A. Pendahuluan
Bahasa adalah salah satu ciri khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain. Selain itu, bahasa mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasikan kelompok sosial. Pandangan de Saussure (1916) yang menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya telah memberi isyarat akan pentingnya perhatian terhadap dimensi sosial bahasa. Namun, kesadaran tentang hubungan yang erat antara bahasa dan masyarakat baru muncul pada pertengahan abad ini (Hudson 1996).
Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengaitkannya dengan masyarakat akan mengesampingkan beberapa aspek penting dan menarik, bahkan mungkin menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Sosiolinguistik merupakan ilmu yang mempelajari bahasa dengan dimensi kemasyarakatan. Apabila kita mempelajari bahasa tanpa mengacu ke masyarakat yang menggunakannya sama dengan menyingkirkan kemungkinan ditemukannya penjelasan sosial bagi struktur yang digunakan. Dari perspektif sosiolinguistik fenomena sikap bahasa (language attitude) dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji, karena melalui sikap bahasa dapat menentukan keberlangsungan hidup suatu bahasa.
Bahasa merupakan salah satu alat komunikasi yang di gunakan manusia untuk mencapai tujuan. Penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi merupakan ciri manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Pada saat berkomunikasi pembicara lebih banyak menggunakan bahasa tertentu memperjelas makna yang sulit dimengerti atau diterima oleh lawan bicara. Oleh karena itu tidak dapat dipugkiri bahwa masyarkat yang bilingual dalam berkomunikasi akan membuat pemilihan bahasa dalam komunitas masyarakat tersebut.
Ilmu yang mengkaji mengenai bahasa disebut linguistik. Linguistik mempunyai cabang yaitu linguistik murni dan linguistik terapan. Linguistik murni meliputi fonologi morfologi, sintaksis, semantik dan lain-lain. Sedangkan linguistik terapan meliputi linguistik kontrastif, linguistik komparatif, sosiolinguistik, dan selanjutnya. Menurut Kridalaksana (1078: 94) sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari ciri dan berbagai variasi bahasa, serta hubungan diantara para bahasawan dengan ciri-ciri dan berbagai variasi bahasa, didalam suatu masyarakat bahasa. Dengan demikian melalui kajian sosiolinguistik gamabaran tentang penggunaan bahasa dapat diteliti untuk mengidentifikasi ciri-ciri bahasa dalam kaitannya dengan ilmu bahasa melalui pola bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa.
Bahasa merupakan sesuatu yang vital dalam kehidupan manusia. Masyarakat indonesia sudah sepertinya sudah terlahir sebagai bilingual. Hal ini disebabkan hampir setiap etnis yang ada di Indonesia memiliki kecakapan menggunakan bahasa Indonesia disamping bahasa daerah yang ada, misalnya suku batak Toba, disamping berbahasa Batak toba dapat juga berbahasa Indonesia, juga orang yang bersuku Batak Karo, disamping dapat berbahasa Indonesia, juga dapat berbahasa batak karo, demikian suku Jawa selain dapat berbahasa Jawa juga dapat menggunakan bahasa Indonesia. Namun dalam penggunaan bahasa Indonesia ini kadang-kadang dialek atau aksen yang digunakan terpengaruh oleh bahasa daerah masing-masing. Melihat kevariasian bahasa tersebut maka banyak sikap bahasa yang muncul terhadap seorang penutur. Maka dalam tulisan ini penulis berusaha untuk meninjau hal tersebut.
Hills (1982: 81) dan Evans (1965: 2) menyatakan bahwa sikap tertentu dalam belajar pada pertumbuhan anak merupakan bagian penting dalam pendidikan. Para ahli psikologi, sosiologi, dan psikologi sosial sudah banyak memberikan rumusan konseptual mengenai sikap. Sikap merupakan sesuatu yang sangat pribadi serta mempunyai latar belakang konseptual yang cukup rumit, sehingga perlu mendapat perhatian khusus.
Sikap yang dimiliki seseorang juga akan turut menentukan prilakunya. Dahlan (1982: 6) mengemukakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan mental atau neoral yang terorganisasikan melalui pengalaman dan berpengaruh terhadap tingkah laku individu dalam merespon objek tertentu. Pendapat itu sejalan dengan yang dikemukakan oleh Gerungan (1986: 148) bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan sikap terhadap objek tertentu. Sikap senantiasa ada pada diri seseorang yang nampak melalui prilakunya ketika berhubungan dengan objek tertentu.
Sikap seseorang bisa ditafsirkan dari prilaku verbal maupun noverbal. Seperti dikemukakan Ananstasi (1982: 552) bahwa sikap seseorang memang tidak dapat diamati secara langsung, tetapi ditafsirkan dari prilaku yang nampak, baik secara verbal maupun nonverbal. Sedangkan Fantino (1975: 462) mengemukakan bahwa sikap dapat diidentifikasi melalui ide-ide, perasaan, dan prilaku yang jelas. Pendapat kedua ini menafsirkan sikap dari mulai bentuk kecenderungan seseorang untuk bertindak hingga membentuk prilaku yang nyata. Dengan demikian sikap itu dapat diselusuri dari rancangan yang tersusun di dalam pikiran, gagasan, cita-cita, keadaan hati, dan tingkah lakunya.
Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah berupa perasaan mendukung atau tidak mendukung (Berkowizd dalam Azwar, 1983: 3). Sikap juga merupakan suatu tingkat afek positif dan negatif yang berhubungan dengan objek psikologik (Trustone dalam Marat, 1984: 147). Sikap dapat dikatakan suatu reaksi emosional terhadap suatu objek psikologis. Reaksi yang timbul bisa bersifat positif atau negatif. Sikap juga dapat berupa suasana batin seseorang.
Seseorang yang menyetujui terhadap suatu objek akan menunjukkan sikap mendukung atau sebaliknya. Sikap bersifat kompleks, karena pembentukannya melibatkan semua aspek kepribadian, yaitu kognisi, afeksi, dan konasi secara utuh. Pada komponen kognisi tercakup keyakinan akan suatu objek, komponen afeksi tercakup perasaan-perasaan emosional yang berkaitan dengan keyakinan kognisi, sedangkan komponen konasi merupakan kecenderungan bertindak yang meliputi kesiapan merespon suatu objek sikap.
Berdasarkan paparan di atas, sikap terhadap seseuatu menunjukkan besarnya nilai keyakinan dan hasil evaluasi tentang objek sikap, yang akhirnya melahirkan suatu keputusan senang atau tidak senang, setuju atau tidak setuju, menerima atau menolak terhadap keberadaan objek sikap (Allport dalam Marat, 1984: 13). Pendapat itu sejalan dengan yang dikemukakan oleh Winkel (1983: 3), bahwa sikap yang di dalamnya terdapat unsur kognitif atau afektif adalah kecenderungan menerima atau menolak terhadap sesuatu berdasarkan penilaian apakah objek itu berharga atau tidak berharga, baik atau tidak baik.
