refleksif, dalam membentuk pengetahuannya. Tampak bahwa tekanan perhatian Piaget lebih keaktifan individu dalam membentuk pengetahuan. Bagi Piaget, pengetahuan lebih dibentuk oleh si anak itu sendiri yang sedang belajar daripada diajarkan oleh orang tua.
Konstruktivisme psikologis bercabang dua: (1) yang lebih personal, individual, dan subjektif seperti Piaget dan para pengikutnya; (2) yang lebih sosial seperti Vigotsky. Piaget menekankan aktivitas individual, lewat asimilasi dan akomodasi (Suparno, 1997: 31-32) dalam pembentukan pengetahuan; sedangkan Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat dalam mengkonstruksi pengetahuan ilmiah (Mattews,1994:235-138).
Dalam pandangan Piaget, pengetahuan dibentuk oleh anak lewat asimilasi dan akomodasi dalam proses yang terus menerus sampai ketika dewasa. Asimilasi adalah proses kognitif yang dengannya seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep, nilai-nilai ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada di dalam pikirannya. Asimilasi dapat dipandang sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan yang baru dalam skema yang telah ada. Setiap orang selalu secara terus menerus mengembangkan proses asimiliasi. Proses asimilasi bersifat individual dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan lingkungan baru sehingga pengertian orang berkembang.
Dalam proses pembentukan pengetahuan dapat terjadi seseorang tidak dapat mengasimilasikan pengalaman baru dengan skema yang telah dipunyai. Dalam keadaan seperti ini orang akan mengadakan akomodasi, yaitu (1) membentuk skema baru yang cocok dengan rangsangan yang baru, atau (2) memodifikasi skema yang ada sehingga cocok dengan rangsangan itu. Misalnya, seorang anak mempunyai skema bahwa semua binatang harus berkaki dua atau empat. Skema ini didapat dari abstraksinya terhadap binatang-binatang yang pernah dijumpainya. Pada suatu hari ia datang ke kebun binatang, di mana ada puluhan bahkan ratusan binatang yang jumlah kakinya ada yang lebih dari empat atau bahkan tanpa kaki. Anak tadi mengalami bahwa skema lamanya tidak cocok dengan pengalaman yang baru, maka dia mengadakan akomodasi dengan membentuk skema baru bahwa binatang dapat berkaki dua, empat atau ledih bahkan ada yang tanpa kaki namun semua disebut binatang.
Skema itu hasil suatu konstruksi yang terus menerus diperbaharui, dan bukan tiruan dari kenyataan dunia yang ada. Menurut Piaget, proses asimilasi dan akomodasi ini terus berjalan dalam diri seseorang, sampai pada pengetahuan yang mendekati para ilmuwan. Pendekatan Piaget dalam proses pembentukan pengetahuan memang lebih personal dan individual, kendati dia juga bicara soal pengaruh lingkungan sosial terhadap perkembangan pemikiran anak, tetapi tidak secara jelas memberikan model bagaimana hal itu tejadi pada diri anak. Bagi Piaget, dalam taraf-taraf perkembangan kognitif yang lebih rendah (sensori-motor, dan pra-operasional), pengaruh lingkungan sosial lebih dipahami oleh anak sebagai sama dengan objek-objek yang sedang diamati anak. Anak belum dapat menangkap ide-ide dari masyarakatnya. Baru pada taraf perkembangan yang lebih tinggi (operasional konkret, terlebih operasional formal), pengaruh lingkungan sosial menjadi lebih jelas. Dalam taraf ini, bertukar gagasan dengan teman-teman, mendiskusikan bersama pendirian masing-masing, dan mengambil konsensus sosial sudah lebih dimungkinkan.
Pandangan konstruktivisme personal sebenarnya mengandung kelemahan. Menurut Glasersfeld (Suparno, 1997: 42) salah satu tokoh konstruktivisme personal, pengetahuan hanya ada di dalam “kepala” seseorang di mana ia harus membangun pengetahuan berdasarkan pengalaman pribadinya. Menurut pendapat ini ilmu pengetahuan bersifat pribadi, hal ini berarti „realitas‟ bagi seseorang dibangun berdasarkan pengalaman pribadinya. Inilah salah satu sumber kritik terhadap konstruktivisme personal, dan karena pandangan yang demikian konstruktivisme personal sering dianggap menganut faham solipsisme. Faham solipsisme berpendapat bahwa segala sesuatu hanya ada bila ada dalam pikiran atau dipikirkan (Sarkim, 2005: 155). Selain itu, solipsisme juga mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu dibangun secara individual. Pandangan ini memang sulit untuk menjelaskan bagaimana kita bisa memiliki pengetahuan bersama tentang sesuatu hal.
Persoalan lain yang juga mengundang kritik adalah pandangannya tentang ilmu pengetahuan yang berlawanan dengan pandangan tentang kebenaran yang bersifat korespondensi atau dikenal sebagai faham realisme (Kukla, 2003: 75-80). Aliran korespondensi berpandangan bahwa ilmu pengetahuan merupakan representasi independen mengenai dunia, dan berkeyakinan bahwa kalimat-kalimat atau pernyataan-pernyataan yang kita buat dikatakan ”benar” bila dan hanya bila berkorespondensi dengan kenyataan (Sonny Keraf dkk, 2001: 66-67). Faham demikian tidak diakui oleh konstruktivisme personal. Sebaliknya konstruktivisme personal berpendapat bahwa pengetahuan itu apa yang dapat kita lakukan dengan dunia pengalaman kita, ilmu pengetahuan itu merupakan sarana untuk mendeskripsikan alam ini.
2. Konstruktivisme Sosial
Teori konstruktivisme di dalam bidang pendidikan terdiri dari dua aliran besar yaitu konstruktivisme sosial dan konstruktivisme personal. Konstruktivisme sosial dan konstruktivisme personal sama-sama berpendapat bahwa ilmu pengetahuan adalah hasil rekayasa manusia sebagai individu. Akan tetapi keduanya memiliki perbedaan pandangan mengenai peranan individu dan masyarakat dalam proses pembentukan ilmu pengetahuan itu.
Pendukung konstruktivisme sosial berpendapat bahwa di samping individu, kelompok di mana individu berada, sangat menentukan proses pembentukan pengetahuan pada diri seseorang. Melalui komunikasi dengan komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan kepada orang lain sehingga pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan. Selain itu, melalui komunikasi seseorang memperoleh informasi atau pengetahuan baru dari masyarakatnya. Vygotsky menandaskan bahwa kematangan fungsi mental anak justru terjadi lewat proses kerjasama dengan orang lain, seperti dinyatakan oleh Newman (1993: 62) sebagai berikut: ” The maturation of the child’s higher mental functions occurs in this cooperative process, that is, it occurs through the adult’s assistance and participation ”.
Pandangan yang dianut oleh konstruktivisme sosial seperti dipaparkan di atas sangat berbeda dengan pandangan yang dianut oleh para pendukung konstruktivisme personal. Konstruktivisme personal kadang kala dikenal sebagai konstruktivisme psikologis, yang memandang bahwa pembentukan pengetahuan adalah sepenuhnya persoalan individu. Konstruktivisme personal sangat menekankan pentingnya peranan individu dalam proses pembentukan ilmu pengetahuan (Suparno, 1997: 44).
Dalam tulisan ini penulis akan menggunakan kedua jenis konstruktivisme (personal dan sosial) sebagai acuan dalam pembahasan karena bidang studi yang dikaji memang termasuk ilmu-ilmu sosial yang harus dikaji secara personal dan secara sosial. Harus diakui bahwa ilmu sosial lebih merupakan hasil konstruksi bersama dari pada konstruksi personal, di samping itu penulis memandang konstruksi sosial lebih cocok dengan karakter masyarakat Indonesia yang memberi makna tinggi pada relasi antar pribadi dan memandang keharmonisan dalam relasi antar sesama sebagai hal yang penting. Alasan lain mengapa lebih condong ke konstruksi sosial adalah masih terdapatnya beberapa kritik terhadap KP yang hingga kini belum mendapat jawaban yang memuaskan.
Konstruktivisme sosial menekankan bahwa pembentukan ilmu pengetahuan merupakan hasil pembentukan individu bersama-sama dengan masyarakat sekitarnya. Bahkan Piaget menulis sebagai berikut (Fosnot (ed), 1996: 18): ”there is no longer any need to choose between the primacy of the social or that of the intellect; the collective intellect is the social equilibrium resulting from the interplay of the operations that enter into all cooperation ”.
Konstruktivisme sosial mengakui peranan komunitas ilmiah di mana ilmu pengetahuan ”dibangun” dan dimonitori oleh lembaga keilmuan. Maka pengetahuan personal tidak lepas dari sumbangan pengetahuan kolektif atau komunal. Ilmu pengetahuan pada dasarnya merupakan hasil kolektif umat manusia. Pandangan yang berkembang adalah bahwa ilmu pengetahuan merupakan hasil rekayasa manusia, teori konstruktivisme meyakini bahwa di dalam proses pembelajaran para peserta didik yang harus aktif membangun pengetahuan di dalam pikirannya. Para peserta didik yang pasif tidak mungkin membangun pengetahuannya sekalipun diberi informasi oleh para pendidik (Sarkim, 2005: 155). Agar informasi yang diterima berubah menjadi pengetahuan, seorang peserta didik harus aktif mengupayakan sendiri agar informasi itu menjadi bagian dari struktur pengetahuannya. Pandangan demikian diperkirakan bersumber dari karya awal Jean Piaget yang berjudul ” The Child’s Conception of The World ” (Sarkim, 2005: 156). Gagasan dasar konstruktivisme tentang belajar tersebut diterima oleh kedua aliran konstruktivisme.
