A. Pendahuluan
Kurikulum 2013 bertujuan menghasilkan insan yang produktif, kreatif, inovatif, dan berkarakter (Nuh dalam Mulyasa 2013:7). Kurikulum 2013 juga menekankan pentingnya keseimbangan sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kemampuan berbahasa yang dituntut untuk dikuasai peserta didik dibentuk melalui pembelajaran berkelanjutan dimulai dengan meningkatkan pengetahuan tentang jenis, kaidah, dan konteks, dilanjutkan keterampilan menyajikan suatu teks tulis dan lisan baik terencana maupun spontan, dan bermuara pada pembentukan sikap kesantunan dan kejelian berbahasa serta sikap penghargaan terhadap bahasa Indonesia sebagai warisan budaya bangsa (Nuh 2013:iii).
Pendidikan karakter di Indonesia mulai diterapkan di pendidikan dasar dan menengah pada tahun ajaran 2011/2012. Pendidikan diharapkan dapat menjadi salah satu sarana pencetak generasi berkarakter. Oleh karena itu, nilai-nilai karakter pun diintegrasikan di dalam pembelajaran.
Pembelajaran yang memadai bukan hanya dapat mengembangkan salah satu kecerdasan, melainkan seluruh kecerdasan yang dimiliki oleh manusia. Kecerdasan manusia secara operasional dapat digambarkan melalui tiga dimensi, yakni kognitif, psikomotorik, dan afektif. Melalui pengembangan kognitif, kapasitas berpikir manusia dapat dikembangkan. Melalui pengembangan psikomotorik, kecakapan hidup manusia dapat ditumbuhkan. Adapun melalui pengembangan afektif, dapat dibentuk manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia. Dengan kata lain, melalui pengembangan kualitas afektif, karakter seseorang dapat dibentuk.
Salah satu upaya untuk membentuk karakter peserta didik dilakukan melalui pembelajaran sastra. Menurut Hervanda (dalam Suryaman 2010:2), sastra, berpotensi besar untuk membawa masyarakat ke arah perubahan, termasuk perubahan karakter. Sebagai ekspresi seni bahasa yang bersifat reflektif sekaligus interaktif, sastra dapat menjadi spirit untuk memunculkan gerakan perubahan masyarakat, bahkan kebangkitan suatu bangsa ke arah yang lebih baik, penguatan rasa cinta tanah air, serta sumber inspirasi dan motivasi kekuatan moral bagi perubahan sosial budaya ke arah yang lebih baik.
Pembelajaran bersastra menghendaki terjadinya kegiatan bersastra, yaitu kegiatan menggunakan bahasa dan estetika. Jadi, berbagai unsur sastra, seperti tokoh, penokohan, alur cerita, latar cerita di dalam prosa; unsur bentuk dan makna di dalam puisi; dialog dan teks pelengkap di dalam drama tidaklah diajarkan sebagai unsur-unsur yang terpisah, tetapi dalam susunan yang padu sebagai karya cipta yang indah di dalam kegiatan mendengarkan, kegiatan berbicara, kegiatan membaca, dan kegiatan menulis (Suryaman 2010:5).
Kegiatan bersastra yang efektif adalah kegiatan yang mengarah pada berapresiasi dan berekspresi secara luas, bukan sebatas bahasan yang bersifat kognitif. Kegiatan mendengarkan, melisankan, membaca, maupun menulis yang dikembangkan di dalam standar isi bahasa Indonesia mengarah pada pembentukan dan pengembangan karakter. Pembelajaran bersastra yang relevan untuk pembentukan dan pengembangan karakter peserta didik adalah pembelajaran yang mampu menumbuhkan kesadaran peserta didik untuk bersastra yang akhirnya mampu meningkatkan pemahaman dan pengertian tentang manusia dan kemanusiaan, mengenal nilai-nilai, mendapatkan ide-ide baru, meningkatkan pengetahuan sosial budaya, berkembangnya rasa dan karsa, serta terbinanya watak dan kepribadian.
Untuk membangun karakter dan kepribadian peserta didik yang berakhlak mulia dan berkarakter kuat, diperlukan buku-buku sastra yang isinya sesuai dengan tingkat perkembangan pembaca, membawakan nilai-nilai luhur kemanusiaan, serta mendorong pembacanya untuk berbuat baik. Pantun merupakan salah satu karya sastra lama yang terkenal di Nusantara. Pantun memuat nilai-nilai pendidikan, moral, nasihat, adat-istiadat, dan ajaran-ajaran agama. Meminjam istilah Suseno (2001:179), pantun adalah jiwa Melayu.
Bahasa Melayu memiliki pengaruh yang besar terhadap bahasa Indonesia. Pantun mencerminkan karakter Melayu, buah kearifan lokal. Oleh karena itu, secara tidak langsung, pantun pun mencerminkan karakter bangsa Indonesia. Di dalam pantun, terkandung keunggulan yang tidak terdapat pada karya sastra lain. Pantun adalah alat untuk menyelusupkan wejangan ataupun kritik sosial tanpa menyakiti perasaan. Pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berpikir. Pantun melatih seseorang untuk berpikir tentang makna kata sebelum berujar. Dalam hal ini, terkandung nilai moral agar sebelum berbicara, seseorang harus berpikir masak-masak. Pantun juga melatih seseorang untuk berpikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain. Secara sosial, pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat. Pantun menunjukkan kecepatan berpikir seseorang dalam memilih dan merangkai kata.
Secara umum, pantun berperan sebagai alat penguat penyampaian pesan. Pantun mulai dikenalkan secara formal kepada peserta didik di kelas 4 semester 2 melalui mata pelajaran bahasa Indonesia. Kompetensi dasar yang berkaitan dengan pantun tersebar di aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Pada aspek menulis, peserta didik dituntut untuk bisa menulis pantun dengan berbagai tema. Kompetensi dasar tersebut membuka peluang besar untuk mengintegrasikan nilai-nilai karakter sebagai tema pantun.
Jenis karya sastra lain yang berpotensi menjadi sarana penanaman nilai-nilai karakter pada pembacanya adalah cerita. Cerita merupakan cerminan kehidupan. Membaca cerita bisa disamakan dengan mempelajari miniatur kehidupan. Melalui cerita, pembaca bisa menemukan dan mempelajari berbagai keteladanan tanpa merasa digurui.
Buku-buku tentang pantun sudah banyak dicetak. Buku-buku tersebut dikategorikan sebagai buku pengayaan. Setelah mempelajari karakter buku-buku kumpulan pantun yang sudah ada, ditemukan fakta bahwa buku-buku tentang pantun semakin sedikit. Tahun 2010, masih ditemukan buku khusus pantun. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, pembahasan pantun digabungkan dengan pembahasan karya sastra lainnya. Hal tersebut kemungkinan dilatarbelakangi oleh faktor kepraktisan.
Dalam penyusunan buku pengayaan, terdapat empat komponen utama yang perlu diperhatikan, yaitu komponen isi, komponen bahasa, komponen penyajian, dan komponen grafika. Isi buku-buku yang sudah ada pada umumnya masih mengarah kepada pencerdasan kognitif atau terbatas kepada pengembangan kemampuan menghafal atau transfer pengetahuan. Konsep dan contoh-contoh pantun disajikan secara instan tanpa menyertakan konteks penulisan pantun. Akibatnya, pembaca akan cenderung menghafal konsep dan contoh-contoh pantun daripada terinsiprasi untuk menulis pantun. Hal ini dapat menghambat kreativitas peserta didik dalam menulis pantun. Padahal, konteks sosial, budaya, atau kehidupan anak penting menjadi pertimbangan agar buku yang dikembangkan dapat menjadi milik anak-anak, relevan, fungsional, menantang, dan menarik (Sumardi 2012:112). Anak-anak hanya akan mampu menghidupkan dunia yang terkandung di dalam suatu teks apabila memiliki bekal pengetahuan dan bahasa yang setara dengan gagasan dan bahasa di dalam teks tersebut.