Ciri-ciri Sikap dikemukakan juga oleh Gordon (1960: 293) yaitu: 1) sebagai suatu kesiapan untuk merespon, 2) bersifat individual, 3) membimbing prilaku, 4) bersifat bawaaan dan merupakan hasil belajar. Selanjutnya Rochman (1984: 230) mengemukakan:
Ciri sikap adalah suatu kesiapan yang kompleks dari seorang individu untuk memperlakukan suatu objek. Kesiapan itu mempunyai aspek kognisi, afeksi, dan kecenderungan bertindak yang dapat disimpulkan dari prilaku individu itu sendiri. Kesiapan itu merupakan penilaian positif dan negatif dengan intensitas yang berbeda-beda, berlaku untuk kurun waktu tertentu dan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu. Penilaian sebagai sikap kesiapan tersebut terarah kepada objek itu sendiri, terhadap kelanjutan dari suatu penilaian yang menyangkut objek itu atau akibat peristiwa yang menyangkut objek itu.
Sikap tersusun dengan kualitas dan kuantitas yang bervariasi dalam kontimum positif dengan melewati daerah-daerah netral ke arah negatif, sedangkan kualitas sikap dinyatakan dalam eksrem dari kedudukan yang ditempati pada arah kontinum sikap. Intensitas sikap menyatakan kuatnya reaksi sikap, yaitu semakin jauh dari posisi netral akan semakin kuat reaksi sikapnya. Selanjutnya Sikap memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu:
1) arah sikap, merupakan afek yang membekas dirasakan terhadap suatu objek, dapat bersifat negatif atau positif;
2) drajat perasaan, merupakan drajat penilaian terhadap sesuatu objek tertentu dengan istilah baik dan buruk dengan kontinum berkisar dari arah negatif sampai positif (Newcomb et al, 1977: 1981).
.
B. Sikap Bahasa
1. Pengertian Sikap Bahasa
Untuk dapat memahami apa yang disebut sikap bahasa (Language Attiude) terlebih dahulu haruslah dijelaskan apa itu sikap. Sikap dapat mengacu pada bentuk tubuh, posisi yang berdiri tegak, prilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang di lakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat). Sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Sesungguhnya, sikap itu adalah fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau prilaku. Namun dalam banyak penelitain tidak selalu yang dilakukan secara lahiriah merupakan cerminan dari sikap batiniah (Chaer dan Agustina, 1995: 197-198).
Sikap bahasa pada umumnya dianggap sebagai prilaku pemakai bahasa terhadap bahasa. Hubungan antara sikap bahasa dan pemertahanan dan pergeseran bahasa dapat dijelaskan dari segi pengenalan prilaku itu atau di antaranya yang memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung bagi pemertahanan bahasa. Jadi yang sangat penting adalah pertanyaan tentang bagaimana sikap bahasa atau ragam bahasa yang berbeda menggambarkan pandangan orang dalam ciri sosial yang berbeda. Penggambaran pandangan yang demikian memainkan peranan dalam komunikasi intra kelompok dan antar kelompok (Siregar, 1998: 86).
Sikap bahasa (language attitude) adalah pristiwa kejiwaaan dan merupakan bagian dari sikap (attitude) pengguna bahasa pada umumnya. Sikap berbahasa merupakan reaksi penilaian terhadap bahasa tertentu (Fishman, 1986). Sikap bahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa itu sendiri atau orang lain (Kridalaksana, 1982: 153). Kedua pendapat di atas menyatakan bahwa sikap bahasa merupakan reaksi seseorang (pemakai bahasa) terhadap bahasanya maupun bahasa orang lain. Seperti dikatakan Richard, et al. dalam Longman Dictionary of Applied Linguistics (1985: 155) bahwa sikap bahasa adalah sikap pemakai bahasa terhadap keanekaragaman bahasanya sendiri maupun bahasa orang lain.
Rusyana (1989,31-32) menyatakan bahwa sikap bahasa dari seorang pemakai bahasa atau masyarakat bahasa baik yang dwibahasawan maupun yang multibahasawan akan berwujud berupa perasaan bangga atau mengejek, menolak atau sekaligus menerima suatu bahasa tertentu atau masyarakat pemakai bahasa tertentu, baik terhadap bahasa yang dikuasai oleh setiap individu maupun oleh anggota masyarakat. Hal itu ada hubungannya dengan status bahasa dalam masyarakat, termasuk di dalamnya status politik dan ekonomi. Demikian juga penggunaan bahasa diasosiasikan dengan kehidupan kelompok masyarakat tertentu, sering bersifat stereotip karena bahasa bukan saja merupakan alat komunikasi melainkan juga menjadi identitas sosial.
Sikap bahasa dalam kajian sosiolinguistik mengacu pada prilaku atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan sebagai reaksi atas adanya suatu fenomena terhadap penggunaan bahasa tertentu oleh penutur bahasa. Bahasa dalam suatu komunitas mungkin berbeda dengan komunitas yang lain bagaimana bahasa bisa dipengaruhi penggunaannya sesuai dengan ciri sosial yang berbeda.
Yang sering menjadi perdebatan tentang sikap bahasa adalah hakikat sikap itu sendiri. Meskipun dikenal secara luas di dalam bidang psikologi sosial, tidak terdapat kesepakatan yang umum tentang konsep sikap itu sendiri. Terdapat dua pandangan teoritis yang berbeda tentang sikap, yaitu pandangan para mentalis dan behaviris. Kedua pandangan itu selalu menjadi tumpuan teori dan pengukuran yang dilakukan dalam penelitian tentang sikap individu maupun sikap masyarkat (Siregar, 1998: 87).
Fasold (1984) mengemukakan bahwa didalam pengkajian sosiolinguistik, definisi sikap bahasa sering diperluas untuk mencakup sikap-sikap terhadap penutur-penutur bahasa tertentu. Pemerluasan devenisi yang demikian mungkin akan memberikan kemungkinan bahwa seluruh jenis prilaku yang berhubungan dengan bahasa, termasuk sikap terhadap pemertahanan bahasa dapat dijelaskan.
Cooper dan Fishman (1974) misalnya memberikan devenisi sikap bahasa dari segi referensinya yang oleh Ferguson sebelumnya (1972) merupakan patokan-patokan yang dapat diamati terhadap siapa, membicarakan apa, kapan, dan bagaimana. Cooper dan Fishmen memperluas referensinya untuk mencakup bahasa, prilaku bahasa, dan referensi yang merupakan pemarkah atau simbol bahasa atau prilaku bahasa. Terutama dalam kaitannya dengan psikologi sosial, misalnya Triandis (197: 2-2 dalam Chaer dan Agustina 1995: 198) mengatakan bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini dapat mengacu terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini dapat mengacu pada kesiapan mental atau Sikap prilaku.
Menurut Allport (1935) sikap adalah kesiapan mental atau saraf, yang terbentuk melalui pengalaman yang membrikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu. Sedangkan Lambert (1967: 91-102) menyatakan bahwa sikap itu terdiri dari tiga komponen yaitu komponen kognitif, komponen apektif, dan komponen konatif.
Komponen kognitif sikap bahasa mengacu atau berhubungan dengan pengetahuan atau suatu kategori yang disebut proses berpikir. Komponen apektif menyangkut isu-isu penilaian seperti baik, buruk, suka, atau tidak suka terhadap sesuatu atau suatu keadaan. Jika seseorang memiliki nilai rasa baik atau suka terhadap sesuatu keadaan, maka orang itu dikatakan memiliki sikap positif. Jika sebaliknya disebut memiliki sikap negatif. Komponen konatif menyangkut prilaku atau perbuatan sebagai putusan akhir kesiapan reaktif terhadap suatu keadaan. Melalui kompenen ketiga inilah orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan (Chaer dan Agustina, 1995: 198-199).