Mengingat ilmu pengetahuan harus dibangun secara aktif oleh peserta didik di dalam pikirannya, hal itu berarti bahwa belajar adalah tanggungjawab subjek didik yang sedang belajar. Maka menjadi sangat penting motivasi instrinsik yang mendorong peserta didik memiliki keinginan untuk belajar. Dalam hal ini pendidik sebagai pengelola kegiatan pembelajaran dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam memotivasi para peserta didik.
Karena keyakinannya bahwa pengetahuan seseorang dibangun secara pribadi dalam interaksinya dengan masyarakat dan lingkungannya, maka pengetahuan yang dibawa oleh peserta didik ke dalam kelas dinilai sebagai sumber penting untuk membangun pengetahuan baru. Dengan menganut pandangan ini, konstruksivisme sosial menghargai pandangan bahwa pengetahuan peserta didik yang dibawa ke dalam kelas sekalipun berbeda dengan keyakinan yang dianut oleh para ilmuwan, amatlah penting. Sekalipun pengetahuan para peserta didik itu berbeda dengan yang diakui di dalam khasanah ilmu pengetahuan, konsepsi mereka tidak pertama-tama dilihat sebagai sebuah konsep yang ‟salah‟, melainkan diakui sebagai sebuah konsep alternatif (Sarkim, 2005: 156).
Pengakuan terhadap konsepsi awal yang dibawa oleh peserta didik ketika masuk ke dalam kelas juga berarti keterbukaan terhadap beragamnya hasil belajar. Hasil belajar tidak hanya dipengaruhi oleh aktivitas di dalam kelas tetapi juga oleh konsepsi awal yang dibawa oleh peserta didik ketika memulai belajarnya. Di dalam kerangka berpikir demikian proses pembelajaran ilmu-ilmu sosial di sekolah lebih dipandang sebagai proses ‟pembudayaan‟ daripada proses ‟penemuan‟. Maksudnya, kegiatan pembelajaran lebih dipandang sebagai aktivitas pendampingan para peserta didik agar mereka memasuki ‟dunia‟ ilmu pengetahuan daripada membimbing para peserta didik ‟menemukan‟ ilmu pengetahuan. Di dalam proses ini motivasi dan peran aktif dari peserta didik memegang peranan yang penting.
Pembelajaran ilmu-ilmu sosial bertugas memberi pengalaman belajar kepada para peserta didik agar memiliki pengalaman pribadi mengenai bagaimana ilmu pengetahuan diverifikasi dan divalidasi. Oleh sebab itu pengalaman belajar merupakan hal yang sangat penting, dan peranan pendidik di dalam menentukan pengalaman belajar itu bukanlah hal yang ringan. Pendidik bertugas membimbing para peserta didik ke arah ilmu pengetahuan yang sudah diakui kebenarannya oleh masyarakat keilmuan.
Dengan mengamati, atau mengalami langsung sebuah fenomena alam, konsepsi peserta didik yang tidak sejalan dengan konsepsi yang diakui oleh komunitas ilmiah dapat ditantang. Konfrontasi konsepsi alternatif dengan peristiwa konkret tersebut dapat mengakibatkan goyahnya struktur pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik. Goyahnya struktur pengetahuan ini sering pula disebut sebagai keadaan disequilibrium. Hal demikian akan memaksa peserta didik untuk membangun konsepsi yang lebih baik. Demikianlah konsepsi baru akan dibangun dan menjadi bagian dari struktur pengetahuan yang baru melalui aktivitas, komunikasi dan refleksi pribadi peserta didik. Konsepsi dan struktur pengetahuan yang baru terbentuk tersebut akan semakin dikokohkan apabila peserta didik memperoleh kesempatan untuk mengaplikasikannya ke dalam situasi yang baru.
D. Konstruktivisme dan Pengetahuan
Konstruktivisme adalah aliran filsafat pengetahuan yang berpendapat bahwa pengetahuan (knowledge) merupakan hasil konstruksi (bentukan) dari orang yang sedang belajar. Maksudnya setiap orang membentuk pengetahuannya sendiri. Kukla (2003: 39) secara tegas menyatakan bahwa sesungguhnya setiap orang adalah konstruktivis. Pengetahuan bukanlah “sesuatu yang sudah ada di sana” dan tinggal mengambilnya tetapi merupakan suatu bentukan terus menerus dari orang yang belajar dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya pemahaman yang baru (Fosnot (ed), 1996: 14).
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan bukan suatu yang sudah jadi, tetapi merupakan suatu proses menjadi (Suparno, 1997: 20). Misalnya, pengetahuan kita tentang “ayam”, mula-mula dibentuk sejak kita masih kecil ketemu pertama kali dengan ayam. Pengetahuan tentang ayam waktu kecil belum lengkap, tetapi lambat laun makin lengkap di saat kita makin banyak berinteraksi dengan ayam yang ternyata ada bermacam-macam jenisnya, tetapi semua disebut ayam. Pengetahuan bukan suatu barang yang dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran seseorang (dalam kasus ini pendidik) kepada orang lain atau peserta didik. Bahkan ketika pendidik bermaksud memindahkan konsep, ide, nilai, norma, keterampilan dan pengertian kepada peserta didik, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dibentuk oleh peserta didik sendiri. Tanpa keaktivan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, pengetahuan seseorang tidak akan terjadi.
Dalam proses itu, menurut Glasersfeld (Suparno, 1997: 20), diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut: (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu daripada yang lain. Menurut konstruktivisme (Suparno, 1997: 18) pengetahuan bukanlah suatu tiruan dari kenyataan (realitas). Pengetahuan bukanlah gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan selalu akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, konsep, nilai dan struktur pengetahuan yang diperlukan untuk pengetahuan. Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang mengkonstruksi pengalaman atau dunia sejauh dialaminya. Proses pembentukan ini berjalan terus menerus dengan setiap kali mengadakan reorganisasi karena adanya suatu pemahaman yang baru. Pengetahuan entah itu berupa konsep, norma, nilai, dibentuk oleh akal budi dengan mengabstraksi fakta-fakta, pengalaman, kenyataan yang ada di sekitar manusia (Kukla, 2003: 12-24).
Piaget membedakan adanya tiga macam pengetahuan, yaitu pengetahuan fisis, matematis-logis, dan sosial (Suparno, 1997: 39-40). Pengetahuan fisis adalah pengetahuan akan sifat-sifat fisis suatu objek, seperti bentuk, besar, berat dan bagaimana benda-benda itu berinteraksi. Pengetahuan fisis ini didapatkan dari abstraksi langsung atas suatu objek. Pengetahuan matematis-logis adalah pengetahuan yang dibentuk dengan berpikir tentang pengalaman dengan suatu objek atau kejadian tertentu. Pengetahuan didapatkan dari abstraksi berdasarkan koordinasi, relasi ataupun penggunaan objek. Pengetahuan itu harus dibentuk dari perbuatan berpikir seseorang terhadap benda itu. Jadi pengetahuannya tidak didapat langsung dari abstraksi bendanya. Misalnya konsep bilangan. Pengetahuan sosial adalah pengetahuan yang didapat dari kelompok budaya dan sosial yang secara bersama menyetujui sesuatu, misalnya konsep, norma, nilai, dll (Kukla, 2003: 11-12). Menurut Piaget, pengetahuan itu dibentuk dari interaksi seseorang dengan orang lain (Piaget, 1981: 160; Suparno, 1997: 20). Pengetahuan ini muncul dalam kebudayaan tertentu maka pengetahuan dapat berbeda antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain. Secara ringkas gagasan konsruktivisme mengenai pengetahuan dapat dirangkum sebagai berikut.
- Pengetahuan bukan merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
- Subjek membentuk skema kognitif, kategori, konsep dan struktur yang perlu untuk pengetahuan.
- Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang (Suparno, 1997:21).
E. Teori Belajar yang Mendukung Pendekatan Konstruktivisme
Teori belajar pada dasarnya merupakan suatu teori yang menjelaskan bagaimana siswa-siswa belajar, meliputi kesiapan belajar, proses mental, dan apa yang dilakukan siswa pada usia tertentu. Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan merupakan hasil bentukan sendiri, oleh karenanya tidak ada transfer pengetahuan dari seorang ke orang lain, sebab setiap orang membangun pengetahuannya sendiri. Bahkan bila guru ingin memberikan pengetahuan kepada siswa, maka pemberian itu diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalamannya. Untuk terjadinya konstruksi pengetahuan ada beberapa kemampuan yang harus dimiliki siswa antara lain; kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, kemampuan membandingkan, mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan, dan kemampuan untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari pada yang lainnya.
Inti dari konstruktivisme di atas berkaitan erat dengan beberapa teori belajar, yaitu; teori perubahan konsep, teori belajar bermakna Ausubel, dan teori Skemata (Suparno, 1997 :49). Namun menurut peneliti pembelajaran konstruktivisme juga berkaitan dengan teori belajar Bruner. Penjelasan dari masing-masing teori tersebut adalah sebagai berikut.
1. Teori Perubahan Konsep
Teori belajar perubahan konsep merupakan suatu teori belajar yang menjelaskan adanya proses evolusi pemahaman konsep siswa dari siswa yang sedang belajar. Pada mulanya siswa memahami sesuatu melalui konsep secara spontan. Pengertian spontan merupakan pengertian yang tidak sempurna, bahkan belum sesuai dengan konsep ilmiah, dan harus mengalami perubahan menuju pengertian yang logis dan sistematis, yaitu pengertian ilmiah. Proses penyempurnaan pemahaman itu berlangsung melalui dua bentuk yaitu tanpa melalui perubahan yang besar dari pengertian spontan tadi (asimilasi), atau sangat perlu adanya perubahan yang radikal dari pengertian yang spontan menuju pengertian yang ilmiah (akomodasi).