Selain itu, belum tampak adanya integrasi nilai-nilai karakter di dalam buku-buku kumpulan pantun yang sudah ada. Padahal, pengintegrasian nilai-nilai karakter di dalam buku pengayaan menjadi hal yang wajar sekaligus vital karena program pengembangan karakter bangsa sudah menjadi salah satu program yang tertuang di dalam Kebijakan Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025. Agar program tersebut dapat mencapai hasil optimal, diperlukan cara yang menyenangkan dan tidak menggurui.
Ditinjau dari aspek bahasa, tampak bahwa dominasi bahasa Melayu di dalam buku-buku kumpulan pantun semakin berkurang meskipun masih ditemukan pantun-pantun klise di dalamnya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan bahasa ikut berpengaruh terhadap pantun. Sesuai dengan Pedoman Penulisan Buku Nonteks yang diterbitkan Puskurbuk, bahasa yang digunakan di dalam buku nonteks harus tepat, lugas, jelas, dan sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Pesan atau materi yang disajikan harus dikemas dalam paragraf yang mencerminkan kesatuan gagasan dan keutuhan makna sesuai dengan jenis buku nonteks yang ditulis. Selain itu, menurut Sumardi (2012:110), bahasa di dalam bacaan hendaknya disesuaikan dengan perkembangan kognitif pembaca. Pada usia SD, anak-anak umumnya masih kesulitan memahami kata-kata abstrak. selain itu, penggunaan kalimat-kalimat yang ruwet dan panjang juga sebaiknya dihindari.
Berkenaan dengan penyajian, pada sampel buku yang diperoleh tampak bahwa buku-buku tersebut belum menunjukkan tujuan pembelajaran dan penahapan pembelajaran yang jelas. Teori dan contoh pantun yang disajikan secara instan menyebabkan buku menjadi kurang menarik karena peserta didik tidak tertantang. Akibatnya, peserta didik pun menjadi pasif dan kreativitasnya terhambat. Secara umum, aspek grafika pada buku-buku kumpulan pantun yang ada sudah bagus. Desain sampul buku, ukuran buku, dan tipografi buku sudah menarik. Akan tetapi, dari sampel-sampel yang ada, belum ada satu pun buku kumpulan pantun yang memuat gambar/ilustrasi pendukung isi buku. Padahal, gambar ilustrasi akan mempermudah pembaca memahami isi buku.
Relevan dengan situasi tersebut, diperlukan buku pengayaan menulis pantun berbasis nilai-nilai karakter bagi peserta didik sekolah dasar. Nilai-nilai karakter tersebut adalah nilai-nilai karakter yang diintegrasikan dalam pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar. Menurut Puskurbuk (2010:46), terdapat tiga belas nilai karakter yang perlu diimplementasikan dalam pembelajaran di sekolah dasar. Nilai-nilai tersebut meliputi religius, jujur, toleransi, disiplin, kerjakeras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingintahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, dan bersahabat/komunikatif.
Tiga belas nilai karakter tersebut tidak diintegrasikan seluruhnya di dalam buku pengayaan menulis pantun. Nilai-nilai karakter yang akan diintegrasikan di dalam tersebut disesuaikan dengan empat pilar pendidikan karakter yang telah ditetapkan Mendiknas (jujur, cerdas, komunikatif, dan bertanggung jawab) ditambah dengan nilai religius. Karakter religius, jujur, dan komunikatif sudah tampak secara tersurat. Karakter cerdas memiliki korelasi dengan karakter kreatif dan karakter ingin tahu. Adapun karakter bertanggung jawab memiliki korelasi dengan karakter kerja keras, mandiri, dan disiplin. Dengan demikian, terdapat delapan nilai karakter yang akan diintegrasikan di dalam buku pengayaan menulis pantun yang akan dikembangkan. Nilai-nilai karakter tersebut meliputi religius, jujur, disiplin, kerja keras, mandiri, kreatif, ingin tahu, dan komunikatif.
Bentuk buku yang dikembangkan berupa buku pengayaan menulis pantun yang terdiri atas materi pengantar, cerita tentang pengalaman sehari-hari, dan pantun yang ditulis berdasarkan pengalaman tersebut. Di dalam cerita, diintegrasikan nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan pada peserta didik sekolah dasar. Dengan demikian, pantun yang dibuat pun akan sesuai dengan nilai-nilai karakter yang sudah ditentukan. Tokoh, penokohan, alur cerita, serta latar cerita yang kemudian dikembangkan menjadi pantun diharapkan dapat menjadi sarana pembangun daya kritis, daya imajinasi, dan rasa estetis peserta didik. Untuk memantapkan kompetensi peserta didik, disediakan lembar latihan dan pengayaan.
Karena buku pengayaan menulis pantun yang akan dikembangkan ditujukan kepada peserta didik sekolah dasar, maka bahasa yang digunakan pun seharusnya disesuaikan dengan tingkat perkembangan bahasa peserta didik. Kalimat-kalimat yang digunakan sebagian besar adalah kalimat tunggal, kosakata yang digunakan pun merupakan kosakata konkret. Untuk mempermudah peserta didik memahami isi buku, buku tersebut semestinya dilengkapi dengan gambar-gambar ilustrasi yang disesuaikan dengan keperluan.
Ukuran buku, tipografi buku, dan desain sampul buku juga sebaiknya disesuaikan dengan hasil analisis kebutuhan. Dengan demikian, buku ini diharapkan dapat digunakan sebagai buku pengayaan menulis pantunbagi peserta didik sekolah dasar menginsipirasi dan meningkatkan keterampilan peserta didik dalam berekspresi sastra, serta menjadi sarana penanaman nilai-nilai karakter pada anak.
B. Menulis Pantun
1. Pengertian Menulis
Menulis adalah kegiatan berekspresi/menuangkan pikiran dan perasaan dalam bentuk tertulis (WS 2012:26). Aktivitas menulis pantun termasuk aktivitas menulis kreatif. Unsur kreativitas mendapat tekanan dan perhatian besar karena perannya sangat penting dalam pengembangan proses kreatif seseorang dalam menulis karya-karyanya. Kreativitas ini berlaku dalam ide dan hasil akhirnya (WS 2012:33).
Pantun adalah salah satu jenis puisi lama yang memiliki sampiran dan isi, terdiri atas empat baris dan bersajak akhir ab-ab (Agni 2009:6). Meskipun demikian, definisi tersebut masih perlu dipertegas kembali karena lebih mengacu pada definisi pantun biasa. Ciri utama pantun terletak pada keberadaan sampiran dan isi. Ciri tersebut membedakan pantun dengan puisi tradisonal yang lain seperti mantra, syair, maupun gurindam.
Pantun yang terdiri atas empat baris merupakan salah satu variasi jenis pantun yang semula dikenal dengan istilah pantun biasa. Hal ini disebabkan ada variasi jenis pantun yang disebut karmina, talibun, dan pantun berkait. Ketiga puisi lama tersebut juga memiliki sampiran dan isi dengan jumlah baris yang berbeda dengan pantun biasa.