Melalui ketiga komponen inilah, orang biasanya mencoba menduga bagaimana sikap seseorang terhadap suatu keadaan yang sedang dihadapinya. Ketiga komponen sikap ini (komponen kognitif, afektif, dan konatif) pada umumnya berhubungan dengan erat. Namun, seringkali pengalaman menyenangkan atau tidak menyenangkan yang didapat seseorang di dalam masyarakat menyebabkan hubungan ketiga komponen itu tidak sejalan. Apabila ketiga komponen itu sejalan, maka bisa diramalkan perilaku itu menunjukkan sikap. Tetapi kalau tidak sejalan, maka dalam hal itu perilaku tidak dapat digunakan untuk mengetahui sikap. Banyak pakar yang memang mengatakan bahwa perilaku belum tentu menunjukkan sikap.
.
2. Penggolongan Sikap Bahasa
Sikap bahasa timbul bila seseorang itu sebagai masyarakat yang dwibahasawan atau multibahasawan. Seperti diutarakan oleh Dittmar (1976: 181) bahwa sikap ditandai oleh sejumlah ciri-ciri, antara lain meliputi pilihan bahasa dalam masyarakat multilingual, distribusi perbendaharaan bahasa, perbedaan dialek dan problem yang timbul sebagai akibat adanya interaksi antara individu. Hal ini nampak ketika suatu bangsa yang memiliki cukup banyak bahasa daerah hendak menentukan bahasa nasionalnya. Pemilihan satu bahasa di antara sekian banyak bahasa yang dimiliki bangsa tersebut sudah barang tentu dirasakan pada sikap positif masyarakat terhadap bahasa yang dipilihnya itu. Tanpa sikap yang demikian hampir tidak mungkin suatu masyarakat rela mengenyampingkan bahasa kelompok etniknya dan menyetujui dipilihnya bahasa lain sebagai bahasa nasional.
Sikap bahasa itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sikap terhadap bahasa dan sikap berbahasa. Sikap terhadap bahasa penekanannya tertuju pada tanggung jawab dan penghargaannya terhadap bahasa, sedangkan sikap berbahasa ditekankan pada kesadaran diri dalam menggunakan bahasa secara tertib (Pateda, 1987: 30).
Spolsky (1989: 149) menyatakan bahwa seseorang yang mempelajari suatu bahasa dilatarbelakangi oleh sikapnya terhadap bahasa yang dipelajarinya, sikap itu meliputi 1) sikap terhadap tujuan praktis penggunaan bahasa target, dan 2) sikap pada orang yang menggunakan bahasa target. Anderson dalam Halim (1974: 71) mengemukakan bahwa sikap bahasa itu dapat digolongkan dalam dua kelompok, yaitu (1) sikap kebahasaan dan (2) sikap nonkebahasaan, seperti sikap politis, sikap keagamaan, dan lain-lain.
Menurut Anderson, sikap bahasa adalah tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberikan kecenderungan seseorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Namun sikap tersebut dapat berupa sikap positif dan negatif, maka sikap terhadap bahasa pun demikian. Garvin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa yaitu:
a. Kesetiaan Bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. Kesetiaan bahasa, adalah sikap yang mendorong suatu masyarakat bahasa dalam mempertahankan kemandirian bahasanya, meskipun apabila perlu, sampai dengan terpaksa mencegah masuknya pengaruh asing.
b. Kebanggaan Bahasa (language pride) yang mendorong seseorang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat. Kebanggaan bahasa, merupakan sikap yang mendorong suatu masyarakat bahasa menjadikan bahasanya sebagai lambang identitas pribadi atau kelompoknya sekaligus membedakannya dari orang atau kelompok lainnya
c. Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use)
Ketiga ciri yang dikemukakan Garvin dan Mathiot tersebut merupakan ciri-ciri sikap positif terhadap bahasa. Menurut Purba, ketiga pengertian tersebut mengandung persamaan, yaitu 1) pemakaian bahasa yang memihak kepada bahasa yang benar dengan kecermatan pemakaian bentuk bahasa dan struktur bahasa serta pemilihan kata yang tepat dan kesadaran adanya norma bahasa dengan penggunaan bahasa secara cermat, santun, dan layak; 2) pemakaian bahasa dengan baik, wajar dan sesuai dengan situasi sama dengan kebanggaan bahasa yang dijadikan syarat identitas diri dan kelompok serta menghilangkan warna bahasa daerah atau dialeknya dalam pemakaian bahasa nasional. Sikap kesetiaan bahasa terungkap jika orang lebih suka memakai bahasanya sendiri dan bersedia menjaganya terhadap pengaruh bahasa asing yang berlebihan. Bertalian dengan sikap kesetiaan bahasa adalah kebanggaan bahasa yang pada gilirannya bertautan dengan ikatan emosional pribadi pada bahasa baku (Purba,: 35).
Kesetiaan bahasa menurut konsep tersebut adalah sikap yang terdorong suatu masyarakat untuk turut mempertahankan kemandirian bahasanya, apabila perlu mencegah masuknya pengaruh asing. Kebanggaan bahasa merupakan sikap yang mendorong seseorang atau kelompok menjadikan bahasanya sebagai lambang identitas pribadi atau kelompoknya dan sekaligus membedakannya dari orang atau kelompok lain.
Kesadaran adanya norma bahasa mendorong penggunaan bahasa secara cermat, korek, santun, dan layak. Kesadaran yang demikian merupakan faktor yang sangat menentukan prilaku tutur dalam wujud pemakaian bahasa (language use). Kesetiaan bahasa, kebanggaan bahasa, dan kesadaran bahasa akan adanya norma bahasa merupakan ciri-ciri positif terhadap suatu bahasa (Garvin dan Mathiot dalam Suwito, 1989: 149).
Esensi dari semuanya itu menyatakan bahwa sikap bahasa merupakan sikap yang dimiliki oleh para pemakai bahasa. baik yang dwibahasawan maupun yang multibahasawan terhadap suatu bahasa. Reaksi yang ditimbulkannya dapat berupa perasaan bangga, mengejek, menolak ataupun sekaligus menerima. Dengan kata lain, sikap berbahasa itu bisa bersifat positif maupun negatif, serta memiliki ciri-ciri yaitu kebanggaan berbahasa, kesetiaan berbahasa, dan kesadaran berbahasa.
.
3. Jenis-jenis Sikap Bahasa
sikap bahasa menunjukkan senang atau tidaknya seorang penutr bahasa terhadap suatu bahasa. Oleh karena itu, bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni sikap posif dan sikap negatif. Menurut Anderson (dalam Chaer, 1995: 200) sikap bahasa adalah: tata keyakinan atau kognisi yang relatif berjangka panjang, sebagian mengenai bahasa, mengenai objek bahasa, yang memberi kecenderungan kepada seeorang untuk bereaksi dengancara tertentu yang di senanginya. Sikap itu biasanya akan ada sikap positif (kalau dinilai baik atau disukai) dan biasanya negatif (kalau dinilai tidak baik atau tidak disukai), maka sikap terhadap bahasapun demikian.
a. Sikap Positif
Sikap positif yaitu sikap antusiasme terhadap penggunaan bahasanya (bahasa yang digunakan oleh kelompoknya/masyarakat tutur dimana dia berada). Sebaliknya jika ciri-ciri itu sudah menghilang atau melemah dari diri seseorang atau dari diri sekelompok orang anggota masyarakat tutur, maka berarti sikap negatif terhadap suatu bahasa telah melanda diri atau kelompok orang itu. Sikap positif tentu saja berhubungan dengan sikap-sikap atau tingkah laku yang tidak bertentangan dengan kaidah atau norma yang berlaku.