Menurut pendukung teori perubahan konsep, dalam proses belajar ada proses perubahan konsep yang mencakup dua tahap, yaitu tahap asimilasi dan akomodasi (Suparno, 1997: 50). Dengan asimilasi peserta didik menggunakan konsep-konsep yang telah mereka punyai untuk berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan akomodasi peserta didik mengubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena baru yang mereka hadapi. Proses dalam akomodasi oleh kaum konstruktivis disebut sebagai perubahan konsep secara radikal.
Agar terjadi perubahan konsep secara radikal/ akomodatif maka dibutuhkan keadaan dan syarat sebagai berikut:
- Harus ada ketidakpuasan terhadap konsep yang telah ada. Peserta didik mengubah konsepnya jika mereka yakin bahwa konsep mereka yang lama tidak dapat digunakan lagi untuk menelaah situasi, pengalaman, dan gejala yang baru.
- Konsep yang baru harus dimengerti, rasional, dan dapat memecahkan persoalan atau fenomena yang baru.
- Konsep yang baru harus masuk akal, dapat memecahkan dan menjawab persoalan yang terdahulu, dan juga konsisten dengan teori-teori atau pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
- Konsep baru harus berdaya guna bagi perkembangan penelitian dan penemuan yang baru (Suparno, 1997: 50-51).
Menurut kaum konstruktivis, salah satu penyebab terbesar ketidakpuasan terhadap konsep lama adalah adanya peristiwa anomali. Suatu peristiwa yang bertentangan dengan yang dipikirkan peserta didik. Suatu peristiwa di mana peserta didik tidak dapat mengasimilasikan pengetahuannya untuk memahami fenomena yang baru. Misalnya, bagi peserta didik yang berpikir bahwa ”kejujuran” bersifat mutlak (berlaku objektif dan universal), akan menjadi bingung ketika melihat seorang dokter ”berbohong” kepada pasiennya dengan mengatakan bahwa penyakitnya ”agak serius”, kendati kenyataannya sang pasien menderita sakit kangker sudah stadium 4 (kritis sekali), sudah ”amat kritis”. Seorang dokter ”bohong” (tidak jujur) merupakan peristiwa anomali bagi peserta didik tertentu. Peristiwa-peristiwa lain seperti itu akan menantang peserta didik untuk lebih berpikir dan mempersoalkan mengapa pikiran awal mereka tidak benar.
Banyak pendidik budi pekerti, moral, nilai ataupun agama menggunakan data anomali untuk memacu perubahan konsep pada peserta didik. Mereka menyediakan data-data, fakta-fakta dan peristiwa yang memberikan data berbeda dengan keyakinan anak atau prediksi anak. Harus diakui bahwa data anomali kadang kala gagal mendorong perubahan konsep karena para ilmuan dan peserta didik kadang menemukan cara untuk mengabaikan data-data atau fakta-fakta yang berlawanan tersebut. Ada beberapa orang bereaksi terhadap data anomali : (1) mengabaikan dan menolaknya, (2) mengecualikan data itu dari teori yang telah ada, (3) mengartikan kembali data itu, (4) mengartikan kembali data itu dengan sedikit perubahan, dan (5) menerima data itu serta mengubah teori atau konsep sebelumnya.
Teori perubahan konsep membedakan dua macam perubahan yaitu: restrukturisasi kuat (perubahan yang kuat) dan restrukturisasi lemah (perubahan yang lemah). Perubahan yang kuat terjadi bila seseorang mengadakan akomodasi terhadap konsep yang telah ia punyai ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Perubahan yang lemah bila orang tersebut hanya mengadakan asimilasi skema yang lama ketika berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan dua perubahan itu pengetahuan manusia berkembang dan berubah. Untuk memungkinkan perubahan tersebut, diperlukan situasi anomali, yakni suatu keadaan yang menciptakan ketidakseimbangan dalam pikiran manusia atau yang menantang seseorang berpikir.
Vygotsky (Kukla, 2003: 6-10; Fosnot (ed), 1996: 18) membedakan dua macam konsep: konsep spontan dan konsep ilmiah. Konsep spontan diperoleh peserta didik dari kehidupan sehari-hari dan konsep ilmiah diperoleh dari pelajaran di sekolah. Kedua konsep tersebut saling berhubungan terus-menerus. Apa yang dipelajari peserta didik di sekolah mempengaruhi perkembangan konsep yang diperoleh dalam kehidupan sehari-hari dan sebaliknya. Perbedaan yang mencolok dari kedua konsep itu adalah ada atau tidak adanya sistem. Konsep spontan didasarkan pada kejadian khusus dan tidak merupakan bagian yang bertalian secara logis dari suatu sistem pemikiran, sedangkan konsep ilmiah disajikan sebagai bagian dari suatu sistem. Sehubungan dengan adanya dua konsep tersebut, dianjurkan agar pendidik tidak menolak konsep spontan peserta didik, tetapi membantunya agar konsep itu diintegrasikan dengan konsep yang ilmiah. Hal ini harus semakin disadari oleh pendidik bahwa konsep (spontan ataupun ilmiah) dalam diri seseorang terus berkembang untuk semakin mendekati pemahaman para ilmuan.
Teori perubahan konsep cukup senada dengan teori konstruktivisme dalam arti bahwa dalam proses pengetahuan seseorang mengalami perubahan konsep. Pengetahuan seseorang itu tidak sekali jadi, melainkan merupakan proses berkembang yang terus menerus. Dalam perkembangan itu ada yang mengalami perubahan besar dengan mengubah konsep lama melalui akomodasi, ada pula yang hanya mengembangkan dan memperluas konsep yang sudah ada melalui asimilasi. Proses perubahan terjadi bila si peserta didik aktif berinteraksi dengan lingkungannya.
Konstruktivisme, yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh peserta didik yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep, yang menjelaskan bahwa peserta didik mengalami perubahan konsep terus menerus, sangat berperanan dalam menjelaskan mengapa seorang peserta didik bisa salah mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari. Konstruktivisme dapat membantu untuk mengerti bagaimana peserta didik membentuk pengetahuan yang tidak tepat. Dengan demikian, seorang pendidik dibantu untuk mengarahkan peserta didik dalam pembentukan pengetahuan mereka yang lebih tepat. Teori perubahan konsep sangat membantu karena mendorong pendidik untuk menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep yang kuat pada peserta didik sehingga pemahaman mereka lebih sesuai dengan pengertian ilmuan.
2. Teori Skema
Jonassen menjelaskan bahwa skema adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu hal, menemukan jalan keluar, atau memecahkan persoalan (galam Suparno, 1997:55) . Menurut teori skema, pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket informasi atau skema yang terdiri atas suatu set atribut yang menjelaskan objek tersebut, maka dari itu membantu kita untuk mengenal objek atau kejadian itu. Hubungan skema yang satu dengan yang lain memberikan makna dan arti kepada gagasan kita. Belajar menurut teori skema adalah mengubah skema (Suparno, 1997:55). Lebih jauh ia menyatakan :
Orang dapat membentuk skema baru dari suatu pengalaman baru. Orang dapat menambah atribut baru dalam skemanya yang lama. Orang dapat melengkapi dan memperluas skema yang telah dimilikinya dalam berhadapan dengan pengalaman, persoalan, dan juga pemikiran yang baru. Biasanya seseorang bila menghadapi pengalaman baru yang tidak cocok dengan skema yang dimilikinya, ia akan mengubah skema lamanya. Dalam proses belajar siswa mengadakan perubahan skemanya, baik dengan menambah atribut, memperluas, memperhalus, ataupun mengubah sama sekali skema lama
Teori skema berpendapat bahwa pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket informasi, atau skema, yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Skema adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu hal, menemukan jalan keluar, ataupun memecahkan persoalan. Orang harus mengisi atribut skemanya dengan informasi yang benar agar dapat membentuk kerangka pemikiran yang benar. Kerangka pemikiran inilah yang menurut Jonassen dkk.( Suparno,1997: 55), membentuk pengetahuan struktural seseorang, di mana pengetahuan struktural tersebut terdiri dari skema-skema yang dipunyai dan hubungan antara skema-skema itu.
Bagaimana seseorang membentuk dan mengubah skema, hal itu merupakan proses belajar. Orang dapat membentuk skema baru dari suatu pengalaman baru. Orang dapat melengkapi dan memperluas skema yang telah dipunyainya dalam berhadapan dengan pengalaman, persoalan dan juga pemikiran yang baru. Dalam proses belajar seseorang mengadakan perubahan-perubahan skemanya baik dengan menambah atribut, memperhalus, memperluas, ataupun mengubah sama sekali skema lama.
Skemata adalah suatu jaringan hubungan konsep-konsep. Jaringan itu menguraikan apa yang diketahui seseorang dan menyediakan dasar untuk mempelajari konsep-konsep baru, serta memperkembangkan dan mengubah jaringan yang telah ada. Sementara itu pengetahuan struktural seseorang, yang terdiri dari macam-macam skemata dan hubungan antar skemata itu, didasarkan pada teori skema. Pengetahuan struktural adalah pengetahuan akan bagaimana konsep-konsep dalam suatu domain saling terkait. Pengetahuan struktural menjembatani perubahan dari pengetahuan deklaratif ke prosedural. Pengetahuan deklaratif adalah pengetahuan yang mengungkapkan suatu pengertian atau kesadaran akan objek, kejadian atau ide. Dalam pengetahuan ini seseorang dapat menjelaskan apa yang ia ketahui tetapi ia tidak menggunakan apa yang ia ketahui itu.