Adapun sajak akhir ab-ab merupakan ciri yang pada umumnya ditemukan pada pantun biasa. Karmina, talibun, dan pantun berkait memiliki sajak yang berbeda dengan pantun biasa. Dahulu, pantun bersajak aa-aa memang jarang ditemukan. Pantun umumnya bersajak ab-ab (Samidi 1962:89). Akan tetapi, wilayah Minang, masih ditemukan pantun biasa yang bersajak aa-aa. Hal tersebut tidak dapat serta-merta dianggap sebagai pantun yang salah karena daerah Minang merupakan salah satu daerah yang kental dengan budaya berpantun. Selain itu, seiring dengan perkembangan zaman, pantun bersajak aa-aa pun bisa ditemukan di dalam program televisi.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pantun adalah salah satu jenis puisi lama yang terdiri atas sampiran dan isi. Dalam konteks penelitian ini, jenis pantun yang akan dikaji adalah pantun biasa. Dengan demikian, aktivitas menulis pantun yang dimaksudkan di dalam penelitian ini adalah kegiatan menuangkan gagasan atau perasaan dalam bentuk puisi lama yang terdiri atas sampiran dan isi, terdiri atas 4 baris sebait, serta umumnya bersajak ab-ab. Agar dapat menulis pantun dengan baik, ada beberapa hal harus dipahami. Hal-hal tersebut meliputi hakikat pantun, jenis-jenis pantun, dan cara menulis pantun.
Bahasa merupakan salah satu modal utama dalam kegiatan berkomunikasi. Baik dalam komunikasi tulisan maupun lisan. Salah satu keterampilan berbahasa adalah keterampilan menulis. Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang digunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung. Dalam kegiatan menulis, seorang penulis harus terampil memanfaatkan struktur bahasa dan kosakata. Keterampilan menulis ini tidak akan datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktik secara intensif. Keterampilan menulis menurut Suparno dan Yunus (2008: 29) merupakan kegiatan komunikasi berupa penyampaian pesan secara tertulis kepada pihak lain. Menulis juga dapat meningkatkan kecerdasan, mengembangkan daya inisiatif dan kreativitas, menumbuhkan keberanian, serta merangsang kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi. Oleh karena itu, keterampilan menulis sangat penting untuk dipelajari agar dapat dijadikan bekal seseorang dalam kehidupannya di sekolah, keluarga, dan masyarakat.
Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan untuk berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain (Tarigan 2008:3). Menurut Mulyoto (2006:10), dalam menulis diperlukan adanya suatu bentuk ekspresi gagasan yang berkesinambungan dan mempunyai urutan logis aktualisasi diri berkaitan dengan pengembangan intelektual. Menulis merupakan kegiatan berpikir tingkat tinggi, yaitu saat sorang menulis tanpa sadar di dalam dirinya terjadi reaksi atas informasi-informasi yang terkait, lalu dari informasi-informasi itu diolah menjadi informasi baru.
Menulis adalah kegiatan berekspresi/menuangkan pikiran dan perasaan dalam bentuk teks tertulis (Warpala, 2012:26). Aktivitas menulis termasuk aktivitas menulis kreatif. Unsur kreativitas mendapat tekanan dan perhatian besar karena perannya sangat penting dalam pengembangan proses kreatif seseorang dalam menulis karyakaryanya. Kreativitas ini berlaku dalam ide dan hasil akhirnya (Warpala, 2012:33).
Sependapat dengan Warpala, Mastuti (2011:37) memberi pengertian bahwa menulis adalah proses mengorganisasikan gagasan secara sistematik serta mengungkapkannya secara tersurat. Sebuah tulisan merupakan suatu kesatuan buah pikiran yang bersifat komunikatif. Sejalan dengan Mastuti, Warpala (2012:37) mengungkapkan prinsip menulis tidak sekadar aktivitas fisik, tetapi juga ekspresi diri dalam kendali hati dan otak yang menuntut latihan berkesinambungan dan terpola secara otomatis.
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa keterampilan menulis adalah kegiatan mengomunikasikangagasan, pikiran, dan perasaan yang dituangkan dalam bentuk tulisan dengan menggunakan bahasa yang telah dimengerti bersama tanpa harus bertatap muka secara langsung.
2. Manfaat Menulis
Menurut Mastuti (2011:18) manfaat menulis yaitu, (1) menulis dapat menggali ide, (2) menulis dapat mengatasi trauma, (3) menulis membantu mendapatkan informasi, dan (4) menulis sebagai pelepas duka. Mulyanto (dalam Mahardhika, 2006:21) menambahkan manfaat menulis antara lain(1) menulis mempunyai kepuasan yang bersifat kebatinan, (2) menulis dapat meningkatan pengembangan intelektual, (3) menulis dapat memberikan pengalaman dan informasi serta pengetahuan, dan (4) menulis dapat menambah kearifan, kedewasaan, pengetahuan, bahkan juga keterampilan.
Memperkuat pendapat sebelumnya, Mulyoto (2006:67) mengungkapkan bahwa berkaitan dengan pendidikan, yaitu membantu peserta didik berpikir aktif dan kreatif dalam memecahkan masalah ke dalam bentuk tulisan. Dengan menulis, seorang peserta didik mampu menuangkan gagasan ide dalam sebuah tulisan. Berdasarkan pendapat di atas, disimpulkan bahwa dengan kegiatan menulis seseorang dapat semakin aktif, berpikir kritis, tanggap dalam menghadapi masalah, serta dapat meningkatkan intelektualitas. Selain itu, menulis juga dapat memberikan pengalaman bagi penulis.
3. Tujuan Menulis
Menurut Tarigan (2008:24), secara garis besar tujuan menulis adalah untuk memberitahukan atau mengajar,meyakinkan atau mendesak, menghibur atau menyenangkan, dan mengutarakan atau mengekpresikan perasaan dan emosi. Sementara itu Hartig (dalam Tarigan, 2008:25) yang menyebutkan bahwa tujuan kegiatan menulis ada tujuh, yaitu assigment puspose (tujuan penugasan), altruistic purpose (tujuan altruistik), persuasive purpose (tujuan persuasif), informational purpose (tujuan informasional), self ekspressive purpose (tujuan pernyataan diri), creative purpose (tujuan kreatif), dan problem solving purpose (tujuan pemecahan masalah).
Kegiatan menulis dengan tujuan penugasan (assigment purpose) jika penulis melakukan kegiatan menulis karena adanya tugas, bukan atas kemauan sendiri. Tujuan altruistik (altruistic purpose) yaitu menulis untuk menyenangkan para pembaca sehingga dapat menghilangkan kedukaan para pembaca, menolong para pembaca memahami, menghargai perasaan dan penalarannya. Menulis dengan tujuan persuasif (persuasive purpose) akan menghasilkan tulisan yang mampu meyakinkan para pembaca akan kebenaran gagasan yang diutarakan. Akan tetapi, banyak penulis yang melakukan kegiatan menulis dengan tujuan memberi informasi (informational purpose) kepada para pembaca maka tulisan yang dihasilkan berupa paparan atau deskripsi. Tujuan lain dari kegiatan menulis yaitu pernyataan diri (self ekspressive purpose). Penulis ingin memperkenalkan diri sang pengarang melalui tulisan yang ditulis sehingga pembaca dapat mengetahui atau mengenalnya dengan jelas.
Tujuan lain yang erat hubungannya dengan tujuan pernyataan diri yaitu tujuan kreatif (creative purpose). Akan tetapi keinginan kreatif di sini melebihi pernyataan diri, dan melibatkan dirinya dengan keinginan mencapai norma artistik atau seni yang ideal, seni yang menjadi idaman dalam mengatasi masalah (problem solving purpose).
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan menulis adalah menyampaikan ide, gagasan atau buah pikiran melalui bahasa tulis. Selain itu menulis juga dapat memberikan hiburan, menuangkan ide atau gagasan, memberikan informasi, dan melatih untuk terampil menulis.