Sikap positif bahasa adalah penggunaan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa dan sesuai dengan situasi kebahasaan. Hal-hal yang menunjukkan sikap positif seseorang terhadap bahasanya antara lain:
1) memakai bahasa sesuai dengan kaidah dan situasi kebahasaan
2) memakai bahasa sendiri tanpa dicampur dengan bahasa asing walaupun lawan bicara mengerti maksud pembicaraan tersebut, alangkah lebih baik menggunakan bahasa sesuai dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dengan sikap seperti itu berarti kita bangga akan bahasa kita sendiri.
3) memakai bahasa sesuai dengan keperluan
Dalam pergaulan sosial, kita mungkin menghadapi beragam keperluan pula. Pergaulan antarbangsa, misalnya, kadang-kadang menuntut pemakaian bahasa yang sesuai dengan kemampuan orang yang terlibat di dalamnya. Oleh sebab itu, bahasa yang lain atau bahasa asing kadang-kadang diperlukan untuk keperluan itu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa penggunaan bahasa selain bahasa Indonesia untuk keperluan tertentu tidak perlu dipandang sebagai cerminan rasa kebangsaan yang rendah.
Ketiga hal di atas merupakan contoh sikap postif terhadap bahasa. Sikap bahasa yang positif hanya akan tercermin apabila si pemakai mempunyai rasa setia untuk memelihara dan mempertahankan bahasanya sebagai sarana untuk berkomunikasi. Sikap positif terdapat pada seseorang yang mempunyai rasa bangga terhadap bahasanya sebagai penanda jati diri.
Adul (1986: 44) berpendapat bahwa pemakai bahasa bersifat positif ialah pemakaian bahasa yang memihak kepada bahasa yang baik dan benar, dengan wajar dan sesuai dengan situasi. Dittmar, (dalam Suwito, 1996: 31) memperlihatkan sikap positip adalah:
1) keberhasilan suatu bangsa yang multilingual dalam menentukan salah satu bahasa yang dijadikan sebagai bahasa nasional dari sejumlah bahasa yang dimiliki bangsa tersebut;
2) kecermatan pemakaian bentuk bahasa dan struktur bahasa serta ketepatan dalam pemilihan kata yang di pergunakan oleh pemakai bahasa;
3) sejauhnya mengurangi atau manusia, menghilangkan sama sekali warna bahasa daerah atau dialeknya dalam berbahasa nasional.
Garvin dan Marthiot (dalam Suwito, 1996: 31) mengemukakan ciri-ciri pokok sikap berbahas positif yaitu: Kesetiaan bahasa, Kebanggaan bahasa, dan kesadaran akan adanya norma bahasa. Menurut Sumarsono (2002: 363), dalam masyarakat multilingual, sikap bahasa seseorang ditentukan oleh beberapa faktor, diantaranya ialah topik pembicaraan (pokok masalah yang dibicarakan), kelas sosial pemakai bahasa, kelompok umur, jenis kelamin dan situasi pemakaian. Apabila seseorang petani, termasuk kelompok etnik Jawa, tetapi sekaligus juga pemakai Bahasa Indonesia, termasuk golongan dewasa dan tua, tentang upacara pengantin khas Jawa, dalam situasi resmi khas Jawa, ia akan cenderung memilih bahasa Jawa yang baku daripada Bahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan adanya sikap positif terhadap bahasa yang dipilihnya.
Sebaliknya, apabila ia termasuk kelompok etnik jawa yang termasuk kelas sosial tinggi, tinggal di Jakarta di lingkungan masyarakat Indonesia golongan elite, dia akan cenderung memilih bahasa Indonesia sekalipun tentang upacara perkawinan. Hal ini menunjukkan sikap terhadap Bahasa Jawa tidak positif lagi.Sikap bahasa positif juga ditunjukkan oleh seseorang yang cenderung memakai suatu bahasa secara santun, cermat, terpelihara, jelas baik, mengenai ketepatan pilihan kata maupun kebakuan kaidah gramatikalnya serta kejelasan, keruntunan jalan pikirannya.Sikap positif itu bersangkut paut dengan masalah distribusi perbendaharaan bahasa.Sikap positif juga tampak pada kebakuan pemakaian bahasa yang mengatasi dialek-dialek.
b. Sikap Negatif
Ketiadaan gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya merupakan salah satu penanda sikap negatif, bahwa kesetiaan bahasanya mulai melemah, yang bisa berlanjut menjadi hilang sama sekali. Sikap negatif terhadap bahasa dapat juga terjadi bila orang atau sekelompok orang tidak mempunyai lagi rasa bangga terhadap bahasanya, dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya. Hal tersebut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu antara lain: faktor politis, faktor etnis, ras, gengsi, menganggap bahasa tersebut terlalu rumit atau susah dan sebagainya. Sebagai contoh yaitu penggunaan bahasa Jawa di lingkungan masyarakat Jawa.
Adul (dalam Purba, 1996: 35) mengemukakan bahwa pemakaian bahasa bersifat negatif adalah tidak mengacuhkan pemakaian bahasa yang baik dan benar, tidak mempedulikan situasi bahasa, tidak berusaha memperbaiki diri dalam kesalahan berbahasa. Dewasa ini penggunaan bahasa Jawa dikalangan masyarakat Jawa sendiri dirasa kurang begitu antusias. Hal ini merupakan tanda-tanda mulai munculnya sikap yang kurang positif terhadap bahasa tersebut.
Bahasa-bahasa daerah terkadang dianggap sebagai bahasa yang kurang fleksibel dan kurang mengikuti perkembangan jaman. Demikian pula bahasa Jawa. Anak-anak muda pada jaman sekarang kurang begitu mengerti dan antusias menggunakan bahasa tersebut, karena ada yang merasa bahwa bahasa Jawa terlalu rumit bagi mereka, banyak leksikon dari bahasa Jawa yang tidak dimengerti, ditambah dengan penggunaan tingkat tutur bahasa Jawa dan sebagainya. Hal tersebut merupakan indikasi bahwa mereka sudah tidak berminat lagi untuk mempelajari bahasa Jawa, atau hal itu juga dipengaruhi oleh perkembangan keadaan yang menghendaki segala sesuatu yang serba praktis dan simpel. Tidak hanya bahasa daerah, tetapi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional pun dirasa telah mulai pudar ciri sikap bahasa positifnya.
Sikap negatif juga akan lebih terasa akibat-akibatnya apabila seseorang atau sekelompok orang tidak mempunyai kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap tersebut nampak dalam tindak tuturnya. Mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib, mengikuti kaidah yang berlaku.