Menurut teori skema, seseorang belajar dengan mengadakan restrukturisasi atas skema yang ada, baik dengan menambah maupun dengan mengganti skema itu. Ini mirip dengan konstruktivisme Piaget yang menggunakan asimilasi dan akomodasi. Perbedaannya adalah bahwa teori skema tidak menjelaskan proses pengetahuan, tetapi lebih bagaimana pengetahuan manusia itu tersimpan dan tersusun.
Hal lain yang terkait dengan konstruktivisme dan layak untuk diketahui, bahwa konstruktivisme sangat berbeda dan bahkan bertentangan dengan teori belajar behaviorisme. Perbedaan antara kaum behavioris dan konstruktivis dalam hal pengetahuan, belajar dan mengajar sebagai berikut.
- Menurut kaum behavioris, pengetahuan itu hasil pengumpulan pasif dari subjek dan objek yang diperkuat oleh lingkungannya, sedangkan bagi kaum konstruktivis, pengetahuan itu adalah hasil kegiatan aktif peserta didik yang meneliti lingkungannya. Bagi kaum behavioris, pengetahuan itu statis dan sudah jadi, sedang kagi kaum konstruktivis, pengetahuan itu suatu proses menjadi.
- Mengajar, bagi kaum behavioris, adalah mengatur lingkungan agar dapat membantu peserta didik. Bagi kaum konstruktivis, mengajar berarti partisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, mengadakan justifiksi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri, di mana “…teachers begin to construct an understanding of how knowledge develops ” (Fosnot, 1989: 85).
- Belajar menurut kaum behavioris adalah menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap dari pendidik tanpa mengadakan perubahan apa-apa. Setiap peserta didik mempunyai cara yang sama dalam menerima pengetahuan, keterampilan dan sikap tertentu. Pendidik cukup menciptakan satu cara pembelajaran untuk semua peserta didik. Menurut kaum konstruktivis, peserta didik mempunyai cara sendiri untuk mengerti, masing-masing mempunyai cara yang cocok untuk mengkonstruksi pengetahuannya yang kadang sangat berbeda dengan teman dan pendidiknya. Maka pendidik perlu menciptakan berbagai cara pembelajaran untuk membantu peserta didik yang cara belajarnya memang berbeda-beda pula (Suparno, 1997: 62-63).
Kaum behavioris memandang bahwa belajar merupakan sistem respon tingkah laku terhadap rangsangan fisik. Penganut aliran ini berpendapat bahwa mendengarkan dengan baik penjelasan pendidik atau terlibat dalam suatu pengalaman akan berakibat peserta didik dapat mempunyai keterampilan tertentu sesuai dengan apa yang didengarkannya. Keterampilan merupakan tujuan dari suatu tujuan pembelajaran. Peserta didik dipandang sebagai subjek yang pasif, membutuhkan motivasi luar dan dipengaruhi oleh suatu penguatan. Oleh sebab itu para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur baik dan menentukan bagaimana peserta didik harus dimotivasi, dirangsang dan dievaluasi. Kemajuan belajar peserta didik diukur dengan hasil yang dapat diamati.
3. Teori Belajar Bermakna Ausubel
David Ausubel (Dahar, 1989:112) terkenal dengan teori belajar bermakna (meaningful learning). Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru kedalam struktur pengetahuan mereka. Ini terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai si pelajar (Suparno, 1997: 54).
Kedekatan teori belajar bermakna Ausubel dengan konstruktivisme adalah keduanya menekankan pentingnya mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam sistem pengertian yang telah dimiliki, keduanya menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dimiliki siswa, dan keduanya mengasumsikan adanya keaktifan siswa dalam belajar.
4. Teori Belajar Bruner
Menurut Bruner, “pembelajaran adalah proses yang aktif dimana pelajar membina ide baru berasaskan pengetahuan yang lampau”. Selanjutnya Bruner (Nur, 2000:10) menyatakan bahwa “mengajarkan suatu bahan kajian kepada siswa adalah untuk membuat siswa berfikir untuk diri mereka sendiri, dan turut mengambil bagian dalam proses mendapatkan pengetahuan. Mengetahui adalah suatu proses bukan suatu produk”. Masih menurut Bruner (Dahar, 1997:98) bahwa dalam membangun pengetahuan di dasarkan kepada dua asumsi yaitu :asumsi pertama adalah perolehan pengetahuan merupakan suatu proses interaktif yaitu orang yang belajar akan berinteraksi dengan lingkungannya secara aktif, perubahan tidak hanya terjadi dilingkungan tatapi juga dalam diri orang itu sendiri.
Asumsi kedua adalah orang yang mengkonstruksi pengetahuannya dengan menghubungkan informasi yang masuk dengan informasi yang tersimpan yang diperoleh sebelumnya. Menurut Bruner, dalam proses belajar terdapat tiga episode yang harus dilalui anak, yakni (1) informasi, (2) transformasi, (3) evaluasi. Ketiga episode itu dapat dijelaskan sebagai berikut.
- Informasi. Dalam tiap pelajaran siswa akan memperoleh sejumlah informasi, ada yang menambah pengetahuan yang telah dimiliki, ada yang memperhalus dan memperdalamnya, ada pula informasi yang bertentangan dengan apa yang telah diketahui sebelumnya.
- Transformasi. Informasi harus dianalis, diubah atau ditransformasi kedalam bentuk yang lebih abstrak atau konseptual agar dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih luas. Dalam hal ini bantuan guru sangat diperlukan.
- Evaluasi. Informasi yang diperoleh tersebut dinilai untuk dapat dimanfaatkan untuk memahami gejala-gejala lain. (Nasution, 1987:9).
Dalam memandang proses belajar, Bruner menekankan adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner adalah memahami konsep, arti, dan hubungan dan sampai pada suatu kesimpulan. “Dengan teorinya free discovery learning, Bruner mengatakan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif jika guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu konsep, teori, aturan, atau pemahaman melalui contoh-contoh yang dijumpai dalam kehidupannya” (Budiningsih, 2005:43).
F. Hal-hal yang Membatasi Konstruksi Pengetahuan
Yang membatasi proses konstruksi pengetahuan manusia antara lain: (1) konstruksi kita yang lama, (2) domain pengalaman kita, (3) jaringan struktur kognitif kita (Suparno, 1997: 22). Hasil dan proses konstruksi pengetahuan kita yang lampau dapat menjadi pembatas konstruksi pengetahuan kita berikutnya. Cara kita mengabstraksi, mengorganisir konsep-konsep, nilai, norma dipengaruhi pengetahuan kita yang sudah ada. Misalnya pengetahuan kita akan nilai kehidupan yang sudah ada akan membatasi bagaimana kita menganalisa nilai-nilai baru yang kita hadapi. Pengetahuan kita tentang ayam akan membatasi analisa kita akan binatang yang mirip dengan ayam, meskipun binatang itu bukan ayam.
Menurut konstruktivisme, pengalaman atas fenomena yang baru akan menjadi unsur yang sangat penting dalam pengembangan pengetahuan kita; dan kekurangan dalam hal ini akan membatasi pengetahuan kita pula. Misalnya, dalam bidang ilmu sosial, pengalaman kita berinteraksi dengan macam-macam masyarakat, budaya, nilai, norma, akan semakin mengembangkan ilmu tersebut; sedangkan keterbatasan dalam hal ini akan lebih merugikan.
G. Hubungan Konstruktivisme dengan Teori Belajar
Garis besar pemikiran filsafat konstruktivisme (Suparno, 1997: 49) yang diambil manfaatnya untuk proses belajar peserta didik adalah sebagai berikut.
- Pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara personal maupun secara sosial;
- Pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari pendidik ke peserta didik, kecuali hanya dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar,
- Peserta didik aktif mengkontruksi terus menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah,
- Pendidik sekadar membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik berjalan mulus.
H. Pengaruh Konstruktivisme terhadap Proses Belajar
Bagi konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana peserta didik membangun sendiri pengetahuan, keterampilan dan tingkah lakunya. Peserta didik mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari. Peserta didik sendiri lah yang bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Mereka sendiri yang membuat penalaran dengan apa yang dipelajarinya, dengan cara mencari makna, membandingkan dengan apa yang telah ia ketahui dengan pengalaman dan situasi baru.
Belajar adalah lebih merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu (Fosnot, 1989: 20). Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu proses pemikiran yang berkembang dengan membuat kerangka pengertian yang baru. Peserta didik harus mempunyai pengalaman dengan membuat hipotesis, prediksi, mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain sebagainya untuk membentuk konstruksi pengetahuan yang baru. roses belajar itu antara lain bercirikan sebagai berikut.
- Belajar berarti membentuk makna. Proses pembentukan makna ini berdasarkan pengetahuan yang sudah dimiliki sebelumnya melalui interaksi langsung dengan objek. Makna diciptakan oleh peserta didik dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan, dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
- Konstruksi terjadi lewat asimilasi dan atau akomodasi. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan asimilasi dan atau akomodasi.
- Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian (konsep) yang baru. Proses belajar adalah proses pengembangan pemahaman atau pemikiran dengan membuat pemahaman yang baru. Belajar itu meredifinisi pengetahuan, konsep lama menjadi pengertian ataupun konsep yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri, suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
- Hasil belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikirannya lebih lanjut. Situasi ketidak seimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
- Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman peserta didik dengan dunia fisik dan lingkungannya.
- Belajar akan bermakna jika terjadi melalui refleksi dan memecahkan konflik kognitif dan menggugat pengetahuan lamanya yang kurang sempurna.
- Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui si peserta didik: konsep-konsep, nilai-nilai, tujuan, sikap dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Fosnot, 1989: 19-20;34-40).