4. Hakikat Pantun
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti petuntun. Dalam bahasa Jawa, misalnya, dikenal sebagai parikan, dalam bahasa Sunda dikenal sebagai paparikan, dan dalam bahasa Batak dikenal sebagai umpasa (baca: uppasa). Lazimnya pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), setiap baris terdiri dari 8-12 suku kata, bersajak akhir dengan pola a-b-a-b dan a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b, atau a-b-b-a) (Shadily, Hassan, 1984:2546–2547). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan namun sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis. Ciri lain dari sebuah pantun adalah pantun tidak terdapat nama penulis. Hal ini dikarenakan penyebaran pantun dilakukan secara lisan.
Pantun tergolong salah satu puisi lama asli Indonesia. Keaslian tersebut tampak pada persebaran pantun di wilayah Indonesia dengan nama yang berbeda. Di daerah Melayu biasa disebut dengan pantun, di Batak Mandailing disebut ende-ende, di Jawa Tengah disebut parikan dan wawangsalan, di Jawa Timur disebut lagu lodrug, dan di Sunda disebut paparikan (Muljana, 1953:132 dan Supardo, 1969:42). Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan, tetapi sekarang dijumpai juga pantun tertulis (Nursisto 2000:11). Pengaruh Melayu di dalam pantun juga membedakannya dengan syair yang mendapat pengaruh Arab maupun gurindam yang mendapat pengaruh India/Hindu (Semi 1988:149 serta Fatoni dan Fatimah 1986:58).
Kata pantun diambil dari bentuk basa krama bahasa Jawa, pari yang sama dengan kata pari dalam bahasa Sansekerta paribhasya (peribahasa) yang artinya susunan atau aturan (Semi 1988:146). Adapun Dr. Bransetter mencoba menguraikan bahwa kata pantun berasal dari akar kata tun yang kemudian menjadi tuntun yang artinya menyusun atau teratur. Dalam bahasa Tagalog, kata tersebut menjadi tonton yang artinya berbicara menurut aturan tertentu. (Semi 1988:147).
Pantun merupakan salah satu karya sastra Melayu yang sampai sekarang masih dikembangkan. Kata pantun mempunyai arti ucapan yang teratur dan pengarahan yang mendidik. Adapun dalam pantun, pikiran dan perasaan itu dituangkan dalam tiga hal, yaitu baris, irama, bunyi, dan isi (Sugiarto 2010:14). Teks pantun adalah salah satu jenis puisi lama yang memiliki sampiran dan isi dan bersajak akhir ab-ab (Suseno 2008:43). Meskipun demikian, definisi tersebut masih perlu dipertegas kembali karena lebih mengacu pada definisi teks pantun biasa. Ciri utama teks pantun terletak pada keberadaan sampiran dan isi. Ciri tersebut membedakan pantun dengan puisi tradisonal yang lain seperti mantra, syair, maupun gurindam. Dapat disimpulkan bahwa teks pantun adalah salah satu jenis puisi lama yang terdiri atas sampiran dan isi.
Samidi (1962:89) menambahkan beberapa pendapat ahli tentang asal mula istilah pantun. Menurut Pynappel dan Djajadiningrat, kata pantun berasal dari bahasa Jawa paribasan yang berarti umpama atau ibarat. Ophuiysen, pantun sama dengan istilah ende di dalam bahasa Mandailing yang berarti umpama atau ibarat. Mozasa beranggapan bahwa kata pantun berasal dari kata tun yang artinya mengatur, merangkai, dan menyusun. Adapun menurut Suseno (2008:43-44), pantun berasal dari akar kata tun yang berarti arah, pelihara, dan bimbing, seperti yang ditunjukkan oleh kata tuntun dan tunjuk. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pantun diartikan sebagai puisi lama asli Indonesia yang dapat dijadikan ibarat, memberi petunjuk, tuntunan, atau bimbingan, serta menyampaikan suatu aturan.
Struktur pantun dibedakan menjadi dua bagian, yaitu bagian atas dan bagian bawah. Bagian atas pantun/ separuh bait di awal pantun disebut sampiran sedangkan bagian bawah pantun/separuh bait di akhir pantun disebut isi atau maksud pantun (Muljana 1953:125). Sampiran memuat hal-hal yang berkaitan dengan alam. Lebih luas lagi, sampiran juga berisi gambaran tentang hal-hal konkret dan pengalaman. Adapun isi atau maksud memuat tujuan dari pantun tersebut (Agni 2009:6). Keberadaan sampiran dan isi juga menjadi pembeda pantun dengan puisi lama yang lain seperti syair dan mantra.
Ada berbagai pendapat tentang keterkaitan makna antara sampiran dan isi. Amir Hamzah (dalam Semi 1988:147) berpendapat bahwa sampiran memuat pikiran dan perasaan yang memiliki kaitan makna dengan bagian isi. Bagian sampiran tidak sekadar dibuat sebagai pembentuk bunyi yang akan diikuti oleh bagian isi pantun, tetapi keduanya diciptakan dalam suatu kesatuan berpikir. Pendapat ini disangkal oleh Ophuysen (dalam Supardo 1951:18). Menurut Ophuysen, hubungan antara sampiran dan isi bukanlah hubungan makna, melainkan hubungan bunyi. Keduanya saling mengisi dalam kesamaan rima.
Pantun merupakan gubahan yang diuntai atau diikat oleh ikatan-ikatan tertentu. Ikatan-ikatan inilah yang merupakan ciri khas yang mudah dikenali (Sugiarto 2009:12). Pantun yang dikembangkan di dalam tulisan ini adalah pantun yang sampiran dan isinya memiliki keterkaitan bunyi tanpa keterkaitan makna. Ciri lain yang membedakan pantun dengan puisi lama yang lain adalah kelengkapan informasi yang disampaikan. Di dalam pantun, informasi yang disampaikan selesai dalam satu bait. Hal ini dapat dipahami karena pantun semula disampaikan secara lisan. Ketika satu bait pantun selesai, pantun tersebut dibalas oleh lawan bicara dengan informasi yang berbeda. Pantun tidak dapat dipakai untuk bercerita karena pantun dalam sebait sudah memuat cerita yang lengkap.
Berbeda dengan syair yang tiap-tiap baitnya masih memiliki keterkaitan informasi. Syair dapat dibuat berpuluh-puluh bait sesuai panjang pendeknya cerita yang dibuat (Supardo, 1969:56 serta Fatoni dan Fatimah, 1986:58). Meminjam istilah Suseno (2010:179), pantun adalah jiwa Melayu. Budaya Melayu memiliki pengaruh yang besar di Indonesia. Bahasa Melayu merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Karena dipengaruhi oleh budaya Melayu, pantun pun mencerminkan karakter masyarakat Melayu. Dengan demikian, pantun juga mencerminkan karakter masyarakat Indonesia.
Pantun mencerminkan karakter Melayu yang sangat santun dalam berkomunikasi demi tidak menyinggung lawan bicara. Dari segi estetik, pantun menunjukkan keindahan rangkaian kata-kata yang diucapkan dengan irama tertentu. Irama tersebut dapat merangsang sensitivitas sehingga bisa menyadarkan penikmatnya terhadap indahnya kehidupan. Dari segi moralitas, pantun berisi norma-norma kehidupan. Pantun bisa berguna bagi semua umur karena berisi norma-norma moral panduan hidup. Dari sisi linguistik, pantun membantu penuturnya merangkaikan kata-kata dengan irama tertentu dan memiliki makna. Di dalam pantun terkandung logika. Dengan kata lain, pantun mengajarkan kecerdasan tertentu bagi penuturnya.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pantun adalah puisi lama asli Indonesia (termasuk dalam sastra lisan dan sastra tertulis) yang dapat dijadikan ibarat, sarana untuk menyampaikan petunjuk, tuntunan, atau bimbingan, aturan dengan ciri-ciri: (1) terdiri atas sampiran dan isi; dan (2) memuat informasi yang lengkap di dalam satu bait.