Berkenaan dengan sikap bahasa negatif ada pendapat yang menyatakan bahwa jalan yang harus ditempuh adalah dengan pendidikan bahasa yang dilaksanakan atas dasar pembinaan kaidah dan norma-norma sosial dan budaya yang ada dalam masyarakat bahasa yang bersangkutan. Namun menurut Lambert (1976) motivasi belajar tersebut juga berorientasi pada dua hal yaitu:
1) Perbaikan nasib (orientasi instrumental). Orientasi instrumental mengacu/ banyak terjadi pada bahasa-bahasa yang jangkauan pemakaiannya luas, banyak dibutuhkan dan menjanjikan nilai ekonomi yang tinggi, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, dan bahasa Jepang.
2) Keingintahuan terhadap kebudayaan masyarakat yang bahasanya dipelajari (orientasi integratif). Orientasi integratif banyak terjadi pada bahasa-bahasa dari suatu masyarakat yang mempunyai kebudayaan tinggi, tetapi bahasanya hanya digunakan sebagai alat komunikasi terbatas pada kelompok etnik tertentu.
Kedua orientasi tersebut juga merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap bahasa seseorang. Selain itu sikap bahasa juga bisa mempengaruhi seseorang untuk menggunakan suatu bahasa, dan bukan bahasa yang lain, dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual.
Mengacu pada sikap bahasa pada masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka terbalik-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya sering terjadi kalimat-kalimat / kata-kata (karena banyaknya terjadi interferensi/ campur kode yang tidak terkendali) muncul kata-kata sebagai suatu ragam bahasa baru. Misalnya, bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan, dan lain-lain. Hal itu pun mulai sering ditemui di masyarakat pengguna bahasa sekarang.
Adul (1986: 44), berpendapat pemakaian bahasa bersifat negatif adalah tidak mengacuhkan pemakaian bahasa yang baik dan benar, tidak memperdulikan situasi bahasa, tidak berusaha memperbaiki diri dalam berbahasa. Sikap negatif terhadap bahasa merupakan sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap bahasa nasionalnya. Ia akan beranggapan bahwa bahasa orang lain lebih baik dari bahasa nasional sehingga timbul sikap negatif terhadap bahasa.
Garvin dan Marthiot, (dalam suwito, 1996: 33) memberikan ciri-ciri sikap bahasa negatif pemakai bahasa, yaitu:
1) Jika seseorang atau sekolompok anggota masyarakat bahasa tidak ada lagi gairah atau dorongan untuk mempertahankan kemandirian bahasanya, maka hal itu merupakan suatu petunjuk bahwa kesetiaan bahasanya mulai lemah yang pada gilaranya tidak mustahil akan menjadi hilang sama sekali.
2) Jika seseorang atau sekelompok orang sebagai anggota masyarakat tidak ada rasa bangga terhadap bahasanya dan mengalihkan kebanggannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya.
3) Jika seseorang atau sekolompok orang sebagai anggota masyarakat sampai kepada ketidak sadaran akan adanya norma bahasa. Sikap demikian biasanya akan mewarnai hampir seluruh perilaku berbahasanya. Mereka tidak ada lagi dorongan atau merasa terpanggil untuk memelihara cermat bahasanya dan santun bahasanya.
Moeliono (dalam Antilan, 1996: 34) memberikan rincian tentang sikap bahasa negatif, yaitu:
1) Sikap yang meremehkan mutu sejajar dengan sikap bahasa orang yang sudah puas dengan mutu bahasa yang tidak perlu tinggi, asal saja dimengerti.
2) Sikap yang suka menerobos terpantul dalam sikap bahasa yang merasa dapat memperoleh kemahiran tanpa bertekun.
3) Sikap harga tuna diri dapat disaksikan perwujudannya dalam sikap bahasa orang yang dalam hati kecilnya beranggapan bahwa beranggapan bahwa bahasa lain lebih bergengsi dan lebih bermutu.
4) Sikap yang menjauh disiplin tercermin pada sikap bahasa orang yang tidakmerasa mutlak mengikuti kaidah bahasa.
5) Sikap yang enggan memikul tanggung jawab koleratif bahasanya terungkap dalam ucapan, apa yang salah kaprah lebih di terimasaja kerana kita semua bersalah. Lagi pula masalah kebahasaan itu belum perlu diprorioritaskan karena masih banyak masalah lain yang lebih penting dan perlu diatasi lebih dahulu.
6) Sikap yang suka melatah dapat di saksikan dalam sikap bahasa orang yang mengambil alih diksi dari bahasa muktahir tanpa kritik.
menggunakan suatu bahasa, suatu dialek, atau suatu aksen dengan menggunakan suatu bahasa. Orang itu berperan sebagai samaran untuk melakoni sikap bahasa dengan menggunakan aksen tertentu. Untuk mengetahui sikap penutur siuatu bahaa dengan menggunakan aksen tertentu kita perlu instrumenyang tepat untuk itu.
.
4. Pemilihan Bahasa
Menurut Fasold (dalam Abdul Chaerdan Agustina, 1995: 203) hal yang pertama terbayang bila kita memikirkan bahasa adalah bahasa keseluruhan (whole languages) di mana kita membayangkan seseorang dalam masyarakat bilingual atau multilingual berbicara dua bahasa atau lebih dan harus memilih yang mana yang harus digunakan. Dalam hal memilih ini ada tiga jenis pilihan yang dapat dilakukan, yaitu yang pertama dengan alih kode, artinya menggunakan satu bahasa pada satu keperluan, dan menggunakan bahasa yang lain pada keperluan lain. Kedua, dengan melakukan campur kode, artinya menggunakan satu bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan dari bahasa lain. Ketiga, dengan memilih satu variasi bahasa yang sama.
Penelitian terhadap pemilihan bahasa menurut Fasold dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan disiplin ilmu, yaitu berdasarkan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi sosial, dan pendekatan antropologi.
a. Pendekatan Sosiologi,
Seperti yang telah dilakukan Fishman (dalam Abdul Chaer dan Agustina, 1995: 204) melihat adanya konteks institusional tertentu yang disebut domain, dimana satu variasi (variety) bahasa cenderung lebih tepat untuk digunakan dari pada variasi lain. Domain dipandang sebagai konstelasi faktor-faktor seperti lokasi, topik, dan partisipan; seperti keluarga, tetangga, teman, transaksi, permerintah, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.
Apabila seorang penutur berbicara di rumah dengan seorang anggota keluarga mengenai sebuah topik, maka penutur itu dikatakan berada dalam domain keluarga.Analisis domain ini biasanya terkait dengan analisis diglosia, sebab ada domain yang formal atau yang tidak formal. Di masyarakat yang diglosia untuk domain yang tidak formal, seperti keluarga, biasanya lebih tepat digunakan bahasa ragam rendah; sedangkan dalam domain yang formal, seperti dalam pendidikan, penggunaan bahasa ragam tinggi adalah lebih tepat. Maka, pemilihan bahasa atau satu ragam bahasa dalam pendekatan sosiologis ini tergantung pada domainnya.
Di Indonesia secara umum digunakan tiga buah bahasa dengan tiga domain sasaran, yaitu bahasa Indonesia digunakan dalam keindonesian, atau domain yang sifatnya nasional, seperti dalam pembicaraan antarsuku, bahasa pengantar dalam pendidikan, dan dalam surat-menyurat dinas. Bahasa daerah digunakan dalam domain kedaerahan, seperti dalam upacara pernikahan, percakapan dalam keluarga daerah, dan komunikasi antarpenutur sedaerah.Sedangkan bahasa asing digunakan untuk komunikasi antarbangsa, atau untuk keperluan-keperluan tertentu yang menyangkut interlekutor orang asing.