Setiap peserta didik mempunyai cara untuk mengerti sendiri. Maka penting bahwa setiap peserta didik mengerti kekhasan, keunggulan dan kelemahannya dalam mengerti sesuatu. Mereka perlu menemukan cara belajar yang tepat bagi diri sendiri. Setiap peserta didik mempunyai cara yang cocok untuk mengkonstruksi pengetahuannya yang kadang-kadang sangat berbeda dengan teman-temannya yang lain. Dalam kerangka ini, sangat penting bahwa peserta didik dimungkinan untuk mencoba bermacam-macam cara belajar yang cocok bagi dirinya, begitu juga penting bagi pendidik menciptakan bermacam-macam cara belajar yang cocok untuk peserta didiknya. Pendidik juga perlu menciptakan bermacam-macam situasi dan metode pembelajaran yang membantu peserta didik. Satu model belajar dan mengajar tidak akan membantu banyak bagi peserta didik yang begitu majemuk.
Di dalam kelas, sering kali peserta didik sudah membawa konsep yang bermacam-macam sebelum pelajaran formal dimulai. Inilah pengetahuan dasar mereka untuk dapat dikembangkan menjadi pengetahuan yang baru. Mereka juga membawa perbedaan tingkat intelektual, personal, sosial, emosional, kultural ketika masuk ruang pelajaran. Ini semua mempengaruhi pemahaman mereka. Latar belakang dan pengertian awal yang dibawa peserta didik sangat penting dimengerti oleh pendidik agar dapat membantu memajukan dan memperkembangkannya sesuai dengan pengetahuan yang lebih sempurna.
Karena pengetahuan dibentuk baik secara individual maupun sosial, maka kesempatan untuk belajar kelompok, diskusi, cooperative learning dapat dikembangkan. Menurut Glasersfeld, dalam belajar kelompok (Suparno,1997:63), peserta didik yang mengerjakan suatu persoalan secara bersama-sama, harus mengungkapkan bagaimana melihat persoalan tersebut dan apa yang ingin mereka buat dengan persoalan itu. Inilah salah satu cara menciptakan refleksi, yang menuntut kesadaran akan apa yang sedang dipikirkan dan sedang dibuat. Selanjutnya hal tersebut akan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk secara aktif membuat abstraksi. Bagi peserta didik, menjelaskan sesuatu kepada kawan-kawan dapat membantu untuk melihat sesuatu lebih jelas terutama inkonsistensi pandangan mereka sendiri. Seseorang yang diberi kesempatan untuk menjelaskan bahan pada seluruh kelas, biasanya terpacu untuk belajar lebih sungguh-sungguh.
Konstruktivisme sosial menekankan bahwa belajar menyangkut dimasukkannya seseorang dalam suatu dunia simbolik atau konsep. Pengetahuan dikonstruksi bila seseorang terlibat secara sosial dalam dialog dan aktif dengan percobaan, diskusi kelompok dan tukar pengalaman. Belajar juga merupakan proses di mana seseorang dimasukan dalam suatu kultur orang-orang terdidik. Dalam hal ini peserta didik tidak hanya perlu akses ke pengalaman fisik, tetapi juga pada konsep-konsep dan model dari ilmu pengetahuan yang telah ada. Maka peran pendidik di sini penting, karena mereka menyediakan kesempatan yang cocok dan juga prasarana masyarakat ilmiah bagi peserta didik. Dalam konteks ini, kegiatan-kegiatan yang memungkinkan para peserta didik berdialog dan berinteraksi dengan para ahli, dengan lembaga-lembaga penelitian, dengan sejarah penemuan ilmiah, dengan masyarakat pengguna hasil ilmiah akan sangat membantu dan merangsang untuk mengkonstruksi pengetahuan mereka.
I. Implikasi Konstruktivisme terhadap Proses Pembelajaran
Ada sejumlah implikasi yang relevan terhadap proses pembelajaran berdasarkan pemikiran konstruktivisme personal dan sosial. Implikasi itu antara lain sebagai berikut.
- Kaum konstruktivis personal berpendapat bahwa pengetahuan diperoleh melalui konstruksi individual dengan melakukan pemaknaan terhadap realitas yang dihadapi dan bukan lewat akumulasi informasi. Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah bahwa pendidik tidak dapat secara langsung memberikan informasi, melainkan proses belajar hanya akan terjadi bila peserta didik berhadapan langsung dengan realitas atau objek tertentu. Pengetahuan diperoleh oleh peserta didik atas dasar proses transformasi struktur kognitif tersebut. Dengan demikian tugas pendidik dalam proses pembelajaran adalah menyediakan objek pengetahuan secara konkret, mengajukan pertanyaan-pertanyaan sesuai dengan pengalaman peserta didik atau memberikan pengalaman-pengalaman hidup konkret (nilai-nilai, tingkah laku, sikap, dll) untuk dijadikan objek pemaknaan.
- Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pengetahuan dibentuk dalam diri individu atas dasar struktur kognitif yang telah dimilikinya, hal ini berimplikasi pada proses belajar yang menekankan aktivitas personal peserta didik. Agar proses belajar dapat berjalan lancar maka pendidik dituntut untuk mengenali secara cermat tingkat perkembangan kognitif peserta didik. Atas dasar pemahamannya pendidik merancang pengalaman belajar yang dapat merangsang struktur kognitif anak untuk berpikir, berinteraksi membentuk pengetahuan yang baru. Pengalaman yang disajikan tidak boleh terlalu jauh dari pengetahuan peserta didik tetapi juga jangan sama seperti yang telah dimilikinya. Pengalaman sedapat mungkin berada di ambang batas antara pengetahuan yang sudah diketahui dan pengetahuan yang belum diketahui (Mukminan,dkk., 1998: 44; Fosnot (ed), 1996: 18-20) sebagai zone of proximal development of knowledge.
- Terkait dengan kedua hal di atas, maka dalam proses pembelajaran seorang pendidik harus menciptakan pengalaman yang autentik dan alami secara sosial kultural untuk para peserta didiknya. Materi pembelajaran sungguh harus kontekstual, relevan dan diambil dari pengalaman sosio budaya setempat. Pendidik tidak dapat memaksakan suatu materi yang tidak terkait dengan kehidupan nyata peserta didik. Pemaksaan hanya akan menimbulkan penolakan atau menimbulkan kebosanan atau akan menghambat proses perkembangan pengetahuan peserta didik.
- Dalam proses pembelajaran pendidik harus memberi otonomi, kebebasan peserta didik untuk melakukan eksplorasi masalah dan pemecahannya secara individual dan kolektif, sehingga daya pikirnya dirangsang untuk secara optimal dapat aktif membentuk pengetahuan dan pemaknaan yang baru.
- Pendidik dalam proses pembelajaran harus mendorong terjadinya kegiatan kognitif tingkat tinggi seperti mengklasifikasi, menganalisis, menginterpretasikan, memprediksi dan menyimpulkan, dll.
- Pendidik merancang tugas yang mendorong peserta didik untuk mencari pemecahan masalah secara individual dan kolektif sehingga meningkatkan kepercayaan diri yang tinggi dalam mengembangkan pengetahuan dan rasa tanggungjaawab pribadi.
- Dalam proses pembelajaran, pendidik harus memberi peluang seluas-luasnya agar terjadi proses dialogis antara sesama peserta didik, dan antara peserta didik dengan pendidik, sehingga semua pihak merasa bertanggung jawab bahwa pembentukan pengetahuan adalah tanggungjawab bersama. Caranya dengan memberi pertanyaan-pertanyaan, tugas-tugas yang terkait dengan topik tertentu, yang harus dipecahkan, didalami secara individual ataupun kolektif, kemudian diskusi kelompok, menulis , dialog dan presentasi di depan teman yang lain (Suparno, 1997: 61-69).
J. Pengaruh Konstruktivisme rerhadap Proses Mengajar
Mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari pendidik ke peserta didik, tetapi suatu kegiatan yang memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan peserta didik dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mempertanyakan kejelasan, bersikap kritis, mengadakan justifikasi. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Menurut prinsip konstruktivisme, seorang pendidik mempunyai peran sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar peserta didik berjalan dengan baik. Maka tekanan diletakkan pada peserta didik yang belajar dan bukan pada pendidik yang mengajar. Fungsi sebagai mediator dan fasilitator ini dapat dijabarkan dalam beberapa tugas antara lain sebagai berikut.
- Menyediakan pengalaman belajar, yang memungkinkan pesera didik ikut bertanggungjawab dalam membuat design, proses dan penelitian. Maka menjadi jelas bahwa mengajar model ceramah bukanlah tugas utama seorang pendidik.
- Pendidik menyediakan pertanyaan-pertanyaan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik, membantu mereka untuk mencari, membentuk pengetahuan, mengekspresikan gagasan, pendapat, sikap mereka dan mengkomunikasikan ide ilmiahnya. Menyediakan sarana yang merangsang berpikir peserta didik secara produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang mendukung belajar peserta didik. Pendidik hendaknya menyemangati peserta didik dan bukannya sebaliknya. Pendidik perlu menyediakan pengalaman konflik. Pengalaman konflik ini dapat berwujud pengalaman anomali yang bertentangan dengan pemikiran atau pengalaman awal peserta didik. Pengalaman seperti ini akan menantang peserta didik untuk berpikir mendalam.
- Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran peserta didik itu jalan atau tidak. Pendidik menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan peserta didik berlaku untuk menghadapi persoalan baru yang berkaitan dengannya. Pendidik membantu dalam mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan peserta didik (Suparno, 1997: 65-66).