Pantun berperan sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berpikir. Pantun melatih seseorang berpikir tentang makna kata sebelum berujar. pantun juga melatih orang berpikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berpikir dan bermain-main dengan kata.
Secara umum peran sosial pantun adalah sebagai alat penguat penyampaian pesan. Kedekatan nilai sosial dan pantun bahkan bermula dari filosofi pantun itu sendiri. Adat berpantun, pantang melantun adalah filosofi yang melekat pada pantun. Adagium tersebut mengisyaratkan bahwa pantun lekat dengan nilai-nilai sosial dan bukan semata imajinasi. Effensi (2005) mencatat semangat hakikat pantun menjadi penuntun pada pantuan. Penjelasan tersebut meneguhkan fungsi pantun sebagai penjaga dan media kebudayaan untuk memperkenalkan dan menjaga nilai-nilai masyarakat (Effendy, 2005).
5. Struktur dan Kaidah Bahasa Teks Pantun
Struktur teks pantun yang terdiri atas empat baris, memiliki sampiran dan isi dengan jumlah baris yang sama,bersajak ab-ab pada umumnya ditemukan (Suseno, 2008:48). Sedangkan kaidah teks pantun menggunakan bentuk bahasa kiasan dan bahasa sehari-hari yang bertujuan agar mudah dipahami oleh lawan berbalas pantun. Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa teks pantun adalah salah satu jenis puisi lama yang terdiri atas sampiran dan isi.
Dalam konteks tulisan ini, jenis pantun yang akan dikaji adalah pantun biasa. Dengan demikian, aktivitas menulis pantun yang dimaksudkan di dalam penelitian ini adalah kegiatan menuangkan gagasan atau perasaan dalam bentuk puisi lama yang terdiri atas sampiran dan isi, terdiri atas 4 baris sebait, serta umumnya bersajak ab-ab. Teks pantun adalah puisi lama asli Indonesia (termasuk dalam sastra lisan dan sastra tertulis) yang dapat dijadikan ibarat, sarana untuk menyampaikan petunjuk, tuntunan, atau bimbingan, aturan dengan ciri-ciri: (1) terdiri atas sampiran dan isi; dan (2) memuat informasi yang lengkap di dalam satu bait.
Menurut Sutan Takdir Alisjahbana fungsi sampiran terutama menyiapkan rima dan irama untuk mempermudah pendengar memahami isi pantun. Ini dapat dipahami karena pantun merupakan sastra lisan. Pola rima dan irama pada pantun secara eksplisit menegaskan sifat kelisanan pantun pada budaya Melayu dulu.
Pantun memiliki dua pokok struktur utama, yaitu sampiran dan isi. Sampiran biasanya adalah 2 larik (baris ketika dituliskan) yang umumnya berisi hal-hal yang bersifat umum. Jantung pantun berada pada dua larik terakhir yang dikenal sebagai isi pantun. Pesan-pesan pada pantun melekat pada kedua larik terakhir.
Air dalam bertambah dalam
Hujan di hulu belum lagi teduh
Hati dendam bertambah dendam
Dendam dahulu belum lagi sembuh
Aturan umum berlaku pada pantun, seperti halnya puisi lama. Misalnya, satu larik pantun biasanya terdiri atas 6-12 kata. Namun aturan ini tak selalu berlaku dan bersifat kaku. Pola rima umum yang berlaku pada pantun adalah a-b-a-b dan a-a-a-a. Meski demikian, kerap diketemukan pula pola pantun yang berpola a-a-b-b.
6. Jenis-Jenis Pantun
Terdapat beberapa macam dasar pengelompokan pantun. Berdasarkan bentuknya, Rizal (2010:16-20) mengelompokkan pantun menjadi pantun biasa, karmina, talibun, dan pantun berkait. Pendapat tersebut didukung oleh Supardo (1969:47) dan Samidi (1962:97). Pendapat tersebut beralasan pada keberadaan sampiran dan isi di dalam puisi-puisi lama tersebut. Selain itu, keempat puisi lama tersebut juga memuat informasi yang lengkap di dalam satu bait.
a. Pantun biasa,
Pantun adalah salah satu puisi lama yang berisi nasihat, awalnya berupa sastra lisan tetapi lama kelamaan pantun juga dikenal sebagai salah satu bentuk sastra tulisan. Tujuan dari pantun adalah untuk menyampaikan sesuatu dengan lebih santun dan arif. Ciri-cirinya adalah : 1) Setiap bait terdiri atas empat baris, 2) Setiap baris terdiri atas 8 sampai dengan 12 suku kata, 3) Baris pertama dan kedua merupakan sampiran sedangkan baris ketiga dan keempat adalah isi, 4) Umumnya bersajak/ berima ab-ab.
Contoh :
Gunung Daik timang-timangan
Tempat beruk berulang ali
Budi yang baik kenang-kenangan
Budi yang buruk buang sekali
b. Karmina/ pantun kilat
Pantun Kilat atau karmina adalah pantun yang terdiri atas dua baris : Baris pertama merupakan sampuran dan baris kedua merupakan isi. Apabila dituliskan dalam empat baris sebait ciri-cirinya adalah : 1) tiap barisnya terdiri atas 4 sampai dengan 5 suku kata, 2) Baris pertama dan kedua merupakan sampiran, baris ketiga dan keempat merupakan isi, 3) bersajak/berima ab-ab. Apabila dituliskan dalam dua baris sebait ciri-cirinya adalah : 1) Tiap-tiap barisnya terdiri atas 8 sampai dengan 10 suku kata, 2) Baris pertama merupakan sampiran, baris kedus merupakan isi, 3) bersajak/berima aa.
Contoh :
Gendang gendut, tali kecapi
Kenyang perut, senanglah hati
Pinggan tak retak, nasi tak ingin
Tuan tak hendak, kami tak ingin
c. Talibun
Talibun adalah Pantun yang susunannya terdiri atas ena, delapan, ataupun sepuluh baris. Pembagian baitnya sama dengan pantun biasa, yakni terdiri atas sambiran dan isi. Jika talibun itu enam baris maka tiga baris pertama merupakan sampiran, sedangkan tiga baris berikutnya merupakan isi. Ciri-cirinya adalah : 1) setiap bait terdiri atas lebih dari 4 baris tetapi selalu genap jumlahnya (6, 8, 10 dst), 2) setiap baris terdiri atas 8 sampai dengan 12 suku kata, 3) separuh bait yang pertama merupakan sampiran dan separuh bait kedua merupakan isi, 4) bersajak abc-abc, abcd-abcd, abcde-abcde, dan seterusnya.
Contoh :
Kalau anak pergi ke pekan
Mari beli belanak beli
Ikan panjang beli dahulu
Kalau anak pergi bejalan
Ibu cari sanak pun dari
Induk Semang cari dahulu
d. Pantun berkait
Pantaun Berkait disebut juga pantun berantai atau seloka. Pantun berkait adalah yang terdiri atas beberapa bait, dan bait yang satu dengan bait dengan yang lainnya sambung-menyambung. Baris kedua dan keempat dari bait pertama dipakai kembali pada garis pertama dan ketiga dari bait kedua. Demikian pula hubungan antara bait kedua dengan ketiga, ketiga dengan keempat, dan seterusnya. Ciri-cirinya adalah : 1) Setiap Setiap bait terdiri atas 4 baris, 2) Setiap baris terdiri atas 8 sampai dengan 12 suku kata, 3) Bersajak ab-ab, 4) Baris kedua pada bait pertama menjadi baris pertama pada bait kedua, 5) Baris keempat pada bait pertama menjadi baris ketiga pada bait kedua.