Pembagian tugas ketiga bahasa itu tampaknya jelas dan sudah menyelesaikan persoalan bagaimana harus memilih salah satu dari ketiga bahasa itu. Disinilah barangkali untuk memahami cara pemilihan bahasa perlu digunakan pendekatan yang bukan semata-mata bertumpu pada domain sosiologis, melainkan harus dilakukan berdasarkan pendekatan psikologi sosial.
b. Pendekatan Psikologi Sosial
Pendekatan ini tidak meneliti struktur sosial, seperti domain-domain, melainkan meneliti proses psikologi manusia seperti motivasi dalam pemilihan suatu bahasa atau ragam dari suatu bahasa untuk digunakan pada keadaan tertentu. Dalam kelompok masyarakat Indonesia yang multilingual tampaknya pemilihan bahasa lebih ditentukan oleh latar belakang kejiwaan, termasuk motivasi para penuturnya. Tanner (dalam Abdul Chaer dan Agustina, 1995: 205) melaporkan hasil penelitiannya mengenai penggunaan bahasa oleh sekelompok kecil masyarakat Indonesia golongan terdidik yang sedang melanjutkan studi di Amerika Serikat. Bahasa nasional ini mereka gunakan untuk komunikasi antarsuku, baik dalam keadaan formal maupun dalam keadaan nonformal.
Pemilihan untuk menggunakan bahasa Indonesia ini tentunya berdasarkan pertimbangan kejiawaan bahwa bahasa Indonesia dipahami oleh semua partisipan, dan juga dengan pertimbangan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa nasional. Selain itu bahasa Indonesia ada juga digunakan dalam komunikasi intrasuku, misalnya antara orang-orang Jawa yang baru berkenalan. Pemilihan untuk menggunakan bahasa Indonesia ini tampaknya merupakan upaya untuk menghindari timbulnya akibat-akibat psikologis yang bisa merugikan kedua pihak jika mereka menggunakan bahasa Jawa yang mempunyai beberapa tingkatan itu. Bahasa daerah digunakan dalam komunikasi intrasuku yang biasanya bersifat tidak formal, dan pada umumnya didasarkan pada keinginan untuk menunjukkan rasa hormat, penghargaan, atau rasa solidaritas suku.
Bahasa asing ini terutama digunakan untuk komunikasi antarbangsa; tetapi acapkali digunakan juga dalam situasi formal antara sesama Indonesia untuk mendapatkan prestise. Dari penelitian Tanner tersebut dapat dilihat bahwa pemakaian bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, telah sesuai dengan domain-domain yang telah ditentukan: bahasa Indonesia untuk komunikasi antarsuku, bahasa daerah untuk komunikasi intrasuku, dan bahasa asing untuk komunikasi antarbangsa. Namun, dari penelitian itu terlihat juga bahwa bahasa Indonesia sering juga digunakan dalam komunikasi intrasuku untuk memenuhi keinginan atau tujuan tertentu.
Selain itu, bahasa asing sering digunakan dalam percakapan intrabangsa untuk memperoleh tujuan sosial tertentu. Penelitian lain yang menunjukkan penyimpangan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah yang keluar dari domainnya yang telah ditentukan telah dilakukan oleh Isman (dalam Abdul Chaer dan Agustina, 1995: 207). Dalam berkomunikasi lisan orang Minang lebih dominan menggunakan bahasa daerah; tetapi dalam komuniaksi tulisan lebih dominan menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan ini menurut Isman adalah disebabkan oleh kenyataan bahwa (1) bahasa daerah Minangkabau (dan juga bahasa Kerinci) relatif lebih dekat dengan bahasa Indonesiadalam berbagai aspek sistemnya; atau (2) penutur bahasa daerah tersebut memperoleh pengalaman membaca dan menulis langsung dalam bahasa Indonesia, tidak melalui bahasa daerah.
Penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah di Sumatera Barat secara lisan masih mendekati fungsinya untuk digunakan dalam domain-domain yang ditentukan secara sosiologis; tetapi secara tulisan sudah menyimpang atau bergeser dari domain-domain itu, karena alasan seperti yang disebutkan di atas. Dari penelitian itu dapat disimpulkan juga bahwa pemakaian bahasa Indonesia telah meluas akibat kondisi psikologis yang dihadapi dalam pemilihan tetap berbahasa Minangkabau atau tetap berbahasa Indonesia.
Pemilihan bahasa berdasarkan pertimbangan psikologis ini tampak pula dari hasil penelitian Sumarsono (dalam Abdul Chaer, 1995: 208) terhadap masyarakat tutur bahasa Melayu Loloan di Pulau Bali. Kelompok tutur Melayu Loloan ini tetap memilih untuk menggunakan bahasa Melayu Loloan, dan tidak menggunakan bahasa Bali, untuk komunikasi intrasuku dan beberapa domain adalah dengan motivasi untuk menunjukkan identitas masyarakat Loloan yang beragama Islam. Sementara itu bahasa Bali (yang mereka pelajari juga secara alami seperti mempelajari bahasa Melayu Loloan) dianggap sebagai lambang identitas masyarakat Bali yang beragama Hindu.
Mereka dapat menerima penggunaan bahasa Indonesia untuk kegiatan-kegiatan keagamaan dan pendidikan, sebab bahasa Indonesia tidak berkonotasi keagamaan tertentu, dan bahasa Indonesia juga dianggap sebagai milik sendiri sebagai bahasa Indonesia. Perluasan penggunaan bahasa Indonesia dari hanya untuk komunikasi antarsuku (dan untuk yang sifatnya nasional) menjadi digunakan juga sebagai alat komunikasi intrasuku, selain karena sifat-sifat yang inheren bahasa Indonesia itu sendiri (yang antara lain mudah dipelajari) juga adalah karena dorongan motivasi dan tujuan-tujuan social tertentu.
Wojowasito (dalam Abdul Chaer dan Agustina, 1995: 210) dan Widjajakusumah (dalam Abdul Chaer dan Agustina, 1995: 210) melaporkan kejadian yang sama yang terjadi pada masyarakat tutur bahasa yang berbeda (Jawa dan Sunda). Seringkali bahasa Indonesia digunakan untuk mengingkari keharusan menggunakan tingkat bahasa yang berbeda yang terdapat dalam bahasa Jawa dan bahasa Sunda.
Untuk pengembangan bahasa Indonesia hal-hal yang dibicarakan di atas, meluasnya penggunaan bahasa Indonesia,adalah sesuatu yang positif dan mengembirakan. Tetapi dibalik itu muncul pula dampak negatifnya, yang tidak menguntungkan bagi program pembinaan bahasa Indonesia. Mereka sering mendapatkan hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, seringkali memaksa mereka bolak-balik dalam bertutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Akhirnya, sering terjadi kalimat-kalimat yang bukan bahasa Jawa dan bukan pula bahasa Indonesia.