Seorang pendidik hendaknya tidak melihat peserta didik sebagai tidak tahu apa-apa. Peserta didik sudah membawa konsep-konsep, norma-norma, nilai-nilai, sikap dan pola tingkah laku tertentu ketika mengikuti pelajaran pertama kali. Itulah pengetahuan awal yang mereka punyai yang menjadi dasar untuk membangun pengetahuan selanjutnya. Di sini pendidik perlu mengerti mereka sudah pada taraf mana pengetahuan mereka ( konsep, nilai, norma, tingah laku, sikap,dll).
Pendidik perlu belajar mengerti cara berpikir peserta didik, sehingga dapat membantu memodifikasikannya. Tanyakan kepada mereka bagaimana mereka mendapatkan jawaban, ini cara yang baik untuk menemukan pemikiran mereka dan membuka jalan untuk menjelaskan mengapa suatu jawaban tidak tepat untuk keadaan tertentu. Pendidik perlu mengerti sifat kesalahan peserta didik. Perkembangan ilmu pengetahuan adalah penuh dengan kesalahan atau error. Error adalah suatu bagian dan konstruksi semua bidang yang tidak bisa dihindarkan. Error kerapkali menunjukkan penalaran peserta didik yang digunakan untuk memecahkan persoalan. Pendidik perlu melihat error (Piaget,1981: 94) sebagai suatu sumber informasi tentang penalaran mereka dan untuk mengerti sifat dari skema peserta didik.
Kaum konstruktivis berpendapat bahwa pendidik perlu membiarkan peserta didik menemukan cara yang paling cocok dalam memecahkan persoalan. Peserta didik kadang suka mengambil jalan yang tidak konvensional untuk memecahkan suatu soal. Bila seorang pendidik tidak menghargai cara penemuan mereka, ini berarti menyalahi sejarah perkembangan ilmu, yang dimulai juga dari kesalahan. Sangat penting bahwa pendidik tidak mengajukan jawaban satu-satunya sebagai yang benar, terlebih dalam persoalan yang berdasarkan suatu pengalaman, seperti norma dan nilai sebagai dasar bertingkah laku. Dalam sejarah ilmu terlihat bahwa teori-teori yang lama tidaklah salah dalam perkembangannya, tetapi lebih dikatakan sebagai tidak dapat menjawab persoalan-persoalan baru yang muncul. Teori-teori itu tetap dapat menjawab persoalan lama yang dihadapi waktu menemukannya. Misalnya, teori Newton tentang gerak tidaklah salah, tetapi tidak mencukupi lagi untuk menjawab gerak dalam dimensi mikro. Maka ditemukan teori baru yang dapat menjawabnya. Namun sampai sekarangpun, teori Newton tetap dapat digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan dalam dunia makro.
Dalam sistem konstruktivisme, pendidik dituntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Pendidik perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan dari bahan yang mau diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam akan memungkinkan seorang pendidik menerima pandangan dan gagasan peserta didik yang berbeda dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan peserta didik itu benar atau tidak. Penguasaan bahan memungkinkan seorang pendidik mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai kepada suatu pemecahan persoalan dan tidak terpaku kepada satu model.
Kecuali menguasai bahan, pendidik sangat perlu mengerti konteks dari bahan itu, sehingga sangat penting untuk seorang pendidik, misalnya dosen pendidikan Pancasila, kecuali mengerti tentang isinya juga tahu bagaimana isi itu dalam perkembangan ilmu pengetahuan berperan. Pendidik juga perlu mengerti bagaimana pendidikan Pancasila itu berpengaruh terhadap teknologi dan masyarakat.
Tugas pendidik adalah membantu agar peserta didik lebih dapat mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasinya yang konkret, maka strategi mengajar perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi peserta didik. Bagi kaum konstruktivis, tidak ada suatu strategi mengajar satu-satunya dan dapat digunakan di manapun dalam situasi apapun. Strategi yang disusun, selalu hanya menjadi tawaran dan saran, tetapi bukan suatu menu yang sudah jadi. Setiap pendidik yang baik akan mengembangkan caranya sendiri. Mengajar adalah suatu seni yang menuntut bukan hanya penguasaan teknik, tetapi juga intuisi.
K. Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Salah satu prinsip paling penting dari psikologi pendidikan adalah guru tidak hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menerapkan ide-ide mereka untuk belajar (Nur,2000: 2). Paradigma konstruktivisme memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam mengkonstruksi pengetahuan yang baru (Budiningsih, 2005:59).
Pendekatan konstruktivisme menghendakai siswa harus membangun pengetahuan di dalam benaknya sendiri. Guru dapat membantu proses ini dengan cara mengajar yang membuat informasi lebih bermakna dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide mereka. Guru dapat memberi siswa tangga yang dapat membantu siswa mencapai tingkat pemahaman yang lebih tinggi, namun harus diupayakan agar siswa sendiri yang memanjat tangga tersebut. Oleh karena itu agar pembelajaran lebih bermakna bagi siswa dan pendidik maka pendekatan konstruktivisme merupakan solusi yang baik untuk dapat diterapkan. Berikut akan dipaparkan perbedaan pembelajaran tradisional (behavioristik) dengan pembelajaran yang konstruktivistik.
Perbedaan pembelajaran behavioristik (tradisional) dengan konstruktivistik menurut Aqib, (2002:120), Budiningsih, (2005:63) adalah sebagai berikut.
No |
Pembelajaran Tradisional |
Pembelajaran Konstruktivistik |
1 |
Kurikulum disajikan dari bagian-bagian menuju keseluruhan dengan menekankan pada keterampilan dasar | Kurikulum disajikan mulai dari keseluruhan menuju kebagian-bagian dan lebih mendekatkan kepada konsep-konsep yang lebih luas
|
2 |
Pembelajaran sangat taat pada kurikulum yang telah ditetapkan
|
Pembelajaran lebih menghargai pada pemunculan pertanyaan dan ide-ide siswa |
3 |
Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada buku teks dan buku kerja | Kegiatan kurikuler lebih banyak mengandalkan pada sumber-sumber data primer dan manipulasi bahan
|
4 |
Siswa dipandang sebagai “kertas kosong” yang dapat digoresi informasi oleh guru, dan guru menggunakan cara didaktik dalam menyampaikan informasi kepada siswa
|
Siswa dipandang sebagai pemikir-pemikir yang dapat memunculkan teori-teori tentang dirinya |
5 |
Penilian hasil belajar atau pengetahuan siswa dipandang sebagai bagian dari pembelajaran dan biasanya dilakukan pada akhir pelajaran dengan cara testing | Pengukuran proses dan hasil belajar siswa terjalin di dalam kesatuan kegiatan pembelajaran, dengan cara guru mengamati hal-hal yang sedang dilakukan siswa, serta melalui tugas-tugas pekerjaan
|
6 |
Siswa-siswa biasanya bekerja sendiri-sendiri, tanpa ada group proses dalam belajar
|
Siswa-siswa banyak belajar dan bekerja di dalam group proses |
7 |
Memandang pengetahuan adalah objektif, pasti, tetap, dan tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi | Memandang pengetahuan adalah non objektif, bersifat temporer, selalu berubah, dan tidak menentu
|
8 |
Belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan | Belajar adalah penyusunan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah menata lingkungan agar siswa termotivasi dalam menggali makna
|
9 |
Kegagalan dalam menambah pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum
|
Kegagalan merupakan interpretasi yang berbeda yang perlu dihargai |
10 |
Evaluasi menuntut satu jawaban benar. Jawaban benar menunjukkan bahwa siswa telah menyelesaikan tugas belajar | Evaluasi menggali munculnya berfikir divergent, pemecahan ganda, dan bukan hanya satu jawaban benar
|
11 |
Evaluasi dipandang sebagai bagian terpisah dari kegiatan pembelajaran, biasanya dilakukan setelah selesai kegiatan belajar dengan menekankan pada evaluasi individu | Evaluasi merupakan bagian utuh dari pembelajaran dengan cara memberikan tugas-tugas yang bermakna serta menerapkan apa yang dipelajari yang menekankan pada keterampilan proses |
Alasan lain perlunya pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran adalah pengetahuan yang akan dimiliki siswa bermula dari keaktifan siswa untuk mencari dan menemukan. Pengetahuan tidak akan diperoleh dari siswa yang pasif. Untuk membangun suatu pengetahuan baru, siswa akan menyesuaikan suatu pengetahuan baru dengan pengetahuan lama yng telah dimilikinya melalaui berinterksi sosial dengan siswa yang lain. Hal ini berbeda dengan behavioristik yang menekankan pada pola prilaku yang diulang-ulang menjadi otomatis. Perilaku seseorang dapat dikuatkan atau dihentikan melalui ganjaran atau hukuman. Begitu pula dengan kognitivistik yang menyatakan bahwa pengetahuan akan diwakili oleh skema, jika informasi sesuai dengan skema akan diterima, jika tidak akan disesuaikan atau skema yang akan disesuaikan. Jadi kognitivistik menekankan penataan kembali struktur kognitif dimana seseorang menyimpan informasi.
Konstruktivisme berawal dari pandangan kognitivisme. Kognitivisme lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajarnya. Kognitivisme mengatakan bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh pemahamannya tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya. Belajar merupakan perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu dapat terlihat sebagai tingkah laku yang nampak. Pandangan kognitivisme menyatakan bahwa belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, pengolahan informasi, emosi, dan aspek kejiwaan lainnya dimana pengetahuan yanag diterima disesuaikan dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki seseorang berdasarkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya.
L. Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya. Siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dalam pikiran mereka. Dalam hal ini siswa membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu.