Contoh :
Sarang Garuda di pohon beringin
Buah kemuning di dalam puan
Sepucuk surat dilayangkan angin
Putih kuning sambutlah tuan
Buah kemuning dalam puan
Dibawa dari Indragiri
Putih kuning sambutlah tuan
Sambutlah dengan si tangan kiri
Dibawa dari Indragiri
Kabu-kabu dalam perahu
Sambutlah dengan si tangan kiri
Seorang makhluk janganlah tahu
Berdasarkan isi atau temanya, pantun dibedakan menjadi lima macam. Pantun-pantun tersebut meliputi pantun anak-anak, pantun remaja/dewasa, pantun orang tua, pantun teka-teki, dan pantun jenaka (Sugiarto, 2009:14). Pantun anak-anak menggambarkan perasaan anak-anak (Fatoni dan Fatimah, 1986:53). Pantun remaja/dewasa berisi kehidupan remaja/dewasa. Tema cinta sangat dominan dalam pantun remaja/dewasa. Oleh karena itu, H.C. Klinkert menyebut pantun sebagai minnezangen (lagu cinta kasih). Pantun remaja/dewasa dibedakan menjadi pantun dagang atau pantun nasib, pantun perkenalan, pantun berkasih-kasihan, pantun berceraian, dan pantun beriba hati (Sugiarto 2009:14).
Pantun orang tua berisi pendidikan, ajaran agama, dan petuah hidup (Supardo 1969:49). Pantun orang tua terdiri atas pantun nasihat, pantun adat, pantun agama, pantun budi, pantun kepahlawanan, pantun kias, dan pantun peribahasa (Sugiarto 2009:15). Pantun teka-teki merupakan pantun yang digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Di dalam pantun teka-teki terdapat sebuah pertanyaan (teka-teki) yang harus dipecahkan oleh lawan bicara. Jawaban atas teka-teki tersebut disampaikan dalam bentuk pantun (Surana dalam Susanti, 2009:20).
Pantun jenaka merupakan pantun yang digunakan para pemuda untuk bersenda gurau. Pantun ini biasanya berisi lelucon atau cerita-cerita yang bersifat ringan (Fatoni dan Fatimah, 1986:55). Sesuai dengan pengelompokan pantun berdasarkan isi, pantun yang akan dikembangkan di dalam buku pengayaan menulis pantun berbasis nilai-nilai karakter bagi peserta didik sekolah dasar yaitu pantun anak, pantun nasihat, pantun jenaka, dan pantun teka-teki. Pantun anak dipilih karena pantun tersebut sesuai dengan perkembangan peserta didik sekolah dasar. Pantun nasihat dipilih karena paling mudah dijadikan sarana penyampaian nilai-nilai karakter yang bisa diteladani pembaca.
Adapun pantun teka-teki dan pantun jenaka berfungsi sebagai variasi sekaligus pelengkap. Pantun-pantun tersebut berisi topik yang dekat dengan dunia anak, disajikan dengan bahasa yang sesuai dengan perkembangan anak, dan disampaikan melalui karya-karya tokoh cerita berusia anak-anak.
Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa jenis-jenis pantun dibedakan berdasarkan bentuk dan berdasarkan isi. Berdasarkan bentuk, pantun dibedakan menjadi empat jenis, yaitu (1) pantun biasa, (2) karmina atau pantun kilat, (3) talibun, dan (4) pantun berkait. Berdasarkan isinya, pantun dibedakan menjadi lima jenis, meliputi (1) pantun anak-anak, (2) pantun remaja/dewasa, (3) pantun orang tua, (4) pantun jenaka, dan (5) pantun teka-teki. Jenis pantun yang dikaji di dalam penelitian ini adalah pantun biasa yang terdiri atas pantun anak, pantun nasihat, pantun jenaka, dan pantun teka-teki.
a. Pantun Anak-anak
Pantun anak adalah pantun yang berisi permainan, hal-hal menyenangkan atau menyedihkan. Pantun ini berhubungan dengan kehidupan pada masa kanak-kanak. Pantun ini dapat menggambarkan makna suka cita maupun duka cita.
Contoh:
Kita menari keluar bilik
Sembarang tari kita tarikan
Kita bernyanyi bersama adik
Sembarang lagu kita nyanyikan
b. Pantun Muda-mudi
Pantun Muda-mudi atau pantun orang muda yaitu pantun yang berhubungan dengan kehidupan pada masa muda. Pantun ini biasanya bermakna tentang perkenalan, Hubungan Asmara dan rumah tangga, Perasaan (kasih sayang, iba, iri, dll), dan nasib. Pantun ini berisi perasaan kasmaran atau rasa jatuh cinta. Pantun muda-mudi berdasarkan isinya dapat dibedakan menjadi :
1) Pantun dagang atau nasib
Pantun ini merupakan rangkaian kata-kata mereflesikan nasib atau keadaan seseorang. Pantun ini biasanya dinyanyikan atau dibacakan oleh orang-orang yang berada di perantauan yang ingat dengan kampung halamannya atau nasibnya tak seberuntung temannya.
Contoh:
Orang Jawa membeli melati
Cendrawasih burung di awan
Rasa rindu dalam hati
Sudah berjanji bertapak tangan
2) Pantun perkenalan
Pantun perkenalan merupakan pantun yang berisi ungkapan untuk mengenal seseorang dan ucapannya berupa pantun.
Contoh:
Tujung berapi hanyut teraung
Hanyut air di air sungai
Niat hati hendak pulang kampung
Apa daya tangan tang sampai
3) Pantun kasih-kasihan
Pantun kasih-kasihan : Pantun yang berisikan ungkapan yang ditunjukan pada orang yang dicintainya.
Contoh:
Jalan lurus menuju tuban
Terus pergi mengangkat peti
Badan kurus bukan tak makan
Kurus memikirkan si jantung hati
4) Pantun perceraian
Pantun perceraian adalah pantun yang berisi ucapan perpisahan atau perceraian. Pantun ini dilontarka ketika pasangan sedang memiliki masalah mungkin berniat untuk berpisah atau memutuskan hubungan.
Contoh:
Jaga tugu di tengah jalan
Menjaring ikan mendapat kerang
Tega nian aku kau tinggalkan
Hidup di dunia hanya seorang
c. Pantun Orang Tua
pantun orang tua, yaitu pantun yang berhubungan dengan orang tua. biasanya tentang adat budaya, agama, nasihat, dll. Berdasarkan isinya pantun orang tua dapat dibedakan menjadi :
1) Pantun nasihat
Pantun nasihat merupakan rangkain akata-kata yang mempunyai makana mengarahkan atau menegur seseorang menjadi lebih baik. Pantun nasihat dari zaman ke zaman mengalami perkembangan, awal mulanya pantun karya lisan yang sepontan terucap dari orang yang kreatif.
Contoh :
Makanan tersaji, di pasang lampu
Lampu menyinari, di atas meja
Naiklah haji, bagi yang mampu
Memenuhi, panggilan dari-Nya
2) Pantun adat
Pantun adat adalah pantun yang menggunakan gaya bahasa bernuansa kedaerahan dan kental akan unsur adat budaya tanah air.
Contoh :
Menanam kelapa di pulau Bukum
Tinggi sedepa sudah berbuah
Adat bermula dengan hukum
Hukum bersandar di Kitabullah
3) Pantun agama
Pantun agama adalah pantun yang didalamnya mengandung kata-kata nasehat atau petuah yang memiliki makna mendalam menjalani hidup, yang biasanya berisi kata-kata yang bisa mendorong kita untuk tidak melanggar aturan agama baik untuk diri maupun orang lain.