Di kalangan kelompok atasan atau intelektual karena ingin mudahnya saja, atau untuk prestise dalam berbahasa sering pula menggunakan kalimat yang setengah Indonesia dan setengah asing. Lalu karena itu pula (karena banyaknya terjadi interferensi atau campur kode yang tidak terkendali) mungkin akan terjadi pula suatu ragam bahasa baru, misalnya, bahasa Indonesia yang kesunda-sundaan atau bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan, atau bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan.
Secara sosiolinguistik hal tersebut tidak akan menjadi masalah (malah mungkin akan terjadi topik baru dalam penelitian sosiolinguistik), tetapi bagi pembinaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara tentu merupakan masalah besar, sebab hal itu merupakan peristiwa perusakan bahasa Indonesia yang sangat tidak diharapkan. Penutur yang memiliki sifat bahasa yang positif terhadap bahasa Indonesia, tentu tidak akan melakukan pencampuran bahasa. Dia akan menggunakan bahasa Indonesia secara cermat dan benar. Sayangnya, kebanyakan orang Indonesia belum memiliki sikap bahasa yang positif terhadap bahasa nasionalnya.
c. Pendekatan Antroplogi
Dari pandangan antropologi, pilihan bahasa bertemali dengan perilaku yang mengungkap nilai-nilai sosial budaya. Seperti juga psikologi sosial, antropologi tertarik dengan bagaimana seorang penutur berhubungan dengan struktur masyarakat. Perbedaannya adalah bahwa jika psikologi sosial memandangnya dari sudut kebutuhan psikologis penutur, pendekatan antropologi memandangnya dari bagaimana seseorang menggunakan pemilihan bahasanya untuk mengungkapkan nilai kebudayaannya (Fasold 1984: 192).
Dari segi metodologi terdapat perbedaan antara pendekatan antropologi, pendekatan sosiologi, dan psikologi sosial. Sosiologi dan psikologi sosial lebih mengarahkan kajiannya pada data kuesioner atau observasi atas orang-orang yang ditelitinya di bawah kendali eksperimen, sedangkan pendekatan antropologi menempatkan nilai yang tinggi pada perilaku takterkontrol yang alamiah. Hal ini membimbing mereka untuk menggunakan metode penelitian yang jarang digunakan oleh sosiolog dan psikolog sosial, yaitu yang disebut observasi partisipan (participant observation). Sebagai contoh, penelitian yang dilakukan oleh Susan Gal (yang mempublikasikan penelitiannya 1979) di Oberwart, Australia Timur. Ia menghabiskan waktu satu tahun untuk tinggal di sebuah keluarga setempat (Fasold, 1984: 192).
Dengan menggunakan metode observasi partisipan, antropolog dapat memberikan perspektif penjelasan atas pemilihan bahasa berdasarkan persepsinya sebagai penutur sebuah kelompok atau lebih yang dimasukinya selama mengadakan penelitian.Implikasi dari metode ini adalah bahwa pengamat adalah peneliti yang menjadi anggota kelompok yang diamatinya (Wiseman dan Aron, 1970: 49). Selain itu, metode observasi partisipan yang tipikal dalam pendekatan itu, yang mengarah kepada peneliti sebagai instrumen penelitian relevan untuk mengungkap secara alamiah gejala pemilihan bahasa dalam masyarakat multibahasa di Indonesia.
.
5. Pengukuran Sikap Bahasa
Pengukuran sikap bahasa merupakan suatu hal yang sangat abstrak, oleh karena itu kita harus sangat hati-hati menentukan sikap bahasa seseorang dengan berbahasa, berdialek atau beraksen apapun. Untuk itu, pengukuran sikap suatu bahasa memerlukan instrumen yang baik. Trandis (dalam Mar’at, 1984: 75) menyatakan bahwa instrumen yang baik itu adalah:
a. Verbal statements of affects (pernyataan verbal dan perasaan)
b. Verbal ststements of believe (pernyataan verbal berdasarkan keyakinan)
c. Verbal statements concerning behavior (pernyataan verbal yang berhubungan dengan tingkah laku).
Berdasarkan criteria instrumen di atas, untuk mengukur sikap penutur suatu bahasa dapat dilakukan melalui seperangkat pernyataan berupa pendapat tentang objek itu. Pernyataan pendapat terhadap objek itu dapat terungkap dengan menggunakan kata sifat yang dapat di padamkan padankan dengan lawan dari kata sifat ini. Dalam hal ini, peneliti menggunakan angket dengan memberikan skor nilai pertimbangan agroriori. Dengan menyusun seperangkat pernyataan akan memperlihatkan sikap positif atau negatif yang tercermin dari kata sifat berlawanan itu.
Pernyataan-pernyataan di berikan kepada responden terdiri dari lima pilihan. Lima pilihan jawaban responden itu adalah:
a. Sangat……………. (kata sifat yang di ukur)
b. Lebih …………….. (kata sifat yang di ukur)
c. …………………… (kata sifat yang di ukur)
d. Lebih……………… (lawan dari kata sifat yang di ukur)
e. Sangat…………….. (lawan dari kata sifat yang di ukur)
c. …………………… (lawan dari kata sifat yang di ukur)
Data yang di peroleh dari angket itu, akan diolah secara kuantitas. Data akan dianilisis berdasarkan jawaban responden, sehingga di tentukan mean dan standar deviasinya, dan pada akhirnya dapat di tentukan sikap bahasa penutur bahasa Indonesia.
Alat ukur yang paling populer digunakan untuk meneliti sikap hingga saat ini adalah model skala Likert dan model Trustone (Ferguson: 1952, Edward, 1957, Openhein, 1973, dari Karsono, 1986: 84). Skala Likert ini dikenal dengan metode The Method of Summated Ratting yang dikembangkan pada Tahun 1932.
Skala Likert ini berisikan seperangkat pernyataan yang harus dijawab oleh responden. Pernyataan-pernyataan tersebut diharapkan dapat menggiring kecenderungan responden menampakkan sikap sikap berbahasanya yang positif yaitu sangat setuju, setuju, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Penskoran setiap jenis respon terhadap setiap pernyataan akan mendapat bobot nilai sesuai dengan arah pernyataannya.
Sistem penskoran untuk pernyataan yang positif adalah: bobot 4 diberikan kepada responden yang menyatakan sangat setuju, 3 kepada yang menyatakan setuju, 2 kepada yang menyatakan ragu-ragu, dan 1 kepada yang menyatakan tidak setuju, dan 0 kepada yang menyatakan sangat tidak setuju. Sedangkan penskoran pernyataan negatif merupakan kebalikan dari penskoran pernyataan positif, adalah: bobot 0 diberikan diberikan kepada responden yang menyatakan sangat setuju, 1 kepada yang menyatakan setuju, 2 kepada yang menyatakan ragu-ragu, 3 kepada yang menyatakan tidak setuju, dan 4 kepada yang menyatakan sangat tidak setuju (Edward, 1957: 151 dalam Kartono).
Selanjutnya pemberian bobot respon sikap berbahasa responden dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu apriori dan aposteriori. Apriori ialah pemberian skor secara ditentukan, sedangkan aposteriori ialah pemberian bobot skor berdasarkan hasil uji coba. (Subino, 1987: 124). Pemberian skor yang digunakan dalam dalam penelitian ini berdasarkan hasil uji coba (aposteriori).
Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka respon pernyataan sikap dalam penelitian ini ada empat, yaitu kategori Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS). Sedangkan kategori netral atau ragu-ragu tidak diikutsertakan. Hal itu dilakukan untuk menghindari sikap responden yang tidak jelas. Sebagaimana dikemukakan oleh Nasution (1982: 75) bahwa penelitian yang mencegah adanya kelompok yang netral atau menunjukkan pendirian tidak menentu, dapat memaksa responden untuk memilih salah satu posisi, pihak yang setuju atau tidak setuju. Dengan demikian responden memiliki ketegasan dalam menentukan sikapnya.
Untuk memberikan bobot nilai setiap pernyataan dilakukan secara apriori, yaitu untuk pernyataan positif Sangat Setuju (SS) diberi bobot 4, Setuju (S) diberi bobot 3, Tidak Setuju (TS) diberi bobot 2, dan Sangat Tidak Setuju (STS) diberi bobot 1. Sedangkan untuk pernyataan negatif yaitu Sangat Setuju (SS) diberi bobot 1, Setuju (S) diberi bobot 2, Tidak Setuju (TS) diberi bobot 3, dan Sangat Tidak Setuju (STS) diberi bobot 4.
.
C. Penutup
Sikap bahasa adalah tata keyakinan yang relatif berjangka panjang mengenai bahasa dan objek bahasa tertentu, yang memberikan kecenderungan kepada seseeorang untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disenanginya. Keadaan dan proses terbentuknya sikap bahasa tidak jauh dari keadaan dan proses terbentuknya sikap pada umumnya. Sebagaimana halnya dengan sikap, maka sikap bahasa juga merupakan peristiwa kejiwaan sehingga tidak dapat diamati secara langsung. Sikap bahasa dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau perilaku tutur. Namun dalam hal ini juga berlaku ketentuan bahwa tidak setiap perilaku tutur mencerminkan sikap bahasa. Demikian pula sebaliknya, sikap bahasa tidak selamanya tercermin dalam perilaku tutur.
Ciri-ciri adanya sikap bahasa ditandai oleh hal-hal berikut (1) pemilihan bahasa yang tepat khususnya bagi yang tinggal di daerah atau masyarakat multilingual, (2) distribusi perbendaharaan bahasa, (3) perbedaan dialektikal, (4) perbedaan yang timbuk akibat interaksi antara individu, (5) kesetiaan bahasa, (6) kebanggaan bahasa, dan (7) kesadaran akan norma bahasa. Seperti sikap pada umumnya bahwa selalu memiliki dua sisi.
Sikap bahasa juga memiliki dua sisi yang saling bertolak belakang, yaitu sikap bahasa positif dan sikap bahasa negatif. Sikap negatif tentu saja berhubungan dengan sikap-sikap atau tingkah laku yang bertentangan dengan kaidah atau norma yang berlaku. Sementara sikap positif bahasa adalah penggunaan bahasa sesuai dengan kaidah bahasa dan sesuai dengan situasi kebahasaan.
.
Daftar Pustaka
.
Alwasila, A. Chaedar. 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa
Badudu, J.S. 1991. Inilah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar II. Jakarta: Gramedia.
Badudu, J.S. 1993. Inilah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar III. Jakarta: Gramedia.
Badudu, J.S. 1994. Inilah Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar I. Jakarta: Gramedia.
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chaplin, J.P. 1968. Dictionary of Psykology. New York: American Book Co.
Edwards, Alen L. 1957. Technique of Attitude Scale Construction. Newyork: Apleton Century Crofts.
Edwards, Alen L. 1982. Language, Society, and Identity. London: Basil Blackwell Ltd.
Evan, K.M. 1965. Attitude and Interest in Education. London: Routledge and Kegan Paul.
Fasold, Ralph. 1984. The Sosilolinguistics of Society. England: Basic Blackwell Publisher
Ferguson, C.A. 1996. National Sociolinguistics profile Formulas dalam W. Bright (ed). Sociolinguistics. Blcomington: IJAL.
Fishbein, Martin (ed). 1967. Attitude Theory and Measurement. New York: John Wiley and Sons. Inc.
Fisman, J. 1971. National Language and languages of wider communication dalam W.H. Whitely (ed) Language use and Social Change. London: OUP.
Garvin, P.L. Mathiot M. 1968. The Urbaization of Guarani Language. Problem in Language and Culture, dalam Fishman, J.A. (Ed) Reading in Tes Sosiology of Language, Mounton. Paris–The Hague.
Garvin, P.L. Mathiot M. 1985. The Urbanization of the Guarani Language dalam J.A. Fishman. Reading in the Sociology of Language the Hague: Mounton.
Gerungan. 1987. Psikologi Sosiologi. Bandung: Eresco. Hudson, R.A. 1996. Sociolinguistics. Great Britain Cambridge University Press.
Hymes, Dell. 1974. Foundation in Sociolinguistics. New York: Harper and Row.
Hymes, Deoo. 1964. Language in Culture and Society. New York: Harper and Row
J.B. Pride dan J. Holmes. 1982. Sosiolinguistics. Middlesee, England: Pinguin Book
Jendra, I Wayan.2007. Sosiolinguistik Teori dan Penerapannya. Surabaya: Paramita
Kchru, B.B. 1977. Towards Structuring Code-Mixing: An India Perspective. dalam Fishman (Ed). 1977
Kridalaksana, Harimurti.1982. Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa. Ende Flores Nusa Indah
Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Lambert, Wallace E. 1967. A Social Psychology of Bilingualism.
Likert, Rensis. 1967. The Method of Construction to Psykology. Boston: Houghton. Mifflin Company.
Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Mar’at. 1984. Sikap Manusia Perubahan serta Pengukurannya. Jakarta.Ghalin Indonesia.
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia.
Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Poedosoedarmono, Soepomo. 1978. Interferensi dan Integrasi dalam Situasi Keanekabahasaan. Pengajaran Bahasa dan Sastra. Th. IvNo. 2 hal. 21-43
Purba, Antilan. 1996. Kompetensi Komunikatif Bahasa Indonesia: Ancangan Sosiolinguistik. Medan: Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Medan.
Richard, et al. 1985. Longman Dictionary of Apllied Linguistict.
Rusyana, Yus. 1982. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: C.V. Diponegoro.
Rusyana, Yus. 1988. Perihal Kedwibahasaan (Bilingualisme). Jakarta: Depdikbud Dirjen Dikti PPLPT.
Siregar, Bahrean Umar. 1996. Code Alternation in Bilingual Speech Behavoiur. Medan: USU Press.
Siregar, Bahrean Umar. 1996. Pemertahanan Bahasa Dan Sikap Bahasa. Medan: USU Press.
Subino. 1987. Kontruksi dan Analisis Tes Suatu Pengantar Kepada Teori Tes dan Pengukurannya. Jakarta: PPLPTK Depdikbud.
Sudjana, Nana dan Ibrahim. 1989. Penelitian dan penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru.
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.
Suwito. 1983. Pengantar Awal Sosiolinguistik Teori dan Problem. Surakarta: Henary Offset Solo.
Suwito.1983. Sosiolinguistik: Teori dan Problema. Surakarta: Kenarry offset
Triandis, Harry C. 1971. Attitude and Attitude Change. New York: Jhon Willey & Sons
Winkel, W.S. 1964. Psikologi Pendidikan dan Evaluasi Belajar. Jakarta: Gramedia.
.
.