Proses perolehan pengetahuan akan terjadi apabila guru dapat menciptakan kondisi pembelajaran yang ideal yang dimaksud disini adalah suatu proses belajar mengajar yang sesuai dengan karakteristik IPA dan memperhatikan perspektif siswa sekolah dasar. Pembelajaran yang dimaksud diatas adalah pembelajaran yang mengutamakan keaktifan siswa, menerangkan pada kemampuan minds-on dan hands–on serta terjadi interaksi dan mengakui adanya konsepsi awal yang dimiliki siswa melalui pengalaman sebelumnya.
Dalam pelaksanaan teori belajar konstruktivisme ada beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran yaitu sebagai berikut :
- Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya dengan bahasa sendiri.
- Memberi kesempatan kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga lebih kreatif dan imajinatif.
- Memberi kesempatan kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
- Memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
- Mendorong siswa untuk memikirkan perubahan gagasan mereka.
- Menciptakan lingkungan yang kondusif.
Dari berbagai pandangan di atas, bahwa pembelajaran yang mengacu pada pandangan konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan pengalaman mereka dengan kata lain siswa lebih berpengalaman untuk mengonstruksikan sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi.
M. Metode Mengajar Guru dalam Pendekatan Konstruktivisme
Pada hakikatnya pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan suasana atau memberikan pelayanan agar peserta didik belajar. Dalam menciptakan suasana atau pelayanan, hal yang esensial bagi guru adalah memahami bagaimana murid-muridnya memperoleh pengetahuan dari kegiatan belajarnya. Jika guru dapat memahami proses pemerolehan pengetahuan, maka ia dapat menentukan strategi atau metode-metode pembelajaran yang tepat bagi murid-muridnya. Terjadinya proses belajar pada murid yang sedang belajar memang sulit untuk diketahui secara kasat mata, karena proses belajar berlangsung secara mental. Namun, dari berbagai hasil penelitian atau percobaan, para ahli psikologi dapat menggambarkan bagaimana proses tersebut berlangsung. Ahli psikologi konstruktivis berpendapat bahwa proses pemerolehan pengetahuan adalah melalui penstrukturan kembali struktur kognitif yang telah dimiliki agar bersesuaian dengan pengetahuan yang akan diperoleh sehingga pengetahuan itu dapat diadaptasi.
Dalam proses belajar mengajar diperlukan suatu cara atau metode untuk mencapai tujuan belajar. Menurut Hamalik (2003:2) metode mengajar adalah suatu cara, teknik atau langkah-langkah yang akan ditempuh dalam proses belajar mengajar. Sedangkan Roestiyah (2001:1) Metode mengajar adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas agar pelajaran tersebut dapat ditangkap, dipahami dan digunakan oleh siswa dengan baik.
Ada berbagai metode yang dapat digunakan guru dalam kegiatan pembelajaran, diantaranya; ceramah bervariasi, tanya jawab, diskusi, pemberian tugas, bermain peran, karyawisata, inquiry, kerja kelompok, discovery, demonstrasi. Karena keterbatasan kemampuan dan waktu maka tidak akan semua metode dapat digunakan. Namun yang terpenting adalah penggunaan metode harus dikaitkan dengan situasi dan tujuan belajar yang hendak dicapai dan ditekankan kepada keaktifan siswa dalam membangun pengetahuan.
Penerapkan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran pada tulisan ini akan lebih banyak menggunakan metode inquiry (menemukan) dan akan dibantu metode-metode lain yang akan dilaksanakan secara integratif dan diperkirakan mampu dilaksanakan oleh guru mitra peneliti dan siswa di lapangan. Penjelasan metode-metode tersebut adalah sebagai berikut.
1. Tanya Jawab (questioning)
Bertanya (questioning) merupakan strategi atau metode utama lainya dalam pendekatan konstruktivisme untuk mengukur sejauh mana siswa dapat mengenali konsep-konsep pada topik pelajaran yang akan dipelajari. Bertanya dalam sebuah pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Dalam pembelajaran yang berbasis inquiry, kegiatan bertanya merupakan bagian yang sangat penting untuk menggali informasi, mengkonfirmasikan hal-hal yang sudah diketahui, serta mengarahkan perhatian pada hal-hal yang belum diketahuinya.
Kegiatan bertanya sangat berguna dalam pembelajaran yang produktif seperti dikemukakan Nurhadi (2003: 14) adalah : a) menggali informasi, baik administrasi maupun akademis, b) mengecek pemahaman siswa, c) membangkitkan respon kepada siswa, d. mengetahui sejauh mana keinginan siswa, e) mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa, f) memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru, g) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa, dan h) menyegarkan kembali pengetahuan siswa.
2. Penyelidikan/Menemukan (Inquiry)
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa diharapkan sebagai hasil penyelidikan sampai kepada menemukan sendiri bukan hasil mengingat seperangkat fakta, guru harus berusaha selalu merancang kegiatan yang merujuk pada kegiatan menemukan untuk berbagai materi yang diajarkan. Metode inkuiri dalam proses pembelajaran lebih bersifat student centered. Dalam pembelajaran seorang guru hendaknya dapat mengajarkan bagaimana siswa dapat membelajarkan dirinya, karena siswa yang lebih banyak melakukan kegiatan pembelajaran. Belajar dengan metode inkuiri pada dasarnya adalah cara siswa untuk menemukan sendiri pengetahuannya.
Penggunaan metode inkuiri oleh guru akan mengurangi aktivitas guru di kelas dalam arti tidak terlalu banyak bicara, karena aktivitas lebih banyak dilakukan oleh siswa. Guru tidak lagi berperan sebagai pemberi pengetahuan melainkan menyiapkan situasi yang menggiring siswa untuk bertanya, mengamati, menemukan fakta, konsep, menganalisis data dan mengusahakan kemungkinan-kemungkinan jawaban dari suatu masalah.
Inkuiri memberikan perhatian dalam mendorong, siswa menyelidiki secara independen, dalam suatu cara yang teratur. Melalui Inkuiri, siswa bertanya memperoleh dan mengolah data secara logis sehingga mereka dapat mengembangkan strategi intelektual secara umum yang mereka gunakan untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan itu. Belajar dengan melakukan inkuiri pada dasarnya adalah cara siswa untuk ”menemukan sendiri”, dan karena itu Bruner menyebutnya sebagai discovery. Strategi mengajar dengan model inkuiri ini menempatkan siswa tidak hanya dalam posisi mendengarkan, akan tetapi siswa melibatkannya dalam pencarian intelektual yang aktif, pencarian dengan memanipulasi data yang dikumpulkan berdasarkan pengamatan dan pengamalannya sendiri, atau oleh orang lain, untuk dipahami dan dibermaknakan (Wiriaatmadja, 2002:137).
Metode inkuiri menekankan pada permasalahan bagaimana siswa menggunakan sumber belajar. Sumber belajar dipakai sebagai upaya untuk mengidentifikasi masalah dan merumuskan masalah. Peranan siswa dalam pembelajaran inkuiri adalah sebagai pengambil inisiatif atau prakarsa dalam menemukan sesuatu untuk mereka sendiri. Dalam hal ini siswa harus aktif menggunakan cara belajarnya sendiri, sehingga mengarah pada pengembangan kemampuan berpikir melalui bimbingan yang diberikan oleh guru. Permasalahan dalam inkuiri berkaitan dengan sumber belajar adalah bukan pada dari mana sumbernya, tetapi lebih menekankan pada bagaimana siswa dan guru memanfaatkan sumber tersebut dalam proses pembelajaran. Jadi sumber belajar harus dimanfaatkan sebagai upaya untuk mengembangkan kemampuan mengidentifikasi masalah melalui pertanyaan-pertanyaan yang terarah pada penjelasan masalah.
Langkah-langkah inkuiri menurut beberapa ahli diantaranya adalah; Hasan, Said Hamid (1996 :14) : langkah-langkah inkuiri adalah :1) Perumusan masalah, 2) pengembangan hipotesis, 3) pengumpulan data, 4) pengolahan data, 5) pengujian hipotesis, dan 6) penarikan kesimpulan. Menurut Dahlan (1990:169) langkah-langkah inkuiri adalah 1) orientasi, 2) hipotesis, 3) definisi, 4) eksplorasi, 5) pembuktian, 6) generalisasi. Sedangkan menurut Joyce & Weil (2000:473-475) mengemukakan langkah-langkah inkuiri sebagai berikut :1) penyajian masalah, 2) pengumpulan data dan verifikasi data, 3) mengadakan eksperimen dan pengumpulan data, 4) merumuskan penjelasan, 5) mengadakan analisis tentang proses inkuiri. Menurut Nurhadi (2003:13): adalah 1) Merumuskan masalah, 2) Mengamati dan melakukan observasi, 3) Menganalisis dan meyajikan hasil tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya, 4) Mengkomunikasikannya atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru, atau audien yang lain.
Sebenarnya tidak ada perbedaan yang sangat prinsipil menurut ahli tersebut tentang langkah-langkah inkuiri. Pada intinya hampir sama, yaitu dimulai dari perumusan masalah dan terakhir membuat kesimpulan. Dalam penelitian ini peneliti memberi makna metode inkuiri sebagai strategi pembelajaran yang berusaha memecahkan suatu permasalahan melalui langkah-langkah yang sistematis dan logis.