Contoh :
Banyak bulan perkara bulan
Tidak semulia bulan puasa
Banyak tuhan perkara tuhan
Tidak semulia Tuhan Yang Esa
d. Pantun Jenaka
Pantun Jenaka adalah pantun yang bertujuan untuk menghibur orang yang mendengar, terkadang dijadikan sebagai media untuk saling menyindir dalam suasana yang penuh keakraban, sehingga tidak menimbulkan rasa tersinggung, dan dengan pantun Jenaka diharapkan suasana akan menjadi semakin riang.
Contoh :
Limau purut di tepi rawa
buah dilanting belum masak
Sakit perut sebab tertawa,
melihat kucing duduk berbedak
7. Cara Menulis Pantun
Pada hakikatnya menulis adaah suatu kegiatan yang digunakan untuk menyampaikan pesan, gagasan, perasaan, atau informasi secara tertulis menggunakan bahasa sebagai medianya. Menulis pantun adalah kegiatan yang dilakukan untuk menuangkan gagasan atau perasaan dalam karya sastra lama yang terdiri atas sampiran dan isi dengan berpedoman pada syarat-syarat pantun yang telah ditentukan. Orang yang belum terbiasa menulis pantun akan mengalami kesulitan sehingga perlu adanya cara atau teknik agar pembelajaran menulis pantun dapat dilakukan dengan mudah.
Secara garis besar, Sugiarto (2013:8) membagi langkah-langkah menulis pantun menjadi tiga. Pertama, menentukan tema. Tema tersebut berkaitan dengan jenis pantun yang akan ditulis. Kedua, mengumpulkan kosakata yang berkaitan dengan tema yang telah ditentukan. Disadari atau tidak, setiap jenis dan tema tertentu dalam sebuah pantun akan memiliki kecenderungan untuk menggunakan kata-kata tertentu. Ketiga, teknis penulisan.
Teknis penulisan terdiri atas lima tahap: mencari kata terakhir isi yang seusai dengan tema, membuat kalimat dengan kata-kata tersebut sesuai dengan aturan pantun, mencari kata terakhir pada sampiran, membuat kalimat dengan kata-kata tersebut sesuai dengan aturan pantun, serta memeriksa kembali pantun yang sudah dibuat.
Pendapat tersebut sejalan dengan Wiyanto. Menurut Wiyanto (2005:12-14) menulis pantun supaya mudah dilakukan dengan cara membuat isi terlebih dahulu baru membuat sampiran. Isi pantun dirangkai menjadi dua kalimat dan diletakkan dalam baris ketiga dan keempat. Setelah itu, barulah dicari sampiran yang sesuai. Sampiran biasanya berkaitan dengan alam, misalnya binatang, buahbuahan, bunga-bungaan, peristiwa-peristiwa alam, dan sebagainya. Sampiran juga
dapat dikaitkan dengan pengalaman ataupun lingkungan sekitar. Seperti halnya isi pantun, baris pertama dan baris kedua pada sampiran pun hendaknya memiliki keterkaitan. Dengan cara demikian, pantun dapat dibuat dengan mudah dan tepat.
8. Penilaian Memproduksi Teks Pantun Secara Tulis
Penilaian memproduksi teks pantun secara tulis berdasarkan pada kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik. Kompetensi tersebut terkait pada hasil belajar yang bersifat afektif, kognitif, dan psikomotor ini adalah sebagai berikut, (1) mensyukuri anugerah Tuhan akan keberadaan bahasa Indonesia dan menggunakannya sebagai sarana komunikasi dalam mengolah, menalar, dan menyajikan informasi lisan dan tulis melalui teks cerpen, pantun, cerita ulang, dan film/drama, (2) menunjukkan sikap tanggung jawab, peduli, dan proaktif dalam menggunakan bahasa Indonesia untuk memproduksi teks pantun secara tulis, (4) memproduksi teks pantun secara tulis yang koheren sesuai dengan struktur dan kaidah teks pantun.
Hasil belajar afektif berupa penumbuhan sikap spiritual, dan sikap sosial yang meliputi tanggung jawab, peduli, dan proaktif. Hasil belajar kognitif berupa peserta didik membandingkan teks pantun. Hasil belajar psikomotor berupa peserta didik dapat memproduksi teks pantun secara tulis dengan metode tulis berantai melalui media kartu pintar. Pemilihan penilaian memproduksi teks pantun secara tulis disesuaikan dengan buku Peserta didik dari Kemdikbud.
Penilaian memproduksi teks pantun secara tulis dalam kurikulum 2013 dibagi dalam tiga hal, yaitu pengamatan sikap, hasil membandingkan teks pantun, dan hasil memproduksi teks pantun secara tulis; (1) aspek pengamatan sikap terdiri atas: spiritual, tanggung jawab, peduli, dan proaktif. Setelah melakukan kegiatan pembelajaran memproduksi teks pantun secara tulis, diharapkan peserta didik dapat menerapkan sikap tersebut dalam kehidupan sehari-hari; (3) hasil memproduksi teks pantun secara tulis.
Adapun dalam pantun, pikiran dan perasaan itu dituangkan dalam tiga hal, yaitu baris, irama, bunyi, dan isi (Sugiarto, 2010:14). Dari pendapat tersebut, penilaian hasil memproduksi teks pantun secara tulis dengan metode tulis berantai melalui media kartu pintar dibagi menjadi dua hal yaitu: isi, struktur, kepaduan baris, dan kaidah bahasa. Untuk hasil akhirnya nilai dari setiap aspek akan dijumlah. KKM untuk pembelajaran ini 3.00 dengan predikat B.
C. Penutup
Ada banyak cara dan media yang dapat dikreasikan untuk mendidik, memupuk dan mengembangkan, serta membentuk karakter peserta didik. Cara yang dimaksudkan adalah proses dan strategi, sedangkan media adalah bahan ajar yang dapat dimuati usaha pendidikan karakter, termasuk buku pengayaan menulis pantun. Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal di Nusantara. Sama halnya dengan karya sastra lain, pantun memuat nilai-nilai pendidikan, moral, nasihat, adat-istiadat, dan ajaran-ajaran agama. Pantun melatih seseorang untuk berpikir tentang makna kata sebelum berujar. Dalam hal ini, terkandung nilai moral agar sebelum berbicara, seseorang harus memikirkan masak-masak hal sebelum berujar agar tidak salah ucap. Pantun memiliki potensi besar untuk dijadikan sarana penanaman nilai-nilai karakter pada pembacanya.
Jenis karya sastra lain yang berpotensi menjadi sarana penanaman nilai-nilai karakter pada pembacanya adalah cerita. Cerita merupakan cerminan kehidupan. Membaca cerita bisa disamakan dengan mempelajari miniatur kehidupan. Di dalam cerita, pembaca bisa mempelajari berbagai keteladanan tanpa merasa digurui. Di pasaran, buku pengayaan pantun sudah banyak dicetak. Akan tetapi, ketersediaan yang tinggi tersebut belum diimbangi dengan kualitas yang tinggi pula. Buku-buku pengayaan pantun yang beredar di pasaran masih belum sesuai dengan kriteria, baik dari segi isi, penyajian, bahasa, maupun grafika. Selain itu, di dalam buku-buku tersebut belum terintegrasi nilai-nilai karakter. Padahal, pengintegrasian nilai-nilai karakter di dalam bahan ajar merupakan hal yang vital.
Dengan melihat kondisi buku pengayaan di pasaran berikut potensi pantun dan cerita sebagai sarana penanaman nilai-nilai karakter, diketahui bahwa buku pengayaan menulis pantun berbasis nilai-nilai karakter sangat diperlukan. Konsep buku pengayaan yang direkomendasikan adalah buku yang berisi teori pantun, cerita konteks penulisan pantun berikut contoh-contoh pantun sesuai cerita tersebut, serta diperkaya dengan lembar praktik menulis pantun. Contoh pantun di dalam buku tersebut adalah pantun bermuatan nilai-nilai karakter yang bisa diteladani pembaca.