3. Komunitas Belajar (Learning Community)
Komunitas belajar atau belajar kelompok adalah pembelajaran dengan bekerjanya sejumlah siswa yang sudah terbagi kedalam kelompok-kelompok kecil untuk mencapai tujuan tertentu secara bersama-sama (Moejiono,1991/1992:60). Pengembangan pembelajaran dalam kelompok dapat menumbuhkan suasana memelihara disiplin diri, dan kesepakatan berperilaku. Melalui kegiatan kelompok terjadi kerja sama antar siswa, juga dengan guru yang bersifat terbuka. Belajar berkelompok dapat dijadikan arena persaingan sehat, dan dapat pula meningkatkan motivasi belajar para anggota kelompok. Dengan pendekatan konstruktivisme, guru melaksanakan pembelajaran dalam kelompok-kelompok belajar. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok yang anggotanya heterogen. Kelompok siswa bisa sangat bervariasi bentuknya, baik anggotanya maupun jumlahnya. Menurut Slavin (1995:4-5) “kelompok yang efektif terdiri dari empat sampai enam orang, dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen”.
Pembelajaran dengan konsep komunitas belajar dapat berlangsung apabila ada komunikasi dua arah. Siswa yang terlibat dalam kegiatan komunitas belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan sekaligus meminta informasi juga yang diperlukan teman belajarnya. Kegiatan beIajar ini dapat terjadi apabila tidak ada pihak yang dominan dalam berkomunikasi, tidak ada pihak yang merasa segan untuk bertanya, tidak ada pihak yang menganggap paling tahu, semua pihak mau saling mendengarkan, pembelajaran dengan teknik komunitas belajar ini sangat membantu pembelajaran di kelas.
Untuk pelaksanaan metode-metode tersebut berpedoman kepada langkah-langkah yang ditentukan dalam waktu perencanaan. Langkah-langkah pelaksanaannya dapat dilakukan sebagai berikut.
- Langkah pertama, siswa didorong dan diberi motivasi agar mengemukakan pengetahuan awalnya tentang konsep dari pokok bahasan atau sub pokok bahasan yang akan dibahas. Guru memancing dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan problematik tentang fenomena-fenomena yang sering ditemui sehari-hari dengan mengaitkan konsep yang akan dibahas. Siswa di beri kesempatan untuk mengkomunikasikan, mengilustrasikan pemahamannya tentang konsep itu. Pada langkah ini penggunaan metode tanya jawab sangat diperlukan antara siswa dengan guru, siswa dengan siswa yang difasilitasi oleh guru.
- Langkah kedua, siswa diberi kesempatan untuk menyelidiki dan menemukan konsep-konsep dan permasalahan-permasalahan melalui pengumpulan dan pengorganisasian dan penginterpretasian data dalam suatu kegiatan yang telah dirancang guru. Pada tahap ini guru menggunakan metode inquiry. Secara bekerja kelompok siswa membahas kemudian mendiskusikan temuannya dengan kelompok-kelompok lain. Secara keseluruhan tahap ini akan memenuhi rasa keingintahuan siswa tentang topik pelajaran yang dibahas pada saat itu.
- Langkah ketiga, Siswa memberikan penjelasan dan solusi yang didasarkan pada observasinya ditambah dengan penjelasan-penjelasan guru untuk menguatkan pengetehuan siswa yang telah mereka bangun, maka siswa membangun pengetahuan dan pemahaman baru tentang konsep yang sedang dipelajari. Hal ini menjadikan siswa tidak ragu-ragu lagi tentang konsepsinya.
- Langkah terakhir, guru berusaha menciptkan iklim pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat mengaplikasikan pemahaman konsepnya tentang topik pelajaran saat itu.
N. Keuntungan dan Kelemahan dalam Menggunakan Model Konstruktivisme
Dalam penggunaan model konstruktivisme terdapat beberapa kelebihan dan kekurangan. Keuntungan yang terdapat dalam penggunaan model konstruktivisme yaitu :
- Dapat memberikan kemudahan kepada siswa dalam mempelajari konsep pembelajaran.
- Melatih siswa berpikir kritis dan kreatif.
Di samping memiliki beberapa keuntungan seperti yang telah diswbutkan di atas, pembelajaran konstruktivisme juga memiliki beberapa kelemahan. Adapun kelemahan pembelajaran konstruktivisme adalah :
- Siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksi siswa tidak cocok dengan hasil konstruksi para ilmuan sehingga menyebabkan miskonsepsi.
- Konstruktivisme menanamkan agar siswa membangun pengetahuannya sendiri, hal ini pasti membutuhkan waktu yang lama dan setiap siswa memerlukan penanganan yang berbeda-beda.
- Situasi dan kondisi tiap sekolah tidak sama, karena tidak semua sekolah memiliki sarana prasarana yang dapat membantu keaktifan dan kreatifitas siswa.
Banyak guru menekankan perhitungan dan bukan penalaran sehingga banyak siswa menghafal belaka. Menurut Glasserfeld (Suparno,1997) mengajar adalah membantu seseorang berpikir secara benar dengan membiarkannya berpikir sendiri. Jadi guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Sedangkan fungsi mediator dan fasilitator itu sendiri dapat dijabarkan dalam beberapa tugas sebagai berikut.
- Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggungjawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.
- Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan ide ilmiah mereka.
- Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. Guru juga membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
Julian dan Duckworth (Suparno,1997:68) telah merangkum hal-hal penting yang harus dilakukan seorang guru konstruktivis sebagai berikut.
- Guru perlu mendengarkan secara sungguh-sungguh interpretasi murid terhadap data yang ditemukan sambil menaruh perhatian khusus kepada keraguan, kesulitan dan kebingungan setiap murid.
- Guru perlu memperhatikan perbedaan pendapat dalam kelas dan juga memberikan penghargaan kepada siswa.
- Guru perlu menyadari bahwa ketidaktahuan siswa bukanlah suatu hal yang jelek dalam proses belajar, karena “tidak mengerti” merupakan langkah awal untuk memulai.
Peran guru dalam pembelajaran konstruktivis sangat menuntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam tentang bahan yang diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam memungkinkan seorang guru menerima pandangan dan gagasan yang berbeda dari murid dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan itu jalan atau tidak. Penguasaan bahan memungkinkan seorang guru mengerti macam-macam jalan dan model untuk sampai pada suatu pemecahan persoalan tanpa terpaku pada satu model.
Referensi
Alit, Mahisa. 2004. Pembelajaran Konstruktivisme, Apa dan Badaimana Penerapannya di Dalam Kelas. Cirebon: SD Negeri 2 Bungko Lor UPT Pendidikan Kecamatan Kapetakan.
Aqib, Z. 2002. Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran. Surabaya : Insan Cendikia.
Arsyad, Azhar. 2004. Media Pembelajaran. Jakarta: PT RajaGafindo Persada
Azwar, Saifuddin. 1999. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yogyakarta
Blakey, Joseph. 1966. Macmillan Student Editions : Intermediate Pure Mathematics (Fourth Edition). London: Macmillan & Co. Ltd incorporating Cleaver-Hume Press Ltd
Budiningsih, C.A. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta : Rineka Cipta.
Creswell, J.W,. 1998. Qualitatif Inquiry and Research Design; Chosing Among Five Traditions : London, New Delhi : Sage Publications, Inc.
Depdiknas. 2003. Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata Pelajaran Sejarah untuk Sekolah Menengah Atas dan Madrasah Aliyah. Jakarta : Depdiknas.
Esti Wuryani, Sri. 2002. Psikologi Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo)
Esti Wuryani, Sri. 2003. Standar Kompetensi Kurikulum 2004 MataPelajaran Matematika. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional
Hudojo, H. 1988. Mengajar Belajar Matematika. Jakarta: Depdikbud
Johanes,dkk. 2004. Kompetensi Matematika Kelas 1 SMA Semester Kedua. Jakarta: Yudhistira
Meier, Dave. 2002. The Accelerated Learning Handbook. Bandung: Kaifa
Nurhadi,dkk. 2003. Pembelajaran Kontekstual dan Penerapannya dalam KBK. Malang: Universitas Negeri Malang
Silberman, Mel. 1998. Active Learning (Second Edition). New Jersey: A Willey Company
Sudjana. 2002. Metode Statistika. Bandung: Tarsito Sugiyono. 2005. Statistika untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta
Suherman, Erman dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-Universitas Pendidikan Indonesia
Sunardi,dkk. 2004. Matematika 1B Kurikulum 2004 Kelas 1 SMA. Jakarta: Bumi Aksara
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Jogjakarta: Kanisius
Tri Anni, Catharina. 2004. Psikologi Belajar. Semarang: UPT MKK UNNES
Tri Rahayu, Iin dkk. 2004. Observasi dan Wawancara. Malang: Bayumedia Publishing
Winataputra, Udin Saripudin. 1994. Materi Pokok Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Reblogged this on rahma0993.
blognya memuaskan mohon ijin mengcopy untuk referensi kami, kebetulan kami sedang belajar model konstruktivis bisa konsultasi by phone ya pak ? (Tks. pak hadi suranto saya dari sindang laut – 08123008746)
Sip wong sindanglaut. Mangga dilanjut.
Desaign blognya luar biasa… materi yang di tuliskan pun berbobot dan sangat membantu.. terimakasih pak…
Mangga selama hal tersebut bermanfaat. Makasih.
ijin copas ya , mksh banyak
Mangga selama hal tersebut bermanfaat. Makasih.
Ijin copas y Pak, sebagai referensi dalam penulisan tesis. mksh
Artikel sangat menarik dan membantu. Menurut Bapak, apakah Konstruksivisme kognitif menekankan pengetahuan terbentuk dari interaksi sosial menuju individu ataukah sebaliknya.
Mohon bantuannya pak karena grup kami masih memiliki perbedaan pendapat
Kontruktivisme merupakan teori belajar yang menekankan bahwa individu akan belajar dengan baik apabila mereka secara kreatif mengonstruksi pengetahuan dan pemahaman. Teori Konstruktivisme juga didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan dibentuk setelah terjadinya interaksi sosial, dengan kata lain pengetahuan terbentuk dari interaksi sosial menuju individu.