Adapun tema pantun yang ditulis peserta didik diperoleh dari muatan nilai-nilai karakter di dalam cerita yang mengawalinya. Dengan kata lain, pantun karya peserta didik dibuat berdasarkan nilai-nilai karakter yang terdapat di dalam cerita Fokus dari tulisan ini adalah pengembangan bahan bacaan yang layak untuk peserta didik. Setelah membaca buku pengayaan menulis pantun berbasis nilai-nilai karakter bagi peserta didik sekolah dasar, peserta didik diharapkan terinspirasi oleh nilai-nilai karakter di dalam buku sekaligus menuangkannya sebagai ide kreatif dalam penulisan pantun.
Daftar Pustaka
Agni, Binar. 2009. Sastra Indonesia Lengkap. Jakarta: Hi-Fest Publishing.
Alwasilah, Chaedar. 2013. Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Arsyad, Azhar. 2011. Media Pembelajaran. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Budiman, Sumiati. 1987. Sari Sastra Indonesia. Klaten: Intan Pariwara.
Chandler. 2003. The Efficacy of Variuos Kinds of Error Feedback for Improvement in The Accuracy and Fluency of L2. Jurnal Internasional Second Language Writing. No.12. Hlm. 267-269.
Daryanto. 2010. Media Pembelajaran. Yogyakarta: Gavemedia.
Dianawati, Ajen. 2010.2700 Peribahasa Indonesia Plus Pantun. Jakarta: Wahyu Media.
Faizah, Umi. 2009. Keefektifan Cerita Bergambar untuk Pendidikan Nilai dan Keterampilan Berbahasa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia, dalam Cakrawala Pendidikan Edisi November 2009, Th. XXVIII, No. 3. Yogyakarta: UNY.
Fatoni, Surya dan Fatimah. 1986. Kesusasteraan Indonesia. Semarang: Aneka Ilmu.
Hartono, Bambang, Sri Prastiti, dan Subyantoro. 2004. Perkembangan Bahasa Anak: Telaah Perkembangan Kompleksitas Kalimat Bahasa Indonesia Anak Fase Operasional Konkret. Semarang:Unnes.
Hidayat, M. Syamsul. 2004. Bunga Rampai Peribahasa & Pantun untuk SD, SMP, SMA, dan Umum. Surabaya: Apollo.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. 2013. Buku Guru Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Kurniawan, Syamsul. 2013. Pendidikan Karakter: Konsepsi Dan Implementasinya Secara Terpadu Di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi, Dan Masyarakat. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Masruroh. 2014. Metode Alternatif Estafet Writing sebagai Model Pengajaran Bahasa Indonesia Kompetensi Dasar Menulis Puisi. Jurnal Penelitian Universitas Padjajaran. Universitas Padjajaran.
Mastuti, Indriati. 2011. Ternyata Menulis Itu Gampang. Solo: Samudra.
Mihardja, Ratih. 2012. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Laskar Aksara.
Muljana, Slamet. 1953. Bimbingan Seni Sastra. Jakarta: J. B. Wolters.
Mulyasa, E. 2009. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mulyoto. 2006. Kiat Menulis untuk Media Massa. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Muslich, Masnur. 2010. Text Book Writing. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Narwanti, Sri. 2011. Pendidikan Karakter: Pengintegrasian 18 Nilai Pembentuk Karakter Dalam Mata Pelajaran. Yogyakarta: Familia (Grup Relasi Inti Media).
Nurgiyanto, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nursisto. 2000. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa.
Parker, Karen L dan Beth E. Ackerman. 2007. “Character Education in Literature- Based Instruction” dalam Faculty Publications and Presentations.
Partadireja, Ace. 1985. Pengantar Ekonomi. Yogyakarta: BPFE UGM.
Pusat Kurikulum. 2010. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta: Pusat Kurikulum.
Puskurbuk. 2008. Pedoman Penulisan Buku Nonteks: Buku Pengayaan, Referensi, dan Panduan Pendidik. Jakarta: Depdiknas.
Redaksi Shira Media. 2011. Buku Pintar Pantun, Puisi, dan Majas untuk SD, SMP, dan SMA. Yogyakarta: Shira Media.
Rizal, Yose. 2010. Apresiasi Puisi dan Sastra Indonesia. Jakarta: Grafika Mulia
Rizal, Yose. 2010. Pantun Jenaka: Kumpulan Puisi Anak Negeri. Bandung: Pustaka Setia.
Sadiman, Arief dkk. 2009. Media Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Samidi, K. 1962. Simpai Sastra. Jakarta: Soeroengan.
Sarumpaet, Riris K. Toha. 2012. Struktur Bacaan Anak dalam dalam Kreatif Menulis Cerita Anak. Bandung: Nuansa.
Semi, M. Atan. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.
Sitepu, B.P. 2012. Penulisan Buku Teks Pelajaran. Bandung: Remaja Rosdakarya
Slavin, Robert E. 2010. Cooperatif Learning. Bandung: Nusa Media.
Soenaryo, Andi. tt. Buku Pintar Pantun dan Puisi. Jakarta: Kartika.
Subyantoro. 2007. Penelitian Tindakan Kelas. Semarang: Rumah Indonesia.
Sugiarto, Eko. 2009. Mengenal Pantun dan Puisi Lama: Pantun, Karmina, Syair, Gurindam, Seloka, dan Talibun. Jakarta: Pustaka Widyatama.
Sugiarto, Eko. 2010. Mengenal Pantun dan Puisi Lama. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Sugiarto, Eko. 2013. Cara Mudah Menulis Pantun, Puisi, dan Cerpen. Yogyakarta: Khitah.
Sumardi. 2012. Bagaimana Menciptakan Cerita Anak yang Unggul dalam Kreatif Menulis Cerita Anak. Bandung: Nuansa.
Supardo, Nursinah. 1951. Kesusasteraan Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada.
Supardo, Nursinah. 1969. Kesusasteraan Indonesia. Jakarta: Tunas Mekar Murni.
Suparno dan Mohamad Yunus. 2008. Keterampilan Dasar Menulis. Jakarta: Univesitas Terbuka.
Supendi, Pepen. 2008. Fun Game: 50 Permainan Menyenangkan di Indoor dan Outdoor. Jakarta: Penebar Swadaya.
Suseno, Tusiran. 2008. Mari Berpantun. Depok: Yayasan Panggung Melayu.
Suseno, Tusiran. 2010. Mari Berpantun. Depok: Yayasan Panggung Melayu.
Tarigan, Henry Guntur. 2008. Menulis sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
Tavris, Carol dan Carole Wade. 2007. Psikologi Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Tim Penyusun. 2007. Pedoman Umum Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Pembuatan Istilah. Bandung: Yrama Widya.
Tim Penyusun. 2010. Kebijakan Nasional: Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025. Jakarta: Pemerintah Republik Indonesia.
Uno, Hamzah. B. 2008. Model Pembelajaran Menciptakan Proses Belajar Mengajar yang Kreatif dan Efektif. Jakarta: Bumi Aksara.
Wiyanto, Asul. 2005. Kesusastraan Sekolah. Jakarta: Grasindo.
ZE, Syamsul Hidyatullah. tt. Peribahasa dan Pantun untuk SD, SMP, SMA, dan Umum. Surabaya: Nidya Grafika.
terima kasih gan, bisa buat tugas sekolah 🙂
Hatur nuhun. Mangga…
Ping-balik: Pembelajaran Menulis Pantun Dengan Teknik “RHYME CARDS” | welcome to my blog
izin mengambil beberaa bagian ya pak
Artikel bagus, yuk kunjungi website kami